Ujian Sakit
Sepanjang perjalanan hidup, hampir-hampir tak ada seorang
pun yang tidak pernah mengalami sakit atau menderita penyakit. Mulai dari
sekadar tertusuk duri, demam, sampai penyakit berat semisal kanker atau stroke.
Ada orang yang ikhlas menerima penyakit yang menimpanya. “Apalah artinya sakit
yang baru saya rasakan beberapa bulan ini. Toh, selama lebih dari 50 tahun umur
saya, Allah telah mengkaruniai badan sehat tiada kurang suatu apa dan kebebasan
menikmati kuliner,” ujar seorang kawan yang didiagnosa menderita diabetes di
umurnya menjelang pensiun belum lama ini. Di benak kawan ini penyakit yang
dideritanya sebagai peringatan dari Allah agar kita hidup seimbang jasmani-rohani
dan betapa nikmatnya sehat.
Tapi, tak sedikit orang yang tidak bersabar dan
penuh keluh-kesah manakala diuji dengan penyakit. Bahkan mencela penyakit yang
dideritanya. Muncul kata-kata celaan sampai menggugat Allah. Si Fulan yang
sakit itu menyangka Allah tidak sayang lagi padanya. Sampai-sampai tidak
sedikit orang berharap kematian, bunuh diri atau minta disuntik mati gara-gara
sakit yang menahun yang nyaris tak kunjung sembuh.
Padahal sakit yang menerpa seseorang itu memiliki
banyak manfaat dan hikmah. Sebab itu kita harus pandai-pandai menyikapi
penyakit yang datang sebagai ujian, bukan sebagai azab. Mari kita lihat
beberapa sikap yang sebaiknya kita lakukan ketika sakit.
Pertama,
terimalah sakit dengan hati yang ikhlas, ridha dan pasrah kepada ketetapan Rabb.
Saat menderita sakit, hendaknya kita menyadari bahwa Rasulullah shallallahu ’alayhi wasallam yang
merupakan manusia termulia sepanjang sejarah pun pernah mengalaminya. Sebab itu
kita mesti ikhlas.
Dari Anas ibn Malik radhiyallahu ’anhu
diriwayatkan bahwa ia menceritakan Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya
pahala yang besar didapatkan melalui cobaan yang besar pula. Kalau Allah
mencintai seseorang, pasti Allah akan memberikan cobaan kepadanya. Barangsiapa
yang ridha menerima cobaan-Nya, maka ia akan menerima keridhaan Allah. Dan
barangsiapa yang kecewa menerimanya, niscaya ia akan menerima kermurkaan
Allah". (HR Tirmidzi)
Kedua,
terimalah sakit sebagai pintu introspeksi dan pertobatan. Dengan adanya sakit,
banyak orang menyadari kekeliruannya selama ini sehingga sakit itu
mengantarkannya menuju pintu tobat. Bila kita tak pernah sakit maka terjerumus
pada sombong dan congkak. Lihatlah Fir’aun yang tidak pernah Allah timpa ujian
sakit sepanjang hidupnya, membuatnya sombong melampaui batas sampai-sampai
berani menyatakan, “Akulah tuhanmu yang paling tinggi.” (QS An Naazi’aat ayat 24)
Ketiga,
menerima sakit sebagai penggugur dosa dan kesalahan. Sakit menjadi semisal balasan
atas keburukan yang pernah dilakukan hamba, lalu dihapus dari catatan amalnya
hingga menjadi ringan dari dosa. “Tidaklah sakit seorang mukmin, laki-laki dan
perempuan, dan tidaklah pula dengan seorang muslim, laki-laki dan perempuan,
melainkan Allah SWT menggugurkan kesalahan-kesalahannya dengan hal itu,
sebagaimana bergugurannya dedaunan dari pohon.” (HR Ahmad).
Dan keempat,
memahami bahwa melalui sakit, Allah akan mengangkat derajat seorang hamba. Dari
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata sesungguhnya aku mendengar Rasulullah
Saw bersabda: "Tidak ada seorang muslimpun yang tertusuk duri, atau yang
lebih dari itu, melainkan ditulis untuknya satu derajat dan dihapus darinya
satu kesalahan" (HR Muslim).
Dengan empat sikap tersebut, kita tidak akan
terjebak pada tindakan mencela dan sumpah serapah manakala ditimpa penyakit.
Justru kita akan banyak beristighfar dan semakin mendekatkan diri kepada Allah.
Dan berharap mampu melewati ujian sakit dan derajat keimanan meningkat. (Nugroho Al Fakir)
Comments
Post a Comment