Preman dan Negara (3)
Basis-basis
Preman
Oleh Loren Ryter
Pengajar
dan Peneliti di Centre for Southeast Asian Studies,Universitas Michigan
Pada zaman Orde Baru, geng yang paling
terkenal buruk adalah mereka yang berasal dari barak militer. Kesimpulan umum
yang didapat bahwa geng di Jakarta yang paling ditakuti adalah mereka yang
berada di Barak militer ini karena paling kuat, paling kompak dan paling
dikenal suka melakukan tawuran, belum lagi dengan menggunakan senjata dan mobil
yang dimiliki oleh orang tua mereka yang tentara. Sebagai misal adalah Geng
Berlan, sekelompok anak muda yang ayahnya adalah tentara KNIL berpangkat
rendah, mereka berkumpul di kawasan Matraman yang dikenal dengan Barenlaan, daerah
ini melahirkan sekelompok pemuda yang disebut dengan “Bearland
Boys”, atau disebut pula “Berland
Boys”. Hal serupa dengan anak-anak dari tentara
berpangkat menengah yang tinggal di asrama Jalan Siliwangi dekat dengan
Lapangan Banteng menamakan dirinya sebagai “Siliwangi
Boys Complex”. Di Kebayoran terdapat geng yang
dinamakan “Radio Dalam Club” (RDC)
yang merupakan geng berbasis di kawasan kompleks angkatan laut.
Kawasan elit Menteng dan Kebayoran Baru juga
mempunyai gengnya sendiri yang disebut dengan “Legos” (Lelaku Goyang Senggol). Anggota “Legos” secara terbuka melibatkan dirinya ke dalam politik.
Anggotanya termasuk Mangara Siahaan, yang kemudian menjadi seorang politisi
senior PDI-P di bawah kepemimpinan Megawati. Pada tahun 1970-an dan 1980-an, ia
menjadi seorang aktor film yang mumpuni, dengan berperan sebagai seorang bandit
dan /gangster/ di beberapa film. Yulius Usman, yang kemudian menjadi salah satu
pengurus partai PUDI, sebuah partai kecil di akhir periode Orde Baru. Juga
bergabung dengan para anggota /Legos/ di Blok M.
Meskipun ia menolak bahwa ia pernah menjadi
anggota aktif di dalamnya. Anggota “Legos” lainnya adalah, Leo Tomasoa, yang menjadi salah satu tangan
kanan komando operasi Ali Moertopo, dan kemudian menjadi politisi Golkar.
Sedangkan geng yang paling ditakuti pada waktu
itu adalah “Siliwangi Boys Complex”,
yang bermarkas di kompleks Siliwangi Jakarta Pusat bisa dikatakan merupakan
partai yang sangat disegani karena berbasis di kawasan tentara. Geng ini
menjadi spesial karena dipimpin oleh Yapto Soerjosoemarno, yang kemudian
menjadi seorang pemimpin Pemuda Pancasila, sebuah posisi yang digenggamnya
lebih dari dua kali. Semua anggotanya merokok Dji Sam Soe, yang berlambang 2-3-4, dengan demikian geng ini dikenal
pula sebagai geng 234-SC. Mereka sangat antusias terhadap gelombang komunikasi
radio dimana masing-masing anggotanya mempunyai gelombang radio (handie talkie). Geng ini kemudian
dienyahkan oleh Try Sutrisno yang pada waktu itu memang tidak suka dengan
geng-geng berlindung di ketiak tentara.
Yapto merupakan individu yang unik karena
reputasinya terhadap kekerasan dan karena posisi ayahnya. Meski hampir semua
anggota “Siliwangi Boys Complex”
ayahnya berpangkat kolonel, ayah Yapto berpangkat Jenderal. Yapto seringkali
terlibat dalam perkelahian. Ketika ia masih di SMA, Yapto dituduh membunuh
seseorang di Jalan Surabaya, tapi ia sendiri tidak pernah dihukum.
Anggota Siliwangi mengatakan bahwa pembunuhnya
adalah anggota lain dari “Siliwangi Club”, namun Yapto yang mengaku bahwa itu adalah perbuatannya,
karena ia tahu bahwa ketika ia yang mengaku ia akan mudah dilepaskan. Selepas
kasus ini namanya semakin dihormati. Selain itu Yapto juga unik karena ibunya
adalah seorang Yahudi Belanda yang bertemu dengan ayahnya ketika tengah belajar
ilmu kartografi di Belanda dari beasiswa militer. Ibunya memberikan nama
Belanda, Jap dengan akhiran nama Jawa, to. Para ketua dan anggota Pemuda
Pancasila menganggapnya pintar karena ia adalah keturunan Yahudi. Saudara
perempuan Yapto adalah seorang penyanyi pada tahun 1970-an yang sering tampil
di berbagai klub malam. Sedangkan berbagai geng lainnya berbasis pada afiliasi kedaerahan,
seperti geng “Ams”, yakni geng
orang-orang Ambon yang bertempat di bangunan sekolah medis kuno STOVIA. “Pamors” (Padang-Manado Organization)
dan “Sartana” yang kebanyakan
adalah orang-orang Manado yang mengontrol kawasan baru pertokoan Sarinah-Tanah
Abang pada waktu itu. Geng-geng terakhir ini berbasis secara “etnis” karena banyak dari para anggotanya adalah para tokoh
terkemuka ABRI pada waktu itu ditempatkan di beberapa kawasan daerah seperti
Ambon, Padang dan Manado yang pada akhirnya mereka mengidentifikasi dirinya
dengan daerah tersebut.
(dalam: Etnohistori Edisional Jago, Preman & Negara, Juni-Juli 2011, http://etnohistori.org/edisional/jago-preman-dan-negara)
Comments
Post a Comment