Kekerasan di Perkotaan



Pelaku kejahatan kekerasan –baik struktural maupun non-struktural—di perkotaan rupanya sudah tak lagi memilah-milah sasaran korban. Mereka tidak pandang bulu, anggota korp bersenjata ataukah warga masyarakat sipil yang dijadikan sasaran.

Belum hilang dalam ingatan kita kasus terbunuhnya Brigjen TMF Tampubolon di kawasan Kebon Nanas, Jakarta Timur, sekitar setahun lalu. Pelakunya para anak muda yang tengah mabuk minuman beralkohol.

Setelah kematian seorang jenderal aktif itu, pihak aparat terkait langsung mengadakan operasi pembersihan terhadap peredaran minuman keras di Ibukota Jakarta. Hasilnya, peredaran minuman memabukkan itu agak terkendali. Sepertinya kondisi terkendali. Namun kondisi itu tidak berlangsung lama, lantaran anak-anak muda kembali teler menenggak minuman beralkohol menjadi fenomena sehari-hari. Lalu bersamaan dengan itu kasus-kasus kejahatan kekerasan memakan korban nyawa melayang di Jakarta hampir tiada henti.

Bila kita ikuti pemberitaan surat kabar yang terbit di Ibukota, boleh dikatakan tiada hari tanpa kejahatan. Bahkan, untuk kawasan pinggiran Jakarta –Bekasi, Tangerang dan Bogor—tiada hari tanpa perampokan atau pencurian dengan kekerasan.

Dua hari setelah hari raya Lebaran (6/5), Lettu Pol Budi Prasetyo Utomo (mahasiswa PTIK) tewas dikeroyok sekawanan preman di kawasan Jalan Melawai Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Padahal, malam itu, Kapten Arman Depari (rekan Budi) sudah mengaku bahwa dirinya seorang polisi. Namun, pelaku tak gentar, malah menantang hendak mengadu sang kapten nahas itu dengan orang tua salah seorang preman yang mengaku anak seorang jenderal. Saat itu, dari mulut para preman tercium aroma alkohol.

Tak pelak lagi, kasus itu membuat berang kalangan kepolisian. Pihak kepolisian dipimpin langsung Kapolda Metro Jaya memburu pada pelaku pengeroyokan. Dalam tempo relatif singkat, 10 orang pelaku berhasil dibekuk, satu di antaranya tewas didor di Bogor.

Menyusul kasus pengeroyokan itu, Polda Metro Jaya bekerja sama dengan instansi terkait mengambil langkah pembersihan preman-preman di kawasan-kawasan rentan kejahatan di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Hasilnya, sebanyak 747 orang preman akan diajukan ke meja hijau dalam waktu dekat.
Sementara dari Bekasi, selama empat hari Operasi Kilat Jaya, sebanyak 575 orang preman dijaring oleh tim dari Polres setempat. Dari tangan mereka, petugas menemukan 200 gram ganja, dua bantal pil BK yang isinya ribuan tablet, tiga krat minuman keras, 12 senjata tajam dan sejumlah buku porno.
Meski operasi pembersihan preman begitu gencar digelar, tampaknya pelaku kejahatan tidak gentar. Pada 10 Maret lalu, siang hari bolong, dua orang penjaga pompa bensin di Jalan I Gusti Ngurah Rai, Klender, Jakarta Timur, teas dihabisi oleh sekawanan perampok.

Sayang, gema operasi itu tak bergaung lama. Belum lama ini Mayor Polisi Noenang Kohar yang belum genap sepekan menjabat Kapolsek Penjaringan, Jakarta Utara, teas saat hendak menegur pengemudi bajaj yang menyerempet mobilnya di kawasan Rawamangun, Jakarta Timur.

Sungguh berani pada pelaku kejahatan masa kini! Demikian menakutkankah kehidupan kota besar seperti Jakarta? Seolah-olah tiada lagi waktu dan tempat yang aman buat warganya. Apa sebenarnya yang menjadi pangkal sebab?

Kultur kekerasan

Kota-kota besar di dunia, tak terkecuali Jakarta, tumbuh pesat secara ekonomi. Berbarengan dengan itu, masuklah kaum migran dari berbagai suku berkompetisi memperebutkan lapangan kerja yang tersedia terbatas. Persaingan untuk bertahan hidup semakin ketat mengingat pertumbuhan kota akan mengalami titik jenuh pada suatu waktu.

Mereka yang kalah berkompetisi dalam kehidupan ekonomi lalu mengembangkan kultur kekerasan dalam memecahkan persoalan yang dihadapi. Penggunaan kekerasan ini terutama ada pada kelompok anak muda yang kalah segala-galanya dalam kompetisi ekonomi (Richard Quinney, Criminology, 1979:237).

Di Amerika Serikat misalnya. Penggunaan kekerasan tercermin dari kepemilikan senjata api pada warga sipil. Pada tahun1969 saja sudah beredar sekitar 80 juta pucuk senjata api pada warga sipil negeri itu. Bahkan, belum lama ini, sebanyak 21 negara bagian menerima usulan agar warga diberi hak memiliki senjata api. Bisa dibayangkan betapa menakutkan bila Anda berjalan-jalan di negeri adidaya itu. Hampir setiap orang menenteng senjata api yang siap digunakan menghadapi marabahaya.

Mr James Fox, ahli statistik kriminal dari Universitas Northeastern, Amerika Serikat, meramalkan bahwa 10 tahun mendatang Amerika bisa banjir darah lantaran jumlah anak muda yang menenteng senjata api dan menjadi pelaku pembunuhan meningkat secara tajam. Pembunuh berusia 14-17 tahun naik 165% sejak tahun 1985 sementara di negeri itu terdapat sekitar 40 juta anak muda seusia ini (The Sunday Times, 19 Februari 1995).

Jakarta boleh dikatakan belum separah New York, Amerika Serikat, atau Rio de Janeiro, Brasil, yang sudah menampakkan adanya sejumlah geng atau kelompok aksi kejahatan menguasai kehidupan kedua kota itu. Tapi, gelagat ke arah terbentuknya kultur kekerasan di Jakarta terlihat cukup signifikan. Memang pemilik senjata api di Jakarta masih terbatas pada aparat tertentu, utamanya bukan warga sipil. Namun, penguasaan senjata tajam –seperti golok, parang, celurit, pisau komando dan sejenisnya—nyaris tak terkendali. Setiap kali ada kasus perampokan dan pembunuhan, senjata tajam jenis ini hampir tak pernah ketinggalan jadi barang bukti.

Jelas agak sulit membatasi kepemilikan senjata tajam tersebut. Pasalnya, senjata-senjata tadi dalam keseharian memang acap dijadikan alat bantu kerja, koleksi senjata tradisional, dan terkadang menjadi perabot dapur ibu rumah tangga. Sepanjang digunakan sesuai fungsinya, senjata-senjata itu tidak bakal mendatangkan perkara.

Namun, seiring dengan tumbuhnya kultur kekerasan di perkotaan, senjata-senjata tajam tadi beralih fungsi menjadi alat bantu aksi kejahatan. Tidak tertutup kemungkinan pula menjadi alat bela diri yang selalu dibawa-bawa oleh kelompok tertentu yang senantiasa merasa terancam akibat kehadiran para preman. Umpama saja, pelajar membawa golok lantaran takut dihabisi lawan tawuran mereka atau pedagang kaki lima menyelipkan celurit karena takut dipalak oleh para preman.

Komersialisasi kejahatan

 Lain halnya dengan senjata api yang sudah jelas-jelas hanya kalangan terbatas yang boleh menguasainya. Penguasaan senjata api relatif bisa ditekan oleh peraturan tertulis yang ada. Dari keterbatasan ini tampaknya ada oknum-oknum tertentu, entah disengaja atau tidak disengaja, mengalihkan sementara waktu senjata api miliknya ke preman-preman atau kelompok aksi kejahatan tertentu.

Lewat ‘pengalihan’ sementara waktu itu sang oknum menetapkan nilai bagi hasil dengan si preman atau kelompok aksi kriminal tertentu. Memang tidak selamanya sang oknum yang berbuat begitu, bisa saja anak sang oknum secara diam-diam mencuri senjata api yang disimpan di lacinya. Lantas, anak tadi ‘mengalihkan’ ke pihak lain. 

Pangkal persoalan lain yang turut menyuburkan kultur kekerasan di perkotaan sebagai embrio perilaku kriminal adalah munculnya oknum-oknum penguasa resmi memetik laba dari kelompok-kelompok aksi kejahatan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa para preman di perkotaan menyetor hasil pungutannya ke oknum penguasa resmi yang melindungi mereka.Pola hubungan kerja demikian mengakibatkan para pelaku kejahatan merasa kebal hukum. Sehingga, secara leluasa mereka beraksi tanpa pandang bulu.

Pada tahap berikutnya, warga masyarakat akan senantiasa dihantui rasa takut setiap sat menjadi korban kejahatan (fear of crime). Ketakutan itu ditambah lagi dengan pemberitaan media massa yang secara intens menjual komoditi kriminal kekhalayak pembacanya.

Mawas diri

Dalam kondisi kejahatan sudah menjadi komoditi, baik oleh media massa maupuan penguasa resmi, untuk mengembalikan rasa aman warga masyarakat tidak cukup sekadar dengan shock therapy seperti operasi-operasi pembersihan preman dan minuman keras. Operasi penertibanharus dilakukan secara terus-menerus.

Hal yang lebih penting lagi adalah upaya mawas diri penguasa resmi. Pasalnya, setiap kali kelompok aksi kejahatan hampir selalu mengungkap adanya upeti ke oknum pemilik kekuasaan resmi. Seorang pedagang di Blom M misalnya, menuturkan ia acap melihat ada oknum berseragammengutip imbalan dari para preman di kawasan ini (Kompas, 9 Maret 1995).

Lalu pertanyaannya adalah apakah oenggunaan kekuasaan secara resmi sudah proporsional? Seberapa banyak oknum-oknumnya yang terlibat dalam komersialisasi kejahatan? Dan, sanksi apa yang selayaknya dijatuhkan terhadap oknumnya yang berbuat begitu?
 
Menurut hemat penulis, bila upaya mawas diri ini diabaikan, sia-sialah upaya shock therapy yang dilakukan. Memang ada satu pangkal sebab utama, yakni kondisi ekonomi. Akibat krisis ekonomi yang menimbulkan pengangguran, sejumlah warga masyarakat yang menganggur dan kehilangan sumber penghasilan cenderung menggabungkan diri dengan rekan-rekan senasib. Dengan begitu memungkinkan dirancang dan dilakukannya aksi kriminal atau bentuk pelanggaran hukum lainnya. *** BN, artikel ini pernah dimuat oleh Harian Republika, 29 September 1995.

Comments

Popular posts from this blog

Kisah Seorang Preman Kupang (1)

Temuan Riset: Kepolisian dan Pemerintah Daerah Tidak Paham Apa itu Ujaran Kebencian