Temuan Riset: Kepolisian dan Pemerintah Daerah Tidak Paham Apa itu Ujaran Kebencian


Tindakan kriminal berbasis agama dan etnis yang terjadi di berbagai lokasi di Indonesia diyakini tidak terjadi secara spontan. Aksi itu biasanya diawali karena tersulut pernyataan tokoh-tokoh berpengaruh yang berhasil menyebarkan dan menanamkan kebencian terhadap kelompok lain yang berbeda.
Pola itu dapat dibaca atas apa yang menimpa anggota Jemaat Ahmadiyah dalam 10 tahun terakhir, misalnya. Sikap intoleransi, diskriminasi, bahkan persekusi terhadap anggota Jemaat Ahmadiyah kerap dipicu karena ujaran kebencian, baik berupa fatwa sesat dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) maupun ceramah di mimbar agama.
Meski relasi antara ujaran kebencian (hate speech) dengan tindakan kriminal berbasis agama dan etnis (hate crime) begitu tampak, namun keduanya tidak berdiri sendiri. Karena itu, perlu analisa menyeluruh untuk memahami mengapa muncul keduanya.
Sedikitnya ada dua pertanyaan yang layak diajukan untuk memahami kemunculan hate speechdan hate crime. Pertama, apakah konteks sosial-agama-politik tertentu menjadi daya dorong yang menentukan lahirnya konflik berbasis agama dan etnis? Kedua, apakah ada upaya pencegahan yang dilakukan negara, khusus kepolisian dan pemerintah daerah, untuk mempersempit ruang hate speech sehingga tidak bereskalasi menjadi hate crime?

Berangkat dari dua pertanyaan besar itu, Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Jakarta melakukan riset kualitatif bertajuk “Hate Speech dan Penanganannya oleh Polri dan Pemerintah Daerah di Indonesia”. Riset yang dilaksanakan pada April hingga Juni 2016 mengambil 8 daerah yang selama ini dinilai sebagai hot spots konflik keagamaan di Indonesia yang menyasar 3 kelompok korban persekusi.
Ketiga kelompok itu adalah, pertama, Jemaat Ahmadiyah (Manislor, Lombok, dan Bangka). Kedua adalah penganut Syiah (Sampang dan Pasuruan). Ketiga adalah kelompok yang dihalangi pembangunan rumah ibadah dan kegiatan beribadahnya (Bekasi, Aceh Singkil, dan Tolikara).
Tidak Serta Merta Mendorong
Temuan riset ini menyebutkan bahwa ujaran kebencian yang disebarkan melalui berbagai media tidak serta merta mendorong orang atau sekelompok massa untuk melakukan tindakan kriminal pada saat itu juga. Dibutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk menanamkan bibit-bibit kebencian.
Kebencian yang sudah akumulatif itu akan punya daya dorong jika didukung oleh narasi tertentu yang diangkat dari fakta sosial yang sudah ‘dikemas’. Proses ini dikenal dengan istilahmutually reinforcing.
“Apa yang dikatakan dalam ujaran kebencian itu bukan prasangka yang dikarang-karang. Artinya, apa yang dikatakan dalam ujaran kebencian itu bisa dilihat gejalanya oleh masyarakat di lapangan,” papar Irfan Abubakar selaku ketua peneliti saat presentasi hasil riset itu pada Selasa (9/10).
Sebagai contoh adalah kasus penolakan dan pembakaran gereja di Aceh Singkil. Pada 1979 ada perjanjian yang dibuat antara masyarakat lokal dengan para pendatang yang beragama Kristen untuk menengahi konflik sosial di antara mereka. Salah satu poin dari perjanjian itu adalah tidak boleh ada lebih dari satu gereja besar di Aceh Singkil.
Namun dalam kenyataanya sampai saat ini jumlah gereja di Singkil terus meningkat. Peningkatan jumlah gereja sebenarnya bisa dipahami secara logis mengingat pertumbuhan masyarakat pendatang yang beragama Kristen itu juga meningkat. Sedangkan gereja utama yang ada sudah tidak bisa menampung jumlah jemaat yang semakin banyak.
Narasi “Orang Kristen melanggar perjanjian” dan “menjamurnya gereja” kemudian dijadikan materi ujaran kebencian yang disebarkan di Singkil. Sementara fakta lain bahwa umat Kristen terus berkembang dan otomatis membutuhkan lebih banyak gereja sengaja ditutupi.
Bagi yang bukan berasal dari Aceh, dua ungkapan di atas mungkin terdengar bukan sebagai ujaran kebencian. Tidak seperti ujaran kebencian yang disampaikan Sekjen Front Pembela Islam (FPI) Sobri Lubis pada 2008 terhadap jemaat Ahmadiyah yang menyatakan “Bunuh Ahmadiyah!”
Untuk menilai apakah dua ungkapan di atas adalah ujaran kebencian dalam konteks Singkil perlu dilihat dari sudut pandangan kebudayaan Aceh. Bagi masyarakat Aceh, identitas keacehan melekat dengan identitas keislaman. Identitas itu ditegaskan dengan sebutan Aceh adalah serambi Mekkah. Karena itu orang Aceh sudah pasti seorang Muslim. Maka ketika orang Aceh menjadi Kristen, dia dianggap bukan orang Aceh lagi.
“Bisa dibayangkan bila ada pernyataan di Singkil sudah menjamur gereja, itu dalam kesadaran masyarakat Aceh adalah semacam serangan terhadap identitas mereka. Jadi, ada fear of indentity yang ingin dibangun dalam dua penyataan itu. Ada erotion yang menakutkan dalam pernyataan itu,” terang Direktur CSRC itu.
Proses penanaman kebencian masyarakat Singkil semakin ‘dibakar’ dengan ingatan peristiwa ketika Daud Bereuh mengusir umat Kristen di sana untuk kembali kampung halaman mereka. Peristiwa itu kemudian menjadi narasi yang diulang-ulang untuk menolak tidak hanya keberadaan gereja di Singkil tapi juga umat Kristen.
Kepolisian Tidak Berhasil
Irfan lebih jauh menyatakan tidak mudah bagi kepolisian dan pemerintah daerah untuk mencegah penyebaran ujaran kebencian dan menghalau tindakan kriminal berbasis agama dan etnis. Sebab seringkali ada struktur sosial-politik yang tidak mendukung kerja kepolisian dan pemerintah daerah dalam konteks persoalan itu.
Hal itu terlihat, misalnya, dalam kasus persekusi yang dialami penganut Syiah di Sampang, Madura. Kepolisian dihadapkan pada kelompok ulama yang satu suara dan dominan. Belum lagi pemerintah daerah Sampang juga terlibat dalam persekusi itu.
Dalam kasus Syiah, ulama Sampang bulat bahwa Syiah adalah sesat. Tidak ada suara alternatif di kalangan ulama yang menandingi suara itu. Sementara sosok-sosok penting dalam pemerintahan daerah Sampang umumnya memiliki hubungan kekerabatan dengan kalangan ulama yang anti Syiah itu.
“Dalam menangani persoalan hate speech dan hate crime, polisi bukan tidak punya aturan. Tapi ada struktur atau relasi kuasa yang belum bisa dibongkar,” ujar Irfan.
Situasi itulah yang membuat kepolisian tampak sungkan menegur kalangan ulama di Sampang yang melakukan ujaran kebencian terhadap penganut Syiah. Di hadapan struktur sosial-politik yang begitu kuat itu, kepolisian seolah tidak berdaya.
Di sisi lain, tidak semua personil kepolisian yang bertugas di 8 wilayah konflik itu paham apa yang dimaksud dengan ujaran kebencian, termasuk para pejabat di pemerintahan daerah.
Tapi bukan berarti kepolisian tidak mengerti bagaimana menangani konflik sosial. Hanya saja pendekatan yang selalu digunakan selalu pendekatan keamanan. Yang ada di kepala personil kepolisian dalam menangani konflik sosial berbasis agama adalah pada fase provokasinya. Padahal provokasi adalah fase lanjutan dari ujaran kebencian.
Karena itu, kepolisian baru bertindak jika ada pengerahan massa yang ingin melakukan penyerangan dan pengusiran terhadap kelompok minoritas. Tapi dalam situasi itu pun kepolisian selalu kewalahan menanganinya dengan alasan jumlah personil kepolisian lebih sedikit dibandingkan massa yang terprovokasi.
Atas dasar itu, Irfan mengusulkan agar satuan pembinaan masyarakat (binmas) di kepolisian diberdayakan. Karena binmas adalah ujung tombak kepolisian untuk melakukan cegah dini setelah upaya deteksi dini oleh satuan intel. Sebelum konflik sosial berbasis agama dan etnis meletus, satuan binmas harus ditugaskan untuk mempersuasi kelompok-kelompok intoleran agar menghentikan tindakannya.
Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabag Penum) Kombes Martinus Sitompul menyatakan bahwa kepolisian hanyalah salah satu unsur yang dilibatkan dalam penanganan konflik sosial.
Dalam Undang-Undang Penanganan Konflik Sosial (PKS) Nomor 7 Tahun 2012 disebutkan bahwa yang terdepan dan yang memimpin dalam menyelesaikan konflik sosial adalah kepala daerah, baik di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi.
Meski begitu, dalam banyak kasus seringkali kepolisian yang terdepan di lapangan. Mulai dari inisiatif, mengumpulkan, dan mengajak masyarakat berdiskusi. Dalam penanganan konflik itu tim dari Mabes Polri selalu hadir ke lokasi untuk memberikan asistensi kepada personil kepolisian yang bertugas di lapangan.
“Dalam kasus-kasus tertentu, saya akui kepolisian terlambat merespons konflik. Tapi dalam kasus-kasus tertentu kepolisian berhasil menangani konflik dengan baik,” kata Martinus yang turut hadir sebagai narasumber penanggap.
Martinus mengapresiasi hasil penelitian ini. Baginya hasil penelitian yang dilakukan kelompok sipil yang punya perhatian dalam isu konflik sosial berbasis agama sangat berguna sebagai masukan bagi kepolisian untuk menentukan arah kebijakan dalam penanganan konflik sosial berbasis agama di masa mendatang. [http://www.madinaonline.id/s5-review/berita/temuan-riset-kepolisian-dan-pemerintah-daerah-tidak-paham-apa-itu-ujaran-kebencian/]

Comments

Popular posts from this blog

Kekerasan di Perkotaan

Kisah Seorang Preman Kupang (1)