Polisi Jujur dan Ayam Penghibur



1361683443588864198
Ikan di laut tak otomatis menjadi asin hanya karena hidup di lingkungan berkadar garam tinggi dan aroma korup-hedonistik yang ditudingkan banyak orang pada lingkungan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) tak membuat Kombes Pol (P) Drs Dade Akhmad terhanyut dalam sistem yang bertentangan dengan suara hatinya.
Kang Dade (60), saat malam itu ditemui di rumahnya yang terletak di kawasan perbukitan Jatihandap- Cicaheum Bandung, bertutur dengan santai tentang perjalanan karirnya dalam institusi Polri yang terentang dari mulai jabatan Kaur Pensat (1983-1986) sampai jabatan terakhir Kabid Humas Polda Jawa Barat (2006-2010). Secara khusus dia menyebut jabatan sebagai Wakapolres Kabupaten Garut (1997-2000) menempati posisi istimewa dalam hatinya karena ikatan batin antara dirinya dengan masyarakat Garut ternyata terus berlangsung sampai sekarang saat dirinya telah menjalani masa pensiun.
“Bahkan kami umroh tahun 2006 lalu pun dibayari oleh mereka.”Ujar Dade yang diiyakan oleh istrinya Dewi Indrani,atlet dan pelatih tim menembak Jabar periode 1984-2008. Selama tiga tahun menjadi orang kepolisian nomor dua di Kota Dodol itu, Dade menginstruksikan para anggotanya untuk konsekuen dalam artian memberlakukan standar tunggal dalam penetapan aturan,”Para polisi lalulintas sebelum turun ke jalan melakukan razia pada pengendara umum harus terlebih dahulu menjalani pemeriksaan di markas meliputi kelengkapan kendaraan dinas mereka dan surat-surat, termasuk SIM dan STNK.” Begitu mendapati fakta bahwa sebagian anggotanya tidak memiliki persyaratan itu, Dade langsung menyuruh mereka melengkapi kekurangan tersebut,”Masak kita menilang masyarakat sementara polisinya sendiri melakukan pelanggaran.”
To protect and to serve bagi Dade bukanlah sekedar slogan kosong, dia menerapkan ‘pola sentuh’ dalam menyempurnakan pengabdian kepada masyarakat. Setiap polisi yang menjadi bawahannya diperintahkan untuk menjalankan pola itu dalam berhubungan dengan masyarakat yang intinya terfokus pada tiga hal; yakni silaturahmi, tatap muka, dan komunikasi. Anggota Polri ditekankan untuk lebih banyak berinisiatif menyambangi masyarakat di wilayah tugas mereka,”Jangan tunggu mereka datang melapor, usahakan menjalin kedekatan agar masalah yang mungkin muncul dapat segera dideteksi dan ditanggulangi hingga tidak perlu menambah angka kriminalitas dalam statistik.” Tutur Dade,”Bagusnya polisi juga banyak membaca agar bisa ‘nyambung’ saat berkomunikasi dengan masyarakat.”
Deket, gaul, picontoeun.” Dade menerangkan kriteria ideal polisi di matanya dalam bahasa Sunda yang bermakna bahwa polisi harus dekat dan mampu membaur dalam masyarakat serta menjadi figur panutan,”Polisi hendaknya tidak tergiur dengan keuntungan sesaat yang beresiko merusak moralnya, senantiasa terbuka dalam menampung aspirasi masyarakat, dan menunjukkan keteladanan dalam tiga bentuk, yakni penampilan rapi, ucapan yang santun, dan konsisten dalam artian dia juga taat pada aturan yang diterapkannya pada masyarakat.”
Sebagai Wakapolres Garut, Dade mengarahkan para Kapolsek untuk melakukan patroli keliling, mengikuti berbagai acara pengajian bahkan kenduri, dan setiap muncul kasus, langsung turun ke lapangan tanpa harus disuruh atau dilapori terlebih dahulu. Dia bahkan menghimbau semua anggotanya yang Muslim untuk mendirikan shalat lima waktu di mesjid dengan berpakaian dinas lengkap,”Secara psikologis akan muncul perasaan aman saat masyarakat melihat polisi shalat berjamaah bersama mereka…yah,minimal terpaksa mikir-mikir dulu kalau mau mencuri sandal orang lain.”Dade tersenyum.
Bahkan para tahanan yang berada di lingkup daerah kerjanya tak luput dari perhatian Dade,”Setiap minggu, saya suruh mereka apel.” Dan Dade akan menghampiri mereka untuk mengingatkan bahwa tindak kejahatatan yang telah mereka lakukan pada akhirnya justru menyengsarakan keluarga sendiri,”Anak-istri yang tak jelas sumber nafkahnya selama mereka ditahan, pendidikan anak yang terganggu ditambah beban mental karena punya ayah pelaku kriminal,orangtua yang terpaksa menanggung malu…yah, persuasi dengan hal-hal semacam itu ternyata efektif menyentuh mereka hingga termotivasi untuk berkelakuan baik.” Dade menambahkan bahwa para tahanan itu bahkan sampai menangis tersedu-sedu.
Pengalaman lucu juga pernah dialami Dade saat rekan-rekan sekorpsnya dari berbagai kota meminta dicarikan ayam dan minuman penghangat badan seusai perjalanan dinas yang melelahkan,”Saya traktir mereka minum bandrek-bajigur dan makan ayam yang menurut saya paling enak saat itu.” Akibatnya dia pun diledek habis-habisan dan dikatai,”Dasar lain pulisi (dasar bukan polisi! –pen.).”Dia tertawa,” Ayam itu ternyata nama lain untuk wanita penghibur.” Saat dinas luar kota dia juga sering ditawari special service oleh roomboy,” Saya bilang tidak usah, terus kunci kamar dan tidur sampai pagi.”
Yah, Dade menerapkan ‘pola sentuh’ juga dalam menjaga keharmonisan keluarganya,”Setiap ada kesempatan saya selalu menelpon ke rumah untuk bertukar kabar dengan anak-istri.” Tuturnya,”Kami berusaha menjaga komunikasi dan kepercayaan di antara kami.”
Bukan hanya ‘pola sentuh’, prinsip konsekuen pun diberlakukannya dalam keluarga,”Anak-anak saya tak boleh belajar mengendarai motor sampai mereka cukup umur sesuai aturan hukum.” Begitulah saat ulang tahun ke-18, Ajeng dan Ayu mendapat hadiah SIM dari ayah mereka, tinggal si bungsu Achmad yang belum karena baru berumur 13 tahun.
“Tapi hadiah itu hanya berupa SIM saja karena motornya harus mereka usahakan sendiri.”Ujar Dewi sambil tersenyum dan menyilakan untuk menghabiskan mangga ranum hasil pekarangan mereka sendiri yang dijamin seratus persen bebas pestisida,”Tadi ada beberapa sudah dikupas ternyata banyak ulatnya.” Dia tertawa pelan.
Sekilas Dade bercerita bahwa petugas yang melayani pembuatan SIM kedua anaknya menolak uang pembayaran,”Langsung saya telpon, saya katakan itu uang kas negara dan wajib diterima.” Barulah transaksi pembayaran terjadi sesuai tarif yang tertera dalam peraturan.
Totalitasnya menjalani profesi polisi dan ketulusannya melayani masyarakat telah membuat Dade disayangi oleh warga tempatnya bertugas, termasuk saat dia bertugas menjadi Dansatgas Operasi Pemulihan Keamanan GAM Aceh (2002-2003),”Posko kami dekat sungai dan para nelayan di situ hampir setiap hari mengirimi kami ikan hasil tangkapan mereka.” Bahkan saat menjelang saat pulang ke Jawa, seorang pemilik toko datang ke pos membawakan barang-barang untuk oleh-oleh,”Saya tukar dengan arloji yang ada logo polisinya, yah, cuma itu barang berharga yang saya punya sebagai tanda terima kasih.”
Kini Dade menjalani masa pensiunnya dengan hati tenang,”Ah, modal saya mah saukur daek digawe (sekedar mau bekerja keras –pen.).” Katanya merendah saat ditanya tentang kiatnya menekuni pekerjaan sebagai polisi yang profesional.

wahyuni susilowati, http://lifestyle.kompasiana.com/

Comments

Popular posts from this blog

Kekerasan di Perkotaan

Kisah Seorang Preman Kupang (1)

Temuan Riset: Kepolisian dan Pemerintah Daerah Tidak Paham Apa itu Ujaran Kebencian