Menimbang Keadilan Restoratif untuk Kejahatan Korporasi
Tanggung jawab atas kejahatan tak lagi melulu dibebankan kepada
manusia. Dunia internasional sudah lama menerapkan tanggung jawab
korporasi terutama dalam kejahatan ekonomi. Kejahatan yang dilakukan
direksi, eksekutif atau pengurus korporasi adalah kejahatan ekonomi,
sehingga kejahatan ekonomi sering disebut sebagai kejahatan korporasi
(hal. 2).
Meminta tanggung jawab korporasi atas tindak pidana berarti menempatkan
korporasi sebagai subjek hukum pidana. Penempatan ini membawa banyak
pertanyaan bagi masyarakat awam: bagaimana caranya meminta tanggung
jawab? Siapa yang harus bertanggung jawab di level pimpinan korporasi?
Apakah sanksi pidananya sampai membubarkan korporasi? Bagaimana
pengaturan dan implementasinya di Indonesia?
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang coba dijawab dan dipaparkan Rufinus
Hotmaulana Hutauruk dalam buku yang diterbitkan pertama kali Juli 2013
lalu. Buku ‘Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan Restoratif: Suatu Terobosan Hukum’ diangkat dari disertasi penulis di Universitas Padjadjaran Bandung, 2007.
Seperti yang dikemukakan Prof. Muladi dalam bagian pengantar, prinsip
yang ingin disampaikan Rufinus dalam buku ini aalah penanggulangan
kejahatan melalui pendekatan yang lebih menekankan pemulihan masalah
kepada kondisi semula. Bagi Rufinus, penerapan pendekatan restoratif
dalam hukum pidana Indonesia merupakan amanat pelaksanaan asas-asas
hukum pidana (ultimum remedium) termasuk filosofi tujuan pemidanaan yang
sejalan dengan Pancasila (hal. 256).
Penulis mengakui hukum Indonesia masih menekankan pada pendekatan
represif dan retributif. Dalam sistem yang berlaku sekarang, pendekatan
restoratif masih sebagai alternatif atau pelengkap atas sistem peradilan
pidana yan ada (hal. 282).
Meskipun untuk saat ini sifatnya melengkapi, sebenarnya ‘jejak’
tanggung jawab korporasi dan pendekatan restoratif bisa ditelusuri lebih
jauh. Kajian yang dilakukan penulis buku menemukan fakta ada sekitar
72 peraturan perundang-undangan nasional yang menyinggung tindak pidana
korporasi. Namun demikian, istilah yang dipakai tidak selalu korporasi,
karena sebutan korporasi baru disinggung dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (hal. 26-46).
Judul |
Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan Restoratif Suatu Terobosan Hukum |
Penulis |
Rufinus Hotmaulana Hutauruk |
Cet-1 |
Juli 2013 |
Penerbit |
Sinar Grafika, Jakarta |
Halaman |
303 + xix |
Pendekatan restoratif pada hakikatnya sudah dikenal sejak zaman Arab,
Yunani, dan Romawi. Jejak pendekatan itu dalam hukum Indonesia bisa
dilihat pada konsep penyelesaian kejahatan dalam masyarakat hukum adat.
Dalam konteks ini, pendekatan restoratif bermakna membangun kembali
hubungan yang rusak akibat tindak pidana. Dengan kalimat lain,
pendekatan tersebut bermakna ‘mengembalikan keseimbangan yang terganggu’
(hal. 107-109).
Pendekatan restoratif dalam kejahatan korporasi sudah dipraktekkan di
Indonesia. Ada empat kasus yang dianalisis penulis dalam buku ini, yakni
kasus dugaan pelanggaran UU Pasar Modal oleh PT Bank Lippo Tbk, kasus
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), kasus Merryl Lynch, dan kasus Monsanto. Penyelesaian keempat kasus ini mencerminkan pendekatan yang bersifat restoratif persuasif (hal. 200).
Rufinus, managing partner Rufinus Hotmaulana & Partners,
menyelesaikan dan mempertahankan disertasi, yang kemudian menjadi bahan
dasar buku ini pada 2007. Setelah tahun itu, peraturan
perundang-undangan Indonesia telah mengalami perkembangan. Sehingga
daftar peraturan yang mengenal tanggung jawab korporasi bisa bertambah
seperti UU Pornografi (UU No. 44 Tahun 2008).
Pembaca perlu kritis membaca perundang-undangan karena beberapa dasar
hukum yang disebut dalam buku ini sudah mengalami perubahan. Tentu saja,
semua pembaca juga berhak memajukan perspektif berbeda terhadap
substansi buku, dalam arti mengkritik materi buku ini dari berbagai
sudut pandang. Dan itu bisa dilakukan dengan membacanya, bukan? Selamat
membaca…
sumber: www.hukumonline.com
Comments
Post a Comment