Penjahat dan Kejahatan Lingkungan
Dalam definisi yang dipublikasikan oleh WALHI (Mei, 2004), Penjahat Lingkungan adalah Orang atau Lembaga yang melakukan Tindakan Perampasan atau penghilangan HAL dan sumber-sumber kehidupan rakyat yang dilakukan secara langsung melalui pengaruh, kekuatan modal, kekuatan politik dan kekuasaan (posisi-jabatan) di dalam suatu badan usaha/pemerintahan atau TNI – POLRI yang menimbulkan dan mengakibatkan pengrusakan atau pemusnahan, secara terus-menerus, lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan rakyat (ecocida) serta ancaman terhadap keamanan hidup manusia (human security).
Definisi ini dimaksudkan untuk mempertegas sejumlah tindak kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh sejumlah aktor. Banyak dari mereka telah terlibat dalam praktek kejahatan lingkungan tetapi tidak mendapatkan sanksi hukum, politik yang setara. Bahkan, para penjahat lingkungan tersebut, terkesan kebal hukum di negara ini, karena regulasi lingkungan hidup tidak begitu tegas mengatur tentang para penjahat lingkungan.
Kejahatan lingkungan hidup telah diatur dalam Undang-Undang No 23 tahun 1997. Bab yang mengatur tentang ketentuan pidana dicantumkan dalam Bab IX dalam undang-undang tersebut, meliputi pasal 41 sampai dengan pasal 48. Pasal 48 menyatakan bahwa tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab IX adalah kejahatan.
Sayang sekali, dalam undang-undang tersebut tidak didefinisikan apa yang dimaksud dengan kejahatan lingkungan hidup. Yang didefinisikan di dalam undang-undang ini hanyalah kerusakan lingkungan hidup yang disebutkan di dalam Pasal 1 ayat 14, yaitu Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan; dengan demikian pasal 48 UU PLH adalah kejahatan tanpa ada definisi.
Dengan segala kontradiksinya, UU 41/1999 tentang Kehutanan telah mendefinisikan paling sedikit 13 kategori aktivitas kejahatan yang terkait dengan kehutanan yang dapat dihukum minimal selama 5 tahun dan denda antara Rp 5-10 milyar. Beberapa dari aktivitas tersebut di antaranya adalah:
* Merusak infrastruktur yang digunakan untuk perlindungan hutan;
* Terlibat di dalam kegiatan yang mendukung degradasi hutan;
* Menggunakan atau menempati sebagian dari Kawasan Hutan tanpa persetujuan Menteri;
* Menebang pohon dalam batas 500 meter dari tepi waduk atau danau;
* Membakar hutan;
* Memanen hasil hutan tanpa memiliki izin atau hak;
* Menambang di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri;
* Mengangkut hasil hutan tanpa dokumen yang sah;
* Membawa peralatan berat ke kawasan hutan tanpa memiliki izin.
Dalam makalah yang disampaikan pad akesempatan diskusi kejahatan Lingkungan, Sunarwiatai Sartomo juga telah mendefinisikan Kejahatan lingkungan sebagai berikut: "Perbuatan melawan hukum berupa pencemaran dan atau perusakan atas lingkungan hidup baik lingkungan alam/fisik, lingkungan buatan, maupun lingkungan sosial-budaya, yang dilakukan oleh anggota masyarakat atau badan hukum."21
Menurutnya, ditinjau dari perspektif kriminologi, kejahatan lingkungan cukup unik dibanding dengan jenis kejahatan lain, baik kejahatan konvensional maupun kejahatan kontemporer. Beberapa unsur kajian dalam kriminologi, seperti unsur pelaku, korban, dan reaksi sosial yang selalu menjadi bahasan utama, memperjelas keunikan dari kejahatan lingkungan.22
Berikut disajikannya perbandingan kejahatan antar-kejahatan konvensional dan kejahatan kontemporer dengan kejahatan lingkungan.23
No Unsur Kejahatan Konvensional/Kontemporer Kejahatan Lingkungan
1 Pelaku Individu Kolektif Kolektif
2 Korban Idem Idem
3 Reaksi Sosial Langsung dan Segera Tidak Langsung dan Lamban
4 Pembuktian Langsung Cepat dan Mudah Sulit dan Jangka Panjang
Kementerian Lingkungan Hidup telah mengusulkan peradilan lingkungan hidup dilakukan melalui terobosan dengan hakim datasering. Pada tahun 2004, telah ditandatangani bersama oleh Mahkamah Agung, POLRI, Kejaksaan Agung, dan Kementerian Lingkungan Hidup adalah peradilan satu atap.
Hal ini memang masih dicurigai belum dapat menindak secara tegas pelaku-pelaku kejahatan lingkungn dan menjawab tantangan penegakan hak atas lingkungan. Begitu pun pemulihan lingkungan hidup, bahkan dalam peradilan tersebut, pendekatan yang dilakukan dalam menjerat para pelaku tindak pidana lingkungan masih berdasarkan pada aturan main yang konvensional, yang memungkinkan pelaku ingkar, kalaupun dapat bertanggung jawab mungkin hanya sebatas pada tanggung jawab fisik atas lingkungan, lalu bagaimana dengan gejala-gejala sosial yang terjadi akibat kerusakan lingkungan tersebut.
Karena rumitnya pembuktian pelaku tindak kejahatan lingkungan, kasus-kasus kerusakan lingkungan hidup harus dilakukan upaya yang memposisikan kejahatan lingkungan hidup dalam kategori extra ordinary crime dengan mengacu pada undang-undang khusus tentang lingkungan hidup di mana undang-undang tersebut mencantumkan secara tegas apa yang dimaksudkan dengan kejahatan lingkungan hidup.
Dalam rangka penegakan hukum atau memberikan dampak penjeraan bagi para penjahat lingkungan. Saat ini, WALHI sedang melakukan pengkajian berbagai kemungkinan upaya hukum yang lebih tegas menindak para penjahat lingkungan melalui peradilan AD HOC bagi kejahatan lingkungan demi ditegakkannya hukum, keadilan sosial dan ekologi, keberlanjutan kehidupan masyarakat dan penenuhan HAL, khususnya bagi masyarakat yang bertahun-tahun belakangan ini didiskriminasi hak-haknya.(http://kalangkakng.blogspot.com)
Comments
Post a Comment