Masyarakat dan Judi (1)
Perjudian
dalam Kajian Terdahulu
Oleh Suhadi Rembang
Tulisan
sederhana ini mengulas tentang kajian tindakan judi. Tulisan ini memuat tentang
asal-usul judi, judi dalam perspektif, faktor-faktor perjudian, mengenal
perjudian, perjudian politik, kontroversi judi, dan kendali perjudian.
Perjudian dalam kajian terdahulu ini dapat digunakan untuk studi literatur pada
rencana riset sosial. Penulis berpandangan, tindakan judi tidak semata-mata
dalam kategori patologi sosial yang harus diselesaikan dengan pendekatan
represif dan di meja hijau. Tindakan judi lebih jauh merupakan tradisi besar
yang selalu berkelindan dalam bejana sosial. Sehingga kita perlu masuk secara
mendalam agar tidak salah sasaran melangkah dalam menentukan apa dan bagaimana
dalam berinteraksi dengan tindakan perjudian. Kajian literatur ini
diperuntukkan bagi pengamat patologi sosial, mahasiswa jurusan pendidikan dan
ilmu sosial, dan para penegak hukum yang sering berhubungan dengan pengendalian
tindakan judi. Dengan pandangan tersebut, diharapkan pembaca dapat memandang
tindakan judi secara arif dan bijak. Semoga kajian literatur ini bermanfaat
untuk pembaca yang budiman.
Asal-usul judi
Menurut
Cohan (1964, dalam Papu, 2002), perjudian sudah ada sejak zaman prasejarah.
Perjudiaan bahkan seringkali dianggap seusia dengan peradaban manusia. Dalam
cerita Mahabarata dapat diketahui
bahwa Pandawa menjadi kehilangan kerajaan dan dibuang ke hutan selama 13 tahun gara-gara
kalah dalam permainan judi melawan Kurawa. Zaman Yunani kuno juga telah dikenal
judi, di mana para penjudi primitif dipahami sebagai para dukun yang membuat
ramalan ke masa depan dengan menggunakan batu, tongkat atau tulang hewan yang
dilempar ke udara dan jatuh ditanah.
Demikian
juga Alice Hewing (dalam Stanford & Susan, 1996, dalam Papu, 2002)
menceritakan sejarah judi. Menurut Alice Hewing, orang-orang Mesir kuno
memiliki kebiasaan menebak jumlah jari-jari dua orang berdasarkan angka ganjil
atau genap. Mereka melempar koin dan lotere, yang dipelajari dari Cina. Para
Raja seperti Nero dan Claudine menganggap permainan dadu sebagai bagian penting
dalam acara kerajaan. Pada abad ke 14, permainan kartu berisi 78 gambar hasil lukisan
yang sangat indah. Pada abad 15, Perancis mengurangi jumlah kartu menjadi 56
gambar.
Dari
uraian Cohan dan Alice Hewing tadi, ternyata tindakan judi telah berlangsung
sejak ada peradaban manusia ini dimulai. Lantas bagaimana dengan Indonesia?
Apakah tindakan judi juga telah lama ada? Jika ada, apa bentuk dari tindakan
judi itu? Siapa saja masyarakat pengikutnya? Dan bagaimana nasib dari tindakan
judi pada era kekinian ini? Sejarah judi di Indonesia dapat dilihat pada tabel
di bawah ini.
Sejarah Tindakan Judi Indonesia
Tahun Keterangan
1960 Lotre (Gubernur Jakarta Ali Sadikin)
1965 Lotre
dibubarkan
1968 Undian PON (Surabaya) Toto Koni
1974 Toto Koni dibubarkan
1974 Forecast (Mensos)
1985 Kupon berhadiah Forecast sepakbola
1986 Forecast 1 milyar
1987 Forecast menjadi KSOB (Kupon Sumbangan
Olahraga Berhadiah)
1988 TSSB (Tanda Sumbangan Berhadiah) Golkar &
PPP
1989 TSSB diganti SDSB (Sumbangan Dermawan Sosial
Berhadiah)
1993 SDSB ditutup
2003 Kupon Asuransi Berhadiah (Mensos)
Sumber:
Suara Merdeka, 19 Januari 2004,
dengan modifikasi dari berbagai sumber
Dari
studi dokumen dan modivikasi dari berbagai sumber, fenomena judi di Indonesia
terlihat kental dengan dunia olahraga dan aktivitas sosial. Bukti dokumentatif fenomena
judi di Indonesia ternyata ada relevansinya dengan sejarah tindakan judi yang
ada di dunia. Namun yang lebih penting menurut saya, apakah ada hubungan ketertinggalan
prestasi olahraga dan makmurnya ruang kemiskinan di Indonesia dengan tindakan
judi? Perlu studi lanjutan untuk mengungkap hal tersebut.
Judi dalam perspektif
Yang
dimaksud judi dalam perpektif adalah bagaimana dan makna tindakan judi itu.
Bagian tentang judi dalam perpektif ini mengulas tentang perspektif agama Islam
tentang perjudian, perspektif KUHP tentang perjudian, perspektif perjudian
menurut ahli, judi sebagai strategi bertahan hidup, dan judi sebagai ekspresi
simbolik kebudayaan. Dengan mengetahui berbagai perspektif ini, kita diharapkan
lebih jelas dalam mengenal tindakan perjudian. Kita akan lebih yakin dalam
bersikap dan bertindak ketika berinteraksi dengan tindakan judi yang tergelar
di masyarakat.
Dalam
hukum positif yang berlaku di Indonesia, baik yang diatur dalam KUHP maupun
yang diatur di luar KUHP seperti dalam UU No.7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian
dan PP No.9 Tahun 1981 tentang Pelaksanan UU No.7 Tahun 1974, kesemuanya
menetapkan perjudian itu sebagai kejahatan sehingga praktiknya perlu untuk
dicegah dan ditanggulangi. Upaya untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana
perjudian itu dapat dilakukan melalui upaya penal (sarana hukum pidana) maupun
upaya non-penal (sarana di luar hukum pidana).
Dalam
KUHP disebutkan dalam Pasal 303 Ayat 1, ''Dengan hukuman penjara selama-lamanya
sepuluh tahun atau denda sebanyak-banyak Rp25 juta, barangsiapa dengan tidak
berhak: (1.e) Menuntut pencaharian dengan jalan sengaja mengadakan atau memberi
kesempatan untuk main judi, atau sengaja turut campur dalam perusahaan main
judi. (2.e) Sengaja mengadakan atau memberi kesempatan untuk main judi kepada
umum, atau sengaja turut campur dalam perusahaan untuk itu, biarpun ada atau
tidak ada perjanjiannya atau caranya apapun juga untuk memakai kesempatan itu.
Dan (3.e.) Turut main judi sebagai mata pencaharian. Selanjutnya dalam Ayat 2
dinyatakan, kalau tersalah melakukan kejahatan perjudian dalam jabatannya ia
dapat dipecat dari jabatannya itu.”
Menurut
UU No. 7 Tahun 1974, memandang bahwa perjudian pada hakekatnya bertentangan
dengan agama, kesusilaan dan moral Pancasila, serta membahayakan bagi
penghidupan dan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Dengan demikian perlu
diadakan usaha-usaha untuk menertibkan perjudian, membatasinya sampai
lingkungan sekecil-kecilnya, untuk akhirnya menuju kepenghapusannya sama sekali
dari seluruh wilayah Indonesia.
Al Quran
sendiri membahasakan di dalam perjudian itu ada manfaatnya, tetapi dosanya
lebih besar (Surat Al-Baqarah: 219). Yang mengambil manfaat hanya beberapa
gelintir orang saja, yaitu para bandar dan pengecer, sementara masyarakat dan
para pecandunya, tidak ada yang menjadi kaya, mereka makin miskin dan rusak
keluarganya. Surat Al-Maidah ayat 90-91 juga menyebutkan bahwa perjudian itu
adalah pekerjaan setan, yang akan membawa permusuhan dan kebencian. Permusuhan
di antara para penjudi dan kebencian di kalangan keluarga mereka.
Dalam
pandangan Islam dengan berpedoman pada Al Quran, Hadis, al-Ijma dan
al-Qiyas, judi dengan berbagai
turunannya termasuk kategori perbuatan yang diharamkan. Al Quran surat Al-Maidah
ayat 90 yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum)
khamar, berjudi (berkorban untuk) berhala , mengundi nasib dengan anak panah
adalah perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan.”
Judi
dilarang karena dalam persepsi Islam dapat mendatangkan dua efek buruk.
Pertama, efek dalam dimensi sosial berupa permusuhan dan kebencian. Kedua, efek
dalam dimensi agama berupa menghalang-halangi upaya seseorang untuk mengingat
Tuhannya dan menegakkan shalat. Itulah konsep normatif mengenai judi dalam
Islam. Bagaimana dengan perpektif lintas agama dalam memandang tindakan judi?
Bagaimana agama Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, dan beberapa keyakinan
kepercayaan yang lain dalam memandang tindakan judi? Perlu kajian literatur
lanjutan agar kajian ini menjadi lengkap dan mendekati sempurna.
Lantas
bagaimana para ahli memandang tindakan judi?
Menurut Siem (1988;131), berjudi sebagai kegiatan rekreatif yang
terlarang. Papu (2002) mendefinisikan perjudian sebagai perilaku yang
melibatkan adanya risiko kehilangan sesuatu yang berharga dan melibatkan
interaksi sosial serta adanya unsur kebebasan untuk memilih apakah akan
mengambil risiko kehilangan tersebut atau tidak.
Perjudian
(gambling) dalam kamus Webster didefinisikan
sebagai suatu kegiatan yang melibatkan elemen risiko. Dan risiko didefinisikan
sebagai kemungkinan terjadinya suatu kerugian. Sementara Robert Carson &
James Butcher (1992) dalam buku Abnormal
Psychology and Modern Life,mendefinisikan perjudian sebagai memasang
taruhan atas suatu permainan atau kejadian tertentu dengan harapan memperoleh
suatu hasil atau keuntungan yang besar. Apa yang dipertaruhkan dapat saja
berupa uang, barang berharga, makanan, dan lain-lain yang dianggap memiliki
nilai tinggi dalam suatu komunitas.
Definisi
serupa dikemukakan oleh Stephen Lea, dkk dalam buku The Individual in the Economy, A Textbook of Economic Psychology
(1987). Menurut mereka perjudian tidak lain dan tidak bukan adalah suatu
kondisi di mana terdapat potensi kehilangan sesuatu yang berharga atau segala
hal yang mengandung risiko. Namun demikian, perbuatan mengambil risiko dalam
perilaku berjudi, perlu dibedakan pengertiannya dari perbuatan lain yang juga
mengandung risiko. Ketiga unsur di bawah ini mungkin dapat menjadi faktor yang
membedakan perilaku berjudi dengan perilaku lain yang juga mengandung risiko:
• Perjudian
adalah suatu kegiatan sosial yang melibatkan sejumlah uang (atau sesuatu yang
berharga) dimana pemenang memperoleh uang dari yang kalah.
• Risiko
yang diambil bergantung pada kejadian-kejadian dimasa mendatang, dengan hasil
yang tidak diketahui, dan banyak ditentukan oleh hal-hal yang bersifat
kebetulan/keberuntungan.
• Risiko
yang diambil bukanlah suatu yang harus dilakukan; kekalahan/kehilangan dapat
dihindari dengan tidak ambil bagian dalam permainan judi.
Dari
hasil penelitiannya di sebuah desa di Jawa Timur, antropolog Denmark Sven
Cederroth (1995: 170, 194-200) menemukan bahwa akar dari ‘kebiasaan buruk’
berjudi ini dekat ke persoalan ‘siasat-siasat untuk bertahan hidup’ (strategies for survival) yang
menunjukkan betapa beratnya persaingan memasuki saluran-saluran sempit
penghidupan ‘halal’ yang disesaki para pencari nafkah pedesaan.
Geertz
juga pernah meneliti tentang tindakan judi yang dicetak menjadi buku yang
terkenal ''Sabung Ayam di Bali''.
Baginya, judi merupakan realitas sosial yang amat rumit, sebab ia menggambarkan
ekspresi simbolik yang mencerminkan kebudayaan masyarakatnya.
Andrianto,
dalam tesisnya yang berjudul Perjudian
Sabung Ayam di Bali, menemukan tindakan perjudian sabung ayam di Bali
semata-mata terjadi profanisasi nilai-niiai sakral prosesi keagamaan tajen tabuh rah menjadi bentuk perjudian
sabung ayam oleh para penjudi. Profanisasi nilai-nilai sakral oleh para penjudi,
yang berbentuk perjudian sabung ayam, menurut temuan Andrianto, telah menjadi
lahan oknum polisi untuk mengutip uang sehingga menjadi hubungan patron-klien
antara oknum polisi dan penyelenggara perjudian sabung ayam. Berdasarkan
pelacakan arti tindakan judi dari berbagai perspektif di atas, lantas bagaimana
kita dalam menyikapi dan bentindak seperti apa dan bagaimana?
Faktor-faktor Pendorong Perjudian
Apa
saja yang mendorong tindakan judi tumbuh subur dalam masyarakat kita? Siapa
saja yang terlibat? Bagaimana polanya? Bagaimana keberlangsungan dari tindakan
judi tersebut? Beberapa kajian terdahulu telah melaporkan bahwa terdapat ragam
pendorong terjadinya tindakan judi. Beberapa faktor tersebut diantaranya;
program industrialisasi, pembukaan hutan perawan dan perjudian, penyebab
kejahatan di era globalisasi , faktor pendorong berjudi menurut ahli, faktor
pendorong berjudi menurut DSM-IV Screen,
kajian Marx tentang perjudian, serta judi dan sekadar mengisi waktu
luang.
Dalam
dokumen majalah Tempo pernah mengulas
tentang asal-usul tindakan judi. Judi merupakan salah satu dari tindakan sosial
yang sebabkan hilangnya kegiatan produksi pertanian karena lahan tani digunakan
untuk lahan industri. Mereka yang dahulu hidup tenang dan berkecukupan, kemudian
mengalami krisis akan ketiadaan proses produksi tani. Urbanisasi sebagai
pilihan yang kemudian memaksa mereka berinteraksi dengan tindakan-tindakan yang
dikategorikan sebagai bagian dari patologi sosial. Beberapa orang melakukan dan
memilih tindakan judi karena mereka dihantui oleh masa depan yang suram
tindakan judi kemudian dijadikan jalan pintas untuk menggapai masa depan yang
terang.
Marzali
(2005;29) melaporkan dalam studinya bahwa pembukaan hutan untuk arena komersial
juga menjadi penyebab maraknya tindakan kejahatan di antaranya penyebaran
tradisi perjuddian, perkelahian, pembunuhan dan pelacuran yang mana menurut Marzali
telah memporakporandakan tradisi lokal yang hidup berdampingan dengan alam dan
antara sesama anggota masyarakat.
Menurut
Tia (2009), kejahatan di era globalisasi dipengaruhi oleh tiga hal yaitu faktor
modernisasi, sistem dunia, dan kesempatan. Menurut Tia, modernisasi dengan
pembangunan berdampak munculnya kejahatan internal (dari dalam) tanpa melihat
waktu dan tempat. Begitu halnya dalam sistem dunia, kejahatan dipandang muncul
karena hasil pengaruh-pengaruh eksternal (dunia) dalam hubungannya dengan
perubahan ekonomi politik. Selanjutnya faktor juga dipandang menciptakan
kejahatan sebagai cerminan mencampur-adukan lingkungan dan sumber daya material
(internal dan eksternal).
Menurut
para ahli (dalam Papu, 2002) diperoleh 5 (lima) faktor yang amat berpengaruh
dalam memberikan kontribusi pada perilaku berjudi. Kelima faktor tersebut
adalah:
·
Faktor Sosial & Ekonomi
Bagi
masyarakat dengan status sosial dan ekonomi yang rendah perjudian seringkali
dianggap sebagai suatu sarana untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Tidaklah
mengherankan jika pada masa undian SDSB di Indonesia zaman orde baru yang lalu,
peminatnya justru lebih banyak dari kalangan masyarakat ekonomi rendah seperti
tukang becak, buruh, atau pedagang kaki lima. Dengan modal yang sangat kecil
mereka berharap mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya atau menjadi kaya
dalam sekejab tanpa usaha yang besar. Selain itu kondisi sosial masyarakat yang
menerima perilaku berjudi juga berperan besar terhadap tumbuhnya perilaku
tersebut dalam komunitas.
·
Faktor Situasional
Situasi
yang bisa dikategorikan sebagai pemicu perilaku berjudi, di antaranya adalah
tekanan dari teman-teman atau kelompok atau lingkungan untuk berpartisipasi
dalam perjudian dan metode-metode pemasaran yang dilakukan oleh pengelola
perjudian. Tekanan kelompok membuat sang calon penjudi merasa tidak enak jika
tidak menuruti apa yang diinginkan oleh kelompoknya. Sementara metode pemasaran
yang dilakukan oleh para pengelola perjudian dengan selalu mengekspose para
penjudi yang berhasil menang memberikan kesan kepada calon penjudi bahwa
kemenangan dalam perjudian adalah suatu yang biasa, mudah dan dapat terjadi pada
siapa saja (padahal kenyataannya kemungkinan menang sangatlah kecil). Peran
media massa seperti televisi dan film yang menonjolkan keahlian para penjudi
yang "seolah-olah" dapat mengubah setiap peluang menjadi kemenangan
atau mengagung-agungkan sosok sang penjudi, telah ikut pula mendorong individu
untuk mencoba permainan judi.
·
Faktor Belajar
Sangatlah
masuk akal jika faktor belajar memiliki efek yang besar terhadap perilaku
berjudi, terutama menyangkut keinginan untuk terus berjudi. Apa yang pernah
dipelajari dan menghasilkan sesuatu yang menyenangkan akan terus tersimpan
dalam pikiran seseorang dan sewaktu-waktu ingin diulangi lagi. Inilah yang
dalam teori belajar disebut sebagai Reinforcement
Theory yang mengatakan bahwa perilaku tertentu akan cenderung
diperkuat/diulangi bilamana diikuti oleh pemberian hadiah/sesuatu yang
menyenangkan.
·
Faktor Persepsi tentang
Probabilitas Kemenangan
Persepsi
yang dimaksudkan di sini adalah persepsi pelaku dalam membuat evaluasi terhadap
peluang menang yang akan diperolehnya jika ia melakukan perjudian. Para penjudi
yang sulit meninggalkan perjudian biasanya cenderung memiliki persepsi yang
keliru tentang kemungkinan untuk menang. Mereka pada umumnya merasa sangat
yakin akan kemenangan yang akan diperolehnya, meski pada kenyataannya peluang
tersebut amatlah kecil karena keyakinan yang ada hanyalah suatu ilusi yang
diperoleh dari evaluasi peluang berdasarkan sesuatu situasi atau kejadian yang
tidak menentu dan sangat subyektif. Dalam benak mereka selalu tertanam pikiran:
"kalau sekarang belum menang pasti di kesempatan berikutnya akan menang,
begitu seterusnya".
·
Faktor Persepsi terhadap Keterampilan
Penjudi
yang merasa dirinya sangat trampil dalam salah satu atau beberapa jenis
permainan judi akan cenderung menganggap bahwa keberhasilan/kemenangan dalam
permainan judi adalah karena ketrampilan yang dimilikinya. Mereka menilai
ketrampilan yang dimiliki akan membuat mereka mampu mengendalikan berbagai
situasi untuk mencapai kemenangan(illusion
of control). Mereka seringkali tidak dapat membedakan mana kemenangan yang
diperoleh karena ketrampilan dan mana yang hanya kebetulan semata. Bagi mereka
kekalahan dalam perjudian tidak pernah dihitung sebagai kekalahan tetapi
dianggap sebagai "hampir menang", sehingga mereka terus memburu
kemenangan yang menurut mereka pasti akan didapatkan.
Adapun
kriteria individu yang dapat digolongkan sebagai penjudi yang patologis menurut
DSM-IV Screen (alat yang digunakan untuk mengukur tingkatan penjudi) adalah
jika individu tersebut menunjukkan 5 (lima) faktor atau lebih dari
faktor-faktor sebagai berikut:
Preoccupation
|
Terobsesi
dengan perjudian (contoh sangat terobsesi untuk mengulangi pengalaman berjudi
yang pernah dirasakan dimasa lalu, sulit mengalihkan perhatian pada hal-hal
lain selain perjudian, atau secara khusuk memikirkan cara-cara untuk
memperoleh uang melalui perjudian)
|
Tolerance
|
Kebutuhan
untuk berjudi dengan kecenderungan meningkatkan jumlah uang (taruhan) demi
mencapai suatu kenikmatan/kepuasan yang diinginkan
|
Withdrawal
|
Menjadi
mudah gelisah dan mudah tersinggung setiapkali mencoba untuk berhenti berjudi
|
Escape
|
Menjadikan
perjudian sebagai cara untuk melarikan diri dari berbagai masalah hidup atau
perasaan yang kurang menyenangkan (contoh Perasaan bersalah, ketidak-berdayaan,
cemas, depresi, sedih)
|
Chasing
|
Setelah
kalah berjudi, cenderung kembali berjudi lagi untuk mengejar kemenangan
supaya memperoleh titik impas
|
Lying
|
Berbohong
kepada anggota keluarga, konselor atau terapist atau orang lain tentang
keterlibatan dirinya dalam perjudian
|
Loss
of control
|
Selalu
gagal dalam usaha mengendalikan, mengurangi atau menghentikan perilaku
berjudi
|
Illegal
acts
|
Terlibat
dalam tindakan-tindakan melanggar hukum, seperti penipuan, pencurian,
pemalsuan, dsb, demi menunjang biaya finansial untuk berjudi
|
Risked
significant relationship
|
Membahayakan
atau menyebabkan rusaknya hubungan persahabatan dengan orang-orang yang
sangat berperan dalam kehidupan, hilangnya pekerjaan, putus sekolah atau
keluarga menjadi berantakan, atau kesempatan berkarir menjadi hilang
|
Bailout
|
Mengandalkan
orang lain untuk memberikan uang kepada dirinya ataupun keluarganya dalam
rangka mengurangi beban finansial akibat perjudian yang dilakukan
|
Sumber: Papu, 2002
Menurut Marx (dalam Mulyanto dan Putut), perjudian
dikategorikan sebagai golongan lumpenproletar.
Lumpenproletar mencakup semua orang
yang terdepak dari hubungan-hubungan produksi pokok.
Kajian yang dilakukan Budi dan Evi (2005) tentang
kegiatan pengisi waktu luang bagi anggota penduduk Surabaya Timur yang berusia
40-60 tahun. Dalam penelitiannya ditemukan bahwa penduduk Surabaya Timur
memiliki tradisi berjudi di tempat perjudian yang legal seperti di luar negeri,
suatu area shopping seperti di
Orchard Road di Singapura.
Mengenal
perjudian
Bagaimana kita dapat mengenali tindakan judi?
Apakah dalam tindakan judi terdapat tingkatannya? Apa saja jenis dari tindakan
judi? Lantas apa saja jenis-jenis tindakan judi dalam perspektif KUHP? Serta
apa saja bentuk manivestasi tindakan judi dalam masa kini dan perkembangan
tindakan judi itu sendiri.
Menurut Papu (2002) pada dasarnya ada tiga
tingkatan atau tipe penjudi, yaitu:
Social
Gambler
Penjudi tingkat pertama, yaitu penjudi yang
sekali-sekali pernah ikut membeli lottery
(kupon undian), bertaruh dalam pacuan kuda, bertaruh dalam pertandingan bola,
permainan kartu atau yang lainnya. Penjudi tipe ini pada umumnya tidak memiliki
efek yang negatif terhadap diri maupun komunitasnya, karena mereka pada umumnya
masih dapat mengontrol dorongan-dorongan yang ada dalam dirinya. Perjudian bagi
mereka dianggap sebagai pengisi waktu atau hiburan semata dan tidak
mempertaruhkan sebagian besar pendapatan mereka ke dalam perjudian.
Problem
Gambler
Penjudi tingkat kedua, yaitu perilaku berjudi yang
dapat menyebabkan terganggunya kehidupan pribadi, keluarga maupun karir,
meskipun belum ada indikasi bahwa mereka mengalami suatu gangguan kejiwaan (National Council on Problem Gambling USA,
1997). Para penjudi jenis ini seringkali melakukan perjudian sebagai cara untuk
melarikan diri dari berbagai masalah kehidupan. Penjudi bermasalah ini
sebenarnya sangat berpotensi untuk masuk ke dalam tingkatan penjudi yang paling
tinggi yang disebut penjudi pathologis jika tidak segera disadari dan diambil
tindakan terhadap masalah-masalah yang sebenarnya sedang dihadapi.
Pathological
Gambler
Penjudi tingkat ketiga adalah ketidak-mampuannya
melepaskan diri dari dorongan-dorongan untuk berjudi. Mereka sangat terobsesi
untuk berjudi dan secara terus-menerus terjadi peningkatan frekuensi berjudi
dan jumlah taruhan tanpa dapat mempertimbangkan akibat-akibat negatif yang
ditimbulkan oleh perilaku tersebut, baik terhadap dirinya sendiri, keluarga,
karir, hubungan sosial atau lingkungan disekitarnya.
PP Nomor 9 Tahun 1981 melarang perjudian di tempat
kasino dan tempat-tempat keramaian. Jenis perjudian di Kasino yang dilarang
antara lain terdiri dari: 1) Roulette, Blackjack, Baccarat, Creps, Keno,
Tombola, Super Ping-pong, Lotto Fair; Satan, Paykyu, Slot machine (Jackpot), Ji
Si Kie, Big Six Wheel, Chuc a Luck, Lempar paser/bulu ayam pada sasaran atau
papan yang berputar (Paseran), Pachinko, Poker, Twenty One, Hwa-Hwe, dan
Kiu-kiu. Selanjutnya perjudian di tempat-tempat keramaian yang dilarang, antara
lain; Lempar paser atau bulu ayam pada papan atau sasaran yang tidak bergerak,
Lempar Gelang, Lempar Uang (Coin), Kim, Pancingan, Menembak sasaran yang tidak
berputar; Lempar bola, Adu ayam, Adu sapi, Adu kerbau, Adu domba/kambing, Pacu
kuda, Karapan sapi, Pacu anjing, Hailai, Mayong/Macak, Erek-erek. Namun
kebiasaan yang bersangkutan dengan upacara keagamaan, tidak dilarang, sepanjang
hal itu tidak merupakan perjudian.
Amirudin (dalam Suara Merdeka, 2003) mengatakan hingga dewasa ini bentuk
manivestasi dari perjudian belum menemukan titik temu. Mulai dari togel hingga
kuda lari merupakan bentuk manivestasi perjudian yang belum selesai. Menurut
Amirudin perjudian didukung oleh kehidupan materialistis serta perkembangan
kebudayaan industri yang makin spektakuler. Dengan demikian konsep normatif
perjudian yang telah ada semakin lemah.
Berdasarkan penelitian terkini yang dilakukan
Hermidi, dkk (2000) kejahatan di perumahan real estate dikategorikan menjadi dua yaitu kejahatan
konvensional dan kejahatan pelanggaran hukum positif. Kejahatan konvensional di
antaranya; pencurian, penggelapan, penipuan, penganiayaan, perzinahan.
Selanjutnya kejahatan dengan kategori hukum positif yaitu mabuk di tempat umum
dan pengemisan.
Dalam penyelesaian masalah kejahatan di perumahan
real estate, menurut kajian di atas tidak mudah dilakukan. Hal ini dikarenakan
terjadi benturan heterogenitas dalam berbagai aspek seperti, pendidekan, sikap
budaya, sosial, ekonomi, dan kompleksitas permasalahan yang ada.
Menurut kajian di atas, dalam menanggulangi
kejahatan di perumahan real estate yaitu dengan cara integrasi politk kebijakan
dan politik sosial serta keterpaduan antara upaya penangulangan kejahatan
dengan sarana penal dan non-penal. Sasaran utama dalam penanggulangan di atas
yaitu menekankan faktor kondusifitas
yang berpusat pada masalah-maslaah atau kondisi-kondisi sosial yang secara
langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan.
Perilaku judi juga terjadi di Surabaya. Judi togel dan judi bola via internet
dan SMS beromset Rp 200 juta per minggu (Kompas, 16 Desember 2009).
Perjudian
politik
Jika pada bagian di atas diulas tentang olahraga
dan kegiatan sosial yang dekat dengan dunia tindakan judi, lantas apakah
tindakan judi juga dekat dengan tindakan politik? Apakah tindakan judi juga
sangat dekat dengan dunia polisi? Atau bahkan hasil dari tindakan perjudian di
jalanan sebagai soko guru kepolisian?
Judi juga terjadi dalam pesta demokrasi pemilihan
kepala desa dan bupati. Mereka datang ke desa yang menggelar pilkades jauh-jauh
hari sebelum pilihan itu dilakukan, hal ini untuk mencari informasi calon mana
yang lebih kuat dan nanti akan menjadi jagonya ketika taruhan itu dibuka
seiring dengan dilangsungkannya pilkades. Jumlah petaruh yang datang di setiap
ajang pilkades mencapai puluhan orang, dari yang bermodal ratusan ribu, jutaan,
puluhan juta dan ada juga bentuk barang seperti sepeda motor atau mobil.
Seperti halnya pilkades di Kabupaten Demak yang
berlangsung hari Minggu tanggal 29 November yang lalu dan digelar di 54 desa.
Jika dihitung setiap ajang ada 100 orang petaruh, maka akan menjadi ribuan
orang jumlahnya. Jika setiap ajang pilkades uang petaruh yang beredar ada 100
juta rupiah, misalnya, maka jumlah uang yang berputar dalam ajang taruhan itu
ada puluhan milyar.
Mencegah pembubaran perjudian oleh aparat
kepolisian adalah salah satu tugas pokok dari preman bagi penyewanya. Bila ada
pihak dari oknum kepolisian setempat mendatangi tempat perjudian, preman yang
sedang berjaga akan memberi tanda kepada bandar besar bahwa ada tamu datang.
Jika tamu berniat membubarkan kegiatan berjudi, maka ketua preman akan
mengajukan tawaran-tawaran damai. Pertama-tama bisa diajukannya sejumlah uang
sebagai tanda perdamaiannya. Bila tamu menerima tawaran damai sejumlah 100 ribu
rupiah, maka preman tersebut akan meminta kepada bandar besar sejumlah 150
ribu. Kelebihannya dipakai untuk jaga-jaga bila aparat keamanan meminta
rokok. Jika ada kepala kantor polisi
atau komandan markas tentara yang pindah tugas, perkumpulan preman juga harus
menyiapkan kenang-kenangan seperti sarung, kopyah, dan sajadah. Pada saat
pertemuan Hari Bhayangkara di kantor polisi, perkumpulan preman juga wajib
mencarikan dana ‘bantuan’ untuk mengongkosi pertunjukan orgen tunggal.
Kontroversi
judi
Maraknya tindakan judi, apakah ada hubungannya
dengan akar judi yang telah mentradisi?
Apakah tindakan judi dilindungi karena memasok pendapatan Negara? Apa dasarnya bagi golongan yang sepakat
tindakan judi dilegalkan dan sebaliknya apa dasarnya tindakan judi
diberhanguskan?
Menurut Mulyanto dan Putut, etnis Jawa telah
memiliki tradisi perjudian yang kuat. Dalam penelitian di Banyumas Jawa Tengah,
permainan judi di pedesaan Jawa di antaranya; taruhan pada pertandingan
olahraga, balap merpati, sabung ayam, judi dadu, maen kartu. Dalam alam pikiran
Jawa, bermain judi (main), merupakan salah satu dari lima kegiatan haram
(molimo). Selain bermain judi, kegiatan haram lainnya adalah maling (mencuri),
madat (menyandu), dan minum (mabuk-mabukan) dan madon (melacur). Molimo
merupakan kegiatan rekreatif yang terlarang sekaligus sumber-sumber penghidupan
‘tidak wajar’ yang lama dikenal dalam masyarakat Jawa. Dalam hasil penyelidikan
sejarahnya tentang para buruh tambang di Sawahlunto, Erwiza Erman (2002: 10)
menemukan bahwa berjudi, gamelan, dan opium merupakan tiga serangkai hiburan
utama di kalangan buruh tambang (laki-laki) asal Jawa.
Dalam laporan dari Suara Merdeka; Senin, 19 Januari 2004 tentang pendapatan Negara dari
tindakan judi adalah sebagai berikut:
Pendapatan
Undian Lotre
Thn 1986 Porkas Rp11 miliar
Untuk KONI Pusat Rp1,5 miliar
KONI daerah Rp4,5 miliar
PSSI Pusat Rp1,4 miliar
Kantor Menpora Rp 250 juta
Asian Games X Seoul Rp250 juta
Administrasi Rp9 miliar
didepositokan sebagai "dana abadi" Rp4
miliar
Thn 1987 SOB Rp221,2 miliar.
Pajak penghasilan
1986 Rp2 miliar
1987 Rp3 miliar
1988 Rp4 miliar
tahun-tahun berikutnya Rp8 miliar
1991 Rp25,4 miliar.
Sumber: Suara
Merdeka, Senin, 19 Januari 2004
Ainuttijar (2007) dalam blogspot-nya melaporkan perjudian telah dilakukan terang-terangan,
namun pendapatan dan devisa perjudian dinikmati seseorang. Namun di sisi lain
pemerintah butuh biaya untuk penertiban perjudian. Berdasarkan pandangan di atas,
Ainuttijar berpandangan bahwa legalisasi judi adalah solusi terbaik.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU
Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian. Menguji pasal 303 ayat (1),
(2), dan (3), pasal 303 ayat (1), (2) KUHP dan pasal 1, pasal 2, pasal 3, pasal
4, pasal 5 UU No.7 tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian yang dinilainya
membatasi hak asasi manusia.
Tidak setuju dengan program SDSB, tahun 2009,
Kemsos telah galang dana masyarakat berdasarkan UU Kessos No 11/2009. Pada
tahun 2009 terkumpul Rp 119 miliar digunakan untuk menangani resiko sosial
(Permenkeu no 40/PMK.05/2009 & Permensos no 15/HUK/2009) sumber: detikcom,
03 Juli 2010 jam 13:27 wib.
Budaya judi nampaknya sudah merasuk dan merusak
moral bangsa. Seandainya togel hilang, apakah tidak semakin marak jenis
perjudian tradisional, seperti dadu kopyok, sabung ayam,domino dan sebagainya.
Kemungkinan besar bisa terjadi dan judi tradisional ini biasanya dilakukan
secara sembunyi-sembunyi, sehingga sulit dideteksi. Pada umumnya dilakukan
ketika hajatan dengan dalih sebagai cagak melek
Kendali
perjudian
Lantas apa saja tindakan yang dilakukan untuk
mengendalikan tindakan judi di Indonesia? Bagaimana kendalam dalam melakukan
mengendalikan tindakan judi selama ini, ada saja faktor yang menghambat
pengendalian tindakan judi? dan mengapa orang-orang korban sanksi tindakan judi
memiliki hubungan erat antara satu dengan lainnya.
Menurut Hardiansyah (2009), pemberantasan
perjudian terkendala. Masyarakat tidak memberikan informasi apabila ada
perjudian, pengelola tempat-tempat hiburan tidak kooperatif, sehingga operasi
pemberantasan perjudian seringkali gagal dan adanya oknum aparat dan pejabat
yang melindungi kegiatan perjudian.
Menurut Azis (2007) terdapat empat faktor yang
menyebabkan aktivitas perjudian sulit diberantas. Pertama, perjudian bagi etnik
tertentu merupakan suatu tradisi, sehingga meskipun dilarang mereka tetap akan
melakukan judi baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang–terangan. Tradisi
judi seperti etnik Tionghoa, Bali, Batak dan Manado, prilaku berjudi identik
dengan tradisi kebiasaan sehingga tidak lekang dengan perkembangan jaman.
Kedua, keterbatasan dari aparat penegak hukum baik dari sisi jumlah personil
maupun mental dan moralitasnya, sehingga pengawasan dan penertiban menjadi
lemah. Bisnis judi beromzet besar justru dibekingi oleh aparat penegak hukum.
Ketiga, sangat sulit untuk mendapatkan saksi, karena pada umumnya para saksi-saksi
merupakan orang-orang yang mempunyai ikatan bisnis perjudian tersebut. Keempat,
cukong-cukong selain dibentengi oleh orang penting juga tergabung dalam suatu
jaringan dengan struktur organisasi yang tersusun rapi, sehingga yang berhasil
dijaring aparat hanya bandar-bandar kecil.
Menurut Mustofa (2009,) kejahatan secara
individual dapat berhubungan dengan tidak dinikmatinya kesejahteraan sosial
dalam berbagai aspek, dan kemudian mendorong untuk dilakukannya tindakan
kejahatan yang merugikan pihak lain (korban). Namun, bila ditelisik lebih
lanjut, pelaku kejahatan individual yang menghuni penjara, pada umumnya
mempunyai ciri yang serupa dengan korbannya, kaum yang terpinggirkan dari
kesempatannya untuk menikmati kesejahteraan sosial.
Sumber Rujukan
Hermidi,
Budi dan Purwoto dan RB Sularto. 2000. Tipologi
Kejahatan Perkotaan di Daerah Lingkungan Permukiman Real Estate Kodia Semarang
(Studi Kasus Di Kodia Semarang). Laporan penelitian. Universitas
Diponegoro. Fakultas Hukum.
Marzali,
Amri. 1995. Dampak Dari Komersialisasi
Hutan Alam Terhadap Masyarakat Daerah. Dalam jurnal antropologi sosial budaya etnovisi. Edisi 01. tahun I.
juni 2005.
Budi
dan Evi. 2005. Kegiatan pengisi waktu
luang bagi anggota penduduk Surabaya Timur yang berusia 40-60 tahun. Dalam
tugas akhir. Universitas Kristen Petra, Surabaya.
Geertz,
Cliffords. Sabung Ayam di Bali.
Aziz.
2007. Kegiatan Perjudian sebagai
Predicate Offence Tindak Pidana Pencucian Uang Dalam Sistem Hukum Pidana
Indonesia. Dalam Disertasi. Bandung Fakultas Hukum Universitas Padjajaran.
Cederroth,
Sven. 1995. Survival and Profit in Rural
Java: The Case of an Javanese Village. Nordic Institute of Asian Studies
Monograph Series, No. 63. Richmond, Surey: Curzon Press.
Erwiza,
Erman. 2002. Hidden Histories: Gender,
Family and Community in the Ombilin Coalmines (1892-1965). Amsterdam:
IIAS/IISG, CLARA Working Paper, No. 13.
Koentjaraningrat.
1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: PN.
Balai Pustaka, Jakarta.
Siem,
Tjan Tjoe. 1988. Permainan Kartu Jawa.
A. Ikram (ed.) Bunga Rampai
UU No.
7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian
Pelaksanaan
Penertiban Perjudian (Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 Tanggal 14 Maret
1981).
Surat kabar:
Analisis Berita Dari Porkas
sampai SDSB.
Dalam Suara Merdeka; Senin, 19
Januari 2004
Amirudin.
2003. Pergeseran Konsep Normatif Judi.
Dalam Suara Merdeka, Sabtu, 25
Oktober 2003
Mensos:
Masih Banyak Potensi untuk Galang Dana Selain dari Judi. Dalam detikcom, Sabtu,
03/07/2010 13:27 WIB.
Hardiansyah,
Tri. 2009. Peranan Aparat Kepolisian
Dalam Pemberantasan Tidak Pidana Perjudian di Kota Bengkulu. Universitas
Hukum. Universitas Bengkulu.
Internet:
Tia.
2009. Kejahatan dan Pengendalian
Kejahatan di Era Globalisasi: Kajian Teoritis. Dalam http://materibelajar.wordpress.com/2009/06/25/kejahatan-dan-pengendalian-kejahatan-di-era-globalisasi-kajian-teoritis/.
Diunduh pada tanggal 6 September 2010
Mustofa,
Muhammad. 2009. Kesejahteraan dalam
Kajian Kriminologi. Dalam http://www.suarapembaruan.com/News/2009/10/14/Jabotabek/jab07.htm.
Diunduh pada tanggal 16 September 2010.
Legalisasi Judi Adalah Solusi
Terbaik. Dalam http://ainuttijar.blogspot.com/2010/07/legalisasi-judi-adalah-solusi-terbaik.html.
diunduh pada tanggal 16 September 2010
Papu,
Johanes.2002. Perilaku Berjudi. Dalam
http://www.e-psikologi.com/epsi/sosial_detail.asp?id=278. Diunduh pada tanggal
16 September 2010
Papu,
Johanes. 2002. Sejarah & Jenis Perjudian. Jakarta. Dalam
http://www.e-psikologi.com/epsi/Sosial_detail.asp?id=279. Diunduh pada tanggal
16 September 2010
Andrianto,
Hendrik. Perjudian Sabung Ayam di Bali.
Tesis. Dalam http://www.digilib.ui.ac.id//opac/themes/libri2/detail.jsp?id=73405&lokasi=lokal.
Diunduh pada tanggal 16 September 2010.
Mulyanto,
Dede dan Putut A. Saputro. Permainan Judi
di Pedesaan Jawa: Studi Kasus dari Sebuah Desa Tepi Jalan di Banyumas Jawa
Tengah. Dalam http://www.akatiga.org/index.php/artikeldanopini/agraria/119-permainan-judi.
Diunduh pada tanggal 13 September 2010.
Mulyanto, Dede dan Putut A. Saputro. Preman Kampung: Studi Kasus dari Sebuah Desa
Tepi Jalan di Banyumas Jawa Tengah. Dalam http://www.akatiga.org/index.php/artikeldanopini/agraria/118-preman-kampung.
Diunduh pada tanggal 16 September 2010
Situs judi kartu poker online menggunakan uang asli dan terpercaya serta memiliki fitur yang sangat cangih dan menarik.
ReplyDelete~ 100% Fairplay Player vs Player. NO ROBOT & ADMIN.
~ Bonus berlimpah yang dibagikan setiap harinya kedalam akun ID anda.
~ Bonus Referal 15% otomatis langsung masuk ke akun anda.
~ Proses Deposit & Withdraw tercepat.
~ Deposit & Withdraw didukung oleh 6 bank lokal MANDIRI, BCA, BNI, BRI dan DANAMON.
~ Didukung oleh Customer Service terbaik, berpengalaman, sopan, ramah dan cantik.
Menyediakan 8 permainan dalam 1 user ID :
*ADU Q
*BANDAR POKER
*BANDAR Q
*CAPSA SUSUN
*DOMINO 99
*POKER ONLINE
*SAKONG
*BANDAR 66 (NEW)
Contact us :
WA: 0812.2222.996
BBM : PKRVITA1 (HURUF BESAR)
Wechat: pokervitaofficial
Line: vitapoker
JADWAL SABUNG TERLENGKAP agen adu ayam terbesar sejak 2014