Polisi yang Terbunuh



Dalam semester pertama tahun 2011 tercatat setidaknya tiga peristiwa sosial-kriminal yang mengakibatkan polisi terbunuh. Pertama peristiwa pada 24 Februari 2011di Banyuasin, Sumatera Selatan, yang bermula dari isu pengungkapan kasus narkoba yang memakan korban terbunuhnya Briptu Ahmad Afandi, anggota Polres Banyuasin. Kedua, awal Mei 2011, Aiptu Abdul Rohim, anggota Polres Maros, Sulawesi Selatan, tewas setelah beberapa orang yang tidak dapat menerima teguran saat si polisi tengah melakukan penertiban lalu-lintas kemudian mengeroyoknya. Dan ketiga 25 Mei 2011, dua di antara tiga polisi yang tengah berjaga di Bank BCA Cabang Palu, Sulawesi Tengah, menemui ajal setelah ditembak orang tak dikenal.

Begitulah angka yang yang menyelinap di antara ratusan kasus yang tercatat di sebuah blog daftar pencarian orang yang tertembak polisi. Tak ada angka pasti berapa banyak polisi yang terbunuh dalam tugas, baik versi data resmi instansi kepolisian, instansi sejenis kepolisian maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang menaruh perhatian pada dunia kepolisian. Akibatnya, sulit pula kita mencari tahu apa penyebab sampai polisi tewas dan apa yang dapat dilakukan untuk mengurangi kasus kematian polisi dalam tugas.

Sedikit berbeda halnya dengan Negeri Amerika Serikat yang relatif rapi dalam mendokumentasikan kasus-kasus polisi yang tewas dalam tugas. Organisasi Law Enforcement Memorial Association Inc di Wheeling, Illinois, misalkan, telah mendokumentasikan sekitar 7.000 polisi tewas sepanjang sejarah Amerika. Organisasi itu melaporkan bahwa kematian polisi pertama kali di Amerika terjadi pada tahun 1724. Data lain, pada 15 Oktober 1991, Presiden George Bush mempersembahkan National Law Enforcement Officer’s Memorial di Negara Bagian Columbia yang memberikan penghargaan kepada 13.000 anggota polisi yang tewas dalam rangka pelayanan publik sepanjang sejarah Amerika.

Dengan catatan data yang relatif baik dan lengkap maka akan memudahkan para peneliti dan para pengambil kebijakan untuk mencari mata rantai sebab-musabab fenomena kematian polisi dalam menjalankan tugas pengabdian masyarakat. Kematian polisi tentu tidak akan selesai hanya dibalas dengan dendam kesumat mengejar-ngejar para tersangka pembunuh sampai liang lahat. Ada baiknya kita menarik pelajaran dari beberapa penelitian terhadap kasus-kasus terbunuhnya polisi yang pernah dilakukan oleh sejumlah peneliti di Amerika.

Dalam studi tentang pembunuhan polisi pada rentang waktu 1961–1963, Albert Cardarelli (1968) menemukan sebab utama pembunuhan polisi di daerah urban yang terkait dengan investigasi kasus perampokan dan investigasi orang-orang yang dicurigai. Di daerah dengan kepadatan penduduk relatif rendah, Cardarelli menemukan bahwa penangkapan dan pemindahan tahanan menjadi sebab utama kematian polisi. Sebagian besar kematian polisi bermula dari inisiatif polisi untuk mengontak tersangka. David Konstanin (1984), yang meneliti kematian polisi dari 1978 sampai 1980, menemukan bahwa inisiatif polisi mengontak tersangka menyebabkan 73,3 persen dari total kematian. Konstanin menengarai bahwa sebab utama pembunuhan polisi adalah investigasi polisi terhadap orang yang dicurigai.
Profesor David Lester (1978, 1982) telah melakukan dua penelitian mengenai karakteristik kota tempat polisi terbunuh. Kedua studinya menunjukkan bahwa tempat yang paling berbahaya bagi polisi adalah di daerah selatan Amerika. Pada studi pertama, Lester menemukan bahwa kasus pembunuhan polisi sering terjadi di kota yang tingkat pembunuhan, pembunuhan tak sengaja dan penyerangan sangat tinggi. Kemudian pada studi kedua Lester memperlihatkan bahwa pembunuhan polisi terjadi di kota dengan tingkat bunuh diri, kecelakaan akibat senjata dan kemiskinan dalam masyarakat relatif tinggi.

Para peneliti yang mempelajari kaitan antara geografi dan pembunuhan polisi menjelaskan hubungan tersebut dengan menggunakan teori “subkultur kekerasan” dari kriminolog Marvin Wolfgang dan Lawrence Ferracuti. Teori itu mengatakan bahwa  wilayah atau kelompok sosial tertentu memiliki tradisi perilaku kekerasan dan sistem nilai yang menghargai kekerasan. Lester percaya bahwa korelasi yang tinggi antara pembunuhan polisi dan aktivitas kekerasan lain di daerah urban ini memperkuat penjelasan “subkultur kekerasan” dari kasus-kasus pembunuhan polisi. Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa faktor tingginya pembunuhan polisi di daerah selatan boleh jadi merupakan produk dari warisan kultur kekerasan, yang meletakkan perlindungan atas kehormatan dan kepemilikan di atas segalanya.

Samuel G. Chapman dalam tulisannya berjudul Cops, Killers and Staying Alive –mengolah data tahun 1960-1990 dari Uniform Crime Reports FBI-- merinci beberapa kondisi saat-saat terjadinya insiden pembunuhan polisi: 16,3% menjawab panggilan warga yang bertikai, 5,8% membuntuti pencuri, 23,2% melakukan penahanan terhadap perampok, 0,6% kekacauan sipil, 4,6% memindahkan tahanan, 9,9% menyelidiki orang yang mencurigakan, 4,7% penyergapan, 4,0% serangan tidak terduga, 2,9% menghadapi orang yang terganggu secara mental dan 11,3% menggelar razia lalu-lintas. Bahkan, secara lebih spesifik, Profesor Chapman mencirikan pembunuh polisi sebagai “seseorang yang mengalami hari buruk, mabuk akibat narkoba, dan berakhir dengan membunuh polisi”.

Satu hal menarik, kasus-kasus pembunuhan di Amerika memperoleh liputan mendalam dari media massa dan diselidiki secara intensif. Dalam skala nasional, hampir 94% kasus pembunuhan polisi pada 1960-1990 dapat dituntaskan. Bahkan di negara bagian Oklahoma bisa mencapai 100% tuntas.

Sementara di Indonesia, menurut pengakuan seorang pamen polisi, kasus kematian polisi cuma menjadi berita kecil-kecilan karena dianggap sudah menjadi risiko tugas. Ada baiknya ke depan, kalau toh ada blogger atau LSM yang concern pada dunia kepolisian, sebaiknya juga mencatat kasus-kasus polisi yang terbunuh secara proporsional dan relatif lengkap. Bila perlu dilengkapi dengan data latar belakang sosial masyarakat, kondisi personal si terduga pelaku dan keadaan di saat tragedi berlangsung. Dengan demikian akan tampak polisi yang tidak becus bekerja ataukah masyarakat kita yang memang telah mengental dalam “subkultur kekerasan” ala Wolfgang-Ferracuti. Dan, manfaat lebih jauh, pengambil kebijakan dapat membuat kebijakan sosial yang tepat untuk menciptakan relasi dan komunikasi yang baik polisi-masyarakat. Tentu kita tidak ingin melihat jika seorang polisi berpamitan kepada istrinya untuk berangkat bekerja, maka itu menjadi pertanda salam perpisahan selama-lamanya. Sebuah gambaran keadaan masyarakat yang tak lagi aman. (BN)

Comments

Popular posts from this blog

Kekerasan di Perkotaan

Kisah Seorang Preman Kupang (1)

Temuan Riset: Kepolisian dan Pemerintah Daerah Tidak Paham Apa itu Ujaran Kebencian