Albertina Ho Hakim Andal Anak Desa Dobo yang Bersahaja


Di persidangan, Hakim Albertina Ho selalu selalu terlihat tenang, berwibawa, bahkan cenderung ‘dingin’. Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan kepada saksi atau tersangka tidak meletup-letup, tetapi mencecar yang membuat orang tak berkutik. Bila saksi mencoba berkelit, ia tak kehabisan akal. Dengan nada berkelakar, ia mematahkan nyali orang itu.

Satu contoh ketika ia menjadi hakim pada sidang kasus korupsi Gayus Tambunan yang sempat menyita perhatian publik secara luas. Petugas bank tempat Gayus menyimpan uang korupsi miliaran rupiah tidak dapat menjelaskan surat yang dikeluarkannya adalah surat penyitaan atau pemblokiran, dan tidak pula mengecek jumlah nominal uang tersebut.  “Jawabnya janganmbulet (mutar-mutar atau berkelit—Red). Anda ini seperti baru di-training langsung kerja ya, kok tidak tahu prosedur? Ceroboh begitu,” kata Albertina.
Sebagai hakim tipikor (tindak pidana korupsi), alumnus Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (1985) dan Magister Hukum Universitas Jenderal Soedirman (2004) ini dikenal sebagai hakim yang profesional. Ini tak luput dari proses panjang pendidikan maupun pengalamannya sebagai hakim. Lulus pendidikan Cakim (calon hakim) di Yogyakarta, ia berdinas sebagai hakim di Pengadilan Negeri Yogyakarta (1986-1990), Pengadilan Negeri Slawi, Jawa Tengah (1990-1996), Pengadilan Negeri Cilacap, Jawa Tengah (2002-2005), lalu Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (2008-2011) sebelum kemudian pindah ke PN Sungai Liat, Bangka Belitung hingga kini. Ia sempat dipanggil menjadi Sekretaris Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial (2005-2008).
“Sekarang saya bertugas sebagai Hakim Tipikor di Bangka Belitung, menangani sidang korupsi di PN Sungailiat dan dua kali seminggu di PN Pangkalpinang yang berjarak tempuh 45-60 menit,” ujar Albertina Ho kepada KABARI. “Saya juga mengikuti berbagai pelatihan yang diadakan oleh Pusat Pendidikan dan Latihan Mahkamah Agung (Pusdiklat MA) atau lembaga-lembaga lain yang bekerja sama dengan Pusdiklat MA.”
Pribadi yang bersahaja
Sebagai hakim, nama Albertina Ho diakui cukup harum. Namun, dengan prestasinya itu, Anda pasti tak menyangka kalau ia sama sekali tak terpikir ingin menjadi hakim. “Hidup saya mengalir begitu saja. Sekolah,
kuliah lalu bekerja. Satu hal yang membuat saya terus maju adalah pesan Nenek ketika saya masih kanak-kanak. ‘Kita tidak punya apa-apa. Kalau mau jadi orang, kamu harus terus bersekolah’. Ternyata Nenek saya benar sekali. Ilmu kekayaan yang abadi dan membantu kita memperbaiki nasib,” ujar anak sulung dalam keluarga itu.
Lahir di Desa Dobo, Maluku Tenggara, Albertina menjalani hidup yang tidak mudah. Ketika teman-teman seusianya bermanja pada orang tua, ia harus bekerja untuk dapat bersekolah. “Saya anak desa. Naik ke kelas 5 SD, saya berangkat sendiri ke Ambon, ibu kota Maluku dan ikut saudara. Saya boleh menumpang di rumah mereka dan sekolah, tapi imbalannya, saya harus bekerja untuk mereka,” ujar Albertina. “Merantau itu berat. Tapi saya selalu ingat nasihat Nenek, sehingga tidak patah semangat. Yang penting, bisa sekolah.” Hidup di perantauan mengajarkan banyak hal padanya. “Kehidupan ini guru saya yang sesungguhnya. Bahwa dalam hidup ini, di samping memiliki hak, manusia juga punya tanggung jawab dan kewajiban yang harus dijalankannya. Dan untuk mendapatkan sesuatu, harus berjuang. Tidak ada yang jatuh dari langit,” tambah Albertina, yang sejak usia dini sudah belajar membagi waktu, untuk belajar, mengerjakan tugas rumah tangga dan¸menjaga toko. Begitu terus hingga ia berhasil lulus SMA.
Berpegang pada nasihat sang Nenek, Albertina Ho memutuskan merantau ke Yogyakarta untuk kuliah. Dengan kemampuan ekonomi keluarga yang terbatas, ia memilih kuliah di Fakultas Hukum, Universitas Gajah Mada, meski ia juga diterima di jurusan eksakta, Universitas Atmajaya. “Saya pilih kuliah bidang sosial, karena pertimbangannya satu: masalah biaya. Kalau bidang eksakta pasti jadi mahal dan khawatir berhenti di tengah jalan, karena masih harus mengeluarkan biaya ekstra untuk praktikum. Kalau menengok ke belakang hingga menjadi seperti sekarang, semua tak lain berkat peran Yang Maha Kuasa,” tegas Albertina.
Selalu bersyukur
Yang menonjol pada diri Albertina Ho adalah kesederhanaannya. Selama kuliah ia tinggal di Asrama Santikara di Jalan Colombo, Yogyakarta. Biaya kuliah dan hidup sehari-hari menunggu kiriman wesel (kiriman uang-red.) dari orang tua.
“Ada kejadian lucu. Saking seringnya wesel datang terlambat, hampir setiap bulan, akhirnya pimpinan asrama bosan melihat saya lapor. Dia bilang kepada saya, ‘Sudah, kamu kalau bayar tepat waktu saja baru lapor ya,” kenang Albertina sambil terkekeh mengenang masa-masa indah tinggal di asrama.
Meski penuh keterbatasan, Albertina tetap bersemangat dan gembira. Berteman baik dengan teman-teman seasrama, namun pantang baginya berkeluh kesah bila sedang tak punya uang. Ia selalu menjaga harga dirinya dengan baik. Tuhan selalu memberinya jalan. Ketika tak punya uang, ada saja teman asrama mengajaknya belanja ke pasar, lalu masak bersama lalu diajak ikut makan.
Kemudian lulus kuliah, orang tua berhenti mengiriminya uang, Albertina harus menyambung hidup sendiri. Ia diminta membantu seniornya melakukan penelitian S2 & S3 dengan menyebar angket dan serangkaian pertanyaan. Dengan imbalan itu ia dapat bertahan. “Imbalannya bukan lumayan lagi, buktinya saya bisa hidup sampai sekarang,” seloroh khas Albertina.
Meski kini telah menjadi hakim, hidupnya tetap sederhana, dan yang juga menonjol padanya adalah menjunjung tinggi kejujuran. Karena kejujurannya, ketika mengajukan kredit kepemilikan rumah di Yogya, pihak bank menolaknya, sebab gajinya sebagai hakim tidak mencukupi. Tetapi Tuhan memberinya jalan, yaitu bahu-membahu dengan adiknya, sehingga ia punya rumah mungil di ‘kota pelajar’ itu. “Senang sekali ada rumah untuk pulang setiap kali mudik pada akhir tahun,” kata Albertina dengan penuh syukur.
Ia juga hakim yang tidak dapat diintervensi oleh pihak luar. Prinsip ini dijaganya dengan baik. Bahkan saat membuat keputusan, ia mengetiknya sendiri. Tidak memakai jasa juru ketik. Kini bertugas di Bangka Belitung, Albertina Ho tetap Hakim Tipikor yang sederhana, jujur, bekerja dengan memegang prinsip kebenaran dan keadilan. Setia pula dengan kecintaannya bermain tenis.
Sebelum menutup perbincangan, Albertina Ho berpesan kepada generasi muda yang mungkin seperti dirinya. Jika tidak punya kesempatan mengenyam pendidikan di dalam rumah, tidak perlu kecil hati atau khawatir. “Belajarlah dari guru kehidupan, yaitu lingkungan kita. Berusaha dengan kuat dan selalu bersandar pada-Nya, kita akan selamat,” katanya. (www.kabarinews.com)

Comments

Popular posts from this blog

Kekerasan di Perkotaan

Temuan Riset: Kepolisian dan Pemerintah Daerah Tidak Paham Apa itu Ujaran Kebencian

Kisah Seorang Preman Kupang (1)