Ekonomika Hukuman Mati
Isu
hukuman mati Bandar narkoba kembali populer setelah pernyataan
mengejutkan dari PM Australia. Setelah Belanda dan Brazil, Australia
menjadi Negara berikutnya yang memprotes kebijakan hukuman mati yang
dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Perdebatan terkait
kebijakan ini santer terdengar. Para pakar Hukum, HAM, hubungan
Internasional, hingga Agama bersuara dan berpendapat terkait kontroversi
ini. Pro kontra lumrah terjadi. Oleh sebab itu, dalam kesempatan kali
ini penulis mencoba bersuara terkait isu ini, tentunya dari sudut
pandang ekonomi. Bagaimana ilmu ekonomi menyikapi kebijakan hukuman
mati.
Ekonom pada umumnya
mempunyai energi lebih untuk meneliti berbagai fenomena kehidupan
manusia. Dari hal umum seperti pengaruh inflasi terhadap pengangguran,
hingga hal unik semacam berapa investasi non-cognitif yang ideal untuk
anak berusia 3-5 tahun. Tentu, fenomena hukuman mati bukan pengecualian.
Ekonom memiliki hobi untuk melihat kausalitas dalam sebuah kebijakan.
Bagaimana pengaruh kebijakan X terhadap variabel outcome Y, bagaimana
pengaruh kebijakan larangan SMS ketika berkendara terhadap jumlah
kecelakan. Dalam konteks hukuman mati, ekonom pun mencoba mencari
hubungan kausalitas, dimana outcome variable yang digunakan
adalah angka kriminalitas. Mudahnya, ekonom mencoba mencari tahu
pengaruh hukuman mati terhadap angka kriminalitas.
Teori Hukuman Mati
Ekonom
membangun teori lalu mencoba melakukan pembuktian empiris. Secara
teori, hukuman mati menurunkan angka kriminalitas. Logika dasar dibalik
teori ini sangat sederhana. Hukuman mati menaikkan biaya melakukan
kejahatan, sehingga para penjahat enggan melakukan kejahatan. Pada
dasarnya hukuman mati adalah biaya dari melakukan kejahatan (jika
tertangkap). Jika sebelumnya hukuman dari membunuh maksimal “hanya”
penjara seumur hidup, maka dengan menetapkan adanya hukuman mati,
Pemerintah baru saja menaikkan biaya dari kejahatan. Efeknya, penjahat
akan berpikir ulang untuk melaksanakan kejahatannya.
Dalam
konteks pengedar narkoba, kenaikan biaya melakukan kejahatan ini tentu
sangat memberatkan, mengingat betapa kecilnya revenue yang mereka
dapatkan dari bisnis ini. Pengarang buku Freakonomics, Steven D Levitt
dan Stephen J.Dubner, mengatakan bahwa pengedar narkoba umumnya masih
hidup dengan orangtua mereka, karena banyaknya lapisan dan jumlah orang
yang terlibat dalam bisnis ini menyebabkan pengedar narkoba kelas
kacangan hanya mendapatkan sedikit remahan keuntungan. Tentu kita tidak
bisa membandingkan dengan keuntungan besar yang didapatkan oleh karakter
Walter White dalam drama series Breaking Bad, tapi setidaknya Levitt
dan Dubber menggambarkan kondisi umum pengedar narkoba di Amerika.
Sehingga pada akhirnya kenaikan biaya yang signifikan (menjadi hukuman
mati), ditambah dengan keuntungan yang minimalis, seharusnya membuat
para pengedar narkoba berpikir dua kali sebelum memasuki pasar ini.
Dapat disimpulkan, secara teori hukuman mati akan memberikan efek
terhadap turunnya angka kriminalitas. Akan tetapi perlu diingat bahwa
itu baru kesimpulan secara teori, perlu dilakukan pembuktian empirik
atas teori ini.
Pembuktian Empirik Hukuman Mati
Pembuktian
empirik merupakan hobi dari banyak ekonom. Banyak ekonom berlomba-lomba
menciptakan metodologi yang tepat untuk mengukur seberapa besar efek
dari hukuman mati. Salah satu hasil penelitian yang termahsur adalah
yang dilakukan oleh Isaac Erlich (1975), dimana menujukkan bahwa setiap
satu hukuman mati yang dilakukan akan menyelamatkan delapan nyawa. Hasil
tersebut tentunya menuai berbagai kontroversi. Hebatnya, penelitian
tersebut digunakan sebagai argumen dasar untuk mengembalikan kebijakan
hukuman mati di Amerika pada tahun 1976. Sebagaimana yang penulis baca,
Pemerintah Amerika pernah melakukan moratorium hukuman mati di tahun
1972, dan menghentikan moratorium di tahun 1976. Penelitian lain yang
mendukung pendapat ini dilakukan oleh Dezhbakhsh dan Shepherd (2006),
yang menyatakan bahwa hukuman mati dapat menurunkan angka kriminalitas.
Dalam salah satu estimasi yang mereka lakukan menunjukkan, setiap satu
hukuman mati dapat menurunkan tingkat pembunuhan sebesar 0.0877.
Secara
kasar, data menunjukkan bahwa selama masa moratorium hukuman mati,
kejahatan (dalam konteks ini pembunuhan) meningkat tajam, dari 6
pembunuhan di setiap 100.000 penduduk, menjadi 8 di setiap 100.000,
kenaikan 6 ke 8 memang terlihat kecil, akan tetapi jika dikalikan ke
total penduduk Amerika maka kita akan menyadari bahwa angka kriminalitas
meningkat tajam. Lalu apakah dari data tersebut kita dapat menyimpulkan
bahwa hukuman mati memang memberikan efek yang besar terhadap angka
kriminalitas?Sialnya, skeptis merupakan sifat dasar dari para peneliti.
Pertanyaan yang umumnya dipertanyakan adalah apakah meningkatnya
kejahatan disebabkan oleh faktor hukuman mati?atau apakah ada faktor
lain yang mempengaruhi?apakah faktor-faktor tersebut dimasukkan ke dalam
model?apakah ada bias dalam model yang dibuat?bagaimana tren sebelum
dan sesudah kebijakan?Berbagai pertanyaan tersebut mendorong banyak
ekonom melakukan penelitian tandingan, dan sebagaimana umumnya ekonom,
hasilnya seringkali bertolak belakang.
Salah
satu penelitian yang menentang dampak hukuman mati adalah penelitian
yang dibuat oleh Katz, Levitt dan Shustorovich (2003). Pada awalnya,
mereka mengatakan bahwa “tingkat eksekusi hukuman mati di Amerika
sangatlah rendah, bahkan hanya dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan
tingkat kematian dari berkendara”. Hal tersebut bersumber dari fakta
bahwa di tahun 2003, dari 16.503 pembunuh, hanya 144 yang mendapatkan
keputusan hukuman mati, bahkan di tahun yang sama, dari 3374 orang yang
mengantri untuk dihukum mati, hanya 65 yang benar-benar di hukum.
Kesimpulan dari penelitan mereka adalah hukuman mati tidak memberikan
dampak bagi menurunnya angka kriminalitas, bahkan dalam beberapa hal
justru sebaliknya.
Donhue dan Wolfers (2006), mencoba melakukan robustness check
terhadap sejumlah penelitian yang dilakukan. Hasil yang mereka temukan
adalah sulit untuk menyimpulkan bahwa hukuman mati memberikan efek
terhadap angka kriminalitas. Hasil yang mereka temukan menunjukkan
dampak dari hukuman mati sangatlah kecil (mendekati nol), bahkan dalam
beberapa uji yang mereka lakukan justru mendapatkan hasil positif
(meningkatkan angka kriminalitas). Hal tersebut, mereka yakini atas
sejumlah permasalahan metodologi dan bias yang ada pada penelitian
terkait hal ini.
Metodologi
Saat
ini anda sedang memasuki bagian paling membosankan dari tulisan ini,
yaitu metodologi. Banyak metodologi yang digunakan untuk meneliti
fenomena ini. Umumnya metodologi yang dipakai adalah difference in
difference (DiD) atau menggunakan instrument variable (2SLS). Setiap
metodologi tentu memiliki masalah dan kekurangan. Contohnya, apabila
menggunakan metodologi DiD, terdapat asumsi kuat yang harus dipenuhi,
yaitu persamaan tren antara treatment dan control group. Dalam
penelitian dampak hukuman mati, sejumlah peneliti menggunakan berbagai
control group, contohnya menggunakan kanada (yang ternyata memiliki tren
kriminalitas yang serupa dengan Amerika) ataupun menggunakan Negara
bagian Amerika yang pada saat moratorium tetap melaksanakan hukuman
mati. Metode ini, menurut saya sulit untuk di replikasi dalam kasus
Indonesia, karena tentu Indonesia akan kesulitan mencari control group
yang sesuai. Apakah Indonesia bias memakai Malaysia atau Brunei sebagai
control group?dan tidak seperti Amerika, Indonesia bukan merupakan
Negara serikat, yang setiap Negara bagian dapat menetapkan hokum sendiri
(terkait hukuman mati).
Metode lain yang cukup
sering dipakai adalah menggunakan instrument variable. Contohnya pada
penelitian yang dilakukan oleh Dezhbaksh, Rubin dan Shepherd (200),
mereka menggunakan sejumlah instrument yang cukup menarik seperti gaji
dari polisi, pengeluaran pengadilan, share dari suara partai Republik, dan jumlah orang yang dipenjara. Sebagaimana umumnya metodologi instrument variable,
mereka mempercayai (dan membuktikan) bahwa variablel tersebut memiliki
dampak terhadap keputusan hukuman mati, dan hukuman mati memiliki dampak
terhadap angka kejahatan. Kelebihan dari metodologi ini adalah
mengurangi resiko terjadinya omitted variable bias, sedangkan kelemahan dari metodologi ini adalah sulitnya mencari instrument yang akurat.
Penutup
dari tulisan panjang dan melelahkan ini adalah pendapat penulis
terhadap kebijakan hukuman mati. Secara teori, penulis percaya bahwa
hukuman mati dapat menurunkan angka kriminalitas. Tentu harus ada
pembuktian terkait kasus di Indonesia. Berbagai hasil penelitian empiris
yang dilakukan di Amerika tentu tidak bisa menjadi justifikasi terkait
kondisi Indonesia, karena harus dilihat external validity dari
pembuktian empiris tersebut. Salah satu yang paling jelas adalah ada
perbedaan karakter dan budaya antara Indonesia dan Amerika, external validity
dari berbagai hasil pembuktian empiris di atas tentu diragukan. Penulis
baru dapat mengatakan apakah hukuman mati dapat memberikan dampat atau
tidak tentu setelah kebijakan hukuman mati sudah dilaksanakan. Mungkin
beberapa tahun ke depan, dampak dari hukuman mati sudah dapat
dikalkulasi dan diteliti. Untuk saat ini, mungkin kita harus bersabar
dan tidak perlu terburu-buru berpendapat terkait efek dari hukuman mati.(http://m.kompasiana.com)
Comments
Post a Comment