Urgensi Pendidikan Antikorupsi di Sekolah
Share :
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (penyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu (Q.S.An-Nisa’4:58)
Dalam berbagai survai mengenai negara terkorup di dunia, Indonesia selalu menempati peringkat atas. Hal ini berlangsung bertahun-tahun tanpa ada perbaikan yang berarti. Upaya yang telah dilakukan oleh semua era pemerintahan tidak mampu mematahkan keyakinan bahwa negeri ini memang negeri korup. Pembentukan bermacam-macam institusi anti-korupsi pun telah dilakukan. Hasilnya, koruptor bergeming dari singgasananya dan tetap menikmati imunitas atas tindakannya.
Boleh jadi berdasarkan pertimbangan tersebut, akhir-akhir ini muncul pemikiran pemberantasan korupsi melalui jalur pendidikan dengan memasukkannya ke dalam kurikulum sekolah. Diyakini bahwa dengan memberikan pelajaran anti-korupsi, orang-orang yang nantinya akan duduk di tampuk kepemimpinan pemerintahan telah memiliki bekal nilai-nilai guna menangkal korupsi. Memang, semua koruptor adalah orang yang telah mengenyam pendidikan di sekolah formal. Dan, selama ini sekolah tidak memprogramkan dalam kurikulumnya pelajaran anti-korupsi. Sehingga, wajar saja bila para lulusan sekolah memiliki kepandaian dalam disiplin-disiplin ilmu dan keterampilan, tetapi bertindak korup ketika berkesempatan. Demikianlah, kira-kira jalan pikiran pihak yang menganggap pelajaran anti-korupsi penting dicantumkan di dalam kurikulum sekolah.
Boleh jadi berdasarkan pertimbangan tersebut, akhir-akhir ini muncul pemikiran pemberantasan korupsi melalui jalur pendidikan dengan memasukkannya ke dalam kurikulum sekolah. Diyakini bahwa dengan memberikan pelajaran anti-korupsi, orang-orang yang nantinya akan duduk di tampuk kepemimpinan pemerintahan telah memiliki bekal nilai-nilai guna menangkal korupsi. Memang, semua koruptor adalah orang yang telah mengenyam pendidikan di sekolah formal. Dan, selama ini sekolah tidak memprogramkan dalam kurikulumnya pelajaran anti-korupsi. Sehingga, wajar saja bila para lulusan sekolah memiliki kepandaian dalam disiplin-disiplin ilmu dan keterampilan, tetapi bertindak korup ketika berkesempatan. Demikianlah, kira-kira jalan pikiran pihak yang menganggap pelajaran anti-korupsi penting dicantumkan di dalam kurikulum sekolah.
Hanya saja perlu ditekankan bahwa pendidikan anti-korupsi berkenaan dengan pendidikan nilai. Justru di sini terletak inti permasalahan. Pendidikan nilai memiliki karakteristik yang berbeda dengan pendidikan ilmu, pengetahuan, dan keterampilan. Kalau dalam pendidikan ilmu, pengetahuan, dan keterampilan relatif lebih sedikit melibatkan perasaan dan karakteristik individu serta dimensi interaksi sosial dalam menerapkan apa yang telah dipelajari, maka pendidikan nilai sarat dengan perasaan dan karakteristik individu serta dimensi interaksi sosial ketika sang pembelajar menerapkan apa yang telah dipelajarinya. Tidak mengherankan jika pengajarannya lebih rumit daripada mengajarkan ilmu, pengetahuan, dan keterampilan. Terbukti bahwa sejauh ini manajemen pendidikan dan teknologi pembelajaran mencapai tingkat keberhasilan yang lebih tinggi pada pembelajaran ilmu, pengetahuan, dan keterampilan ketimbang pembelajaran nilai.
Sejarah di Indonesia pun telah menyatakan terjadinya kegagalan manakala nilai-nilai tertentu dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah. Sebut saja pelajaran-pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP), Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB), dan Pendidikan Agama (PA) di sekolah. Demikian halnya dengan pelajaran-pelajaran cabang ilmu hukum di Jurusan atau Fakultas Hukum di perguruan tinggi. Aspek kegagalannya terutama pada ranah afeksi dan praksis. Mestinya bila asumsi setiap masalah nilai dapat diatasi dengan memasukkan solusi di dalam kurikulum sekolah, maka PMP telah mewujudkan masyarakat yang bermoral, PSPB telah menghasilkan bangsa yang menghargai sejarah perjuangan dan mencintai bangsa dan negara sendiri, PA telah menumbuh-kembangkan masyarakat yang alim hidup di dunia dan akhirat. Namun apa lacur, yang terjadi adalah masyarakat yang, bahkan, oleh anggotanya sendiri disumpah-serapahi dengan kata-kata yang paling kotor yang pernah ada di dalam kamus bahasa—bangsa korup, bangsa biadab, masyarakat preman, dan lain sebagainya.
Namun, bukan berarti materi-materi pendidikan nilai tidak perlu diajarkan di sekolah. Hanya saja pelajarannya bukan melalui kurikulum formal yang tercantum secara verbal. Karena, verbalisme telah membudaya dalam kehidupan kita. Verbalisme adalah sikap dan perilaku mengutamakan kata-kata daripada perbuatan, terutama ketika menyikapi masalah-masalah genting dan mendesak untuk dipecahkan. Pendukung verbalisme amat pintar merangkai kata-kata buaian kepada orang lain. Mereka piawai secara kognitif menjabarkan solusi yang canggih atas masalah yang timbul, namun kedodoran saat mengimplementasikannya.
Lalu bagaimana cara melakukan transformasi nilai kepada generasi muda (siswa sekolah) agar kehidupan masyarakat menjadi (lebih) baik, terutama masyarakat yang bersih dari korupsi? Ada beberapa reka-daya terhadap komunitas sekolah agar anti-korupsi. Pertama, pereka-dayaan budaya sekolah yang mengedepankan nilai anti-korupsi dengan mempertimbangkan konsistensi aturan sekolah dengan perilaku melalui mekanisme modeling, reward and punishment, dan keterlibatan seluruh sivitas sekolah pada kegiatan-kegiatan sekolah. Kedua, internalisasi nilai anti-korupsi dilakukan secara melekat (embedded) yang terus-menerus dikawal oleh para guru. Peran guru dalam kegiatan ini adalah sebagai mentor. Guru setiap saat membimbing, mengawasi, dan membetulkan perilaku yang menyimpang dari jalan lurus anti-korupsi. Ketiga, evaluasi dilakukan secara periodik terhadap program-program internalisasi nilai anti-korupsi. Gunanya memperbaiki reka-daya yang telah dilaksanakan. Jadi, sikap dan perilaku anti-korupsi tidak perlu mengulang sejarah gagalnya pendidikan nilai karena pencantumannya secara formal di dalam kurikulum ( Heru Puji Winarso http://www.cimbuak.net/content/view/1070/5/)
Kurikulum Pendidikan Anti Korupsi
Tingkat korupsi di Indonesia sudah begitu kronis. Data tahun 2006 menunjukan bahwa Indonesia berada pada posisi terburuk dengan dengan Indek Persepsi Korupsi (IPK) 2,4. Skala IPK mulai dari 1 sampai 10, semakin besar nilai IPK suatu negara maka semakin bersih negara tersebut dari tindakan korupsi. Dari data yang diperoleh dari Transparency International Corruption Perception Index 2006 tersebut, IPK Indonesia sama dengan negara miskin lainnya seperti Ethiopia, Togo, Zimbabwe, Burundi, Azerbaijan, Papua New Guinea dan Central African Republic. Angka ini menyimpulkan bahwa Indonesia adalah sebuah negara miskin dengan angka korupsi yang sangat tinggi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi berarti busuk; palsu; suap. Korupsi merupakan tindakan yang dapat menyebabkan sebuah negara menjadi bangkrut dengan efek yang luar biasa seperti hancurnya perekonomian, rusaknya sistem pendidikan dan pelayanan kesehatan yang tidak memadai. Korupsi di Indonesia sudah membudaya tanpa proses peradilan yang terbuka dan kredibel. Semua pihak yang terkait dengan sebuah kasus korupsi seakan menutup mata dan lepas tangan seolah-olah tanpa terjadi apa-apa. Tindakan korupsi mulai dari yang paling besar oleh para pejabat negeri ini sampai kepada yang paling kecil seperti pada kepala desa, kepala sekolah dan pegawai rendahan. mulai dari proses penyuapan berjumlah puluhan ribu rupiah yang biasa terlihat di jalanan sampai pada kasus menggelapkan uang negara dengan jumlah triliunan.
Pengertian korupsi dapat menjadi lebih luas lagi. Perbuatan seperti berbohong, menyontek di sekolah, mark up, memberi hadiah sebagai pelican dan slain sebagainya. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa tindakan korupsi merupakan sekumpulan kegiatan yang menyimpang dan dapat merugikan orang lain. Kasus-kasus korupsi seperti ini sangat banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dan cenderung sudah membudaya. Jika diperhatikan, hampir disemua aspek kehidupan bangsa ini terlibat korupsi. Dari lembaga pendidikan sampai lembaga keagamaan sekalipun. Di lingkungan sekolah sangat banyak ditemui praktek-praktek korupsi, mulai dari yang paling sederhana seperti mencontek, berbohong, melanggar aturan sekolah, terlambat datang sampai pada menggelapkan uang sekolah pembangunan sekolah yang bernilai puluhan juta rupiah.
Pada saat ini, ada indikasi terjadinya sikap apatis masyarakat terhadap tindakan korupsi. Masyarakat seakan telah jenuh dan terbiasa dengan kasus-kasus korupsi yang mencuat kepermukaan. Tidak ada sanksi moral dari masyarakat terhadap para koruptor. Bahkan, secara tak langsung budaya korupsi telah merajalela ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Pada setiap aspek kehidupan, selalu ditemui budaya korupsi yang telah mengakar dan menjadi kebiasaan lumrah setiap orang.
Masyarakat harus sadar bahwa uang yang dikorupsi oleh para koruptor merupakan uang rakyat. Uang rakyat tersebut seharusnya mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat, membiayai pendidikan, kesehatan, membuka lapangan pekerjaan dan pembangunan infrastruktur seperti jalan, jembatan, listrik, air dan lain-lain. Masyarakat harus mengetahui besarnya akibat yang ditimbulkan dari perbuatan korupsi tersebut, pendidikan menjadi mahal, begitu juga dengan pelayanan kesehatan, transportasi menjadi tidak aman, rusaknya infrastruktur dan yang paling berbahaya adalah meningkatnya angka pengangguran sehingga berkolerasi kepada angka kriminalitas.
Pendirian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 29 Desember tahun 2002 merupakan sebuah itikad baik dari pemerintahan saat itu. KPK menjadi harapan baru bagi indonesia untuk mengobati penyakit bangsa yang sudah kronis. Namun, banyak pihak yang menyangsikan KPK akan mampu memberantas korupsi. Pada awal pendiriannya, banyak pihak yang meragukan sepak terjang KPK. Hal ini cukup beralasan, karena KPK sebagai sebuah lembaga independen beranggotakan orang-orang yang ditunjuk oleh Presiden dan disetujui oleh DPR. Banyak kalangan yang beranggapan bahwa KPK akan tebang pilih dalam menjalankan tugasnya sebagai pengadil para koruptor. Terlepas dari itu, KPK tetap menjadi tumpuan harapan bagi bangsa ini untuk membongkar kasus korupsi dan memenjarakan para koruptor yang terlibat.
Sampai saat ini KPK sudah menunjukan prestasi yang luar biasa. KPK membuat gebrakan dengan menjadikan beberapa gubernur sebagai tersangka.. Disamping itu, KPK juga telah menjadikan beberapa Bupati sebagai tersangka kasus korupsi. Ditambah lagi dengan suksesnya KPK menggiring anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat, Mulyana Kusumah ke dalam penjara sebagai tersangka kasus suap melalui penyadapan telepon.
Mengingat begitu beratnya tugas KPK dan besarnya akibat yang disebabkan oleh kasus korupsi tersebut, maka diperlukan suatu sistem yang mampu menyadarkan semua elemen bangsa untuk sama-sama bergerak mengikis karang korupsi yang telah menggurita. Cara yang paling efektif adalah melalui media pendidikan. Diperlukan sebuah sistem pendidikan anti korupsi yang berisi tentang sosialisasi bentuk-bentuk korupsi, cara pencegahan dan pelaporan serta pengawasan terhadap tindak pidana korupsi. Pendidikan seperti ini harus ditanamkan secara terpadu mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Pendidikan anti korupsi ini sangat penting bagi perkembangan psikologis siswa. Pola pendidikan yang sistematik akan mampu membuat siswa mengenal lebih dini hal-hal yang berkenaan dengan korupsi temasuk sanksi yang akan diterima kalau melakukan korupsi. Dengan begitu, akan tercipta generasi yang sadar dan memahami bahaya korupsi, bentuk-bentuk korupsi dan tahu akan sanksi yang akan diterima jika melakukan korupsi. Sehingga, masyarakat akan mengawasi setiap tindak korupsi yang terjadi dan secara bersama memberikan sanksi moral bagi koruptor. Gerakan bersama anti korupsi ini akan memberikan tekanan bagi penegak hukum dan dukungan moral bagi KPK sehingga lebih bersemangat dalam menjalankan tugasnya.
Kurikulum pendidikan anti korupsi ini disusun seperti kurikulum mata pelajaran yang lain dan diagendakan dalam kurikulum pendidikan nasional. Penyusunan kurikulum dimulai dari tujuan pembelajaran umum, khusus serta indikator dan hasil belajar apa saja yang ingin dicapai setelah memperoleh pendidikan anti korupsi ini. Untuk tahap awal, pendidikan anti korupsi ini bisa disisipkan dalam bentuk satu pokok bahasan pada mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan atau pelajaran ilmu sosial lainnya. Waktu yang dibutuhkan untuk satu pokok bahasan ini antara 8 sampai 9 jam. Atau sekitar 4 sampai 5 kali pertemuan.
Metoda pembelajaran yang digunakan dapat berupa ceramah, diskusi, simulasi, studi kasus dan metoda lain yang dianggap akan membantu tercapainya tujuan dari pembelajaran itu sendiri. Media yang dapat digunakan seperti tabel angka korupsi dan bahkan bisa digunakan media audiovisual seperti menonton video-video yang berhubungan dengan korupsi. Dengan adanya pendidikan anti korupsi ini, diharapkan akan lahir generasi tanpa korupsi sehingga dimasa yang akan datang akan tercipta Indonesia yang bebas dari korupsi. Harapan awal tentunya ini akan berdampak langsung pada lingkungan sekolah yaitu pada semua elemen pendidikan, seperti kepala sekolah, guru, karyawan dan siswa. Lingkungan sekolah akan menjadi pioneer bagi pemberantasan korupsi dan akan merembes ke semua aspek kehidupan bangsa demi mewujudkan Indonesia yang bebas dari korupsi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi berarti busuk; palsu; suap. Korupsi merupakan tindakan yang dapat menyebabkan sebuah negara menjadi bangkrut dengan efek yang luar biasa seperti hancurnya perekonomian, rusaknya sistem pendidikan dan pelayanan kesehatan yang tidak memadai. Korupsi di Indonesia sudah membudaya tanpa proses peradilan yang terbuka dan kredibel. Semua pihak yang terkait dengan sebuah kasus korupsi seakan menutup mata dan lepas tangan seolah-olah tanpa terjadi apa-apa. Tindakan korupsi mulai dari yang paling besar oleh para pejabat negeri ini sampai kepada yang paling kecil seperti pada kepala desa, kepala sekolah dan pegawai rendahan. mulai dari proses penyuapan berjumlah puluhan ribu rupiah yang biasa terlihat di jalanan sampai pada kasus menggelapkan uang negara dengan jumlah triliunan.
Pengertian korupsi dapat menjadi lebih luas lagi. Perbuatan seperti berbohong, menyontek di sekolah, mark up, memberi hadiah sebagai pelican dan slain sebagainya. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa tindakan korupsi merupakan sekumpulan kegiatan yang menyimpang dan dapat merugikan orang lain. Kasus-kasus korupsi seperti ini sangat banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dan cenderung sudah membudaya. Jika diperhatikan, hampir disemua aspek kehidupan bangsa ini terlibat korupsi. Dari lembaga pendidikan sampai lembaga keagamaan sekalipun. Di lingkungan sekolah sangat banyak ditemui praktek-praktek korupsi, mulai dari yang paling sederhana seperti mencontek, berbohong, melanggar aturan sekolah, terlambat datang sampai pada menggelapkan uang sekolah pembangunan sekolah yang bernilai puluhan juta rupiah.
Pada saat ini, ada indikasi terjadinya sikap apatis masyarakat terhadap tindakan korupsi. Masyarakat seakan telah jenuh dan terbiasa dengan kasus-kasus korupsi yang mencuat kepermukaan. Tidak ada sanksi moral dari masyarakat terhadap para koruptor. Bahkan, secara tak langsung budaya korupsi telah merajalela ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Pada setiap aspek kehidupan, selalu ditemui budaya korupsi yang telah mengakar dan menjadi kebiasaan lumrah setiap orang.
Masyarakat harus sadar bahwa uang yang dikorupsi oleh para koruptor merupakan uang rakyat. Uang rakyat tersebut seharusnya mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat, membiayai pendidikan, kesehatan, membuka lapangan pekerjaan dan pembangunan infrastruktur seperti jalan, jembatan, listrik, air dan lain-lain. Masyarakat harus mengetahui besarnya akibat yang ditimbulkan dari perbuatan korupsi tersebut, pendidikan menjadi mahal, begitu juga dengan pelayanan kesehatan, transportasi menjadi tidak aman, rusaknya infrastruktur dan yang paling berbahaya adalah meningkatnya angka pengangguran sehingga berkolerasi kepada angka kriminalitas.
Pendirian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 29 Desember tahun 2002 merupakan sebuah itikad baik dari pemerintahan saat itu. KPK menjadi harapan baru bagi indonesia untuk mengobati penyakit bangsa yang sudah kronis. Namun, banyak pihak yang menyangsikan KPK akan mampu memberantas korupsi. Pada awal pendiriannya, banyak pihak yang meragukan sepak terjang KPK. Hal ini cukup beralasan, karena KPK sebagai sebuah lembaga independen beranggotakan orang-orang yang ditunjuk oleh Presiden dan disetujui oleh DPR. Banyak kalangan yang beranggapan bahwa KPK akan tebang pilih dalam menjalankan tugasnya sebagai pengadil para koruptor. Terlepas dari itu, KPK tetap menjadi tumpuan harapan bagi bangsa ini untuk membongkar kasus korupsi dan memenjarakan para koruptor yang terlibat.
Sampai saat ini KPK sudah menunjukan prestasi yang luar biasa. KPK membuat gebrakan dengan menjadikan beberapa gubernur sebagai tersangka.. Disamping itu, KPK juga telah menjadikan beberapa Bupati sebagai tersangka kasus korupsi. Ditambah lagi dengan suksesnya KPK menggiring anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat, Mulyana Kusumah ke dalam penjara sebagai tersangka kasus suap melalui penyadapan telepon.
Mengingat begitu beratnya tugas KPK dan besarnya akibat yang disebabkan oleh kasus korupsi tersebut, maka diperlukan suatu sistem yang mampu menyadarkan semua elemen bangsa untuk sama-sama bergerak mengikis karang korupsi yang telah menggurita. Cara yang paling efektif adalah melalui media pendidikan. Diperlukan sebuah sistem pendidikan anti korupsi yang berisi tentang sosialisasi bentuk-bentuk korupsi, cara pencegahan dan pelaporan serta pengawasan terhadap tindak pidana korupsi. Pendidikan seperti ini harus ditanamkan secara terpadu mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Pendidikan anti korupsi ini sangat penting bagi perkembangan psikologis siswa. Pola pendidikan yang sistematik akan mampu membuat siswa mengenal lebih dini hal-hal yang berkenaan dengan korupsi temasuk sanksi yang akan diterima kalau melakukan korupsi. Dengan begitu, akan tercipta generasi yang sadar dan memahami bahaya korupsi, bentuk-bentuk korupsi dan tahu akan sanksi yang akan diterima jika melakukan korupsi. Sehingga, masyarakat akan mengawasi setiap tindak korupsi yang terjadi dan secara bersama memberikan sanksi moral bagi koruptor. Gerakan bersama anti korupsi ini akan memberikan tekanan bagi penegak hukum dan dukungan moral bagi KPK sehingga lebih bersemangat dalam menjalankan tugasnya.
Kurikulum pendidikan anti korupsi ini disusun seperti kurikulum mata pelajaran yang lain dan diagendakan dalam kurikulum pendidikan nasional. Penyusunan kurikulum dimulai dari tujuan pembelajaran umum, khusus serta indikator dan hasil belajar apa saja yang ingin dicapai setelah memperoleh pendidikan anti korupsi ini. Untuk tahap awal, pendidikan anti korupsi ini bisa disisipkan dalam bentuk satu pokok bahasan pada mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan atau pelajaran ilmu sosial lainnya. Waktu yang dibutuhkan untuk satu pokok bahasan ini antara 8 sampai 9 jam. Atau sekitar 4 sampai 5 kali pertemuan.
Metoda pembelajaran yang digunakan dapat berupa ceramah, diskusi, simulasi, studi kasus dan metoda lain yang dianggap akan membantu tercapainya tujuan dari pembelajaran itu sendiri. Media yang dapat digunakan seperti tabel angka korupsi dan bahkan bisa digunakan media audiovisual seperti menonton video-video yang berhubungan dengan korupsi. Dengan adanya pendidikan anti korupsi ini, diharapkan akan lahir generasi tanpa korupsi sehingga dimasa yang akan datang akan tercipta Indonesia yang bebas dari korupsi. Harapan awal tentunya ini akan berdampak langsung pada lingkungan sekolah yaitu pada semua elemen pendidikan, seperti kepala sekolah, guru, karyawan dan siswa. Lingkungan sekolah akan menjadi pioneer bagi pemberantasan korupsi dan akan merembes ke semua aspek kehidupan bangsa demi mewujudkan Indonesia yang bebas dari korupsi.
Pendidikan Anti Korupsi
Pemberantasan korupsi mesti sistematis dan masif. Pendidikan antikorupsi menjadi sarana sadar untuk itu. Pendidikan antikorupsi baiknya menyentuh aspek kognitif, afektif, dan konasi. Tujuan utama pendidikan antikorupsi adalah perubahan sikap dan perilaku terhadap tindakan koruptif.
Pendidikan antikorupsi membentuk kesadaran akan bahaya korupsi, kemudian bangkit melawannya. Menjadi champion dalam pemberantasan korupsi. Pendidikan anti korupsi juga berguna mempromosikan nilai-nilai kejujuran dan tidak mudah menyerah demi kebaikan. Seyogianya, pendidikan antikorupsi dikelola sebagai sebuah dialog, hingga tumbuh kesadaran kolektif tiap warga akan pentingnya pemberantasan dan pencegahan korupsi.
Peserta pendidikan antikorupsi tentu saja semua lapisan rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia terdiri atas beragam etnis. Multietnis. Tiap etnis mempunyai persepsi, aturan, dan budaya masing-masing. Satu etnis beda dengan etnis lain dalam memandang sesuatu. Budaya jawa beda dengan bugis. Saudara kita di pedalaman papua punya pengalaman berbeda dengan teman kita di Bali. Nilai-nilai yang dianut pun tidak sama. Nilai-nilai yang dipegang orang Aceh lain dengan suku Dayak.
Mayoritas rakyat Indonesia dalam hampir semua suku memahami, bahwa sebagian besar jenis korupsi seperti suap, pemerasan, menerima pemberian tak sah adalah melawan hukum dan bukan merupakan kewajaran. Tapi perbedaan-perbedaan budaya dapat mengaburkan pemahaman itu. Rendahnya tingkat pemahaman terhadap korupsi menyebabkan kesalahpahaman dalam mengenal bentuk-bentuk korupsi. Apalagi diperparah dengan pemahaman yang berbeda disebabkan perbedaan latar belakang budaya.
Keragaman etnis memerlukan sebuah konsep pendidikan antikorupsi yang beda dengan konsep konvensional. Yakni konsep pendidikan antikorupsi yang peka kepada persoalan multietnis. Bila pendidikan antikorupsi yang konvensional hanya mengandalkan sudut budaya tertentu dan mengabaikan yang lain, maka pendidikan antikorupsi yang peka etnis berusaha mengakomodir keunikan tiap etnis.
Pendidikan antikorupsi yang mencoba menyeragamkan budaya yang berbeda itu bisa terjebak kesulitan penanaman nilai-nilai antikorupsi. Akibatnya kesia-siaan belaka. Banyak biaya terbuang percuma karena tiadanya kepekaan kepada masalah multietnis ini. Sebuah gambar dapat dipersepsikan berbeda oleh orang yang berbeda budaya. Disinilah urgensi konsep pendidikan antikorupsi berbasis mutietnis.
Pendidikan antikorupsi berbasis multietnis mengandaikan domain bangsa sebagai arena yang dipenuhi aneka manusia. Aneka budaya dan suku. Pendidikan antikorupsi berbasis multietnis dilandasi konsep perbedaan yang unik pada tiap etnik. Tidak terjebak dalam etnosentris. Yakni memandang segala sesuatu dalam kelompoknya sendiri sebagai pusat segala sesuatu dan hal lainnya dinilai berdasarkan rujukan kelompoknya (Gudykunst dan Kim, Komunikasi Antarbudaya, 1985).
Mengacu pada Hujair AH.Sanaky, dalam (Pendidikan Anti Korupsihttp://sanaky.staff.uii.ac.id/2009/02/05/pendidikan-anti-korupsi/) mengatakatan, kita harus dan berani membentuk sikap anti korupsi sejak dini dan dimulai dari pendidikan keluarga. Hal ini jelas merupakan tindakan yang patut dan harus didukung, sebab internalisasi sikap dan kebiasaan anti korupsi dapat saja lewat penegakan hukum maupun pendidikan yang bernilai preventif dan edukatif. Maka arah dari semua langkah itu adalah membangun kultur perlawanan terhadap budaya korupsi yang dimulai dari pendidikan keluarga, dengan sifat menciptakan efek jera, menebarkan budaya malu, menciptakan budaya kejujuran, budaya tanggung jawab dan berupaya untuk mencegah agar para calon pelaku korupsi takut untuk berbuat serupa.
Maka untuk mewujudkan pendidikan anti korupsi, pendidikan di sekolah harus diorientasikan pada tataranmoral action, agar peserta didik tidak hanya berhenti pada kompetensi (competence) saja, tetapi sampai memiliki kemauan (will), dan kebiasaan (habit) dalam mewujudkan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari. Lickona (1991), menyatakan bahwa untuk mendidik moral anak sampai pada tataran moral action diperlukan tiga proses pembinaan yang berkelanjutan mulai dari proses moral knowing, moral feeling, hingga sampai pada moral action. Ketiganya harus dikembangkan secara terpadu dan seimbang. Dengan demikian diharapkan potensi peserta didik dapat berkembang secara optimal, baik pada aspek kecerdasan intelektual, yaitu memiliki kecerdasan, pintar, kemampuan membedakan yang baik dan buruk, benar dan salah, serta menentukan mana yang bermanfaat. Kecerdasan emosional, berupa kemampuan mengendalikan emosi, menghargai dan mengerti perasaan orang lain, dan mampu bekerja dengan orang lain. Keecerdasan sosial, yaitu memiliki kemampuan berkomunikasi, senang menolong, berteman, senang bekerja sama, senang berbuat untuk menyenangkan orang lain. Kecerdasan spritual, yaitu memiliki kemampuan iman yang anggun, merasa selalu diawasi oleh Allah, gemar berbuat baik karena lillahi ta’alah, disiplin beribadah, sabar, ikhtiar, jujur, pandai bersyukur dan berterima kasih. Sedangkan kecerdasan kinestetik, adalah menciptakan keperdulian terhadap dirinya dengan menjaga kesehatan jasmani, tumbuh dari rizki yang hahal, dan sebagainya. Maka sosok manusia yang mengembangkan berbagai kecerdasan tersebut, diharapkan siap menghadapi dan memberantas perbuatan korupsi atau bersikap anti korupsi.
Pendidikan di sekolah harus dilakukan secara berkelanjutan mulai dari proses moral knowing, moral feeling,hingga moral action. Kenapa, karenapendidikan memiliki peran yang strategis dalam mendukung dan bahkan mempercepat pembentukan masyarakat berkeadaban,http://sanaky.staff.uii.ac.id/wp-admin/ - _ftn11 memiliki kemampuan, keterampilan, etos, dan motivasi untuk berpartisifasi aktif secara jujur dalam masyarakat.
Proses percepatan pemberantasan korupsi bukan seperti membalik telapak tangan. Artinya, lebih dari itu harus ada kerja-kerja keras yang spartan dan simultan antara aparat penegak hukum dan masyarakat. Harus dibangun kesadaran yang mengartikulasikan kejujuran dan budaya malu melakukan korupsi. Maka munculnya wacana dan kesadaran moral untuk memberantas korupsi yang sudah menggurita ke segala lini kehidupan masyarakat Indonesia, selain melalui mekanisme hukum, juga membangun filosofi baru berupa penyamaan nalar dan nilia-nilai baru yang bebas korupsi melalui pendidikan formal, nonformal, dan informal. Hal itu dilakukan karena pendidikan memiliki posisi sangat vital dalam upaya membangun sikap anti korupsi. Karena, hakekat pendidikan adalah suatu proses menumbuhkembangkan eksistensi peserta-didik yang memasyarakat, membudaya, dalam tata kehidupan bermasyarakat.
Pendidikan anti korupsi harus diberikan melalui pembelajaran sikap mental dan nilai-nilai moral bebas korupsi di sekolah, sehingga generasi baru Indonesia diharapkan dapat memiliki pandangan dan sikap yang keras terhadap segala bentuk praktik korupsi. Pendidikan perlu dielaborasi dan diinternalisasikan dengan nilai-nilai anti korupsi sejak dini. Pendidikan anti korupsi yang diberikan di sekolah diharapkan dapat menyelamatkan generasi muda agar tidak menjadi penerus tindakan-tindakan korup generasi sebelumnya. Tapi hanya saja memberikan pendidikan anti korupsi bukan hal mudah. Sebab, bahkan lahirnya fenomena praktik korupsi juga berawal dari dunia pendidikan yang cenderung tidak pernah memberikan sebuah mainstream atau paradigma berperilaku jujur dalam berkata dan berbuat. Termasuk sekolah-sekolah di negeri ini. Misalnya guru menerangkan hal-hal idealis dalam memberikan pelajaran, menabung pangkal kaya, tetapi realitanya banyak guru yang korupsi, seperti korupsi waktu, korupsi materi pelajaran yang diberikan,. korupsi berupa absen mengajar tanpa izin kelas. Hal-hal yang dilakukan itu, juga dapat memicu praktik korupsi yang lebih buruk di dunia pendidikan.
Maka untuk mewujudkan pendidikan anti-korupsi menurut Hujair AH.Sanaky, diperlukan partisipasi publik sendiri yang merupakan syarat mutlak agar kontrol publik bisa dilakukan secara efektif. Partisipasi publik akan terwujud bila publik memperoleh cukup informasi. Lantas apa yang terjadi bila informasinya sengaja ditutupi? Ini berarti tidak ada keterbukaan. Bila tidak ada keterbukaan, tidak akan ada partisipasi publik, apalagi kontrol publik. Dan jika tidak ada kontrol publik, kekuasaan akan menjadi semakin kuat tak terkontrol. Dan ini artinya parktek-praktek korupsi makin menjadi-jadi. Sebagaimana dikatakan Lord Acton; “Power tends to corrupt, absolut power corrupt absolutly”. Karena itu memberikan informasi dan pendidikan bagi publik agar melek informasi, khususnya terkait dengan korupsi bukan hanya perlu tetapi sesuatu yang mendesak dilakukan. Apalagi dalam kehidupan politik kontemporer, korupsi tidak jarang dijadikan isu dan komoditas politik, sehingga korupsi dikonstruksi menjadi masalah politik, bukan lagi masalah hukum apalagi moral kejujuran.
Pendidikan antikorupsi membentuk kesadaran akan bahaya korupsi, kemudian bangkit melawannya. Menjadi champion dalam pemberantasan korupsi. Pendidikan anti korupsi juga berguna mempromosikan nilai-nilai kejujuran dan tidak mudah menyerah demi kebaikan. Seyogianya, pendidikan antikorupsi dikelola sebagai sebuah dialog, hingga tumbuh kesadaran kolektif tiap warga akan pentingnya pemberantasan dan pencegahan korupsi.
Peserta pendidikan antikorupsi tentu saja semua lapisan rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia terdiri atas beragam etnis. Multietnis. Tiap etnis mempunyai persepsi, aturan, dan budaya masing-masing. Satu etnis beda dengan etnis lain dalam memandang sesuatu. Budaya jawa beda dengan bugis. Saudara kita di pedalaman papua punya pengalaman berbeda dengan teman kita di Bali. Nilai-nilai yang dianut pun tidak sama. Nilai-nilai yang dipegang orang Aceh lain dengan suku Dayak.
Mayoritas rakyat Indonesia dalam hampir semua suku memahami, bahwa sebagian besar jenis korupsi seperti suap, pemerasan, menerima pemberian tak sah adalah melawan hukum dan bukan merupakan kewajaran. Tapi perbedaan-perbedaan budaya dapat mengaburkan pemahaman itu. Rendahnya tingkat pemahaman terhadap korupsi menyebabkan kesalahpahaman dalam mengenal bentuk-bentuk korupsi. Apalagi diperparah dengan pemahaman yang berbeda disebabkan perbedaan latar belakang budaya.
Keragaman etnis memerlukan sebuah konsep pendidikan antikorupsi yang beda dengan konsep konvensional. Yakni konsep pendidikan antikorupsi yang peka kepada persoalan multietnis. Bila pendidikan antikorupsi yang konvensional hanya mengandalkan sudut budaya tertentu dan mengabaikan yang lain, maka pendidikan antikorupsi yang peka etnis berusaha mengakomodir keunikan tiap etnis.
Pendidikan antikorupsi yang mencoba menyeragamkan budaya yang berbeda itu bisa terjebak kesulitan penanaman nilai-nilai antikorupsi. Akibatnya kesia-siaan belaka. Banyak biaya terbuang percuma karena tiadanya kepekaan kepada masalah multietnis ini. Sebuah gambar dapat dipersepsikan berbeda oleh orang yang berbeda budaya. Disinilah urgensi konsep pendidikan antikorupsi berbasis mutietnis.
Pendidikan antikorupsi berbasis multietnis mengandaikan domain bangsa sebagai arena yang dipenuhi aneka manusia. Aneka budaya dan suku. Pendidikan antikorupsi berbasis multietnis dilandasi konsep perbedaan yang unik pada tiap etnik. Tidak terjebak dalam etnosentris. Yakni memandang segala sesuatu dalam kelompoknya sendiri sebagai pusat segala sesuatu dan hal lainnya dinilai berdasarkan rujukan kelompoknya (Gudykunst dan Kim, Komunikasi Antarbudaya, 1985).
Mengacu pada Hujair AH.Sanaky, dalam (Pendidikan Anti Korupsihttp://sanaky.staff.uii.ac.id/2009/02/05/pendidikan-anti-korupsi/) mengatakatan, kita harus dan berani membentuk sikap anti korupsi sejak dini dan dimulai dari pendidikan keluarga. Hal ini jelas merupakan tindakan yang patut dan harus didukung, sebab internalisasi sikap dan kebiasaan anti korupsi dapat saja lewat penegakan hukum maupun pendidikan yang bernilai preventif dan edukatif. Maka arah dari semua langkah itu adalah membangun kultur perlawanan terhadap budaya korupsi yang dimulai dari pendidikan keluarga, dengan sifat menciptakan efek jera, menebarkan budaya malu, menciptakan budaya kejujuran, budaya tanggung jawab dan berupaya untuk mencegah agar para calon pelaku korupsi takut untuk berbuat serupa.
Maka untuk mewujudkan pendidikan anti korupsi, pendidikan di sekolah harus diorientasikan pada tataranmoral action, agar peserta didik tidak hanya berhenti pada kompetensi (competence) saja, tetapi sampai memiliki kemauan (will), dan kebiasaan (habit) dalam mewujudkan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari. Lickona (1991), menyatakan bahwa untuk mendidik moral anak sampai pada tataran moral action diperlukan tiga proses pembinaan yang berkelanjutan mulai dari proses moral knowing, moral feeling, hingga sampai pada moral action. Ketiganya harus dikembangkan secara terpadu dan seimbang. Dengan demikian diharapkan potensi peserta didik dapat berkembang secara optimal, baik pada aspek kecerdasan intelektual, yaitu memiliki kecerdasan, pintar, kemampuan membedakan yang baik dan buruk, benar dan salah, serta menentukan mana yang bermanfaat. Kecerdasan emosional, berupa kemampuan mengendalikan emosi, menghargai dan mengerti perasaan orang lain, dan mampu bekerja dengan orang lain. Keecerdasan sosial, yaitu memiliki kemampuan berkomunikasi, senang menolong, berteman, senang bekerja sama, senang berbuat untuk menyenangkan orang lain. Kecerdasan spritual, yaitu memiliki kemampuan iman yang anggun, merasa selalu diawasi oleh Allah, gemar berbuat baik karena lillahi ta’alah, disiplin beribadah, sabar, ikhtiar, jujur, pandai bersyukur dan berterima kasih. Sedangkan kecerdasan kinestetik, adalah menciptakan keperdulian terhadap dirinya dengan menjaga kesehatan jasmani, tumbuh dari rizki yang hahal, dan sebagainya. Maka sosok manusia yang mengembangkan berbagai kecerdasan tersebut, diharapkan siap menghadapi dan memberantas perbuatan korupsi atau bersikap anti korupsi.
Pendidikan di sekolah harus dilakukan secara berkelanjutan mulai dari proses moral knowing, moral feeling,hingga moral action. Kenapa, karenapendidikan memiliki peran yang strategis dalam mendukung dan bahkan mempercepat pembentukan masyarakat berkeadaban,http://sanaky.staff.uii.ac.id/wp-admin/ - _ftn11 memiliki kemampuan, keterampilan, etos, dan motivasi untuk berpartisifasi aktif secara jujur dalam masyarakat.
Proses percepatan pemberantasan korupsi bukan seperti membalik telapak tangan. Artinya, lebih dari itu harus ada kerja-kerja keras yang spartan dan simultan antara aparat penegak hukum dan masyarakat. Harus dibangun kesadaran yang mengartikulasikan kejujuran dan budaya malu melakukan korupsi. Maka munculnya wacana dan kesadaran moral untuk memberantas korupsi yang sudah menggurita ke segala lini kehidupan masyarakat Indonesia, selain melalui mekanisme hukum, juga membangun filosofi baru berupa penyamaan nalar dan nilia-nilai baru yang bebas korupsi melalui pendidikan formal, nonformal, dan informal. Hal itu dilakukan karena pendidikan memiliki posisi sangat vital dalam upaya membangun sikap anti korupsi. Karena, hakekat pendidikan adalah suatu proses menumbuhkembangkan eksistensi peserta-didik yang memasyarakat, membudaya, dalam tata kehidupan bermasyarakat.
Pendidikan anti korupsi harus diberikan melalui pembelajaran sikap mental dan nilai-nilai moral bebas korupsi di sekolah, sehingga generasi baru Indonesia diharapkan dapat memiliki pandangan dan sikap yang keras terhadap segala bentuk praktik korupsi. Pendidikan perlu dielaborasi dan diinternalisasikan dengan nilai-nilai anti korupsi sejak dini. Pendidikan anti korupsi yang diberikan di sekolah diharapkan dapat menyelamatkan generasi muda agar tidak menjadi penerus tindakan-tindakan korup generasi sebelumnya. Tapi hanya saja memberikan pendidikan anti korupsi bukan hal mudah. Sebab, bahkan lahirnya fenomena praktik korupsi juga berawal dari dunia pendidikan yang cenderung tidak pernah memberikan sebuah mainstream atau paradigma berperilaku jujur dalam berkata dan berbuat. Termasuk sekolah-sekolah di negeri ini. Misalnya guru menerangkan hal-hal idealis dalam memberikan pelajaran, menabung pangkal kaya, tetapi realitanya banyak guru yang korupsi, seperti korupsi waktu, korupsi materi pelajaran yang diberikan,. korupsi berupa absen mengajar tanpa izin kelas. Hal-hal yang dilakukan itu, juga dapat memicu praktik korupsi yang lebih buruk di dunia pendidikan.
Maka untuk mewujudkan pendidikan anti-korupsi menurut Hujair AH.Sanaky, diperlukan partisipasi publik sendiri yang merupakan syarat mutlak agar kontrol publik bisa dilakukan secara efektif. Partisipasi publik akan terwujud bila publik memperoleh cukup informasi. Lantas apa yang terjadi bila informasinya sengaja ditutupi? Ini berarti tidak ada keterbukaan. Bila tidak ada keterbukaan, tidak akan ada partisipasi publik, apalagi kontrol publik. Dan jika tidak ada kontrol publik, kekuasaan akan menjadi semakin kuat tak terkontrol. Dan ini artinya parktek-praktek korupsi makin menjadi-jadi. Sebagaimana dikatakan Lord Acton; “Power tends to corrupt, absolut power corrupt absolutly”. Karena itu memberikan informasi dan pendidikan bagi publik agar melek informasi, khususnya terkait dengan korupsi bukan hanya perlu tetapi sesuatu yang mendesak dilakukan. Apalagi dalam kehidupan politik kontemporer, korupsi tidak jarang dijadikan isu dan komoditas politik, sehingga korupsi dikonstruksi menjadi masalah politik, bukan lagi masalah hukum apalagi moral kejujuran.
Pendidikan anti-korupsi melalui Kearifan Lokal
Pada dasarnya manusia menciptakan budaya dan lingkungan sosial mereka sebagai adaptasi terhadap lingkungan fisik dan biologisnya. Kebiasaan-kebiasaan, praktik, dan tradisi diwariskan dari generasi ke generasi. Pada gilirannya kelompok atau ras tersebut tidak menyadari dari mana asal warisan kebijaksanaan tersebut. Generasi berikutnya terkondisikan menerima “kebenaran” itu tentang nilai, pantangan, kehidupan, dan standar perilaku.
Individu-individu cenderung menerima dan percaya apa yang dikatakan budaya mereka. Kita dipengaruhi oleh adat dan pengetahuan masyarakat di mana kita dibesarkan dan tinggal. Kita cenderung mengabaikan atau menolak apa yang bertentangan dengan kepercayaan-kepercayaan kita. (Philip R. Harris & Robert T. Moran dalam intercultural communication: a reader, 1982).
Oleh sebab itu, dalam konteks pendidikan antikorupsi, dibutuhkan pencarian dan pengembangan kearifan-kearifan lokal (Local Wisdoms). Menggali kembali ajaran-ajaran luhur setempat guna diterapkan dalam pendidikan antikorupsi.
Abdul Munir Mulkham, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, mengatakan bahwa keunikan tradisi lokal selama ini tidak ditempatkan sebagai akar kebangsaan. Kebijakan politik, termasuk kebijakan sistem pendidikan, bersumber dari konsep monokultur. Akibatnya keunikan lokal tidak berkembang secara wajar. Karena itu kesadaran keunikan diri sebagai pengalaman otentik mesti ditempatkan sebagai akar pendidikan.
Pendidikan yang ada harus melihat keunikan-keunikan budaya lokal. Praktik pendidikan monokultur adalah pemasung daya kritis dan kreatif. Perbedaan tiap individu merupakan unsur terpenting pendidikan yang berbasis multietnis. Perbedaan, otherness (liyan, lain), lebih penting ketimbang keseragaman.
Pendidikan antikorupsi perlu menggali dan mengembangkan kearifan-kearifan lokal. Penerapan kearifan-kearifan lokal dalam pendidikan antikorupsi diharapkan penduduk setempat mudah memahami pengertian, bahaya, dan perilaku korupsi. Selain itu, mereka sadar bahwa leluhur mereka memiliki ajaran-ajaran luhur yang amat menghargai kejujuran, keadilan, dan integritas.
Sunan kalijaga adalah contoh salah satu walisongo yang mengolah ajaran dan tradisi setempat, dalam konteks penyebaran dan pengajaran Islam. Beliau memakai cara-cara kejawen yang mudah dipahami kalangan Jawa yang saat itu masih kuat dipengaruhi ajaran Hindu. Sunan Kalijaga tidak menghapus seni dan budaya Jawa. Nilai-nilai itu dibalut warna Islam. Upacara selamatan doa diganti doa Islam. Wayang kulit diubah sedemikian rupa sehingga tidak menyalahi hukum Islam. Tembang Ilir-ilir dan Dandang Gula gubahan Kalijaga, yang abadi hingga kini, kental aroma Jawa. Namun kedua tembang tersebut sarat nilai-nilai dakwah.
Di Bugis, misalnya, dikenal budaya siri’. Dalam kehidupan orang-orang Bugis, siri’ menjadi unsur prinsipil dalam diri mereka. Siri’ adalah jiwa, harga diri, dan martabat orang Bugis. Tidak ada nilai paling berharga dan patut dipertahankan selain siri’, harga diri. Dia menjadi inspirasi setiap langkah orang Bugis. Orang Bugis bersedia mengorbankan apapun demi tegaknya siri’ dalam kehidupan mereka (Hamid Abdullah, Manusia Bugis-Makassar). Perbuatan melawan hukum merupakan perbuatan yang bertentangan dengan budaya siri’. Budaya melayani dan berbuat jujur adalah implementasi siri’. Dalam masyarakat Bugis, seseorang disebut manusia bila memiliki siri’.
Masih banyak kearifan-kearifan lokal di segenap pelosok negeri ini. Kearifan-kearifan lokal seperti ini mestinya digali, dikembangkan, dan diawetkan guna dimasukkan dalam materi pendidikan antikorupsi. Dengan begitu penanaman nilai-nilai antikorupsi akan lebih mudah dipahami dan diterima oleh seluruh rakyat Indonesia yang multietnis.
Individu-individu cenderung menerima dan percaya apa yang dikatakan budaya mereka. Kita dipengaruhi oleh adat dan pengetahuan masyarakat di mana kita dibesarkan dan tinggal. Kita cenderung mengabaikan atau menolak apa yang bertentangan dengan kepercayaan-kepercayaan kita. (Philip R. Harris & Robert T. Moran dalam intercultural communication: a reader, 1982).
Oleh sebab itu, dalam konteks pendidikan antikorupsi, dibutuhkan pencarian dan pengembangan kearifan-kearifan lokal (Local Wisdoms). Menggali kembali ajaran-ajaran luhur setempat guna diterapkan dalam pendidikan antikorupsi.
Abdul Munir Mulkham, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, mengatakan bahwa keunikan tradisi lokal selama ini tidak ditempatkan sebagai akar kebangsaan. Kebijakan politik, termasuk kebijakan sistem pendidikan, bersumber dari konsep monokultur. Akibatnya keunikan lokal tidak berkembang secara wajar. Karena itu kesadaran keunikan diri sebagai pengalaman otentik mesti ditempatkan sebagai akar pendidikan.
Pendidikan yang ada harus melihat keunikan-keunikan budaya lokal. Praktik pendidikan monokultur adalah pemasung daya kritis dan kreatif. Perbedaan tiap individu merupakan unsur terpenting pendidikan yang berbasis multietnis. Perbedaan, otherness (liyan, lain), lebih penting ketimbang keseragaman.
Pendidikan antikorupsi perlu menggali dan mengembangkan kearifan-kearifan lokal. Penerapan kearifan-kearifan lokal dalam pendidikan antikorupsi diharapkan penduduk setempat mudah memahami pengertian, bahaya, dan perilaku korupsi. Selain itu, mereka sadar bahwa leluhur mereka memiliki ajaran-ajaran luhur yang amat menghargai kejujuran, keadilan, dan integritas.
Sunan kalijaga adalah contoh salah satu walisongo yang mengolah ajaran dan tradisi setempat, dalam konteks penyebaran dan pengajaran Islam. Beliau memakai cara-cara kejawen yang mudah dipahami kalangan Jawa yang saat itu masih kuat dipengaruhi ajaran Hindu. Sunan Kalijaga tidak menghapus seni dan budaya Jawa. Nilai-nilai itu dibalut warna Islam. Upacara selamatan doa diganti doa Islam. Wayang kulit diubah sedemikian rupa sehingga tidak menyalahi hukum Islam. Tembang Ilir-ilir dan Dandang Gula gubahan Kalijaga, yang abadi hingga kini, kental aroma Jawa. Namun kedua tembang tersebut sarat nilai-nilai dakwah.
Di Bugis, misalnya, dikenal budaya siri’. Dalam kehidupan orang-orang Bugis, siri’ menjadi unsur prinsipil dalam diri mereka. Siri’ adalah jiwa, harga diri, dan martabat orang Bugis. Tidak ada nilai paling berharga dan patut dipertahankan selain siri’, harga diri. Dia menjadi inspirasi setiap langkah orang Bugis. Orang Bugis bersedia mengorbankan apapun demi tegaknya siri’ dalam kehidupan mereka (Hamid Abdullah, Manusia Bugis-Makassar). Perbuatan melawan hukum merupakan perbuatan yang bertentangan dengan budaya siri’. Budaya melayani dan berbuat jujur adalah implementasi siri’. Dalam masyarakat Bugis, seseorang disebut manusia bila memiliki siri’.
Masih banyak kearifan-kearifan lokal di segenap pelosok negeri ini. Kearifan-kearifan lokal seperti ini mestinya digali, dikembangkan, dan diawetkan guna dimasukkan dalam materi pendidikan antikorupsi. Dengan begitu penanaman nilai-nilai antikorupsi akan lebih mudah dipahami dan diterima oleh seluruh rakyat Indonesia yang multietnis.
*)Ben Senang Galus, staf Dikpora Prov. DIY
DAFTAR KEPUSTAKAAN
- Bayu. An, Pendidikan Anti Korupsi ? Wajib itu…., http://bayuadhitya.wordpress. com/2008/05/28/pendidikan-anti-korupsi-wajib-itu/,
- Elisabeth, Stevani, Pendidikan Antikorupsi Dimulai dari Rumah Tangga, http://www.sinarharapan.co. id/ berita/ 0812/ 12/kesra01.html,
- Lickona, Thomas, 1991, Educating for Character How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility, New York: Bantam Books.
- Muhaimin, 2006, Nuansa Baru Pendidikan Islam, Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
- Mimbar Agama Hindu, Pendidikan Mengatasi Korupsi http://www. balipost. co.id/ balipostcetak/2005/4/26/o3.htm.,
- Sanaky, Hujair AH., 2003, Paradigma Pendidikan Islam: Membangun Masyaraakat Madani Indonesia, Safiria Insania Press dan MSI, Yogyakarta.
- Syarif S, Sabiqul Khair, Pendidikan Antikorupsi di Sekolah, http://www. freelists. org/post/list_indonesia/ppiindia-Pendidikan-Antikorupsi-di-Sekolah,8,
- Wiryana, Made, Penyelesaian Problem SosialMelalui Optimalisasi Fungsi Tri Pusat Pendidikan (sebuah paper yang idenya tercetus ketika banyak melihat problem sosial di kampung-kampung miskin di perkotaan)http://wiryana-holistic.blogspot.com/2008/05/problem-sosial-dan-tri-pusat-pendidikan.html,
Comments
Post a Comment