Sistem Jaminan Sosial Penyelamat Negara



Sistem jaminan sosial, atau istilah lain social security, bukanlah ilmu baru karena sudah berabad-abad dikenal di dunia. Tetapi, implementasinya di negara kita masih dihadapkan pada beragam persepsi dan penafsiran. Di tengah hiruk-pikuk berita politik, demokrasi dan korupsi, belum banyak orang yang menyadari sistem jaminan sosial sangat diperlukan dalam menata kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Menurut Bank Dunia (World Bank), sistem jaminan sosial nasional harus dibangun dengan lima pilar, yaitu social assistence /non- contributory poverty alleviation, basic/sektor informal, professional/sektor formal, voluntary dan individual/private.

Sistem Jaminan Sosial Nasional pada hakikatnya adalah penyelamat negara. Namun, di DPR saat ini, pembahasan RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) belum menghasilkan formulasi yang mengarah kepada best practice sebagaimana yang diharapkan sehingga bisa melengkapi kekurangan dalam UU No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

Draft RUU BPJS yang rancu dan masih membutuhkan perbaikan substansi, bahaya kalau tetap dipaksakan untuk disahkan menjadi Undang-Undang. Hal itu diingatkan oleh Jenderal Polisi (Purn) Prof. Dr. Awaloedin Djamin, MPA, tokoh nasional yang sangat paham tentang persoalan jaminan sosial dan pernah terpilih sebagai President ASEAN Social Security Association (ASSA). Mantan Kapolri itu juga menyayangkan tidak adanya kata-kata "bantuan sosial" dalam UU SJSN. "Negara bertanggung-jawab terhadap fakir miskin," ujar beliau. Penulis mendengar pandangan Bapak Awaloedin Djamin dalam rapat Komunitas Jamsosnas Indonesia (KJI) pada tanggal 16 Mei 2011 di Jakarta.

Jika kita melakukan kilas balik, Presiden RI yang Pertama Ir. Soekarno sudah sangat bagus merumuskan pembangunan Indonesia yang berdimensi jangka panjang, yaitu "membangun Indonesia dengan berdikari dan gotong royong". Bukankah itu mengharuskan adanya sebuah badan penyelenggara jaminan sosial? Wakil Presiden Pertama RI Mohammad Hatta, dalam pidato penerimaan gelar doctor honoris causa dari Universitas Indonesia pada tanggal 30 Agustus 1975, mengatakan, "Kita patut merasa sedih, bahwa suatu hal yang sangat penting dalam kewajiban melaksanakan keadilan sosial, bahwa fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara, sampai sekarang masih sedikit sekali yang terlaksanakan oleh negara. Juga pasal 33 tentang kesejahteraan sosial yang dikemukakan dalam perjuangan kemerdekaan ..., masih banyak yang terkatung-katung."

Setahu penulis, Bapak Achmad Subianto, sebagai saksi hidup kelahiran UU SJSN dan belakangan aktif selaku Pendiri/Ketua Umum KJI, sewaktu menjabat Dirut PT Taspen pernah melakukan studi banding ke beberapa negara termasuk China, Korea Selatan dan Rusia serta menghadiri konferensi serta pelatihan Program Pensiun di Inggris, Vietnam, Malaysia dan Singapura. Pengalaman dan informasi yang diperoleh dituangkannya dalam buku berjudul Sistem Jaminan Sosial Nasional (2010).

Dalam buku itu dijelaskan. Sistem Jaminan Sosial Nasional di Indonesia dengan pola "iuran pasti" seharusnya memiliki tiga bentuk, yakni BPJS Warganegara, BPJS Profesi dan BPJS Penunjang (Kesehatan, Kematian, Kecelakaan, Perumahan, dan Pendidikan).

Penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional memerlukan pembiayaan yang besar dan jangka panjang. Tidak dapat dipungkiri, sektor donasi, dalam hal ini zakat, infaq dan shadaqah, merupakan salah satu pilar pendanaan untuk pemenuhan jaminan hak-hak dasar fakir miskin dan orang-orang yang tidak mampu. Peran zakat sebagai pilar SJSN perlu ditempatkan pada tempat yang benar, berdampingan dengan sumber dana APBN dan APBD.

Dari kajian literatur dapat dikemukakan di sini ulasan yang diberikan Dr. Syauqi Ismael Syahatah (Mesir) dalam buku edisi bahasa Indonesia berjudul Penerapan Zakat dalam Dunia Modern (1987) bahwa zakat berfungsi sebagai suatu sarana jaminan sosial dan persatuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok dari individu, memberantas kemelaratan dan penyia-nyiaan terhadap sesama muslim.
Dengan menunaikan zakat akan terealisasi bahwa yang kaya membantu yang miskin, yang sehat membantu yang sakit, dan mereka yang berada dalam kelapangan membantu yang dalam kesulitan. Dalam kaitan ini peluang keberhasilan pengelolaan zakat mengharuskan perlunya membangun sinergi antarsektor, seperti dengan perbankan syariah dan institusi penyelenggara Sistem Jaminan Sosial Nasional yang sudah harus dibentuk di negara kita. Wallahu alam bissbawab.

(Tulisan ini ditulis oleh M. Fuad Nasar, MSc. dan dimuat di Koran Republika terbitan tanggal 30 Mei 2011)

Comments

Popular posts from this blog

Kekerasan di Perkotaan

Temuan Riset: Kepolisian dan Pemerintah Daerah Tidak Paham Apa itu Ujaran Kebencian

Kisah Seorang Preman Kupang (1)