Posts

Fokus

Temuan Riset: Kepolisian dan Pemerintah Daerah Tidak Paham Apa itu Ujaran Kebencian

Tindakan kriminal berbasis agama dan etnis yang terjadi di berbagai lokasi di Indonesia diyakini tidak terjadi secara spontan. Aksi itu biasanya diawali karena tersulut pernyataan tokoh-tokoh berpengaruh yang berhasil menyebarkan dan menanamkan kebencian terhadap kelompok lain yang berbeda. Pola itu dapat dibaca atas apa yang menimpa anggota Jemaat Ahmadiyah dalam 10 tahun terakhir, misalnya. Sikap intoleransi, diskriminasi, bahkan persekusi terhadap anggota Jemaat Ahmadiyah kerap dipicu karena ujaran kebencian, baik berupa fatwa sesat dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) maupun ceramah di mimbar agama. Meski relasi antara ujaran kebencian ( hate speech ) dengan tindakan kriminal berbasis agama dan etnis ( hate crime ) begitu tampak, namun keduanya tidak berdiri sendiri. Karena itu, perlu analisa menyeluruh untuk memahami mengapa muncul keduanya. Sedikitnya ada dua pertanyaan yang layak diajukan untuk memahami kemunculan  hate speech dan  hate crime . Pertama, apakah konteks

Memimpin di Era Turbulensi

Di era digital, seorang pemimpin harus paham situasi lingkungan yang sangat dinamis dan terkadang menghadapi goncangan (turbulen) dari segala arah, termasuk dari internal. Muhammad Awaluddin, Chairman of Indonesia Society Forum (ISDF) MEMASUKI abad milennium, rasa cemas, resah dan gelisah semakin dirasakan warga masyarakat lantaran semua penuh ketidak-pastian (uncertainty). Ketidak-pastian telah menjadi stigma di era milenium saat ini. Perubahan iklim (lingkungan dan bisnis) begitu dinamis, tidak terpola, sehingga sulit diprediksi. Kondisi ini akrab di benak kita sebagai era turbulensi. Sekurang-kurangnya sudah lebih dari satu dekade kita akrab mendengar istilah ini dalam kosakata yang berbeda namun bermuara pada satu hal: ketidak-pastian. Masih hangat di benak kita bahwa pada 1994 saja Richard dAveni telah menulis buku bertajuk Hyper Competition yang pada dasarnya dipicu oleh perubahan iklim bisnis yang dinamis. Namun, turbulensinya semakin cepat dipicu oleh teknologi dan global

Pemimpin Pelayan (Servant Leader)

“…Kelak sepeninggalku, kalian jangan mengangkat orang yang tidak mencintai tanah air dan rakyat kecil sebagai pemimin, meskipun ia anak dan keturunanku…” I Manyambungi Todilaling, Raja I Balanipa, Pencetus Demokrasi di Mandar SEBAGAI daerah relatif baru, Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar) berusaha menggenjot pembangunan di berbagai sektor kehidupan agar mampu mengejar ketertinggalan dari daerah-daerah lain. Tiada kata lain untuk terus maju, kecuali kerja keras dan kerja cerdas dalam membangun Sulbar yang bermartabat. Dari berbagai segi kehidupan, daerah ini memang masih harus berbenah dan berbenah. Misalkan, hingga kini (2017) masih ada dusun yang belum menikmati aliran listrik. Sebagai Gubernur Sulbar yang baru, Ali Baal Masdar (ABM), memprogramkan listrik masuk ke wilayah dusun-dusun di Provinsi Sulbar. Dia berjanji listrik masuk dusun paling lambat dua tahun ke depan (2019). Masuknya listrik ini diharapkan mampu mendukung program pembangunan ekonomi daerah dan meningkatkan kesej

Saatnya Mengubah Pendekatan Labelling

note: artikel ini ada di halaman 397 buku "Tito Karnavian Dalam Pusaran Terorisme: Catatan dari Tepian Musi ke Puncak Tribrata", Jakarta: PT Warta Mandiri, 2017 Salah satu program ketika memulai mengemban tugas sebagai Kepala Polri (Kapolri), Jenderal  Tito Karnavian, adalah program penanganan kelompok radikal prokekerasan dan intoleransi yang lebih optimal dengan deteksi dini dan deteksi aksi dalam rangka pemetaan kelompok radikal pro kekerasan dan intoleransi. Jenderal Tito ingin membangun daya cegah dan daya tangkal warga dan merajut kerja sama dengan stakeholder lain. Dia ingin mengintesifkan kegiatan dialogis di kantong-kantong kelompok radikal pro-ekerasan dan intoleransi dan penegakan hukum secara optimal. Saat ini kepolisian –terutama setelah terbentuknya Detasemen Khusus 88 Antiteror yang akrab disebut Densus 88—tampaknya sudah terlanjur memberikan label atau cap kepada kelompok radikla pro-kekerasan dan intoleransi sebagai kelompok teroris. Sayangnya lagi, la