Perdagangan Manusia (Masih) Marak, Berbungkus Berbagai Modus
Suara Ibu Sulis terdengar geram ketika bercerita mengenai apa yang terjadi pada salah satu putrinya, yang menjadi korban – dan pada akhirnya penyintas – perdagangan orang pada akhir 2013.
“Tidak bisa saya bayangkan ketakutannya., Dia jauh dari rumah, bekerja untuk rumah biadab itu. Dia melihat semuanya., Dia seperti jadi orang lain ketika saya pertama kali mendengar suaranya (melalui telepon) setelah sekian lama tidak berhubungan,” kata Ibu Sulis berapi-api.
“Keluarga kami broken home. Anak-anak melihat orangtua tidak akur. Mungkin itu yang menyebabkan dia memutuskan pergi,” jelas Ibu Sulis yang berasal dari Palopo, Sulawesi Selatan.
“Keluarga kami broken home. Anak-anak melihat orangtua tidak akur. Mungkin itu yang menyebabkan dia memutuskan pergi,” jelas Ibu Sulis yang berasal dari Palopo, Sulawesi Selatan.
“Anak saya mungkin frustasi dan tidak tahan kondisi keluarga kami,” tegas ibu Sulis, 45 tahun.
Bella yang lahir pada tahun 1995, menurut ibunya, tergoda dengan iming-iming gaji Rp 10 juta per bulan sebagai SPG. Dia mendapat tawaran dari teman masa kecilnya yang memang sudah lebih dulu bekerja di Dobo, kota kecil di Kepulauan Aru di Maluku.
Bersama dengan teman lama dan sahabatnya, Bella pergi diam-diam meninggalkan desa dan merasa bahwa mencari nafkah sendiri merupakan jawaban akan kegalauannya. Dari kampung mereka, Rawamangun di Palopo, gadis-gadis sebaya ini berangkat ke Makassar., Menginap satu malam di sebuah hotel dan bertemu dengan calon pemberi pekerjaan, yang ternyata adalah pemilik kelab malam. Lalu berangkat dengan pesawat menuju Ambon pada keesokan harinya.
Para pelaku praktek perdagangan orang ini diduga menggunakan sistem sel yang terputus-putus di satu daerah ke daerah lain., Hampir serupa dengan cara sindikat narkoba beroperasi. Sehingga dari Ambon, gadis-gadis Palopo ini bertemu dengan orang yang berbeda yang membawa mereka ke Pulau Aru. Dan cerita sedih berkepanjangan dimulai ketika mereka menginjakkan kaki di tempat kerja mereka.
“Dia magang untuk 3 bulan baru boleh dibawa keluar. Selama itu dia kerja melayani tamu, menemani minum. Setiap hari dia disuruh memakai pakaian seminim mungkin dan dipajang di ruang kaca. Bisa saya katakan separuh telanjang,” kata Ibu Sulis menceritakan apa yang dia dengar dari anaknya.
Bella dan teman-temannya melihat perlakuan buruk kepada perempuan yang bekerja di sana.; Bukan hanya dari para pelanggan tetapi juga pekerja laki-laki serta pemilik tempat hiburan itu.
“Mereka membuat perempuan menjadi binatang. Menjerat dengan hutang yang jelas-jelas tidak akan sanggup mereka bayar. Ada ibu-ibu yang samasekali tidak bisa meninggalkan tempat itu karena hutang banyak, anak banyak dan tidak jelas siapa saja bapaknya.”
“Bella juga melihat teman-temannya yang sakit atau hamil dibawa pergi dari pulau dan tidak pernah kembali.”
Cerita Bella hanyalah satu dari ribuan kisah pilu perdagangan orang. Tersamarkan dengan berbagai modus yang terus diperbaharui seiring dengan perkembangan jaman untuk menjerat korbannya. Iming-iming gaji bulanan dengan jumlah fantastis masih sering digunakan, tetapi para pemangsa mulai menggunakan media sosial untuk menjerat targetnya. Dan sudah ada pula kasus-kasus dimana korban dijerat melalui perjalanan umrah.
Nur Atin dari Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Provinsi Sulawesi Selatan mengatakan sudah ada beberapa kasus dimana para pencari pekerjaan dikirim ke luar negeri melalui paket perjalanan umrah. “Ini terutama untuk mempermudah pengurusan dokumen perjalanan. Yang terpenting adalah mereka bisa dikirim ke tempat-tempat yang bersedia membayar.”
Dan di beberapa daerah-daerah di Sulawesi Selatan, seperti Bone dan Bulukumba tradisi merantau (atau meninggalkan kampung halaman untuk mengadu peruntungan) masih sangat kuat sehingga seringkali ketika ada korban perdagangan manusia, itu tidak dianggap sebagai korban kejahatan melainkan risiko dari tradisi merantau, tambah Nuratin. Secara nasional, banyak provinsi di Indonesia yang juga memiliki tradisi serupa, menjadi salah satu sebab mengapa perdagangan orang tetap marak terlepas dari upaya pemerintah untuk menanggulanginya.
“Ini kan berbeda, masyarakat dan aparat pemerintah setingkat kepala desa serta pemuka adat harus tahu, ada perbedaan dalam hal ini. Perdagangan orang adalah kejahatan dan bukan risiko orang merantau,” kata Nur Atin.
Nur Atin menjadi salah satu narasumber dalam acara workshop untuk implementasi UU No 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) pada 12-13 Maret di Makassar. Kegiatan ini diselenggarakan bersama-sama oleh Kemitraan Australia-Indonesia untuk Keadilan (Australia-Indonesia Partnership for Justice/AIPJ) dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Sulawesi Selatan.
Dalam tiga tahun terakhir Sulawesi Selatan tidak hanya menjadi sumber tetapi juga menjadi tempat tujuan pengiriman. Pelabuhan laut internasional seperti Makassar dan Pare-Pare adalah dua pintu keluar yang sering dipakai dalam jalur perdagangan orang. Calon pekerja dari Nusa Tenggara Timur (NTT), Jawa, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Utara biasanya dikumpulkan di Makassar atau Pare-Pare sebelum dikirim ke negara-negara tujuan, seperti Malaysia, Singapura, dan bahkan sampai Afrika.
Data yang disarikan dari berbagai sumber menyebutkan bahwa sekitar 2% dari pekerja migran Indonesia adalah korban perdagangan manusia. Saat ini ada sekitar 3-4 juta pekerja migran yang tersebar di berbagai negara. Tren baru perdagangan termasuk anak-anak adalah bentuk eksploitasi seksual komersial di wilayah penambangan di Maluku, Papua dan Jambi (data IOM). Sumber pemerintah dan non pemerintah juga melaporkan peningkatan jumlah pekerja tanpa dokumen ke luar negeri dikarenakan perluasan penggunaan dokumen perjalanan biometric yang menyebabkan pemalsuan dokumen menjadi lebih sulit sehingga menjadi mahal untuk didapat. Anak-anak yang tidak memiliki akta kelahiran resmi rentan terhadap perdagangan orang.
Sulawesi Selatan adalah provinsi pertama di Indonesia yang memberi pelayanan penyediaan akta kelahiran gratis untuk semua anak, bahkan yang lahir di luar ikatan pernikahan resmi.
“Tapi pemberian akta kelahiran gratis saja tidak cukup. Para petugas harus paham apa perdagangan orang, bagaimana modus-modusnya dan bagaimana penindakannya,” tegas Nur Atin.
Komisaris Polisi Jamillah dari Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan mengakui bahwa secara umum pemahaman mengenai perdagangan manusia memang masih rendah di kalangan aparat pemerintah secara umum dan khususnya penegak hukum.
“Kalau petugas (kepolisian) tidak mau menelusuri proses awalnya dan hanya melihat akhir dari cerita, sangat mudah menggunakan UU Ketenagakerjaan jika kasus berhubungan dengan buruh, atau UU Perlindungan Anak saja ketika menyangkut anak-anak dibawah umur. Orang-orang itu dengan mudah lolos dari jerat UU TPPO,” kata Jamillah.
Jamillah mengaku kesulitan jika berhubungan dengan data karena tidak konsistennya pelaporan dan pencatatan yang tidak rapi. Hal serupa diungkapkan oleh Ketua Kaukus Parlemen Perempuan Sulawesi Selatan Tenri Olle yang juga Ketua Komisi E DPRD Provinsi Sulawesi Selatan.
“Bahkan para petugas yang sudah kita latih dan seharusnya menjadi focal point dalam hal ini bisa dimutasi atau dipindah ke daerah atau bagian lain sebelum ada proses regenerasi,” kata Tenri.
Dari sisi peraturan dan perundang-undangan, pemerintah Sulawesi Selatan sudah melangkah jauh dengan dikeluarkannya Perda dan pembentukan gugus tugas perdagangan orang, yang diantaranya memainkan peran untuk deteksi dini atau pencegahan.
Kerjasama dengan AIPJ, salah satunya, adalah untuk memperkuat implementasi kebijakan. Dalam kegiatan workshop tersebut Ketua Tim AIPJ Craig Ewers hadir dan menandatangani komitmen bersama untuk pemberantasan perdagangan orang. Gubernur Sulawesi Selatan, yang berhalangan hadir, diwakili oleh Asisten 3 Pemerintah Provinsi Sulsel H. Mappagio.
“Keberadaan kami di sini kami ingin mendorong kerja sama dari semua sektor dan bukan saatnya untuk saling menuding siapa yang salah karena isu yang kita hadapi ini saling terkait dan membutuhkan solusi yang didapat dari kontribusi semua sektor.”
“Kebijakan dan perundang-undangan di Indonesia sudah bagus. Australia juga memberlakukan UU yang serupa jadi bisa ada harmonisasi UU untuk bersama-sama memberantas praktek-praktek perdagangan orang, bukan hanya di Indonesia tetapi di kawasan ASEAN,” kata Craig ketika diminta untuk berbagi pengalaman. (http://indonesia.embassy.gov.au/jaktindonesian/AR15-005.html)
Comments
Post a Comment