Politik Hukum Pemberian Grasi Oleh Presiden kepada Terpidana Mati kasus Narkoba


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tren perkembangan kejahatan atau penyalahgunaan Narkoba dari waktu ke waktu menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat, bahkan kasus-kasus yang terungkap oleh jajaran Kepolisian RI hanyalah merupakan fenomena gunung es, yang hanya sebagian kecil saja yang tampak di permukaan sedangkan kedalamannya tidak terukur. Peningkatan ini antara lain terjadi karena pengaruh kemajuan teknologi, globalisasi dan derasnya arus informasi. Dan yang tidak kalah pentingnya karena keterbatasan yang dimiliki oleh aparat penegak hukum dalam melakukan pemberantasan penyalahgunaan Narkoba.
Penanggulangan penyalahgunaan Narkoba di Indonesia saat ini belum optimal, belum terpadu dan belum menyeluruh (holistik) serta belum mencapai hasil yang diharapkan. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor baik internal maupun eksternal sebagai dampak dari pembangunan secara umum dan dinamika politik, ekonomi, sosial-budaya maupun keamanan.
Upaya penanggulangan penyalahgunaan Narkoba secara komprehensif adalah melalui pendekatan Harm Minimisation, yang secara garis besar dikelompokkan menjadi tiga kegiatan utama yaitu Supply control, Demand reduction dan Harm reduction. Yang dilakukan secara terpadu antar instansi terkait dan lembaga swadaya masyarakat lainnya, menyeluruh mulai dari upaya pre-emtif, preventif, represif, kuratif dan rehabilitatif serta secara berkesinambungan.
Salah satu upaya penanggulangan kasus narkoba yang harus digencar adalah pemberian sanksi. Sanksi disini harus bisa memberikan efek jera baik kepada pelaku maupun orang lain agar tidak melakukan hal yang sama, baik itu melalui pidana hukuman mati, penjara, dan denda. Pemberian sanksi ini masuk ke dalam upaya represif dalam penanggulangan narkoba.

Saat ini tercatat ada 68 orang terpidana narkoba yang sudah divonis mati. Namun eksekusi belum bisa dilakukan karena proses hukum belum seluruhnya ditempuh .
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 39 tahun 2009 tentang Narkotika, mereka yang bisa dijerat dengan hukuman mati adalah produsen atau pengedar dengan barang bukti lebih dari 5 gram.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Basuni Masyarif belum bisa memastikan kapan waktu eksekusi lima terpidana itu. Kelimanya merupakan lima dari 10 terpidana mati yang seharusnya dieksekusi pada tahun 2013 lalu .
Sebagai seorang manusia, terpidana kasus narkoba yang telah dijatuhi hukuman mati tetap memiliki hak untuk mengajukan upaya hukum biasa yaitu banding dan kasasi hingga upaya hukum luar biasa berupa grasi dan peninjauan kembali (PK).
Penolakan grasi oleh Presiden Jokowi kepada 64 terpidana kasus narkoba pada akhir tahun 2014 merupakan suatu sejarah baru dalam penegakan hukum di Indonesia. Muncul pendapat yang pro maupun kontra terhadap keputusan Presiden ini. Namun, keputusan ini haruslah kita hormati sebagai putusan dari kepala Negara RI.
Keputusan menolak grasi terpidana narkoba tersebut bisa kita analisis dari aspek hukum maupun politik hukumnya. Secara hukum, grasi telah diatur dalam UU RI No. 5 Tahun 2010 tentang Grasi diatur bahwa otoritas pemberian grasi hanya ada di tangan Presiden.
Oleh karena itu, dari fenomena tersebut, kewenangan Presiden secara mutlak untuk memberi grasi sepatutnya kita kaji dan analisis ke depannya untuk bisa bersama mengawal menuju kehidupan hukum yang lebih baik lagi
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana dasar hukum tentang grasi?
2. Sejauh mana urgensi pemberian grasi yang dimiliki oleh Presiden kepada terpidana mati kasus narkoba?
BAB 2
PEMBAHASAN DAN ANALISIS
A. Dasar Hukum tentang Grasi
Selain upaya hukum biasa, yaitu banding dan kasasi. Terdapat upaya hukum luar biasa, berupa peninjauan kembali dan grasi. Mengenai grasi, walaupun tidak diatur dalam KUHAP dan UU RI No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, namun diatur di dalam UU RI No. 5 Tahun 2010 tentang Grasi.
1. Pengertian
Grasi berasal dari kata “Gratie”, yang menurut J.C.T. Simorangkir berarti “Wewenang dari kepala Negara untuk memberikan pengampunan terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim, untuk menghapus seluruhnya, sebagian atau merobah sifat/bentuk hukuman itu”. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (1) UU RI No. 5 Tahun 2010 tentang Grasi, bahwa grasi adalah “pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden”.
2. Ruang Lingkup Permohonan dan Pemberian Grasi
Adapun ruang lingkup permohonan dan pemberian grasi, sebagaimana diatur dalam UU RI No. 5 Tahun 2010 tentang Grasi , sebagai berikut :
(1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana dapat mengajukan permohonan grasi kepada Presiden.
(2) Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling rendah 2 (dua) tahun.
(3) Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan 1 (satu) kali, kecuali dalam hal :
– Terpidana tidak pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat 2 (dua) tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut;
– Terpidana yang pernah diberikan grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal keputusan pemberian grasi diterima.
3. Menurut Pasal 3, yang berbunyi bahwa “Permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam putusan hukuman mati”
4. Menurut Pasal 4, yang berbunyi bahwa :
(1) Presiden berhak mengabulkan atau menolak permohonan grasi yang diajukan terpidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung;
(2) Pemberian grasi oleh Presiden dapat berupa :
– Peringanan atau perubahan jenis pidana;
– Pengurangan jumlah pidana;
– Penghapusan pelaksanaan pidana.
5. Grasi merupakan salah satu hak yang dimiliki oleh Presiden sebagaimana disebutkan dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 :
“Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.”
6. Pemberian grasi merupakan kewenangan Presiden yang diberikan oleh UUD 1945. Pengaturan grasi selanjutnya diatur dengan UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi.
7. Terpidana hanya dapat mengajukan permohonan grasi 1 (satu) kali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam Pasal 2 UU No. 5 Tahun 2010 yang berupa:
– pidana mati,
– pidana seumur hidup, atau
– pidana penjara paling rendah 2 tahun
8. Pasaln 7 UU No. 5 tahun 2010 , yaitu Jangka waktu untuk mengajukan permohonan grasi adalah 1 (satu) tahun sejak memperoleh kekuatan hukum tetap.
9. Kemudian, yang dimaksud dengan istilah “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” diartikan sebagai berikut :
– Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana;
– Putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; atau
– Putusan kasasi.
10. Permohonan grasi diajukan oleh terpidana, kuasa hukumnya, atau keluarganya dengan persetujuan terpidana, kepada Presiden, dan khusus permohonan grasi untuk pidana mati dapat diajukan oleh keluarga terpidana tanpa persetujuan terpidana (Pasal 6 UU 22/2002).
11. Salinan permohonan grasi (yang diajukan kepada Presiden) disampaikan juga kepada pengadilan yang memutus pada tingkat pertama untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung (Pasal 8 ayat [2] UU 22/2002). Presiden memberikan keputusan berupa pemberian atau penolakan grasi melalui Keputusan Presiden terhadap permohonan grasi, setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (Pasal 11 ayat [1] dan [2] UU 22/2002).
B. Urgensi Pemberian Grasi Oleh Presiden Kepada Terpidana Kasus Narkoba
1. Pidana Mati pada kasus Narkoba
Pidana mati diatur dalam Pasal 10 KUHPidana yang masuk kategori pidana pokok. Sedangkan secara lex specialist, dalam Pasal 113 ayat (2) Undang-Unadng Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengatakan bahwa “Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga)”.
2. Konfigurasi Politik Hukum Dalam Pemberian Grasi
– Jabatan Presiden
Presiden merupakan sebuah jabatan sebagai pemimpin tertinggi pada sebuah negara. Secara ekstrem, saya bisa katakan bahwa jabatan presiden merupakan jabatan politis. Hal ini dikarenakan Presiden adalah dipilih dari hasil pemilihan umum dimana pendukung dari Presiden terpilih merupakan massa yang dominan daripada pesaingnya yang dukungannya kecil yang sarat akan kepentingan dari pendukungnya, sehingga jika terpilih, yang menjadi prioritas Presdien adalah memenuhi kepentingan pendukungnya.
Presiden Indonesia (nama jabatan resmi: Presiden Republik Indonesia) adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan Indonesia. Sebagai kepala negara, Presiden adalah simbol resmi negara Indonesia di dunia. Sebagai kepala pemerintahan, Presiden dibantu oleh wakil presiden dan menteri-menteri dalam kabinet, memegang kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintah sehari-hari. Presiden (dan Wakil Presiden) menjabat selama 5 tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama untuk satu kali masa jabatan. Ia digaji sekitar 60 juta per bulan.
– Kapasitas Presiden Dalam Memberikan Grasi Kepada Terpidana Narkoba
Presiden memiliki dua fungsi, yakni sebagai kepala pemerintahan dan kepal negara. Sebagai kepala pemerintahan, Presiden bertugas mengatur tata kelola pemerintahan dengan membentuk kabinet yang merupakan hak prerogratifnya. Sedangkan sebagai kepala negara, Presiden berfungsi sebagai simbol pemimpin bangsa Indonesia di mata Internasional.
Dalam hal memberikan grasi, kewenangan tersebut cenderung mengarah kepada pelaksanaan fungsi Presiden sebagai kepala pemerintahan. Presiden sebagai kepala pemerintahan dapat mengatur tata kelola pemerintahan, termasuk dalam bidang penegakan hukum. Hal ini dilakukan demi terwujudnya kehidupan bangsa yang kondusif dan aman.
– Konfigurasi Politik Hukum Pemberian Grasi oleh Presiden
Seorang presiden adalah seorang manusia biasa, maka dari itu, seorang presiden dalam memberikan grasi haruslah melihat situasi sosial masyarakatnya. Apabila dalam hal memberikan grasi dirasa telah memenuhi keinginan masyarakat, maka kemungkinan besar keputusan tersebut akan didukung oleh rakyatnya, begitu pula sebaliknya.
Hal ini sesuai dengan teori hukum responsif dari Nonet –Selznick, yaitu Produk hukum yang berkarakter responsif proses pembuatannya bersifat partisipasif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi semua elemen masyarakat, baik dari segi individu, ataupun kelompok masyarakat dan juga harus bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan atau kehendak dari masyarakat. Artinnya produk hukum tersebut bukan kehendak dari penguasa untuk melegitimasikan kekuasaannya .
Namun, unsur subyektif dari seorang Presiden sebagai seorang manusia tidak bisa kita pungkiri. Pada titik inilah, keputusan pemberian grasi bisa dimasuki oleh kepentingan-kepentingan orang yang tidak bertanggung jawab.
Salah satu kasus pemberian grasi yang menjadi kontroversi, yaitu pemberian grasi kepada terpidana kasus narkotika, Schapelle Leigh Corby, oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Hal ini menuai kontroversi. Grasi tersebut dinilai menjadi preseden buruk dalam upaya pemberantasan narkotika dan obat terlarang di Indonesia. Corby merupakan terpidana narkotika asal Australia yang divonis 20 tahun penjara di Pengadilan Negeri Denpasar, karena terbukti menyelundupkan 4,2 kilogram ganja pada tahun 2004. Grasi yang tertuang pada Keputusan Presiden Nomor 22/G Tahun 2012 dan ditetapkan pada 15 Mei 2012 tersebut menuai kontroversi dan kritik keras dari berbagai pihak, seperti akademisi hukum, politisi, tokoh masyarakat, kalangan pelajar, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang gencar memerangi perdagangan narkotika dan obat-obatan terlarang. Kontroversi narapidana kasus korupsi, narkoba, dan terorisme. Namun, di sisi lain malah mengabulkan grasi lima tahun kepada Corby .
Oleh karena itu, masyarakat harus ikut mengawal dinamika penegakan hukum itu sendiri dan terus mengingatkan Presiden sebagai pemimpin bangsa untuk terus pro kepentingan rakyat.
– Politik Hukum Pemberian Grasi Kepada Terpidana Mati Kasus Narkoba
Berdasarkan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945, adalah :
“Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.”
Namun perlu kita ingat bahwa terpidana mati masih mempunyai hak melakukan upaya hukum luar biasa berupa permintaan grasi. Ada kemungkinan bahwa terpidana mati kasus narkoba adalah semua sama berat ringan kasusnya. Oleh karena itu, wewenang memberi grasi oleh Presiden tidak bersifat mutlak, tetapi harus mendapatkan pertimbangan dari Mahkamah Agung.
Lembaga yudikatif seperti Mahkamah Agung diharapkan mampu bersinergi dengan Presiden dalam penegakan hukum dan tidak diharapkan malah Mahkamah Agung yang ikut bermain dalam politik hukum pemberian grasi tersebut.
– Pencabutan Grasi
Di dalam ketentuan UU 5/2010, tidak diatur mengenai pencabutan grasi yang telah diberikan. Namun, di dalam teori hukum administrasi negara berlaku asas Contrarius Actus, yaitu pencabutan suatu keputusan harus dilakukan dengan keputusan setingkat. Berarti dalam hal ini, suatu Keppres hanya dapat dicabut oleh Presiden dengan menerbitkan Keppres pencabutan. Sebagai contoh keputusan presiden adalah Keppres No. 92 Tahun 2001 tentang Pencabutan Keppres No. 15 Tahun 2001 tentang Penugasan Wakil Presiden untuk Menandatangani Keputusan Presiden Mengenai Penganugerahan Gelar dan Tanda-Tanda Kehormatan.
Jadi, pemberian grasi merupakan kewenangan Presiden yang diberikan oleh UUD 1945. Pemberian grasi dilakukan dengan menerbitkan Keppres pemberian grasi. Mengenai pencabutan suatu Keppres pemberian grasi harus dilakukan dengan menerbitkan Keppres pencabutannya oleh Presiden.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pemberian grasi merupakan wewenang Presiden yang diatur dalam Pasal 14 ayat (1) UUD 1945, yaitu
“Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.”
Kemudian untuk selanjutnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Grasi.
2. Keputusan pemberian grasi oleh Presiden harus bersifat responsif, yaitu sesuai dengan keinginan masyarakatnya agar keputusan tersebut dapat diterima dan didukung oleh masyarakat;
3. Penanggulangan penyalahgunaan narkoba di Indonesia merupakan salah satu misi penegakan hukum yang menjadi deretan prioritas permasalahan hukum. Oleh karena itu, Presiden dan Mahkamah Agung tidak boleh semena-mena dalam memberikan grasi khsusnya pada terpidana mati kasus narkoba, contohnya pada kasus pemberian grasi lima tahun kepada Schapelle Leigh Corby, oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono;
4. Menurut penulis, penegakan hukum kasus narkoba harus diserahkan penuh kepada aparat hukum yang ada, yakni POLRI, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung dibantu oleh BNN;
5. Sedangkan kapasitas Presiden tidak seyogyanya masuk memberi intervensi dalam proses penegakan hukum. Presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara harus fokus dalam menjalankan tugas untuk mengatur tata kelola pemerintahan, dimana hal tersebut kental akan nuansa politis. Ketika Presiden masuk dalam ranah penegakan hukum (law enforcement), maka akan sulit dibedakan, mana produk hukum dan mana produk politik.
B. Saran
1. Penegakan hukum kasus narkoba harus diserahkan penuh kepada aparat hukum yang ada, yakni POLRI, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung dibantu oleh BNN;
2. Presiden tidak sepatutnya masuk memberi intervensi dalam proses penegakan hukum. Presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara harus fokus dalam menjalankan tugas untuk mengatur tata kelola pemerintahan, dimana hal tersebut kental akan nuansa politis. Ketika Presiden masuk dalam ranah penegakan hukum (law enforcement), maka akan sulit dibedakan, mana produk hukum dan mana produk politik. (https://ikramlawenforcement.wordpress.com/2015/01/13/politik-hukum-pemberian-grasi-oleh-presiden-kepada-terpidana-mati-kasus-narkoba/)

Comments

Popular posts from this blog

Kekerasan di Perkotaan

Kisah Seorang Preman Kupang (1)

Temuan Riset: Kepolisian dan Pemerintah Daerah Tidak Paham Apa itu Ujaran Kebencian