Saat Perempuan Rawan Jadi Korban Pembunuhan ...
Kabar tentang perempuan menjadi korban pembunuhan tak pernah surut.
Dalam catatan Kompas.com, selama pekan pertama September 2015, telah
terjadi dua kasus pembunuhan di Jakarta.
Kasus pertama menimpa Suprapti, Kamis (3/9/2015). Pemilik rumah kos tersebut ditemukan tewas bersimbah darah di kamar kos miliknya di Jalan Tebet Utara 1, Tebet, Jakarta Selatan.
Kasus pertama menimpa Suprapti, Kamis (3/9/2015). Pemilik rumah kos tersebut ditemukan tewas bersimbah darah di kamar kos miliknya di Jalan Tebet Utara 1, Tebet, Jakarta Selatan.
Selain itu, juga ada kasus pembunuhan terhadap Hasani di Kramat
Jati, Jakarta Timur (4/9/2015). Pemilik warung di depan rumahnya
tersebut ditemukan tewas dalam kondisi leher tergorok.
Belakangan, polisi menangkap pembunuh Suprapti pada Sabtu (5/9/2015) di Majalengka. Pembunuh tersebut, GG (21) dan TA (19), adalah penghuni kos milik Suprapti.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Mohammad Iqbal mengatakan, sejak dua minggu menempati kamar indekos, mereka selalu dimarahi Suprapti. Bahkan, menurut pengakuan GG dan TA, Suprapti tak segan-segan memarahi mereka di hadapan orang lain.
Hal tersebut lah yang kemudian memicu pembunuhan terhadap Suprapti.
Sementara itu, kasus Hasani belum dapat terpecahkan. Polisi masih terus memburu pelaku yang diduga bukan bermoif ekonomi.
Rawan
Perempuan, dalam budaya di Indonesia, dinilai belum mendapatkan tempat sejajar dengan laki-laki. Sehingga, hal ini kerap kali menjadi dasar adanya tindakan kekerasan bahkan pembunuhan terhadap perempuan.
Kriminolog Universitas Indonesia Yogo Tri Hendiarto mengatakan, perempuan dalam konsep masyarakat patriarki dianggap sebagai mahluk yang lemah. Salah satunya dari proses awal sosialisasi yang menyebut bahwa perempuan adalah mahluk lemah lembut, penyayang dan tidak melakukan kekerasan.
"Sedangkan kalau lelaki disosialisasikan sebagai orang dominan, obsesif, kemudian merasa memiliki perempuan," kata Yogo saat dihubungi Kompas.com, Senin malam.
Dari pandangan tersebut, Yogo menilai bahwa perempuan berisiko untuk menjadi korban pembunuhan oleh laki-laki. Maka itu, pandangan tersebut harus segera diubah.
"Bahwa perempuan juga harus dilindungi, bukan untuk mendapatkan kekerasan," kata Yogo.
Terdapat berbagai macam faktor yang memicu terjadinya kekerasan atau pun pembunuhan terhadap perempuan. Salah satunya terkait posisi perempuan dalam struktur masyarakat.
"Dari proses interaksi dua individu (perempuan dan laki-laki). Apakah proses (interaksi) tadi menimbulkan aksi dan reaksi dari si korban (peremmpuan) terhadap pelaku (laki-laki). Misalnya dari umpatan, cacian itu perempuan bisa jadi korban," kata Yogo.
Dalam beberapa kasus, umpatan dan cacian bisa berujung pada pembunuhan. Hal ini misalnya tercermin pada kasus Deudeuh dan Hayriantira. Keduanya sempat melontarkan umpatan terhadap pelaku, yakni RS dan Andi Wahyudi.
Adanya proses interaksi berujung pada peristiwa kekerasan atau pun pembunuhan tersebut merupakan bagian dari tidak bisa melindungi diri. Sehingga perempuan pun menjadi korban.
"Hubungan superordinat dan subordinat terlihat dari hubungan laki-laki dan perempuan," kata Yogo.
Solusi
Butuh banyak kesabaran untuk mengubah pola pikir masyarakat di Indonesia mengenai struktur masyarakat antara laki-laki dan perempuan. Namun, kesabaran tersebut tentu akan membuahkan hasil berupa pencegahan terjadinya pembunuhan terhadap perempuan.
Menurut Yogo, pendidikan dan sosialisasi bahwa hubungan laki-laki dan perempuan harus dihormati adalah solusi jangka panjang. Selain itu, masyarakat harus menyadari bahwa kekerasan bukanlah satu-satunya jalan untuk menyelesaikan masalah.
"Ada proses jangka panjang perubahan mindset masyarakat. Bagaimana menyelesaikan konflik yang damai," kata Yogo.
Selain itu, untuk jangka pendek juga dibutuhkan kesadaran dari masyarakat untuk memberikan pertolongan terhadap tetangganya yang mendapatkan kekerasan. Sehingga tidak dibiarkan begitu saja dan berakhir pada pembunuhan.
"Polisi juga harus lebih sering lagi berpatroli, misalnya mensurvei rumah tangga mana saja yang kerap bertengkar suami istrinya," kata Yogo.
Yogo menegaskan, kasus pembunuhan hampir 90 persen karena adanya hubungan relasi. Sehingga interaksi dalam relasi tersebut dapat menyumbang adanya kasus pembunuhan.
Belakangan, polisi menangkap pembunuh Suprapti pada Sabtu (5/9/2015) di Majalengka. Pembunuh tersebut, GG (21) dan TA (19), adalah penghuni kos milik Suprapti.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Mohammad Iqbal mengatakan, sejak dua minggu menempati kamar indekos, mereka selalu dimarahi Suprapti. Bahkan, menurut pengakuan GG dan TA, Suprapti tak segan-segan memarahi mereka di hadapan orang lain.
Hal tersebut lah yang kemudian memicu pembunuhan terhadap Suprapti.
Sementara itu, kasus Hasani belum dapat terpecahkan. Polisi masih terus memburu pelaku yang diduga bukan bermoif ekonomi.
Rawan
Perempuan, dalam budaya di Indonesia, dinilai belum mendapatkan tempat sejajar dengan laki-laki. Sehingga, hal ini kerap kali menjadi dasar adanya tindakan kekerasan bahkan pembunuhan terhadap perempuan.
Kriminolog Universitas Indonesia Yogo Tri Hendiarto mengatakan, perempuan dalam konsep masyarakat patriarki dianggap sebagai mahluk yang lemah. Salah satunya dari proses awal sosialisasi yang menyebut bahwa perempuan adalah mahluk lemah lembut, penyayang dan tidak melakukan kekerasan.
"Sedangkan kalau lelaki disosialisasikan sebagai orang dominan, obsesif, kemudian merasa memiliki perempuan," kata Yogo saat dihubungi Kompas.com, Senin malam.
Dari pandangan tersebut, Yogo menilai bahwa perempuan berisiko untuk menjadi korban pembunuhan oleh laki-laki. Maka itu, pandangan tersebut harus segera diubah.
"Bahwa perempuan juga harus dilindungi, bukan untuk mendapatkan kekerasan," kata Yogo.
Terdapat berbagai macam faktor yang memicu terjadinya kekerasan atau pun pembunuhan terhadap perempuan. Salah satunya terkait posisi perempuan dalam struktur masyarakat.
"Dari proses interaksi dua individu (perempuan dan laki-laki). Apakah proses (interaksi) tadi menimbulkan aksi dan reaksi dari si korban (peremmpuan) terhadap pelaku (laki-laki). Misalnya dari umpatan, cacian itu perempuan bisa jadi korban," kata Yogo.
Dalam beberapa kasus, umpatan dan cacian bisa berujung pada pembunuhan. Hal ini misalnya tercermin pada kasus Deudeuh dan Hayriantira. Keduanya sempat melontarkan umpatan terhadap pelaku, yakni RS dan Andi Wahyudi.
Adanya proses interaksi berujung pada peristiwa kekerasan atau pun pembunuhan tersebut merupakan bagian dari tidak bisa melindungi diri. Sehingga perempuan pun menjadi korban.
"Hubungan superordinat dan subordinat terlihat dari hubungan laki-laki dan perempuan," kata Yogo.
Solusi
Butuh banyak kesabaran untuk mengubah pola pikir masyarakat di Indonesia mengenai struktur masyarakat antara laki-laki dan perempuan. Namun, kesabaran tersebut tentu akan membuahkan hasil berupa pencegahan terjadinya pembunuhan terhadap perempuan.
Menurut Yogo, pendidikan dan sosialisasi bahwa hubungan laki-laki dan perempuan harus dihormati adalah solusi jangka panjang. Selain itu, masyarakat harus menyadari bahwa kekerasan bukanlah satu-satunya jalan untuk menyelesaikan masalah.
"Ada proses jangka panjang perubahan mindset masyarakat. Bagaimana menyelesaikan konflik yang damai," kata Yogo.
Selain itu, untuk jangka pendek juga dibutuhkan kesadaran dari masyarakat untuk memberikan pertolongan terhadap tetangganya yang mendapatkan kekerasan. Sehingga tidak dibiarkan begitu saja dan berakhir pada pembunuhan.
"Polisi juga harus lebih sering lagi berpatroli, misalnya mensurvei rumah tangga mana saja yang kerap bertengkar suami istrinya," kata Yogo.
Yogo menegaskan, kasus pembunuhan hampir 90 persen karena adanya hubungan relasi. Sehingga interaksi dalam relasi tersebut dapat menyumbang adanya kasus pembunuhan.
sumber: KOMPAS.com
Comments
Post a Comment