Fenomena Begal; Apakah Media Menjadi Salah Satu Pencetusnya?
Sebuah
pesan yang masuk ke grup Line berhasil membuat saya bergidik sekaligus
kesal. Pesan itu berisi foto berikut berita – yang entah itu hoax atau
tidak – mengenai korban pembegalan yang baru saja terjadi di Bandung
Trade Center (BTC). Ada dua pertanyaan besar di kepala saya: Pertama, kenapa masih saja ada oknum yang semakin memperkeruh suasana dengan menyebarkan berita begitu? Mau bikin orang takut dan panik? Kedua, ada apa dengan para pelaku begal? Kok, rasanya makin diekspos malah makin ingin eksis?
Pembegalan berasal dari kata be-gal yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti proses, cara, perbuatan merampas di jalan. Sedangkan menurut England and West of Theft Act, seseorang
dinyatakan melakukan pembegalan ketika ia melakukan pencurian atau
perampasan dengan paksaan, demi membuat korban tersebut takut.
Dan tahukan Anda, rupanya menurut kajian Louise E. Porter mengenai Roberry, pembegalan
itu bisa ditujukan untuk mendapatkan barang komersil (biasanya lebih
terencana dan dalam jumlah besar) serta bisa pula untuk barang personal.
Nah, menurut Porter, pelaku begal yang tujuannya untuk barang personal
cenderung lebih ‘kejam’ atau hostile.
Saya
lebih tertarik untuk membahas pembegalan jenis kedua karena inilah yang
saya asumsikan secara amatir sedang terjadi di Indonesia.
Bahkan
Porter dan Alison sempat membuat penelitian yang mengungkap bahwa
perilaku begal cenderung menunjukkan pola perilaku yang bisa
tergambarkan dalam empat dimensi: Dominance vs. Submission serta Cooperation vs. Hostility. Pelaku dengan pola pertama, yakni Dominance akan membuat korbannya benar-benar tidak berdaya, seperti dengan cara mengikat korbannya. Sedangkan pelaku dengan tipe Submission adalah
orang-orang yang korbannya masih bisa memberontak. Kalau Anda sering
menyaksikan film pembegalan di bank-bank besar, itu rupanya tergolong
pada perilaku tipe Cooperation. Dimana pelaku biasanya
menggunakan pistol untuk mengancam dan secara tidak langsung menyuruh
korban ‘bekerja sama’ untuk kemauannya. Lain lagi dengan jenis Hostility, pelaku akan melakukan apapun demi meluncurkan niat buruknya, misalnya dengan melukai bahkan membunuh korbannya.
Lantas, apa kira-kira motif yang melatarbelakangi pelaku begal?
Jawabannya
selalu macam-macam dan bervariasi. Bahkan, jika ditelisik dari sudut
pandang Psikologi Forensik, ada banyak hal yang harus ditelusuri atas
perilaku kriminal seseorang. Apakah dari latar belakang sosialnya,
kepribadiannya, masa kecilnya, dan sebagainya. Namun, Porter mencoba
menggambarkan motif beberapa pelaku begal yang ia teliti. Hal yang
mengejutkan bahwa tidak semuanya dilatarbelakangi oleh kebutuhan
ekonomi.
Street culture salah satu penyulutnya.
Porter mengemukakan bahwa pelaku begal bisa saja terstimulus karena adanya street culture, yakni pola hidup penuh dengan semarak atau excitement, hedonisme, hingga rendahnya tanggung jawab dan pemikiran ke depan. Biasanya pada anak muda. Fakta lain ditemukan oleh Brookman&Bennett. Dari
hasil penelitiannya, rupanya beberapa pelaku begal mengakui kalau
tujuan utama perilakunya bukanlah untuk mendapatkan uang, melainkan
untuk bisa berkelahi dengan korbannya. Jadi, ketika mereka mendapati
korbannya justru pasif dan tidak melawan, bagi mereka itu adalah
kegagalan.
Insane yet it’s happened.
Well, jika
dilihat dari penelitian dan teori di atas, saya jadi berpikiran; Apakah
semakin maraknya fenomena begal yang mayoritas pelakunya masih muda ini
disulut oleh Street Culture? ‘Budaya’ yang belakangan kena sorot media, sehingga semakin meningkatkan kadar excitement para pelakunya sejalan dengan menurunkan tingkat tanggung jawab mereka?
I don’t know. Yang
perlu diingat bahwa perilaku kriminalitas seseorang, termasuk begal,
pasti dilatarbelakangi bukan hanya oleh satu sebab saja. If you wanna know about the story, you have to know the person itself, right? Setiap pelaku kriminal bisa saja memiliki sebab dan motif berbeda. Just stay safe and be careful! Semoga Tuhan selalu melindungi kita.
Comments
Post a Comment