Lelaki dari Tenggarong (2)
Bekerja Keras Melewati Masa Berkelana
Dia yang menghormati orang lain tidak akan
dipermalukan. Dia yang toleran akan memperoleh dukungan.
Confucius, Filsuf China
Awang
Faroek kecil tumbuh di lingkungan keluarga besar bangsawan Kutai. Lantaran
genealogisnya berdarah bangsawan Kutai, kemudian di dalam sebuah jamuan resmi
di Keraton Kutai suatu waktu, dia dianugerahi gelar Awang Ngebei Setia Negara oleh sesepuh keraton. Sebuah gelar
kebangsawanan dari Keraton Kesultanan
Kutai Kartanegara ing Martadipura, Tenggarong, Kutai, Kalimantan Timur.
Di
lingkungan keluarganya, terutama saudara-saudaranya, dia akrab disapa Faroek.
Namun, dalam aktivitas keseharian, warga masyarakat umum lebih banyak mengenal
namanya dengan panggilan akrab Pak Awang. Sebetulnya, sebutan Awang bukanlah
sebuah nama, melainkan gelar bangsawan dari Kesultanan Kutai Kartanegara di
Kalimantan Timur (Kaltim). Sebagaimana halnya gelar bangsawan di daerah lain
seperti Raden Mas dan Raden Roro di Yogyakarta dan Solo (Jawa
Tengah), Andi di Makassar (Sulawesi
Selatan), atau Lalu di Pulau Lombok
(Nusa Tenggara Barat). Dia berhak menyandang nama Awang, karena garis genealogisnya sebagai keturunan langsung darah
biru Kesultanan Kutai Kartanegara.
Ada
kekuatan darah biru Kesultanan Kutai
Kartanegara mengalir dalam diri Awang Faroek Ishak. Lantas, bagaimana
sebenarnya karakteristik dan kultural orang Kutai? Prototipe orang Kutai,
meminjam istilah Abdul Rahim (2002), dilihat dari kinskip termasuk ke dalam kategori ras Melayu (Proto Melayu). Orang Kutai, secara umum, adalah umat yang hidup
dalam norma-norma Islami dengan ikatan tatanan paguyuban (gemeinschaft) yang kuat serta dalam pergaulan masyarakat heterogen
yang telah berlangsung selama berabad-abad.
Orang Kutai
di Kalimantan Timur memiliki hubungan sangat erat dengan orang Dayak. Namun,
saat ini, muncul masalah pelik berkaitan dengan pengelompokan antara Suku Kutai
dan Suku Dayak. Disebut-sebut bahwa Suku Dayak itu dianggap merupakan penduduk
asli Kutai. Sebaliknya, Suku Kutai pun mengklaim bahwa mereka adalah penduduk
asli.
Melalui
bukunya yang berjudul Peninjau Jilid I
(1974), FR Ukur menjelaskan bahwa penduduk Suku Dayak di Tanah Kutai dapat
digolongkan menjadi Suku Dayak yang tinggal di hulu pedalaman sungai dan
dikelompokkan ke dalam ras Deotro Melayu
atau Melayu Muda. Sedangkan Suku Kutai yang tinggal di bagian hilir sungai
dikelompokkan ke dalam ras Proto Melayu
atau Melayu Tua.
Senada
dengan FR Ukur, pakar antropologi Mikhail Coomans (1987) berpendapat bahwa Suku
Kutai termasuk ke dalam ras Deotro Melayu
seperti halnya Suku Dayak yang lain. Repotnya, Suku Kutai sendiri tidak mau
disebut Suku Dayak. Sebab, mereka memiliki perikehidupan sosial budaya dan
ekonomi yang berbeda pula. Misalkan, dalam even budaya Erau, yang merupakan
simbol pesta adat Suku Dayak dalam memperingati acara ritual khusus yang
dianggap paling besar.
Sebetulnya,
bila dikaji lebih dalam, pengelompokan antara ras Suku Dayak yang tinggal di
hulu dan Suku Dayak yang mendiami kawasan hilir hanyalah bersifat
sosio-religius belaka. Karena, mereka sebenarnya berasal dari satu rumpun atau
kelompok ras yang sama, yaitu kelompok Deotro
Melayu. Namun, lantaran Suku Kutai lebih banyak memperoleh pengaruh budaya
ras Proto Melayu (Banjar, Bugis dan Jawa) maka secara rasial mereka lebih
senang dikelompokkan ke dalam ras Proto
Melayu.
Lazimnya,
nama Dayak digunakan bagi ras Proto
Melayu yang tinggal di daerah pelosok dan pedalaman serta beragama
non-Islam. Sedangkan nama Kutai digunakan bagi kelompok penduduk ras Proto Melayu yang beragama Islam.
Bahkan, Suku Dayak sendiri menyebut orang yang beragama Islam sebagai orang
haloq atau orang asing.
Jadi, orang
Dayak yang keluar dari ikatan tradisi adat-istiadat para leluhurnya, juga
dianggap orang haloq. Mereka bukan lagi dikelompokkan ke dalam Suku Dayak. Sebab,
mereka dianggap telah keluar dari ketentuan kepercayaan dan adat budaya nenek
moyangnya. Sebaliknya, orang Dayak yang masuk Islam juga enggan disebut Suku
Dayak lagi. Inilah yang menyebabkan mengapa orang Kutai enggan disebut orang
Suku Dayak. Mereka lebih senang dikelompokkan ke dalam ras Proto Melayu, seperti halnya Suku Banjar yang beragama Islam dan
tinggal di Kalimantan Selatan.
Dalam
sistem kekerabatan bangsawan Kutai, galibnya mereka masih menganut sistem patrilineal. Artinya, garis keturunan
ditarik dari dan ke pihak laki-laki. Pada masa lampau, Suku Kutai masih
mengenal lapisan dan strata sosial, seperti bangsawan, rakyat jelata, dan budak
belian. Bagi kaum bangsawan, dipergunakan berbagai gelar seperti Awang, Aji Bambang, Aji Raden, dan Aji Pangeran. Biasanya, pemberian gelar
itu dilaksanakan dalam suatu upacara resmi di dalam masjid dan lazimnya dilakukan
seusai shalat Idul Fitri. Namun sekarang, penghormatan terhadap seseorang telah
mulai bergeser, bukan lagi atas dasar kebangsawanan semata, juga atas dasar
tinggi-rendahnya pendidikan yang diperoleh, statusnya dalam pemerintahan dan
banyaknya materi kekayaan yang dimiliki.
A. Hikmah Berpindah-pindah Sekolah
Bagi Awang
Faroek, gelar bangsawan alias darah biru bukanlah segala-galanya dan bukan pula
sesuatu yang istimewa yang lantas menjadi sekat dalam bergaul dengan warga
masyarakat jelata. Pemakaian gelar itu hanyalah simbol penghormatan dan
pelestarian nilai-nilai kultural. Dia berprinsip bahwa manusia dilahirkan dalam
keadaan fitrah sama, mau hitam atau putih, adalah bagaimana memanfaatkan
kesempatan yang membentang di hadapannya kemudian. Sebab itu, Awang Faroek
tidak pernah menjaga jarak pergaulan dengan siapa saja, termasuk dengan Suku
Dayak. Bahkan, dia sangat terkesan pada kehidupan dan kesederhanaan Suku Dayak.
Ada
pengalaman teramat panjang di masa kecil yang menjadi salah satu pondasi kuat
Awang Faroek sampai kemudian demikian kuat berpegang prinsip hakekat manusia
lahir dalam keadaan fitrah yang sama.
Sebagaimana
umumnya anak seorang pamongpraja, Awang Faroek kecil harus ikut
berpindah-pintah tempat tinggal sesuai dengan tempat penugasan ayahanda Awang
Ishak. Memasuki masa Sekolah Dasar (SD), sekitar tahun 1954-1955, ayahanda diberi
amanah sebagai Wedana Sendawar di Barongtongkok. Oleh ayahanda, Awang Faroek
lantas didaftarkan masuk ke Sekolah Rakyat (SR) Katolik Barongtongkok,
satu-satunya SR yang ada di wilayah itu. “Saya ingat betul, pada tahun 1955
saat itu, saya sudah ikut ayah dan sempat bersekolah di SR Katolik
Barongtongkok,” kenang Awang Faroek.
Di sini dia
mengenyam pendidikan SR Katolik sampai kelas tiga. Kendati cuma seumur jagung,
kenangan manis bergaul dan berinteraksi secara intensif dengan anak-anak dan
warga masyarakat Dayak di kawasan perbatasan dan wilayah pedalaman Kalimantan
Timur itu rupanya sangat membekas dan menggugah nuraninya. Di Barongtongtok itu
pula, Awang Faroek banyak belajar pada kearifan lokal masyarakat Suku Dayak
yang demikian akrab dan ramah lingkungan.
Sebuah kekayaan
pengalaman yang mampu menembus horizon dunia anak-anak Suku Dayak di pedalaman
dan perbatasan Kalimantan Timur. Romantika keindahan persahabatan masa kecil
berpadu harmonis dengan pesona alam pedesaan yang masih asri dan natural dengan
eksotisme kebersahajaan mereka yang sangat mengesankan. Keindahan vegetasi
hutan alam dan pepohonan nan rindang, hamparan padi sawah yang hijau-menguning
bak permadani, kebun buah-buahan yang mewarnai pekarangan rumah-rumah warga
setempat, pun berinteraksi dengan harmoni alam yang menjadi wahana
bentuk-bentuk permainan tradisional yang mengundang kreativitas dan kerja sama
tim yang amat kuat.
Dalam
perspektif harmoni alam dan kebersahajaan anak-anak Suku Dayak itulah, sosok
Awang Faroek mulai terbangun dan terbentuk. Awang Faroek yang menghabiskan
sebagian masa kecil di Barongtongkok betul-betul merasakan kehidupan
bersama-sama komunitas anak-anak Suku Dayak. Awang Faroek yang keturunan trah
bangsawan Kesultanan Kutai ini tidak semata-mata menghabiskan masa kecilnya di
balik tembok istana kerajaan. Pergaulan dengan anak-anak komunitas Suku Dayak
secara otomatis memperkaya dan menjadi penyeimbang tumbuh suburnya tunas
filantropis di dalam jiwa Awang Faroek di kemudian hari.
“Meski cuma
sebentar, saya melihat dan merasakan secara langsung bagaimana denyut nadi
kehidupan Suku Dayak saat itu yang amat sederhana, bahkan boleh dikatakan masih
terbelakang. Sejak lama, mereka memang tidak diperhatikan oleh pemerintah
karena posisinya yang jauh di pedalaman dan perbatasan Kalimantan. Baru sekitar
tahun tahun 1970-an ada program pembangunan daerah perbatasan dan baru ada
kesempatan bagi mereka (Suku Dayak) untuk mengikuti kemajuan zaman. Ternyata,
saudara-saudara kita orang Dayak tersebut juga tidak kalah kok. Kalau diberi
kesempatan, mereka juga bisa maju. Terbukti, kini sudah banyak orang-orang
Dayak yang pintar dan mampu mengisi pos-pos penting di berbagai bidang,” tandas
Awang Faroek.
Namun,
kenangan indah di Barongtongkok waktu itu tidak berlangsung lama. Menginjak
kelas tiga SR, Awang Faroek kecil harus berpindah sekolah lagi mengikuti
kepindahan tugas ayahanda ke Tenggarong, Kutai, Kalimantan Timur. Di
Tenggarong, Awang Faroek masuk kelas tiga pada Sekolah Rakyat Negeri (SRN).
“Ketika kelas tiga SRN di Tenggarong itu saya pernah satu kelas dengan Pak
Kaning (sapaan akrab mantan Bupati Kutai Kartanegara Syaukani Hasan Rais –red).
Jadi, Pak Kaning itu dulu anaknya memang agak bandel dan nakal sehingga dia
sempat tidak naik kelas,” tutur Awang Faroek.
“Saya dan
Awang Faroek sudah saling mengenal sejak kami masih di SRN Tenggarong. Saya
pernah satu kelas dengan dia hingga duduk di kelas tiga. Setelah itu, karena
saya terpaksa tinggal kelas, maka Awang Faroek lebih dulu satu tahun daripada
saya,” ujar Pak Kaning (2006). Pak Kaning menambahkan, “Semenjak masa sekolah,
Awang Faroek merupakan pribadi yang sangat menonjol, dia termasuk siswa yang
berprestasi. Nilai-nilai di pelajarannya selalu yang terbaik. Berbeda dengan
saya. Selama masa sekolah, saya termasuk siswa yang tidak begitu aktif, bahkan
sampai mengabaikan pelajaran.”
Naik kelas
empat SRN, Awang Faroek berpindah lagi.
Kali ini ke Kota Tarakan, lantaran ayahanda memperoleh tugas baru
sebagai wedana di sana. “Pada saat naik kelas empat SRN, saya kemudian pergi ke
wilayah Tarakan, ikut kepindahan ayah yang memperoleh tugas baru sebagai wedana,”
kata Awang Faroek.
Awang
Faroek bersekolah di SRN Kampung Bugis, Tarakan. Di SRN ini, Awang Faroek
sempat satu sekolah dengan Silvian Yulian Wenas yang lebih populer disapa S.Y.
Wenas. Sebagaimana diketahui karir S.Y. Wenas banyak dihabiskan sebagai perwira
tinggi Kepolisian Republik Indonesia (Polri), di antaranya sempat dipercaya
sebagai Kapolda Kaltim serta Komandan Korps Brimob. “Pada waktu di SRN Kampung
Bugis, saya sempat punya adik kelas bernama S.Y. Wenas. Dia kelas tiga dan saya
kelas lima,” Awang Faroek berkisah.
Selama di
Kota Tarakan ini pula, ayahanda Awang Ishak --yang waktu itu dipercaya sebagai
wedana—berkarib akrab dengan Pitoyo Mangkusubroto, Kepala BPM Tarakan (sebelum
lahirnya Pertamina). Sekadar pengetahuan, Pitoyo Mangkusubroto adalah ayah dari
Dr. Kuntoro Mangkusubroto yang mantan Menteri Pertambangan dan Energi era
Presiden B.J. Habibie, mantan Direktur Utama PLN, dan mantan Ketua Badan
Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh.
Sekitar dua
tahun bermukim di Kota Tarakan, Awang Faroek berhasil menamatkan pendidikan
dasarnya di SRN Tarakan pada tahun 1961. Sementara SMP (lulus tahun 1964) dia
rampungkan di kampung halamannya Tenggarong, Kutai, Kalimantan Timur.
Pengalaman
bergaul dengan berbagai lapisan masyarakat dan suku dalam perjalanan masa
kanak-kanak menjadikan Awang Faroek memahami betul bagaimana harus menghadapi
teman dan kawan dari suku-suku lain. Dia tumbuh menjadi pribadi yang egaliter
dan mampu memahami bagaimana sebuah kesempatan dan peluang harus diberikan seluas-luasnya
kepada siapa pun.
Berkat
pengalamannya di masa kecil itu, Awang Faroek jadi tidak sependapat bila
dikatakan orang Dayak itu kerap diberi stigma negatif sebagai komunitas
masyarakat terbelakang dan bodoh. “Saya yakin, kalau diberikan kesempatan yang
sama, mereka juga bisa maju. Terbukti, kini banyak orang Dayak yang pintar dan
mereka mampu mengisi pos-pos penting di berbagai bidang,” ujar Awang Faroek. Sekadar
contoh Gubernur Kalimantan Tengah Agustin Teras Narang dan Gubernur Kalimantan
Barat Cornelis yang asli putra Suku Dayak. Keduanya memperoleh kekuasaan
politik dan mendapat legitimasi kuat dari rakyatnya, karena dipilih langsung
oleh rakyat melalui proses demokratis pemilihan kepala daerah secara langsung.
Menurut
Awang Faroek, pada zaman dia masih kanak-kanak dulu saat bermukim di
Barongtongkok, orang-orang Dayak memang belum diberikan atau memperoleh
kesempatan. Hal yang sama juga terjadi pada suku-suku lainnya, termasuk Suku Kutai.
“Tapi memang agak berbeda dibandingkan dengan di wilayah Kutai. Sebab, dulu
Kutai itu merupakan pemerintahan kerajaan dan di kerajaan ada sesepuh keraton. Nah, mereka inilah yang memiliki
pemikiran atau wawasan yang luas. Sehingga, banyak orang Kutai yang dikirim
sekolah. Mereka itulah yang kini banyak mengisi jabatan di pemerintahan di
wilayah Kalimatan Timur,” terang Awang Faroek.
Bukanlah
suatu proses yang tiba-tiba bila nasib warga Suku Dayak di Kalimantan Timur
kurang beruntung sampai kini. Hal ini tidak terlepas dari pandangan minor
terhadap mereka yang sudah sejak lama menancap di berbagai kalangan. Simak saja
pendapat Van J. Vert sebagaimana dikutip van Linden (1854), Mill Rokaert
(1987), dan dikutip kembali oleh Stephanus Djuweng (1996), bahwa “Orang Dayak
adalah orang-orang yang ditakdirkan untuk dikuasai ketimbang menjadi penguasa”.
Sungguh, inilah penilaian negatif yang amat merendahkan harkat dan martabat
Suku Dayak. Linden dan Vert, kata Rokaert, adalah antropolog kolonial Belanda yang
dianggap membuat penilaian sangat negatif dan tidak benar. Kendati begitu,
anehnya orang-orang Dayak dan non-Dayak justru percaya saja kepada penilaian semacam
itu. Dan memang, realitas menunjukkan selama ratusan tahun lamanya, suku-suku
Dayak di Kalimantan menjadi pihak yang marjinal dan mereka lebih banyak
dikuasai daripara menjadi penguasa, sekalipun atas dirinya sendiri.
Menurut pandangan
Stephanus Djuweng (1996), tidak hanya dalam diskursus ilmiah dan dokumentasi
sejarah dan politik saja dapat ditemukan sejumlah pola penundukan terhadap Suku
Dayak, pun praktik-praktik pelecehan, gaya eksploitasi, dan perilaku
diskriminatif terhadap mereka. Juga dalam pelajaran agama, pendidikan formal,
ucapan pejabat, dan publikasi media massa. Ironisnya, sebagian besar orang
Dayak, tidak saja membenarkan, bahkan sampai termakan (terinternalisasi) oleh
deskripsi-deskripsi negatif atas diri mereka.
Dayak,
sebenarnya, adalah nama kolektif untuk merangkum ratusan kelompok
etno-linguistik di Kalimantan (Borneo). Kelompok-kelompok ini kerapkali pula
disebut sub-sub Suku Dayak. Terdapat banyak variasi antara sub-suku satu dan sub-suku
yang lainnya. Dengan demikian tidaklah tepat untuk melakukan generalisasi dan
uniformitas. Kendati begitu terdapat persamaan-persamaan unsur budaya yang
fundamental sehingga memungkinkan kita memberikan gambaran umum yang dapat
diterima oleh publik.
Selama ini
terdapat suatu litani yang nyaris tiada berujung tentang orang Dayak. Litani
itu, kata Stephanus Djuweng (1996), sebagian memuji, namun sebagian besar
justru melecehkan Suku Dayak. David Jenkins dan Guy Sacerdoty yang menulis
artikel di Far Eastern Economic Review
(1978) semata-mata contoh, menggambarkan orang Dayak sebagai the legendary wild man of Borneo
(manusia liar Borneo yang legendaris). Sementara Jan Ave dan Victor King (1985)
melukiskan orang Dayak sebagai the people
of the weaving forest (orang dari hutan yang meratap). Bahkan, ada pula
yang menggambarkan mereka sebagai the
headhunters of Borneo (pemburu kepala dari Borneo).
Pada masa
sebelum merdeka, Dayak merupakan kata ejekan yang sangat memilukan hati. Ketika
seseorang menyimpang dari norma-norma yang umum –norma Islam dan norma Kolonial
Belanda— disebut “Dayak”. Ikan dan belacan busuk di toko-toko disebut Dayak.
Pokoknya, Dayak itu berarti kotor, kafir, tidak tahu aturan, buas, liar, gila,
terbelakang, dan tidak berbudaya. Dayak adalah orang liar Borneo yang berekor.
Nah, yang satu ini boleh jadi ada benarnya, karena lelaki Dayak –konon berekor
di depan, tentu saja— bukan di belakang (Djuweng, 1996).
Kebijakan
pendidikan di zaman Kolonial Belanda yang dikontrol pusat-pusat kekuasaan
feodal (kesultanan) nyaris menutup kesempatan bagi orang Dayak untuk mengenyam
pendidikan. Bila orang Dayak ingin bersekolah lebih dari kelas tiga Sekolah
Rakyat (kini Sekolah Dasar), maka mereka harus masuk Islam, meninggalkan
identitas budaya, agama, sosial dan politik. Jika satu-dua di antara mereka
memasuki dinas kepegawaian kolonial, untuk promosi jabatan, mereka harus
melepaskan identitas ke-Dayak-an mereka.
Litani
bernada minor demikian tidak bisa dihapuskan begitu saja oleh Proklamasi
Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. Pandangan salah dan negatif tentang manusia
Dayak yang tertancap massif selama ratusan tahun pada masa kolonial itu
diperkuat pula oleh pusat-pusat kekuasaan feodal yang telah tertanam kukuh.
Dan, bekas racun itu masih ada pengaruhnya sampai sekarang.
Kini, dalam
diskursus pembangunan dan modernisasi, masyarakat Dayak lebih dikenal sebagai
peladang berpindah, suku terasing, perambah hutan, orang tidak berbudaya, suku
pengembara, orang terbelakang, dan sejumlah predikat negatif lainnya (Djuweng,
1996). Sebab itu, mereka cuma dimukimkan. Pola pertanian mereka harus diubah.
Budaya mereka mesti dihilangkan. Maka, perampasan tanah-tanah Dayak atas nama
Republik dan Pembangunan Nasional, atas nama modernisasi dan pertumbuhan
ekonomi, dianggap legal. Begitu pun eksploitasi hak-hak intelektual masyarakat
adat (indigenous people) oleh para
intelektual modern kita, justru dianggap sebagai hal yang wajar. Mereka cukup
senang ketika ada penelitian ilmiah tentang mereka. Hal ini dikatakan seorang
bergelar profesor-doktor dalam sebuah seminar internasional di Jakarta beberapa
tahun silam. Begitulah, orang kecil dan lemah selalu berkorban, dan yang kuat
yang menikmatinya.
Pendek
kata, kualitas sumber daya manusia (SDM) orang Dayak masih dipandang sebelah
mata. Padahal, di mata Awang Faroek, pandangan minor terhadap orang Dayak tidak
terlepas dari faktor kesempatan dan perlakuan yang diskriminatif yang selama
ini mereka terima. Selama ini, wilayah Kalimantan hanya dilihat potensi sumber
daya alamnya nyaris tanpa diimbangi upaya membangun sumber daya manusianya.
B. Duka yang Mengguncang Ekonomi
Selepas
dari SMP, Awang Faroek belum berkeinginan merantau ke kota yang lebih besar.
Dia tetap ingin berada di kampung halamannya, Tenggarong, untuk melanjutkan
pendidikan SMA. Dengan penuh kedisiplinan yang diajarkan ayahanda Awang Ishak,
di sela-sela kesibukan sekolah, Awang Faroek memanfaatkan waktunya tidak
semata-mata untuk menggeluti bangku sekolah. Dia juga berusaha menyalurkan hobi
bermain musik. Bahkan, bersama kawan-kawannya, dia sempat membentuk kelompok
band.
“Dulu, saya
punya grup band, Gesnaria namanya. Personilnya lima orang, seingat saya antara
lain Ir. Fahnoerdin, Ir. Samidin, Mahmud dan saya sendiri,” Awang Faroek
mengenang masa remajanya di Tenggarong. Ayahanda Awang Ishak sangat mendukung
keberadaan grup band. Itulah sebabnya, meski kini Awang Faroek sudah berada di
puncak karir politik sebagai Gubernur Kalimantan Timur, dia tetap meluangkan
waktu buat bernyanyi dan bermain musik untuk penyegaran. Pada waktu-waktu
tertentu dia tidak menampik bila ada warga masyarakat yang meminta dirinya naik
ke panggung menyumbangkan satu atau dua lagu. Apalagi, suaranya tidak kalah
dibandingkan suara penyanyi profesional.
Dari hobi musik
pula, Awang Faroek bertemu perempuan pujaan hati E. Amelia Suharni yang kini
telah menjadi isteri dan memberinya tiga anak. Selain hobi bernyanyi, puteri
kelima H.E.M. Djakaria Mas Truno Djojo (pensiunan Sekretaris Wilayah Daerah
Tingkat I Kalimantan Timur) ini juga tidak mau kalah. Perempuan pujaan hati ini
pun sempat memiliki grup band yang diberi nama Payi, kependekan dari Pemuda
Ahmad Yani.
“Dulu,
isteri saya kebetulan pula penyanyi dan ia punya grup band Payi (Pemuda Ahmad
Yani). Selain itu ia juga aktif di kepanduan Pramuka. Jadi, kami memiliki
banyak kesamaan. Kebetulan, di luar itu, kami pun masih ada hubungan keluarga
serta sama-sama dari Tenggarong,” papar Awang Faroek menceritakan asal mula
kisah asmara dengan sang isteri. Awang Faroek merajut tali kasih dengan Amelia
Suharni yang waktu itu bersekolah SMA di Kota Samarinda. Jarak tidak menjadi
kendala dalam rajutan kasih kedua sejoli muda ketika itu.
Tak sebatas
kegiatan musik yang berbau glamor yang ditekuni Awang Faroek di masa remaja. Mulai
di bangku SMA dia juga mulai belajar berorganisasi. Dia aktif di organisasi
pelajar di Tenggarong. Bahkan, dia sempat memperoleh kepercayaan untuk memimpin
Ikatan Pelajar Sekolah Menengah Atas Negeri Tenggarong tahun 1963-1966. Masa
itu, dalam waktu hampir bersamaan, dia sempat pula aktif di Gerakan Pramuka
Kwartir Cabang (Kwarcab) Kabupaten Kutai di Tenggarong. Bermula sebagai
penggalang, penegak, sampai pembina sekitar tahun 1962-1966.
Selain itu,
Awang Faroek tercatat pula sebagai Ketua DPC Gerakan Siswa Nasional Indonesia
(GSNI) di Kabupaten Kutai, 1963-1966. Dia juga sempat aktif di Kompi Pelajar
Serbaguna (Kijasena), bahkan sampai dipercaya sebagai komandan batalyon. Darah
pejuang dari Tenggarong yang mengalir dari ayahanda Awang Ishak rupanya tetap
kental dalam diri Awang Faroek di usia remaja.
Di tengah kesibukan
dan kegembiraan menghabiskan masa remaja, datang kabar duka. Ayahanda Awang
Ishak meninggal dunia pada usia 58 tahun pada tahun 1967. Padahal, Awang Faroek
belum usai menamatkan SMA. Jelas, perekonomian keluarga sedikit terguncang.
Tapi, Awang Faroek tak ingin larut dalam duka yang berkepanjangan. Berkat gemblengan
disiplin hidup sederhana dan mandiri, Awang Faroek langsung memupuk jiwa
kewirausahaan yang ada dalam dirinya untuk membantu ibunda Dayang Djohariah
memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ketika itu, Awang Faroek dan sudara-saudaranya sempat
berjualan kacang di pinggiran jalan di Kota Tenggarong. Sebagaimana petuah
Rasulullah Muhammad saw, bahwa Allah SWT membuka delapan dari sepuluh pintu
rezeqi melalui perniagaan atau perdagangan.
“Pada tahun
1965-an saya sudah mulai berjualan kacang dengan merek Awangko. Saya dan almarhumah kakak saya Dayang Sabariah bertugas
mendorong kereta jualan kacang tersebut,” kenang Awang Faroek. Bahkan, dia
tidak merasa malu melakoni pekerjaannya, walau dia masih keturunan bangsawan
Kutai yang sangat dihormati masyarakat setempat.
“Saat ayah memasuki
masa pensiun pada tahun 1965-1966, saya masih duduk di bangku SMA di
Tenggarong. Ayah mendidik kami saat itu dengan disiplin sangat tinggi, hidup
sederhana dan mandiri, dan kami juga diajari oleh beliau agar tidak boleh malu
dalam berusaha yang halal,” Awang Faroek menambahkan.
Biasanya,
demikian cerita Awang Faroek lebih lanjut, kegiatan berjualan itu dilakukan
sepulang sekolah. Dari sore hingga malam hari. Dia melakoninya tanpa beban,
penuh kegembiraan ala remaja sebayanya. Terkadang, ada teman sekolah yang
meledek, lantaran Awang Faroek berjualan di pinggir jalan. Tapi, Awang Faroek menganggap
angin lalu saja. Prinsipnya, menurut dia, toh pekerjaan itu halal dan tidak
merugikan orang lain. Terlebih lagi, ayahanda memang mendidik anak-anaknya
dengan pola disiplin yang tinggi, hidup sederhana dan mandiri serta tidak boleh
malu sepanjang berada di jalan yang halal.
Di masa-masa
1950-an sampai 1960-an, keluarga besar Awang Ishak sempat memiliki kios khusus
untuk berjualan barang-barang kebutuhan sehari-hari seperti gula, minyak,
makanan kecil dan rokok. “Kios tersebut letaknya di dekat bioskop Tenggarong,”
kata Awang Faroek sembari mengingat-ingat bahwa suatu ketika jualannya laku dan
memperoleh keuntungan lumayan. “Setelah melaporkan keuntungan kepada ayah,
biasanya saya diberi persenan oleh beliau. Misalkan kalau untung Rp750, maka
saya dikasih persen Rp50. Wah, nilai uang waktu itu sangat besar dan bukan main
senangnya saya,” kenang Awang Faroek.
C. Merantau ke Malang, Jawa Timur
Usai
menamatkan sekolah di SMA Tenggarong pada tahun 1967, pemuda yang taat
beribadah ini memberanikan diri merantau ke Tanah Jawa. Pilihannya jatuh ke
Kota Apel, Malang, Jawa Timur. Tanpa kesulitan yang berarti, Awang Faroek
diterima di Jurusan Ekonomi Fakultas Keguruan Ilmu Sosial Institut Keguruan dan
Ilmu Pendidikan (FKIS IKIP) Negeri Malang. Di sana dia menumpang tinggal di
rumah seorang pamannya bernama Awang Khairul –salah seorang adik kandung
ayahanda Awang Ishak.
Menurut
Awang Faroek, semula dia memilih masuk kuliah di Kampus IKIP Malang karena mengikuti
arahan Awang Faisjal, kakak kandung sekaligus lelaki tertua dalam keluarga
besarnya. Alasan Awang Faisjal waktu itu, karena saudara-saudaranya yang lain
sudah banyak yang memilih masuk Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN), maka
Awang Faroek diarahkan saja agar masuk ke IKIP. Harapannya, tentu, agar kelak
Awang Faroek bisa mengembangkan karirnya di dunia pendidikan, sesuai bidang
studi yang dipilihnya.
“Begini,
kami semua bersaudara ini mengikuti jejak ayahanda. Ayah saya kan pamong. Saya semula
memang ingin jadi guru saja, sesuai dengan arahan kakak saya Awang Faisjal.
Makanya, saya memilih masuk kuliah di IKIP Malang. Tapi, eh, belakangan akhirnya
saya juga jadi pamong. Barangkali selain faktor keturunan, ini juga panggilan
jiwa,” cerita Awang Faroek sambil tersenyum.
Di Kota “Apel”
Malang yang berhawa sejuk tersebut kebetulan rumah sang paman Awang Khairul
berada tak jauh dari Kampus IKIP. Berjarak sekitar satu kilometer. Jadi setiap
pergi-pulang ke Kampus IKIP, Awang Faroek cukup senang melakoninya dengan
berjalan kaki.
“Saya
kuliah di IKIP Malang saat itu hanya mengandalkan kiriman wesel dari ibu di
Kaltim. Di Malang, sepeda pun saya tidak punya. Saya biasa berjalan kaki dari
rumah paman ke Kampus yang berjarak sekitar satu kilometer,” kenang Awang
Faroek sambil menambahkan, “Saya masih ingat, di masa itu, uang seratus perak
sudah bisa buat makan dan minum. Jadi, lidah saya ini lidah Jawa. Saya juga
bisa berbahasa Jawa dengan baik, nggak
gampang dikibulin dengan bahasa Jawa.”
D. Mengenal Organisasi Nasionalis
Selama
menjalani kuliah di Kampus IKIP Malang, Awang Faroek tak mau tinggal diam
sekadar belajar text book dari ruang
kelas yang satu ke ruang kelas berikutnya. Jiwa keorganisasiannya yang telah
tampak semasa SMA terus diasahnya selama melakoni kehidupan Kampus IKIP Malang.
Di sela-sela aktivitas studi yang padat, dia menyempatkan diri berkegiatan
sebagai Ketua Pengurus Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang
Malang, periode 1968-1973. Pada waktu itu, organisasi mahasiswa yang cukup
populer di Tanah Air dan menjadi wadah aktivis mahasiswa berkiprah adalah GMNI
dan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). “Karena dasarnya jiwa saya ini nasionalis,
maka saya pilih bergabung dengan GMNI,” demikian alasan pengagum Soekarno ini
saat dia memilih bergabung di GMNI. Sejak itulah, kata Awang Faroek, “Saya
sudah kenal yang namanya Pak Taufik Kiemas (utusan GMNI dari Palembang), Theo Leo
Sambuaga, dan lain-lain, khususnya sejak berlangsung Kongres GMNI di Salatiga,
Jawa Tengah. Kongres itu kemudian memilih Soerjadi (Ketua Umum) dan Theo Leo
Sambuaga (Sekretaris Jenderal),” papar Awang Faroek.
Tahun 1969-1972,
Awang Faroek dipercaya sebagai Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas Keguruan Ilmu
Sosial IKIP Malang. Tidak cukup hanya aktif di organisasi kemahasiswaan, Awang
Faroek juga berusaha menceburkan diri ke dalam organisasi politik. Di awal
tahun 1970-an itu, tepatnya tahun 1971-1973, dia pun aktif sebagai anggota Golongan Karya
(Golkar) Kotamadya Malang. Sebelum lulus IKIP, dia sempat menjadi anggota
Majelis Permusyawaratan IKIP Malang. Pada tahun 1973 Awang Faroek berhasil
menyelesaikan studinya di IKIP Malang dan berhak menyandang gelar sarjana kependidikan.
Dia
kemudian memilih pulang kampung ke Tenggarong. Langkahnya mantap, dia ingin
melamar perempuan pujaan hatinya E. Amelia Suharni yang telah dipacarinya sejak
masih duduk di bangku SMA. Pendar-pendar cintanya yang dirajut antarkota
Tenggarong-Samarinda terus berlanjut antara Malang dan Tenggarong tetap menggelora.
Melewati masa pacaran yang tidak mudah di zaman belum populer dunia teleon
seluler. “Dulu kan belum ada telepon, kami hanya main surat-suratan. Berbeda
dengan anak muda sekarang yang bisa pacaran lewat SMS,” ujar Awang Faroek
mengisahkan masa pacaran dengan perempuan pujaan hati Amelia Suharni yang
sempat kuliah di Bandung, Jawa Barat, itu.
Tahun 1974,
keduanya bersepakat untuk membangun mahligai rumah tangga di usia yang relatif
muda (Awang Faroek berusia 26 tahun dan Amelia Suharni berumur 25 tahun).
Dari buah
perkawinan keduanya kemudian lahir tiga orang anak kesayangan, masing-masing
Awang Ferdian Hidayat (lahir tahun 1975), Dayang Dona Walfaries Tania (lahir
tahun 1976) dan si bungsu Awang Fauzan (lahir tahun 1985). Anak pertama dan
anak kedua telah menikah, masing-masing dengan Rima Hartani dan Toni Saparisa.
Ikatan kekeluargaan antara orang tua, anak, menantu dan cucu-cucunya senantiasa
terjalin dengan baik. Suami-isteri itu pun selalu akur dan dihormati oleh
ketiga anak-anak dan menantu mereka.
Bagi Awang
Faroek, keharmonisan keluarga turut mempengaruhi etos kerja dan perjalanan
karirnya selama ini. Sebab itu, baginya, makna keluarga tidak dapat dipisahkan
dengan makna kesuksesan yang telah dirintis dan diraih sepanjang perjalanan
hidupnya. Keluarga tidak ubahnya motivator bagi perkembangan karir Awang Faroek
sampai saat ini.
Awang
Faroek berhasil melewati masa-masa krusial di usia menjelang balig sampai
remaja dan anak muda (sekitar 8-24 tahun) penuh dengan tanggung jawab. Dia
mengisi hari-harinya untuk senantiasa menerapkan pondasi kejujuran,
kedisiplinan dan tanggung jawab yang telah ditanamkan ayahanda Awang Ishak dan
ibunda Dayang Djohariah di masa kanak-kanak (0-8 tahun). Dia pun merasa mantap
tatkala memasuki rumah tangga di saat usianya melewati seperempat abad.
Kini di
usianya delapan windu (64 tahun), Awang Faroek mengakui seolah memperoleh
energi baru dan kenikmatan tiada tara dalam konteks keutuhan sebuah kehidupan
keluarga. Kenikmatan yang merefleksikan konstruksi dan jiwa sebuah rumah tangga
yang utuh yang terdiri dari anak, menantu dan cucu. Berbicara soal cucunya,
Awang Faroek menggeleng-gelengkan kepalanya penuh khidmat seakan menggambarkan
nikmatnya menjadi seorang kakek. “Waduh, nikmatnya ternyata luar biasa
mempunyai cucu. Kenikmatan yang tiada tara,” ujar Awang Faroek suatu waktu
dengan penuh antusias. Diakuinya, selepas urusan dinas dan segudang kegiatan
lainnya, tidak ada yang dia nikmati selain bercengkerama dengan cucu pertamanya
Fionalita Aifa Savitri. Kehadiran cucu pertama itu –kemudian disusul lahir cucu
kedua Awang Farel Muhammad dan cucu ketiga Dayang Cyntia Pratistadewi—laksana
obat penawar letih dan lelah di tengah rutinitas sang kakek yang tiada kenal
waktu itu.
Comments
Post a Comment