Saatnya Mengubah Pendekatan Labelling
note: artikel ini ada di halaman 397 buku "Tito Karnavian Dalam Pusaran Terorisme: Catatan dari Tepian Musi ke Puncak Tribrata", Jakarta: PT Warta Mandiri, 2017
Salah satu
program ketika memulai mengemban tugas sebagai Kepala Polri (Kapolri),
Jenderal Tito Karnavian, adalah program penanganan
kelompok radikal prokekerasan dan intoleransi yang lebih optimal dengan deteksi
dini dan deteksi aksi dalam rangka pemetaan kelompok radikal pro kekerasan dan
intoleransi. Jenderal Tito ingin membangun daya cegah dan daya tangkal warga
dan merajut kerja sama dengan stakeholder lain. Dia ingin mengintesifkan
kegiatan dialogis di kantong-kantong kelompok radikal pro-ekerasan dan
intoleransi dan penegakan hukum secara optimal.
Saat ini
kepolisian –terutama setelah terbentuknya Detasemen Khusus 88 Antiteror yang
akrab disebut Densus 88—tampaknya sudah terlanjur memberikan label atau cap
kepada kelompok radikla pro-kekerasan dan intoleransi sebagai kelompok teroris.
Sayangnya lagi, label ini ditancapkan pada kelompok agama tertentu dan kota (daerah)
tertentu pula. Umat dari agama lain yang melakukan tindakan yang sama (sekadar
contoh melukai pastor gereja Katolik di
Sumatera Utara dengan semacam bom rakitan) tidak disebut teroris. Dan Sumatera
Utara pun tidak dilabel daerah jaringan teroris.
Memasuki era
200-an, Bumi Pertiwi banyak diguncang oleh teror bom. Mulai dari bom Bursa Efek
Jakarta (2000), bom Bali I (2002) dan II (2005), bom JW Marriott (2003), bom
Kedutaan Besar Australia (2004), bom Mega Kuningan (2009), bom Cirebon dan bom
Solo (2011), dan bom Solo (2016). Bom Cirebon dan Solo cukup mengguncangkan
karena berbeda jauh dengan motif pengeboman yang lain-lain. Bila pada teror bom
Bursa Efek Jakarta, bom Bali, bom JW Marriott, bom Kedutaan Besar Australia dan
bom Mega Kuningan, target operasi adalah tempat-tempat yang dianggap tempat
maksiat dan atau tempat yang dianggap merupakan representasi dari hegemoni
penjajahan Amerika, Australia dan negara-negara barat lainnya di Indonesia.
Namun pada
kasus teror bom di masjid Az-Zikra Mapolresta Cirebon, Gereja Bethel Injil
Sepenuh (GBIS) Kepunton Solo dan bom di Mapolresta Surakarta, target pengeboman
merupakan tempat ibadah dan markas kepolisian. Dan parahnya, peledakan bom
bunuh diri tersebut dilakukan ketika proses peribadatan sedang berlangsung. Di
Cirebon, bom diledakkan sesaat setelah imam shalat melakukan takbiratul ihram
untuk mengawali ibadah shalat Jum’at. Sedangkan di GBIS Solo, bom bunuh diri
diledakkan sesaat setelah acara kebaktian selesai dilaksanakan.
Untuk mengatasi
berbagai teror bom ini, pemerintah bertindak cepat. Melalui operasi Detasemen
Khusus 88 Anti Teror, kepolisian segera menyisir ke berbagai daerah untuk
mengejar dan menangkap orang-orang yang diduga sebagai otak dan atau pelaku
pengeboman tersebut. Operasi Densus 88 bisa dikatakan cukup sukses lantaran
berhasil menangkap para dalang serta pelaku pengeboman tersebut.
Harus diakui,
dalam beberapa operasi, Densus 88 terindikasi telah melakukan pelanggaran HAM
karena tidak terpenuhinya standar operasi yang berlandaskan asas praduga tak
bersalah. Barangkali gara-gara ada perlawanan dari tersangka dan juga khawatir
jatuhnya korban jiwa yang lebih besar, para tersangka pengeboman ini sebagian
tewas di lokasi pada saat dilakukan penggerebekan oleh pasukan Densus 88 Anti
Teror.
Dari sekian
banyak persoalan yang timbul akibat kasus bom bunuh diri ini adalah adanya
bahaya “labelling” atau pelekatan julukan bagi daerah-daerah tempat pelaku
berasal atau daerah tempat pelaku tertangkap oleh pasukan Densus 88.
Daerah-daerah ini berpotensi untuk mendapatkan labelling sebagai sarang
teroris. Beberapa daerah yang terlanjur mendapat labelling daerah sarang
teroris ini antara lain adalah Aceh, Solo, Cirebon dan Poso.
Di Negeri
Serambi Mekah, setelah puluhan tahun berada dalam tekanan dan kekerasan akibat
pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM), rakyat sipil bersenjata yang melawan
kerapkali disebut teroris, gerakan separatis maupun gerakan pengacau keamanan.
Pasca perjanjian damai Helsinki pada tahun 2005, kondisi Aceh perlahan mulai
kondusif. Namun pada awal Maret 2010, Polisi menangkap 13 orang yang diduga
melakukan latihan semi militer untuk kegiatan terorisme menjelang kedatangan
Presiden Amerika Serikat, Barrack Obama. Akhirnya, beberapa pihak ada yang
menyebut 13 orang ini dengan labelling “Jaringan Teroris Aceh”.
Sedangkan Solo
mendapatkan labelling ini salah satunya karena berada dekat dengan Pondok
Pesantren Al Mukmin Ngruki yang didirikan oleh Ustadz Abu Bakar Ba’asyir.
Kabarnya beberapa pelaku teror bom pernah mengenyam pendidikan di pondok
pesantren ini. Beberapa pihak sempat memberikan labelling dengan menyebutnya
sebagai “Jaringan Teroris Solo”.
Labelling
terhadap Kota Batik ini semakin parah setelah terjadinya ledakan bom di Mapolresta
Surakarta beberapa bulan lalu. Padahal Solo merupakan tempat yang masyarakatnya
terkenal santun, ramah dan sangat toleran dalam perbedaan. Banyak aliran maupun
gerakan Islam tumbuh subur di daerah ini. Tidak sedikit masyarakat non Muslim
yang tinggal dengan rukun dan damai di tengah masyarakat sekitar.
Begitu pula
dengan Poso yang dilabel sebagai “sarang teroris” kelompok Santoso. Beberapa
waktu lalu, Polisi berhasil melumpuhkan Santoso dan kini beberapa orang
pengikutnya masih diburu.
Sudah saatnya
kita mengubah label teroris manakala menghadapi kasus-kasus seperti Poso, Solo
dan beberapa kota lain yang terlanjur dilabel sebagai sarang teroris. Pemberian
label teroris itu berpotensi memecah belah kerukunan, ketertiban serta keamanan
yang selama ini telah berlangsung penuh harmoni.
Kekhawatiran
akan bahaya labelling negatif ini bukanlah tanpa dasar. Sejauh ini, Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) telah mengklaim bahwa hampir separuh
dari 33 Provinsi yang ada Indonesia sekarang menjadi kantong penyebaran
ideologi “terorisme”. Pemetaan itu, menurut BNPT, diperoleh berdasarkan pantauan yang dilakukan
sejak beberapa tahun terakhir. Atas dasarkan ini nampaknya telah terjadi
pergeseran bahkan perluasan labelling negatif, dari yang sebelumnya dilekatkan
kepada individu atau kelompok pelaku teror bom, kini mulai dilekatkan kepada
daerah tertentu. Labelling sebagai kantong penyebaran ideologi terorisme atau
bahkan sebagai kota teroris merupakan dampak buruk yang dapat merusak citra
positif daerah-daerah yang bersangkutan.
Menurut pakar
teori labbeling, Howard S. Becker, harus dibedakan antara pelanggar hukum dan
pelaku kejahatan. Pelanggaran hukum merupakan perilaku, sedangkan kejahatan
adalah reaksi kepadaorang lain terhadap perilaku itu.
Pelabelan
terhadap seseorang terjadi pada saat (waktu) ketika melakukan aksi, siapa yang
melakukan dan siapa korbannya serta persepsi masyarakat terhadap konsekuensi
aksinya. Tidak ada satupun perbuatan yang pada dasarnya bersifat kriminal.
Lebih jauh
Becker menyebut bahwa perumusan kejahatan dilakukan oleh kelompok yang bersifat
dominan atau kelompok berkuasa. Penerapan aturan tentang kejahatan dilakukan
untuk kepentingan pihak yang berkuasa. Orang tidak menjadi penjahat karena
melanggar hukum, tapi karena ditetapkan demikian oleh penguasa.
Pada dasarnya,
kata Becker, semua orang pernah melakukan kejahatan, sehingga tidak patut jika
dibuat dua kategori, yaitu jahat dan orang tidak jahat. Menurut labelling,
kejahatan terbentuk karena aturan-aturan lingkungan, sifat individualistik,
serta reaksi masyarakat terhadap kejahatan. Karena adanya reaksi masyarakat
terhadap suatu perilaku, maka dapat menimbulkan suatu perilaku yang jahat.
Becker
menegaskan bahwa pemberian sifat label merupakan penyebab seorang menjadi
jahat. Ada dua hal yang perlu diperhatikan, dalam proses pemberian label, yakni
adanya label akan menimbulkan perhatian masyarakat terhadap orang yang diberi
label. Hal ini akan menyebabkan masyarakat di sekitarnya memperhatikan terus-menerus
orang yang diberi label tersebut dan akan terbentuk attachment partial. Adanya
label juga mungkin akan diterima oleh individu tersebut dan berusaha menjalankan
sebagaimana label yang diletakkan pada dirinya.
Jelas ini poin
kedua tersebut sangat berbahaya. Seseorang yang sebetulnya tidak pernah
melakukan teror, karena dilabel teroris, lalu ia benar-benar melakukan tindakan
teror.
Kapolri
Jenderal Tito Karnavian yang ingin membangun daya cegah dan daya tangkal warga
dan merajut kerja sama dengan stakeholder lain dalam menangani isu terorisme
harus benar-benar dimplementasikan oleh jajaran di bawahnya, terutama yang ada
di lapangan. Pasukan polisi yang ada di lapangan harus betul-betul mengintesifkan
kegiatan dialogis di kantong-kantong kelompok yang dinilai radikal pro-kekerasan
dan intoleransi. Mereka harus turun langsung tanpa membawa cap teroris pada
kelompok yang disambangi.
Sekadar bekal
sederhana mengapa muncul kelompok Abu Bakar Ba’asyir yang dinilai cukup ketat
menerapkan ajaran Islam. Ada satu studi sederhana dilakukan oleh Dosen UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. Irhamsyah Putra, sekitar awal 2016. Dia
mencoba mebuat semacam studi banding bagaimana model dakwah di pedalaman Jawa
dan pesisir utara Jawa. Ada perbedaan menarik dakwah yang diterapkan Wali Songo
di kedua wilayah tersebut.
Di pesisir
utara Jawa, menurut Irhamsyah, dakwah berjalan kontekstual dan para juru dakwah
demikian cair menyatu dengan komunitas masyarakat yang ada. Sementara di
pedalaman Jawa (baca Solo, Yogya dan sekitarnya) yang sangat kental diwarnai
tradisi berbau kemusyrikan, para wali menjalankan dakwah secara tekstual.
Artinya, apa yang tidak sesuai teks Al Quran dan Hadits akan langsung dihadapi
secara frontal atau dijauhi. Di wilayah ini lalu lahir pesantren-pesantren yang
agak sedikit eksklusif, terpisah dari masyarakat sekitar.
Berangkat dari
sini, Polisi tentu bisa melibatkan sesepuh pesantren, tokoh masyarakat sekitar,
insitusi terkait, manakala mengendus adanya pelaku kejahatan dari wilayah ini.
Polisi tidak selayaknya langsung membombardir tersangka pelaku tanda proses
peradilan yang fair, terbuka dan adil. Sudah waktunya polisi di bawah
kepemimpinan Jenderal Tito mengubah pendekatan labelling yang banyak
mudharatnya ke pendekatan yang lebih cocok dengan atau melihat kondisi
setempat.
Semoga Jenderal
Tito Karnavian mampu membawa perubahan polisi menjadi lebih profesional, fair
mengedepankan azaz praduga tak bersalah dan mendengar aspirasi banyak pihak.
Tentu ini tidak hanya berlaku pada kelompok Muslim dan daerah-daerah yang
terlanjur dilabel jejaring teroris. (*)
Comments
Post a Comment