Upaya Penanganan Kejahatan Jalanan
Kejahatan jalanan atau yang biasa dikenal dengan street crimes merupakan jenis kejahatan tradisional yang sangat meresahkan warga masyarakat. Terlebih hal ini dirasakan di kota-kota besar seperti Jakarta. Di saat hiruk pikuk kejahatan kerah putih (white collar crime) seperti korupsi, money laundering, carding, dan lain sebagainya terus-menerus menghiasi setiap media massa kita saat ini, kejahatan jalanan tetap merupakan ancaman yang amat nyata bagi masyarakat kita. Apalagi bila kejahatan jalanan ini disertai dengan kekerasan (crime by using force) semisal penjambretan, penodongan, pencurian, pemerkosaan, penganiayaan, perampokan, pembunuhan, dan sebagainya.
Pada beberapa bulan terakhir ini, jajaran Polda Metro Jaya telah melakukan operasi preman yang cukup dapat dirasakan hasilnya. Meskipun sepi dari pemberitaan di media massa, namun berdasarkan data yang dihimpun ratusan preman berhasil terjaring dalam operasi ini. Wilayah Jakarta Utara dan Jakarta Timur memiliki tingkat kerawanan yang lebih tinggi mengenai kejahatan jalanan ini. Jenis kejahatan jalanan yang paling sering mengganggu masyarakat adalah pencurian dengan kekerasan yang acap kali menimbulkan korban luka bahkan merenggut nyawa korban.
Bentuk-bentuk kejahatan di atas tentu saja akan sangat berpengaruh pada keamanan dan ketertiban masyarakat. Karena kejahatan-kejatahan inilah yang paling dekat dengan mayarakat, dan apabila dibiarkan akan menimbulkan ketakutan, perasaan tidak aman dalam masyarakat dan tentunya akan sangat berpengaruh terhadap produktivitas masyarakat dalam melaksanakan kehidupannya sehari-hari.
Kejahatan jalanan merupakan bagian terbesar dari angka statistik kriminalitas. Sistem Peradilan Pidana kita sangat disibukkan oleh “street crimes” ini. Mungkin sebagian besar dari aktivitas penanggulangan kejahatan oleh Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan berpusat pada kejahatan jalanan ini. Dan apabila kita melihat populasi Lembaga Pemasyarakatan, maka pelaku-pelaku kejahatan jalanan inilah yang memenuhi lembaga.
Meskipun realita diatas tidak serta merta menjawab apa yang menjadi permasalahan utama kejahatan di Indonesia, namun setidaknya, kejahatan jalanan telah memberikan andil yang besar dalam menimbulkan ancaman dan keresahan dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk itulah perlunya polisi memiliki strategi yang tepat untuk terus menekan angka kejahatan jalanan ini. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa hulu dari kejahatan ini merupakan akibat masalah kehidupan sosial masyarakat kita yang amat pelik. Kita tidak dapat memandang masalah kejahatan jalanan dari segi hukum saja, tanpa memperhatikan aspek sosiologis dalam masyarakat.
Kejahatan jalanan merupakan kejahatan konvensional yang selalu mewarnai kehidupan sosial masyarakat kita. Di kota besar seperti Jakarta, hampir dapat dipastikan setiap hari terjadi kejahatan semacam ini. Meskipun kejahatan ini sifatnya konvensional namun penyebab bentuk kejahatan ini tidak sederhana lagi. Sehingga polisi dalam hal ini tidak dapat bekerja sendiri untuk memerangi kejahatan jalanan ini. Pada bab ini, penulis ingin membahas apa yang melatarbelakangi para pelaku kejahatan jalanan melakukan aksinya dan bagaimana seharusnya aparat kepolisian melakukan upaya dalam memberantasnya.
Pelaku Kejahatan Jalanan
Telah banyak ahli yang mengemukakan pendapatnya mengenai pelaku kejahatan, baik dari segi sosiologis, psikologi, krimonologi, maupun dari segi hukumnya. Salah satu teori yang dapat kita gunakan untuk melihat bagaimana pelaku kejahatan melakukan sebuah aksi kriminalitas adalah menggunakan teori motivasi yang dikemukakan oleh Abraham Maslow. Yaitu bahwasannya tindakan manusia merupakan hasil motivasi 5 (lima) kebutuhan secara hierarki, yakni :
1. Fisiologis : Meliputi kebutuhan akan udara, air, makan, seks, dll
2. Rasa Aman : mencakup kebutuhan akan keselamatan, ketertiban, dan bebas dari rasa takut dan ancaman.
3. Rasa memiliki dan cinta / kebutuhan sosial, hubungan manusiawi.
4. Penghargaan : mencakup kebutuhan akan harga diri, rasa hormat dari orang lain.
5. Aktualisasi diri : meliputi kebutuhan untuk berkembang, untuk menyadari potensi seseorang.
Kebutuhan tersebut di atas disusun secara hierarkis, yang artinya memiliki gradasi kepentingan. Dari yang paling atas merupakan yang paling pokok selanjutnya sampai yang terakhir. Dalam pengertian kebutuhan yang dibawahnya akan timbul apabila kebutuhan yang di atasnya sudah terpenuhi terlebih dahulu. Teori ini dapat menjelaskan mengapa sebagian besar atau bahkan hampir semua pelaku kejahatan jalanan adalah berasal dari golongan orang miskin, pengangguran, orang-orang yang tidak memiliki penghasilan/tempat tinggal yang layak, dan tidak memiliki pendidikan yang tinggi. Hal ini didorong oleh kebutuhan akan fisiologis. Karena mereka hidup di bawah garis kemiskinan, disertai tidak adanya penghasilan yang mencukupi, akhirnya timbul motivasi dalam diri mereka untuk melakukan perbuatan jahat agar dapat mencukupi kebutuhan dasar seperti makan, minum, serta kebutuhan sehari-hari mereka. Dan tentu saja kejahatan yang paling dekat dengan mereka atau dapat mereka lakukan adalah kejahatan jalanan seperti menjambret, menodong, merampok, dan lain-lain. Mereka tidak mungkin melakukan kejahatan dalam skala yang lebih besar seperti korupsi, penggelapan dalam jabatan dan lainnya, karena mereka tidak memiliki akses ke dalam bentuk-bentuk kejahatan seperti itu.
Untuk memerangi faktor kemiskinan ini, tentu polisi tidak dapat bertindak sendiri. Dalam hal ini polisi harus menjalin kerja sama dengan pihak-pihak terkait. Misalnya dengan pemerintah daerah, departemen sosial, tokoh-tokoh masyarakat, Lembaga Sosial Masyarakat (LSM), dan lain sebagainya. Adapun program yang dapat dibuat utamanya bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan dengan cara perluasan lapangan dan kesempatan kerja. Polisi harus memiliki andil dalam program-program pengentasan kemiskinan seperti ini. Kendati hal ini tidak langsung bersentuhan dengan tugas kepolisian, tapi perlu diyakini bahwa kemiskinan adalah sumber dari segala masalah, termasuk implikasinya dalam bentuk gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat.
Tindakan polisional pada waktu dan tempat tertentu
Di dalam ilmu kepolisian dikenal adanya istilah faktor korelatif kriminogen (FKK), yakni faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak kejahatan. Faktor-faktor inilah yang menjadi penyebab terjadinya tindak kriminalitas. Faktor ini akan makin tumbuh subur karena sistem yang mengatur, sarana, dan prasarana yang ada tidak memadai serta tidak bisa mengakomodasikan persoalan yang muncul.
Berbagai perilaku yang menyimpang itu kerap muncul dalam berbagai aktivitas masyarakat, baik di lingkungannya maupun di lokasi-lokasi aktivitas masyarakat lainnya, seperti di areal pemukiman, perkantoran, pertokoan, mal, dan pusat-pusat hiburan maupun lokasi-lokasi wisata. Selain itu bisa pula terjadi di lokasi-lokasi kepentingan umum seperti terminal bus, stasiun kereta api, pelabuhan, bandara ataupun tempat-tempai ibadah.
Di lokasi-lokasi inilah yang memungkinkan terjadinya kejahatan jalanan, sehingga di tempat-tempat kegiatan ini perlu diantisipasi secara maksimal oleh aparat kepolisian. Dalam istilah kepolisian bentuk dan tempat kegiatan ini dikenal sebagai police hazard (PH), suatu aktivitas atau lokasi yang dimungkinkan terjadinya masalah polisional.
Hal ini didukung adanya Routine Activities Theory yang dikemukakan oleh Marcus Felson dan Robert K. Cohen yang menyatakan bahwa kejahatan akan terjadi bila dalam satu tempat dan waktu hadir secara bersamaan elemen sebagai berikut ;
1. A motivated offender (Penjahat yang memiliki motivasi).
2. A suitable target (target yang mudah).
3. The absesnce of Capable guardian (tidak adanya penjaga yang mumpuni).
Untuk mencegah terjadinya kejahatan ini, maka setidaknya salah satu faktor di atas harus dihilangkan. Elemen yang pertama tumbuh dan berada pada diri seorang pelaku kejahatan, sehingga dalam hal ini akan lebih sulit untuk mengenali bagaimana motivasi yang ada dalam diri orang yang berada di sekitar kita. Elemen nomor 2 (dua), biasanya diartikan sebagai golongan kaum rentan. Hal ini terdiri dari kaum wanita, anak-anak, maupun orang yang sudah lanjut usia. Karena golongan ini, memiliki potensi melawan atau mengganggu jalannya aksi kejahatan yang relatif lebih kecil dari pada kaum laki-laki dewasa. Meskipun pendapat ini tidak menutup kemungkinan terjadinya tindak kejahatan terhadap kaum laki-laki dewasa.
Sesuai tugas fungsi kepolisian maka elemen nomor 3 (tiga) yang perlu mendapatkan perhatian. Disinilah perlunya keberadaan personil polisi baik berseragam maupun tidak berseragam di tempat-tempat yang memiliki tingkat kerawanan yang tinggi. Polisi berseragam diperlukan, karena dengan seragamnya yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya akan lebih mudah dikenal. Baik pelaku kejahatan maupun orang yang menjadi sasaran kejahatan dapat lebih mudah mengenal seorang polisi dengan seragamnya yang khas.
Daerah police hazard yang luas, tentu memerlukan personil polisi yang lebih banyak daripada daerah yang kecil. Sehingga keterbatasan personil polisi ini dapat diatasi dengan dilakukannya patroli untuk mengurangi peluang bagi pelaku untuk melakukan aksi kejahatannya. Patroli yang dilakukan secara mobile, selain efektif dalam mengelola pemberdayaan personil juga cukup efektif dalam menekan peluang terjadinya tindak kejahatan.
Dengan adanya personil polisi sebagai penjaga yang memiliki kemampuan (mumpuni), dalam hal ini dilengkapi dengan kemampuan menjaga diri dan properti disekitarnya serta diberikan peralatan seperti tongkat polisi, borgol, dan senjata api, maka penjahat pun akan berpikir kembali untuk melakukan kejahatannya di tempat itu. Dia akan lebih memilih tempat dimana tidak ada personil polisi yang dengan sigap berjaga-jaga, sehingga lebih mudah baginya untuk melakukan aksi kejahatan.
Efek Jera dan Kepastian Hukum
Pelaku kejahatan jalanan harus diberikan hukuman yang dapat menimbulkan efek jera sebagai wujud kepastian hukum, dengan harapan para pelaku ini dapat sadar dan tidak mengulangi perbuatannya kembali serta kepada calon pelaku kejahatan lainnya agar tidak mengikuti perbuatan serupa. Hal ini dikemukakan oleh Cesare Beccaria dalam Deterence Theory, bahwasanya untuk menimbulkan efek jera pelaku kejahatan harus dihukum yang memiliki prinsip :
1. Harus ada kepastian (Certainty)
2. Harus membebani (Severity)
3. Harus segera (Celerity)
Hukuman yang diberikan kepada pelaku kejahatan memiliki dua bentuk. Yang pertama adalah penghukuman substantive, yaitu dirumuskan oleh hukum materiil. Kedua adalah penghukuman yang terkait dengan prosedur yang harus dilalui pelaku (procedural punishment). Penghukuman yang kedua inilah yang berkaitan dengan pekerjaan polisi. Untuk menciptakan efek jera dari kegiatan penegakkan hukum, maka polisi harus menjamin adanya kepastian hukum. Polisi tidak seharusnya tebang pilih, semaksimal mungkin pelaku harus ditindak. Prinsip ketiga adalah kesegeraan, polisi dituntut untuk bertindak segera bila ada tindak kejahatan, tidak menunggu atau mengulur waktu.
Dalam sistem peradilan pidana aspek pemberian efek jera dan asas kepastian hukum ini harus dapat dilaksanakan secara konsisten dan sustainable. Baik polisi, jaksa, maupun hakim harus dapat memproses sebuah perkara kejahatan sesuai dengan ketentuannya. Dan apabila perlu pelaku kejahatan yang telah menjadi residivis, serta menimbulkan kerugian baik materiil maupun moril yang besar harus dihukum seberat-beratnya, dengan tujuan memberikan efek jera kepada pelaku maupun calon pelaku kejahatan lainnya.
Kesimpulan
Kejahatan jalanan meskipun telah menjadi masalah yang klasik dalam kehidupan sosial masyarakat, namun telah memberikan dampak yang luar biasa terhadap kenyamanan , keamanan dan ketertiban. Disinilah fungsi kepolisian yang paling dapat dirasakan oleh masyarakat pada garis terdepan. Meskipun kepolisian berhasil mengungkap kasus-kasus besar, tetapi apabila kejahatan jalanan ini masih merajalela, maka masyarakat belum dapat hidup dengan tenang.
Pangkal masalah kejahatan jalanan ditinjau dari teori yang ada, tidak dapat dipisahkan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat. Di kota besar seperti Jakarta masih banyak penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan, kepadatan penduduk yang terus meningkat, kesulitan lapangan kerja, dan belum adanya tempat tinggal yang layak.
Kondisi seperti inilah yang harus dihadapi setiap hari oleh masyarakat kalangan bawah yang mengais rejeki ditengah ketatnya persingan kota metropolitan. Tuntutan pemenuhan kebutuhan fisiologis mau tidak mau harus mereka penuhi. Sedangkan meretas jalan untuk meraih penghasilan dengan cara yang halal tidaklah mudah. Maka menggunakan jalan pintas dengan melakukan kejahatan jalanan yang sesuai dengan tingkat kemampuan mereka adalah salah satu cara tercepat yang dapat ditempuh.
Untuk memerangi kejahatan jalanan ini, polisi tidak dapat bekerja dengan sendirian untuk memberantas sampai ke akar-akarnya. Karena sesuai pembahasan di atas, masalah kejahatan jalanan bukanlah semata masalah penegakkan hukum belaka. Untuk itu penulis menyarankan beberapa hal untuk dapat ditelaah lebih lanjut sebagai upaya dalam pemberantasan kejahatan jalanan di kota besar, yaitu sebagai berikut :
1. Melakukan kerjasama dengan pihak terkait untuk melaksanakan program pengentasan kemiskinan.
2. Bekerja sama dengan departemen sosial untuk pembinaan lebih lanjut terhadap preman/pelaku kejahatan jalanan untuk mendapatkan pelatihan kerja.
3. Menyarankan pemerintah, tokoh masyarakat/LSM untuk membuka lapangan pekerjaan.
4. Bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk menekan laju urbanisasi yang terus meningkat.
5. Melakukan kegiatan kepolisian seperti penjagaan dan patroli di wilayah yang memiliki tingkat kerawanan kejahatan jalanan.
6. Menghimbau kaum rentan (wanita, anak-anak, dan lanjut usia) untuk tidak menggunakan perhiasan atau membawa barang yang menarik perhatian pelaku kejahatan.
7. Memproses setiap pelaku kejahatan agar mendapat hukuman yang maksimal atas kejahatan yang dilakukannya.
8. Berkoordinasi dengan Criminal Justice system dengan prinsip memberikan kepastian hukum, serta agar menimbulkan efek jera.
DAFTAR PUSTAKA
1. Cesare Beccaria, On crime and Punishments, Transleted by Henry Paolucci, Bobbs-Merrill, Indianapolis, 1963.
2. George B. Vold, et ell, Theoritical Criminology, Oxford University Press, New York, 2002.
3. Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia, Yayasan Pengembangan KIK, 2004.
4. Mujiarto Karuk, Faktor Korelatif Kriminogen, Situs Polda Metro Jaya.
5. Sondang P. Siagian, Teori Motivasi dan Aplikasinya, 2004.
Comments
Post a Comment