Mempermalukan Koruptor
Oleh
Victor Silaen
Dosen
FISIP Universitas Pelita Harapan (UPH)
Korupsi di negeri ini begitu centang-perenang.
Bayangkan, hampir semua urusan yang memerlukan pelayanan dari pemerintah bisa
dipercepat asalkan ada uang "pelicin". Tak aneh jika dikarenakan
"tradisi" itu muncul pelesetan "SUMUT" yang artinya
"semua urusan mesti uang tunai". Jika tersandung perkara,"kasih
uang habis perkara"(KUHP).
Di kalangan elite politik (wakil rakyat) dan
pemerintah juga berlaku praktik "kasih uang dapat uang". Artinya,
kalau (pemerintah) ingin agar anggaran untuk sebuah proyek segera cair, setorlah
uang (kepada wakil rakyat) terlebih dulu. Dijamin, kalau setorannya pas, dana
pun mengucur.Itu sebabnya banyak wakil rakyat yang berkeberatan dengan wacana
pembubaran Badan Anggaran di lembaga legislatif. Alasannya jelas: itu
"proyek" mereka. Inilah Indonesia. Benar, hampir dalam semua urusan
mesti ada uang tunainya.
Untuk memarkir kendaraan, misalnya,
hampir-hampir tak ada lahan publik yang bebas dari petugas parkir, baik yang
berseragam resmi maupun tidak. Tapi keduanya sama saja: sama-sama tidak memberikan
karcis parkir meski kita sudah membayar ongkos parkir. Berikut ini saya
kutipkan beberapa berita aktual. Pertama, 17 Oktober lalu, Bupati (nonaktif)
Lampung Timur Satono divonis bebas dari dakwaan korupsi dana Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) senilai Rp119 miliar.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Tanjungkarang,
Bandar Lampung, menilai jaksa penuntut umum tidak bisa membuktikan seluruh
pasal yang didakwakan secara berlapis. Padahal, jaksa menuntut 12 tahun
penjara.Hanya selisih dua hari, 19 Oktober, giliran mantan Bupati Lampung
Tengah Andi Ahmad Sampurna Jaya divonis bebas dari tuntutan 10 tahun penjara
dalam perkara korupsi APBD senilai Rp28 miliar.
Beberapa hari sebelum itu, ada juga terdakwa
korupsi yang dibebaskan. Mochtar Muhammad, Wali Kota Bekasi (nonaktif),
dibebaskan oleh Pengadilan Tipikor Bandung. Mochtar dituntut 12 tahun penjara
dan denda subsider enam bulan oleh jaksa KPK karena didakwa melakukan empat
perkara.
Bayangkan, ketiga pejabat yang didakwa korup
dan dituntut hukuman minimal 10 tahun penjara itu bebas. Tidakkah ini merupakan
indikator bahwa pemberantasan korupsi di Tanah Air menapaki jalan terjal? Sudah
sanksi hukum bagi para koruptor lemah, komisi antikorupsi (KPK) pun terus-menerus
dilemahkan oleh berbagai pihak. Tak pelak, bersoraklah para pelaku kejahatan
luar biasa itu karena Indonesia masih merupakan surga bagi mereka.
Maka, jangan heran kalau hasil survei KPK
barubaru ini menyebutkan Kementerian Agama menduduki peringkat terbawah dalam
indeks integritas dari 22 instansi pusat yang diteliti. Ironis! Para birokrat
yang pekerjaan sehari-harinya mengurusi agama justru paling rakus mencuri uang
negara.
Mempermalukan
Atas dasar itulah upayaupaya memerangi korupsi
dari segala sisi patut didukung pelbagai pihak dan kalangan.Kebijakan
Kementerian Hukum dan HAM untuk menghapus pemberian remisi bagi para koruptor,
misalnya, jelas harus didukung.Tak penting benar apakah kebijakan itu disebut
"moratorium" atau "pengetatan syarat pemberian remisi".
Sebab yang jauh lebih penting adalah tujuan di balik kebijakan itu: demi
semakin menggentarkan para koruptor (maupun calon koruptor) agar tak mudah
melaksanakan niat busuknya.
Kita harus menyadari bahwa korupsi adalah
sebentuk kejahatan luar biasa. Karena itulah kita harus memeranginya dengan
cara-cara yang luar biasa pula. Maka ide yang dilontarkan Ketua Mahkamah
Konstitusi (MK) Mahfud MD baru-baru ini layak dipertimbangkan untuk dijadikan
kebijakan antikorupsi berikutnya. Menurut Mahfud, para koruptor layak
ditempatkan di kebun khusus yang didirikan di sebelah kebun binatang. "Saya
putus asa (menghadapi koruptor). Saya punya ide gila. Buat saja kebun koruptor
di samping kebun binatang. Kalau Bambang Widjojanto terpilih (sebagai ketua
KPK), saya mau mengusulkan itu," ujar Mahfud beberapa waktu lalu. Kini
Bambang Widjojanto telah terpilih menjadi salah satu pimpinan KPK. Meskipun Bambang
tidak menjadi ketua komisi antikorupsi itu, kiranya Mahfud tetap bersemangat
memperjuangkan ide gilanya itu menjadi kenyataan.
Meski ide tersebut, menurut Mahfud, terkesan
main-main, kita berharap kelak dapat menjadi terobosan dalam upaya
pemberantasan korupsi di Indonesia. Sungguh kita tak dapat membayangkan apa
jadinya bangsa ini ke depan jika tumor korupsi bukannya menjinak, tetapi justru
mengganas.
Mungkin selama ini negara memang salah
bersikap terhadap koruptor. Bayangkan,selain memberi "hadiah"berupa
diskon masa tahanan setiap tahunnya, negara pun pernah memberi
"anugerah" berupa pengampunan kepada seorang koruptor karena alasan
sakit parah. Setelah bebas, si koruptor langsung diterbangkan ke vila
pribadinya di sebuah perbukitan di Kalimantan Timur. Seterusnya ia beristirahat
di sana, di rumah asri seluas 30 hektar yang dilengkapi dengan istal kuda, area
berkuda, landasan helikopter, dan kebun kelapa sawit.
Ternyata ia masih kaya-raya. Tidakkah ini
melukai rasa keadilan kita? Inilah yang membuat kita miris dan bertanya: kalau
begitu mampukah praktik korupsi diperangi secara signifikan? Ketua Eksekutif
Economic and Financial Crimes Commission (EFCC) Nigeria, Mallam Nuhu Ribadu,
pernah berkata, "Kita punya masalah sama: kita cenderung memberi hormat
kepada orang yang justru tak layak dihormati. Kamu melecehkan dirimu, kamu
melecehkan kebijakanmu. Kamu punya kesempatan yang baik, tapi kamu membuat para
pencuri itu tetap jadi pencuri karena kecenderungan itu. Ini masalah tentang
manusia, jadi jangan ada toleransi bagi para koruptor itu. Bawa mereka ke depan
hukum. Di Nigeria, kami menangkap para koruptor kakap dan ini membuat trickle down effect." (Tempo, 16/9/2007).
(http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/452078)
Comments
Post a Comment