KEJAHATAN KERAH PUTIH DI INDONESIA





PENDAHULUAN 
1.1 Latar Belakang
    Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita akan menemukan berbagai peristiwa dan fenomena, salah satunya adalah perilaku menyimpang. Sifat ini memiliki kata lain yaitu deviance, suatu perilaku disebut menyimpang apabila tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma social yang berlaku dalam masyarakat. Menurut kajian sosiologis, perilaku menyimpang bukan sesuatu yang melekat pada bentuk perilaku tertentu, melainkan diberi ciri penyimpangan melalui definisi sosial.
    Perilaku menyimpang terjadi karena proses sosialisasi yang kurang sempurna. Proses sosialisasi yang kurang sempurna ini terjadi akibat ketidaksepadanan pesan-pesan yang disampaikan oleh masing-masing agen sosialisasi atau seseorang mengambil peran yang salah atau meniru perilaku yang menyimpang dari generalized others.
1.2 Identifikasi Masalah 
    Dalam masalah ini, banyak contoh-contoh peristiwa yang terjadi yang termasuk kedalam sifat dan macam bentuk perilaku menyimpang (deviance). Sifat perilaku menyimpang ada yang positif dan negatif. Deviance positif merupakan penyimpangan yang mempunyai dampak yang positif terhadap sistem sosial. Karena mengandung unsure kreatif dan inovatif. Sedangkan deviance negatif merupakan perilaku yang bertindak kearah nilai-nilai social yang rendah dan buruk serta mengganggu system social.


    Macam-macam perilaku menyimpang dapat digolongkan atas tindakan criminal atau kejahatan, penyimpangan seksual,penyimpangan dalam bentuk pemakaian dan pengedaran obat terlarang, serta penyimpangan dalam gaya hidup. Kejahatan dapat dibagi menjadi kejahatan tanpa korban (crime without victim), kejahatan terorganisasi (organized crime), kejahatan kerah putih (white collar crime), dan kejahatan korporat (corporate crime).Macam kejahatan kerah putih akan dibahas lebih jauh lagi sebagai inti dari isi dari makalah ini.

 

 

 
BAB II
KEJAHATAN KERAH PUTIH

 
2.1 Pengertian Kejahatan Kerah Putih 
    Kejahatan kerah putih (white collar crime) merupakan tipe kejahatan yang mengacu kepada kejahatan yang dilakukan oleh oaring-orang terpandang atau orang-oarang yamg berstatus tinggi dalam rangka pekerjaannya. Pelakunya umumnya orang-orang terpelajar dan berkedudukan sosial terpandang dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dengan motif untuk mencari keuntungan dari segi ekonomi. Contohnya; penghindaran pajak, penggelapan uang perusahaan oleh pemilik peusahaan, atau pejabat negara yang melakukan korupsi. 
2.2 Contoh Kasus Kejahatan Kerah Putih di Indonesia     
Pembobolan dana bank dalam dunia dunia kriminal (crime) adalah salah satu jenis white collar crime atau "kejahatan kerah putih". Dengan demikian, pembobolan bank tidak tergolong street crime atau kejahatan yang sering diartikan sebagai kejahatan dengan menggunakan kekuatan yang didukung teknologi computer. Dalam dunia kepolisian kita, white collar crime ini digolongkan ke dalam kejahatan dimensi baru.
Pelakunya umumnya orang-orang terpelajar dan berkedudukan sosial terpandang dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dengan motif untuk mencari keuntungan dari segi ekonomi. Sementara itu, pelaku kejahatan dengan menggunakan kekuatan atau kekerasan biasanya masyarakat biasa dan tidak terpelajar. Kejahatan tersebut belakangan berkembang sedemikian rupa dan berkembang ke segala penjuru dan arah Dipastikan, jika celah-celah kelemahan dalam undang-undang dan sikap manusianya tetap negatif, kejahatan kerah putih dapat merajalela terhadap negara yang lemah dalam hukum cybercrime. 
Kasus yang muncul ke permukaan dan kebetulan menimbulkan kerugian besar adalah pembobolan dana Rp 1,7 triliun di Bank BNI dan pembobolan Rp 264 miliar di Bank BRI. Jika dilihat, modus operandi pembobolan Bank BNI di Jakarta atau BRI juga mirip dengan sejumlah modus operandi pembobolan bank sebelumnya. Pelakunya pun, selain orang luar, juga orang bank sendiri yang mengetahui seluk beluk banknya, termasuk mengetahui kelemahan di banknya. 
Contoh lain yaitu kejahatan yang terjadi di perbankan Indonesia yang berlangsung dalam berbagai bentuk. Kebobolan Rp 6,6 miliar dalam tubuh Bank Indonesia (BI) baru-baru ini memperlihatkan rentannya dunia perbankan menghadapi  kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang dalam lembaga itu sendiri. Dan kejahatan terakhir ini menjadi menarik karena berlangsung di bank sentral.  Pada kasus BI, pelakunya mampu membobol Rp 6,6 miliar karena dia tidak perlu melapor ke kepala urusan dan dia juga mampu membuat keputusan sendiri. Kalau saja dia harus melapor kepada orang lain, dia tidak akan mampu berbuat semudah itu. Dalam kasus ini lalu ada paradoks, BI saja bisa begitu, apalagi bank-bank di bawahnya. Bila dilihat dari pelakunya, modusnya, jumlah kerugiannya dan segi pengungkapannya, tidak ada menariknya. Bandingkan kasus Bank Pembangunan Asia yang melibatkan direksi sampai kepala seksi, kepala urusan, dengan kurugian Rp 300 miliar. Itu menarik karena pengungkapan sulit, butuh waktu berbulan-bulan. Juga kasus  Dicky dengan Bank Duta maupun Eddy Tansil dengan Bapindo.
Kasus BI hanya melibatkan enam orang dan empat di antaranya sudah tertangkap. Dan dilihat dari sudut pengungkapannya relatif mudah. Mungkin yang menarik adalah motifnya. Tapi selama hanya menyangkut kepentingannya sendiri, kasus ini menjadi kurang menarik. Artinya tidak ada sesuatu yang baru dari kasus ini. Ini bukan kejahatan perbankan, tapi kejahatan ekonomi economic crime. Kalau kejahatan perbankan, ada unsur informasi yang terbuka dan ada informasi rahasia yang dijaga polisi ketika mengejarnya. Sedang dalam kasus BI, tidak ada nasabah yang dirugikan. Yang ada adalah tindakan memark up. Yang ada adalah penipuan, pemberian keterangan palsu sehingga digolongkan dalam kejahatan bidang perbankan, bukan kejahatan perbankan. Kejahatan perbankan ada dua, oleh bank (by bank) dan terhadap bank (against bank). Sedangkan untuk kasus BI, bukan kedua-duanya. 
Bagaimana penggolongan kejahatan di bidang perbankan. Selama ini dikenal ada empat jenis kejahatan di bidang perbankan. Pertama, praktek-praktek pembukaan bank tanpa izin atau bank ilegal. Kedua, pemberian kredit yang tidak berdasar yang sifatnya tidak memiliki jaminan dan diberikan kepada orang-yang fiktif. Ketiga, pencatatan secara salah dan keempat, pengiriman atau pentransferan uang secara salah. Keempat hal ini memiliki karakteristik macam-macam. Dalam hal pendirian bank tanpa izin, biasanya dilakukan oleh pemilik. Mungkin saja kerugian yang ditimbulkan tidak terlalu besar, namun karena mengenai calon nasabah yang jumlahnya banyak dan menimbulkan keresahan, maka BI, kepolisian dan kejaksanaan bertindak cepat. Jenis kedua, pemberian kredit yang salah, contohnya pada kasus Bapindo, adalah pemberian kredit kepada seseorang tanpa melalui proses yang semestinya. Sedang jenis ketiga dan keempat, bisa berjumlah puluhan juta sampai miliaran, tergantung level si pembobol. Biasanya ada gradasi, di mana setiap jabatan punya kemampuan kontrol dalam melepas uang. Seorang pemilik biasanya 'bermain' dalam jenis yang pertama atau kedua. Sedang jenis ketiga dan keempat biasanya dilakukan manajer, kepala divisi, kepala grup sampai pimpinan cabang.
 Karena termasuk sebagai kejahatan biasa, bisa digolongkan sebagai korupsi. Pelaku dari luar dikenai tindakan pidana ekonomi, sedang pelaku dari dalam bisa dikenai tuduhan koruptor. Soal berapa tahun hukumannya, tergantung penggunaan pasal. Tindak pidana ekonomi 12  tahun ke atas, korupsi 20 tahun. Kalau ditarik ulur, malahan dapat dikenai subversi. Misalnya kasus pendirian bank fiktif di Bandung, dituntut sebagai tindakan subversi.
 Bentuk kejahatan yang akan ditangkal tidak ada masalah karena UU Perbankan, Tindak Pidana Ekonomi maupun KUHP itu secara berlapis mampu menanggulanginya. Tetapi ada hal yang tidak mungkin diacuhkan berkaitan dengan prinsip regim devisa bebas yang kita pakai, yaitu bahwa negara membolehkan seseorang memiliki pemilikan materi tanpa negara perlu mengetahui asal-usulnya. Hal itu lalu bermuara pada timbulnya peraturan kerahasiaan bank. Tapi regim ini bisa ditanggulangi dengan RUU KUHP baru yang sudah sejak empat tahun lalu diserahkan ke DPR. Pasal 110 dan 111 memasang jerat kepada para perbankan, yaitu kalau mereka mencurigai adanya kepemilikan yang tidak sah oleh nasabahnya, pihak bank wajib melaporkan pada polisi. Dan bila tidak melaporkan maka bank dapat dituntut oleh penegak hukum. Jadi pasal ini meletakkan kesalahan bukan pada si pemilik uang, tapi pada si bankir. 
Jika kejahatan perbankan juga menyangkut perdagangan derivatif, sejauh mana kesiapan hukum kita. Hukum tidak secara eksplisit menyebut perdagangan derivatif. Sama halnya dengan hukum tidak menyebut permainan pasar uang. Tapi yang ditangkap oleh hukum adalah esensi dari fakta tersebut. Permainan pasar uang misalnya, berarti mengandung pengertian menggunakan uang orang lain, menyalahgunakan kepercayaan dan memperkaya diri sendiri.Itu yang dikejar oleh hukum dan bukan permainan pasar uangnya. Begitu  pula jika menyangkut derivatif. Jika disinggung, berarti Indonesia bersentuhan dengan regim dunia. Sama halnya dengan future trading, bukan future tradingnya yang dipersoalkan, tapi bagaimana agar jangan sampai ada perusahaan yang memainkan future trading tanpa ada suatu persyaratan dana yang cukup, agen di luar negeri dan sebagainya. Jadi yang dibatasi adalah operasi perusahaan sambil menunggu sampai Indonesia kuat dalam future trading. 
Tentunya banyak kemungkinan akan muncul kejahatan di bidang perbankan yang lebih canggih di kemudian hari. Kita sendiri pernah beberapakali mengalaminya. Kasus Dicky dengan dealing roomnya sebenarnya merupakan variasi baru. Kejahatan yang dilakukan bukan bentuk kejahatan empat jenis yang disebutkan. Dan oleh jaksa yang menuntutnya, Dicky dianggap menyalahgunakan informasi yang dimilikinya. Yakni menyalahgunakan uang yang dipercayakan kepadanya untuk bermain di pasar uang. Ini sudah bentuk kejahatan perbankan yang canggih. Meskipun jumlahnya kecil, tetapi modusnya serupa dengan kasus Bearings atau Daiwa. 
Berapa kejahatan perbankan di Indonesia. Ini hal yang biasanya dalam kasus kriminal, di mana jumlah yang dilaporkan jauh lebih rendah dari yang terjadi sesungguhnya. Sejalan dengan majunya dunia perbankan, sumberdaya manusia dan teknologi yang berkembang, peluang bertambahnya kasus juga akan lebih besar.
Banyak hal yang harus dilakukan dalam meminimalisasi kasus ini. Antara lain pengawasannya lebih struktural, misalnya harus ada cross check dan yang menangani beberapa orang. Atau pengawasan secara horizontal, yang semuanya dimaksudkan untuk menambah prosedur yang kentara. Mungkin sedikit lebih rumit, tapi secara teknis dapat dipakai untuk melakukan pencegahan. Kedua, pencarian indikator dari pegawai yang punya mental baik. Kemudian, memperbanyak rotasi, agar tidak ada orang yang terlalu lama duduk tempatnya. Juga jangan membiarkan orang memiliki jaringan tertentu yang memungkinkan terjadinya kolusi. 
Tapi BI juga sudah melakukan pengawasan. Jika memang sudah dijalankan, bisa saja bobol karena ada unsur kebiasaan. Ada kebiasaan praktek korupsi kecil-kecilan yang sudah menjamur. Mungkin pelakunya berpikir untuk mencoba melakukan karena yang sudah melakukan sebelumnya tidak diapa-apakan. Barangkali saja dia mengira akan didiamkan dan tidak menyangka kasusnya berkepanjangan. Kalau sistemnya berjalan dengan baik, Gubernur BI tidak perlu emosi. Mungkin karena dia mendapat laporan sistemnya berjalan baik sementara kenyataannya tidak seperti itu. 
Sementara itu, para tersangka kasus korupsi juga digolongkan dalam tersangka kejahatan kerah putih (white collar crime). Mereka ini memang memiliki status sosial yang cukup baik di masyarakat, serta tentunya memiliki kesempatan untuk melakukan korupsi. Kaum elit, begitu istilah awam menyebut mereka.
Koruptor memang maling berkelas. Saking berkelasnya, masyarakat, bahkan media, cenderung lebih hati-hati memperlakukan mereka. Istilah-istilah yang digunakan untuk menggambarkan kejahatan mereka menunjukkan hal itu. Istilah pelaku penggelapan, misalnya, lebih disukai ketimbang istilah garong. Penyalahgunaan dana dipakai untuk mengganti kata korupsi. Padahal esensinya sama saja, mencuri. Koruptor bahkan memiliki kadar kejahatan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan pencuri kelas teri. Logikanya, mana ada orang korupsi hanya untuk beli beras buat makan hari ini. Kalau pun ada, mungkin berasnya ratusan ton. 
Perlakuan masyarakat juga tidak jauh berbeda. Sanksi moral untuk koruptor cenderung lebih ringan dibanding sanksi moral terhadap yang melakukan sekedar maling ayam. Orang masih bisa membungkuk hormat di hadapan orang yang sudah nyata-nyata diputus pengadilan sebagai koruptor. Sementara, maling ayam yang mencuri untuk sekedar bisa mengganjal perut, dikucilkan tanpa ampun. 
Inilah realita yang ada di sekitar kita. Korupsi, seolah-olah kanker ganas yang amat sangat sulit untuk disembuhkan. Dari tingkat atas sampai tingkat bawah, selalu terjadi. Celakanya, di tengah masyarakat yang menganut budaya patron, budaya panutan, justru banyak sekali orang-orang yang seharusnya menjadi teladan, malah menjadi pelaku kejahatan kerah putih ini. Akibatnya, semakin lama orang semakin menganggap bahwa korupsi merupakan hal yang wajar dilakukan oleh para petinggi, dan itu yang akhirnya dicontoh oleh orang-orang yang ada dibawahnya. Maka berurat akarlah korupsi, dari atas sampai ke bawah, dari yang berskala nasional, regional, sampai tingkat lokal. Belakangan kita dikejutkan oleh maraknya kasus korupsi yang terjadi di belasan DPRD Tingkat II. Wakil rakyat yang seharusnya memperjuangkan kepentingan rakyat, malah merampok uang rakyat. Sebuah kekejian dan pengkhianatan yang sungguh menyakitkan.
Belakangan ini, korupsi malah cenderung dianggap sebagai perbuatan terhormat. Rasanya kurang pas kalau ada kesempatan, tapi tidak melakukan korupsi. Selain bisa menunjang semangat memuja kebendaan, korupsi juga bisa menaikkan popularitas, yang dalam skala tertentu bisa membantu mencapai tujuan-tujuan politis maupun tujuan-tujuan lainnya. Bahkan kalau berhasil lolos dari jeratan hukum, terkesan ada semacam kebanggaan bahwa diri sang pelaku memiliki kehebatan luar biasa, kekebalan hukum, sekaligus –barangkali- ketebalan muka di atas rata-rata, sehingga membuat yang bersangkutan semakin menepuk dada. 
Lalu apa yang bisa dilakukan oleh kita, untuk menyikapi semua itu? Ajaran Islam mengatakan, jika melihat kemunkaran ada tiga hal yang harus dilakukan. Pertama, jika memiliki kekuatan, lawanlah kemunkaran dengan tangan. Artinya, kalau kebetulan anda menjadi hakim yang punya kewenangan memutus perkara korupsi, maka jatuhkanlah keputusan yang adil. Kalau anda jadi polisi, perlakukanlah semua orang dengan adil, jangan pilih-pilih berdasarkan pertimbangan uang atau status sosial. Kalau anda jadi Presiden, jangan cuma memanjakan konglomerat, tapi perhatikan juga rakyat kecil. Kedua, jika tidak bisa dengan tangan, lakukanlah dengan lisan. Ungkapkanlah kebenaran, jangan ditutup-tutupi. Sebutlah warna hitam dengan Hitam, dan warna putih dengan Putih, jangan ditukar-tukar. Ketiga, jika dengan lisan juga masih tidak mampu, maka lawanlah dengan hati. Jangan pernah merestui kemunkaran, meskipun -kata Nabi- inilah selemah-lemahnya iman. Semua itu bisa kita lakukan dengan berpedoman pada akal sehat dan hati nurani.
Yang tidak kalah pentingnya adalah menanamkan pemahaman agama dan pemahaman moral yang baik kepada anak-anak kita sejak dini. Jangan sampai pemahaman salah kaprah tentang mana yang baik dan mana yang buruk, mana benar mana salah, berlangsung terus menerus hingga menjadi kebenaran itu sendiri. Selain itu, jadikan diri kita sebagai panutan yang baik untuk anak-anak kita. Jangan melarang anak-anak merokok sambil mulut kita mengepulkan asap rokok. Artinya, jangan mengajarkan untuk tidak korupsi, padahal kita sendiri koruptor. Rantai kebejatan moral harus diputus, dan itu harga mati. Kecuali, jika kita ingin anak-anak kita, generasi mendatang, menjadi pelaku-pelaku korupsi kelas kakap karena mereka menganggap koruptor merupakan profesi bergengsi. 
Kalangan anggota DPR meminta pelaku kejahatan kerah putih (white collar crime) harus ditindak tegas tanpa pandang bulu sesuai dengan hukum yang berlaku. Untuk kasus-kasus yang menyangkut kepentingan rakyat banyak, penyidik harus memberikan penjelasan kepada masyarakat tentang kelanjutan tindakan yang telah diambil. Kasus ekspor fiktif, setelah penyidikannya tuntas dan terdapat bukti-bukti kuat, hendaknya segera diajukan ke pengadilan. Kita harus bertindak sesuai dengan hukum yang berlaku, lebih-lebih dalam memberantas tindak pidana ekonomi dengan cara canggih, yang jelas hanya bisa dilakukan pengusaha "white collar crime" kelas internasional. 
Kasus demikian, jelas perlus egera diproses di pengadilan untuk dibuktikan. Ini mengingat kasus kriminal seperti itu berdampak luas, merugikan negara dan mencoreng citra kredibilitas bangsa. Hal ini , tidak tertutup kemungkinan masih terdapat sejumlah pelaku kejahatan kerah putih canggih demikian. Namun sejauh ini belum terungkap.Tapi jika kasus tersebut berhasil diungkap, ambil tindakan hukum secara tegas sesuai undang-undang yang berlaku. Dampak negatif yang ditimbulkan ekspor fiktif, adalah menjadikan data yang dihimpun instansi resmi menjadi semu. Pada akhirnya menghasilkan kesimpulan yang semu pula, karena tidak didasarkan gambaran yang sebenarnya. Itu jelas akan merugikan negara. 

 

 

 

 
2.3 Kejahatan Kerah Putih di Amerika Serikat 
Di Amerika Serikat (AS)-seperti dilaporkan ACFE (Association of Certified Fraud Examines)-kerugian yang diakibatkan kejahatan kerah putih sebesar 200-600 juta dollar AS setiap tahun. Bandingkan dengan tingkat kerugian yang diciptakan berbagai praktik kejahatan di jalanan sepanjang tahun, yang hanya mencapai 3–4 juta dollar AS. Menurut laporan Bureau of Justice Statistic AS, kerugian total akibat berbagai praktik kriminalitas di seluruh negeri sepanjang satu tahun hanya 15,6 juta dollar AS.
Kejahatan kerah putih jauh lebih banyak mengeruk kerugian daripada total kejahatan di jalan. Para pelakunya pun masih banyak yang terus berdasi dan berdandan rapi, tanpa menanggung akibatnya. Inilah ironi luar biasa yang sedang terjadi di tengah-tengah kita.
Survei terhadap unit-unit perusahaan menemukan, dampak kejahatan kerah putih terhadap setiap unit korporasi besarnya kira-kira setara dengan 1-6 persen dari tingkat penjualan per tahun (annual sales). Sebuah angka yang fantastis. Sementara studi lain menemukan, sebesar 30 persen kegagalan bisnis baru disebabkan inefisiensi karena perilaku kejahatan kerah putih. 
Secara sederhana dapat disimpulkan, kejahatan kerah putih secara sistematis telah menggerogoti daya saing, baik pada level korporasi, struktur industri, maupun makro ekonomi. Rupanya, antara praktik korupsi, daya saing ekonomi, dan kejahatan kerah putih terjadi hubungan searah (linear). Praktik korupsi yang merajalela salah satunya ditunjukkan dengan banyaknya praktik kejahatan kerah putih. Sementara korupsi mengakibatkan penurunan daya saing ekonomi.

"Operational governance"
Jika pembicaraan diarahkan pada level paling sempit, yaitu level korporasi, kita sedang menghadapi persoalan besar mengenai tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG). Selama ini, pembicaraan tentang GCG masih berhenti pada level besar, yaitu pada level Corporate Governance. Padahal, inti masalah sebenarnya justru terletak pada hal-hal yang lebih teknis dan mikro (Operational Governance). Jika Corporate Governance (CG) menaruh perhatian pada hubungan antara pemegang saham, dewan pengawas, dan eksekutif, Operational Governance (OG) menekankan kontrol pada praktik manajerialnya.
Perdebatan CG yang mendapat inspirasi dari teori Agensi (agency theory), masih ada pada level makro, sementara hal-hal yang berhubungan dengan praktik keseharian manajerial diserahkan begitu saja pada otoritas manajemen (executives). Demikian juga dengan studi soal kejahatan kerah putih, masih dikaitkan faktor-faktor makro itu, seperti struktur kepemilikan saham, sistem penggajian CEO, atau peran dewan pengawas. Salah satu studi pernah dilakukan terhadap 78 perusahaan publik dalam periode 1984-1990 di AS. Kesimpulannya, kejahatan kerah putih akan kian berkurang jika pembagian saham kepada karyawan kian besar (Alexander & Cohen, 1999).
Selain dipengaruhi faktor-faktor makro tersebut, kejahatan kerah putih juga amat ditentukan oleh aneka perangkat mikro yang diciptakan dalam kontrol manajerial (managerial control). Solusi ini ditawarkan mengingat adanya sebuah asumsi tertentu tentang perilaku karyawan. Beberapa studi menyimpulkan, dalam sebuah organisasi korporasi, umumnya, 30 persen karyawannya memiliki rencana/keinginan untuk (willing to) melakukan tindak kejahatan terhadap perusahaan dalam berbagai bentuk. Sebanyak 30 persen lain sesekali tergoda melakukannya. Dan hanya 40 persen yang tegas menolak melakukannya.
Dalam komposisi ini, paling kurang, ada 30 persen dari total karyawan yang masih bisa dipengaruhi agar tidak melakukan kejahatan terhadap perusahaan (kelompok yang sesekali tergoda melakukan kejahatan). Untuk itu, dibutuhkan seperangkat kontrol yang di sisi lain tidak membuat seluruh sistem terpenjara. Kontrol terhadap perilaku karyawan paling kurang muncul dalam dua hal besar, yaitu sistem akuntansi (accounting system) dan paket kebijakan dan prosedur (policies & procedures) perusahaan.
Korporasi adalah entitas yang rumit karena selain menyimpan mekanisme teknis dan prosedural, juga dipenuhi aktor yang pada dasarnya bebas memainkan perannya. Dalam sebuah lingkungan yang dipenuhi tindakan kriminal, korporasi juga bisa menjadi bagian tak terpisahkan.
Menghadapi masalah kejahatan kerah putih di dunia perbankan, paling kurang ada tiga level ruang lingkup masalah. Yaitu, prosedur teknis dalam organisasi perusahaan. Berikutnya, lingkup pengambil kebijakan bisnis (business policy) yang menyangkut keputusan-keputusan politis di tingkat korporasi. Misalnya, apakah perusahaan akan bertahan atau meninggalkan investasi dalam situasi transisi sosial, ekonomi dan politik. Level paling atas adalah konspirasi di tingkat makro (ekonomi-politik). 
Kadang, kontrol yang dilakukan pengambil kebijakan tingkat korporasi tidak cukup untuk menghentikan terjadinya skandal, apalagi hanya lewat kontrol prosedural teknis. Pada gilirannya, skandal keuangan lebih menyangkut perkara politik tingkat tinggi yang melibatkan pemain-pemain kelas kakap yang sulit ditunjuk batang hidungnya. Semuanya gelap karena setiap indikasi ditepis dengan kemampuan berkelit yang luar biasa. Jangan-jangan sederet skandal perbankan ini akan ditutup dengan kesimpulan sumir dan tidak jelas, persis seperti kisah misteri yang sedang digandrungi di layar TV kita. Sulit dipercaya, tetapi ada. Dan menelusuri kejahatan kerah putih akan menyerupai pencarian alam gaib. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 
BAB III
PENUTUP 

 
  1. Kesimpulan 
    Dari uaraian diatas dapat disimpulkan bahwa kejahatan kerah putih pada dasarnya banyak dilakukan oleh orang-orang yang berkelas tinggi, orang berdasi, pejabat pemerintah atau orang yang memliki kedudukan tinggi di masyarakat sosial. Adapun kejahatan yang dilakukan berupa korupsi secara besar-besaran hingga menyebabkan kerugian bagi negara dan seluruh rakyatnya. Pembobolan bank sentral yang dilakukan para petinggi dan pegawai bank tersebut, menjadikan suatu ciri rentannya bidang perbankan di Indonesia. 
    Seharusnya para pejabat tinggi Indonesia merasa beruntung karena diberikan kepercayaan lebih oleh masyarakat dalam memimpin dan menjalankan tugasnya. Tapi apa kenyataannya, malah justru berbalik dari harapan semua pihak. Para petinggi itu justru mempergunakan kekuasaanya dijalan yang salah, tanpa memperhatikan dampak bagi masyarakat dan negara. 

 
  1. Kritik dan Saran 
    Dalam penulisan makalah ini, penulis sangat menyadari akan banyaknya kekurangan. Maka dari itu, besar harapan penulis untuk diberikan kritik maupun saran yang membangun dan berguna bagi penulis supaya bisa lebih baik lagi. 

     

     

     

     

     

     
DAFTAR PUSTAKA

 

 

 

 

 

 

 

 

 
Maryati Kun, Suryawati Juju; 2004, Sosiologi SMA Untuk kelas X, Esis dari Erlangga,Jakarta. 

Comments

Popular posts from this blog

Kekerasan di Perkotaan

Kisah Seorang Preman Kupang (1)

Temuan Riset: Kepolisian dan Pemerintah Daerah Tidak Paham Apa itu Ujaran Kebencian