Ruang Lingkup Korban dan Ragam Viktimisasi


Oleh: Heru Susetyo SH LLM MSi PhD (Universitas Indonesia)



Korban Dalam Peradilan Pidana Indonesia
Perlindungan terhadap korban pada sistem peradilan pidana Indonesia secara komprehensif bisa dikatakan masih jauh panggang daripada api. Penegakan hukum selama ini cenderung lebih memperhatikan pelaku (offenders) atau tersangka pelaku kejahatan (suspects) ataupun terdakwa (accused) dan terpidana (convicted) daripada korban (victims).

Maya Indah (2014: 97) menyebutkan bahwa apabila dikaji dari tujuan pemidanaan dalam hukum pidana positif, pelaku kejahatan lebih mendapatkan perhatian seperti rehabilitasi, readaptasisosial, pemasyarakatan dan lain-lain. Hal ini merupakan suatu bentuk ketidakadilan bagi korban, karena sebagai pihak yang dirugikan hanya difungsikan sebagai sarana pembuktian dan tidak jarang pula hak-hak asasi korban terabaikan. Bekerjanya peradilan pidana baik dalam lembaga dan pranata hukumnya lebih diorientasikan pada pelaku kejahatan (offender-oriented) daripada victims-oriented. Eksistensi korban tersubordinasikan dan tereliminasi dalam bekerjanya peradilan pidana.

Perhatian terhadap saksi (witness) juga cenderung lebih banyak daripada kepada korban. Apalagi apabila saksi tersebut pada saat bersamaan adalah juga tersangka atau terdakwa yang amat diperlukan keterangannya untuk persidangan. Sebutlah proses hukum dan persidangan kasus Jessica yang menjadi tersangka pembunuhan sahabatnya Mirna di Jakarta Pusat pada 6 Januari 2016 ini.  Kasus tersebut amat menyita perhatian media dan publik. Akan halnya korban yang semata-mata adalah korban dan bukan sekaligus pelaku ataupun saksi, perhatian terhadap mereka masih amat minimal. Apalagi apabila korban tersebut adalah orang biasa, tak ada akses politik, akses ekonomi dan bukan VVIP, maka kisahnya akan cepat menguap.

Fakta dan data di lapangan menunjukkan bahwa korban belum mendapatkan pelayanan dan pensikapan yang optimal dari penegak hukum, dari pemerintah, apalagi dari masyarakat pada umumnya.  Seringkali, yang terjadi adalah viktimisasi berulang (reviktimisasi) ataupun double victimization. Dimana, pada banyak kasus korban kejahatan setelah terviktimisasi kemudian menjadi korban (re-victimized) lagi akibat pensikapan aparat hukum yang kurang tepat.  Maka, alih-alih hak-hak korban diperhatikan, sebaliknya korban malah menjadi korban lanjutan dari kesewenang-wenangan aparat hukum ataupun masyarakat.


Sistem hukum Indonesia juga belum secara komprehensif mengatur perlindungan bagi korban kejahatan. Hadirnya UU Perlindungan Saksi dan Korban No. 13 tahun 2006 (dan juga perubahannya yaitu UU No. 31 tahun 2014), juga UU Pengadilan HAM No. 26 tahun 2000, UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan lain-lain adalah suatu terobosan hukum yang menarik dalam hal akomodasi terhadap hak-hak saksi dan korban yang tidak diatur secara lengkap pada KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).  Memang, UU ini belum komprehensif dan belum sempurna, namun sebagai produk hukum awal yang memberikan perlindungan terhadap hak-hak korban dan saksi, UU tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu acuan utama.

Sama halnya dengan Rancangan Undang-Undang (RUU)  KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) yang sampai tulisan ini dibuat adalah masih dalam proses pembahasan di DPR.  Rancangan UU ini belumlah memberikan kontribusi untuk perlindungan saksi dan korban, terutama bagi kelompok rentan.   Sebut saja terhadap perlindungan hak-hak anak, ketika anak tersebut sedang menjalani proses hukum. Selain itu, dalam hal manajemen peradilan dibutuhkan keterbukaan informasi secara efektif yang berkaitan dengan akses saksi dan korban atas dokumen-dokumen dan proses persidangan. Dalam hal ini, RUU KUHAP juga belum memperhatikan hak saksi dan korban untuk memperoleh akses informasi berkaitan dengan proses perkaranya.

Padahal di dalam peradilan internasional hak-hak para saksi dan korban sudah mulai diakui dan diakomodasi.  Sebutlah dalam ICC (International Criminal Court) alias Mahkamah Pidana Internasional yang berkedudukan di Den Haag.  Dimana dibuka peluang untuk korban untuk dapat berpartisipasi dalam proses persidangan.  Korban tidak diperlakukan sebagai obyek yang pasif dari suatu perlindungan ataupun sebagai pelengkap proses penuntutan.  Pentingnya partisipasi saksi tertuang di dalam pasal 68 ayat (3) Statuta Roma, dimana Mahkamah mengijinkan pandangan dan perhatian para korban untuk dikemukakan dan dipertimbangkan pada tahap-tahap proses persidangan yang ditetapkan oleh Mahkamah dengan cara yang tidak merugikan atau tidak konsisten dengan hak-hak tertuduh dan persidangan yang adil dan tidak memihak.



Hak-Hak Korban dan Tersangka dalam Proses Acara Pidana
Hak-Hak Korban tidak diatur secara jelas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).   Sedikit sekali pasal-pasal yang membahas tentang korban, pembahasannya-pun tidak terfokus kepada eksistensi korban tindak pidana melainkan hanya sebagai warganegara biasa yang mempunyai hak yang sama dengan warganegara lain.  Sebagai contoh, dalam pasal 160 ayat 1b KUHAP disebutkan bahwa yang pertama didengar keterangannya adalah korban yang  menjadi saksi.  Dengan demikian posisi korban tindak pidana disini hanyalah sebagai saksi dari suatu perkara pidana yang semata-mata untuk membuktikan kesalahan tersangka/ terdakwa.

Sama halnya dengan KUHP, kitab rujukan utama hukum pidana Indonesia ini lebih banyak mengatur mengenai tersangka daripada korban.  Kedudukan korban di KUHP tampaknya belum optimal dibandingkan dengan kedudukan pelaku. Disebabkan paling tidak karena dua hal : Pertama, KUHP belum secara tegas dann konkrit merumuskan ketentuan pemberian perlindungan hukum terhadap korban; Kedua, KUHP menganut aliran neoklasik, antara lain menerima berlakunya keadaan-keadaan yang meringankan bagi pelaku tindak pidana yang menyangkut fisik, lingkungan serta mental.  Kecenderungan aliran ini menunjukkan bahwa pengaturan KUHP berorientasi terhadap pelaku; korban cenderung dilupakan. Padahal, korban merupakan salah satu aspek yang benar-benar mengalami penderitaan akibat perbuatan pelaku.

Sedangkan Tersangka menurut KUHAP adalah seorang yang karena perbuatannya/ keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana, maka ia diselidiki, disidik dan diperiksa oleh penyidik. Apabila perlu maka ia dapat dikenakan tindakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan sesuai dengan undang-undang.

Kedudukan tersangka dalam KUHAP adalah sebagai subjek, dimana dalam setiap pemeriksaan harus  diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat, martabat dan harga diri tersangka tidak terlihat sebagai obyek yang ditanggali hak asasi dan harkat martabat kemanusiaannya dengan sewenang-wenang. Seorang tersangka tidak dapat diperlakukan  dengan sekehendak hati pemeriksa dengan alas an bahwa dia telah bersalah melakukan suatu tindak pidana, Karena sebagaimana asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) yang dianut dalam di dalam proses peradilan pidana di Indonesia yang tercantum dalam pasal 8 UU No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman yaitu “setiap orang yang diitahan, disangka, ditangkap, dituntut, dan/ atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.”

Korban : Definisi Hukum dan Perspektif Sosial
Secara  bahasa,  istilah yang digunakan terhadap ‘korban’ juga bervariasi.  ‘Korban’ atau ‘victim’ adalah istilah yang berlaku umum.  Namun kini di sebagian dokumen,  yang digunakan adalah istilah ‘survivor’ alias ‘penyintas.’

Pengertian ‘korban’ menurut  Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power tahun 1985 adalah :



“Victims” means persons who, individually or collectively, have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substantial impairment of their fundamental rights, through acts or omissions that are in violation of criminal laws operative within Member States, including those laws proscribing criminal abuse of power.
A person may be considered a victim, under this Declaration, regardless of whether the perpetrator is identified, apprehended, prosecuted or convicted and regardless of the familial relationship between the perpetrator and the victim. The term “victim” also includes, where appropriate, the immediate family or dependents of the direct victim and persons who have suffered harm in intervening to assist victims in distress or to prevent victimization.
Kemudian,  pengertian ‘korban’ menurut draft UN Convention on Justice and Support for Victims of Crime and Abuse of Power yang disusun oleh World Society of Victimology[8], adalah :

Article 1 Definitions (1) ‘Victims’ means natural persons who, individually or collectively, have suffered harm including physical or mental injury, emotional suffering or economic loss or violations of fundamental rights in relation to victimizations identified under ‘scope’. (2) A person is a victim regardless of whether the crime is reported to the police, regardless of whether a perpetrator is identified, apprehended, prosecuted or convicted and regardless of the familial relationship between the perpetrator and the victim. The term ‘victims’ also includes, where appropriate, the immediate family or dependants of the direct victims and persons who have suffered in intervening to assist victims in distress or to prevent victimization.



Bila kita perhatikan, pengertian’victim’ pada draft UN Convention lebih luas daripada pada Deklarasi tahun 1985. Korban pada draft UN Convention adalah semua orang atau kelompok yang menjadi korban viktimisasi.  Apapun bentuk viktimisasinya.  Sedangkan pada Deklarasi 1985, korban dibatasi hanya yang terkait dengan tindak pidana ataupun penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Pengertian yang lain tentang ‘korban’ dari European Union Council Framework Decision of 15 March 2001 on the standing of victims in criminal proceedings (2001/220/JHA) adalah : (a) “victim” shall mean a natural person who has suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering or economic loss, directly caused by acts or omissions that are in violation of the criminal law of a Member State;

Batasan tentang korban dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban No. 13 tahun 2006 jo UU No. 31 tahun 2014 juga masih terbatas pada korban kejahatan. Korban disebutkan sebagai orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.  Padahal viktimisasi (victimization) alias aktifitas yang menimbulkan korban adalah tidak terjadi semata-mata karena kejahatan belaka, namun juga akibat kecelakaan transportasi, kecelakaan kerja, akibat bencana buatan manusia (human made disaster) ataupun bencana alam (natural disaster) dan sebab-sebab lain yang di luar kejahatan.

Korban yang dipahami selama ini antara lain terdiri dari(Waluyo, 2012 : 11 – 12) :

korban perseorangan ; adalah setiap orang sebagai individu yang mendapatkan penderitaan baik jiwa, fisik,materiil maupun non materiil:
(2) Korban institusi; adalah setiap institusi yang mengalami   penderitaan dan kerugian dalam menjalankan fungsinya yang menimbulkan kerugian berkepanjangan akibat dari kebijakan pemerintah, kebijakan swasta, maupun bencana alam;
Korban lingkungan hidup; adalah setiap lingkungan alam yang di dalamnya berisikan kehidupan tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia dan masyarakat serta semua jasad hidup yang tumbuh berkembang dan kelestariannya sangat tergantung pada lingkungan alam tersebut yang telah mengalami kegundulan, kelongsoran, banjir dan kebakaran yang ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah yang salah dan perbuatan manusia baik individu maupun masyarakat yang tidak bertanggungjawab;
Korban masyarakat, bangsa dan negara; adalah masyarakat yang diperlakukan diskriminatif, tidak adil, tumpang tindih pembagian hasil pembangunan serta hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial, hak budaya tidak lebih baik setiap tahun.
Selain definisi secara hukum, pemaknaan sebagai ‘korban’ juga dapat dilakukan secara sosial.  Seseorang dianggap sebagai korban atau bukan korban adalah tergantung bagaimana pemerintah, atau masyarakat atau bahkan media menyikapinya.  Alias,  tergantung bagaimana orang mengkonstruksinya.  Jaco Barkhuizen (2007) menyebutkan bahwa victims are socially constructed, it is not sufficient that persons claim the status of victims without sufficient social acknowledgement (social construction of reality) (Kirchhoff and Morosawa, 2009).

Selain peran pemerintah dan masyarakat.  Pihak yang juga signifikan dalam mengkonstruksi siapa korban adalah media massa (dalam segala bentuknya).    Davies, Francis dan Greer (2007) menyebutkan bahwa :

The role of news media in constructing and (mis)representing victims of crime and victimization. While the media do not necessarily tell us what to think, they can tell us what to think about. They are of fundamental importance to those who would promote a particular view of crime victims and victimization, or seek to challenge or change existing views. They are a key site where policy-makers seek to secure popular acceptance and legitimacy of new measures affecting victims of crime, and groups espousing competing values, interests and beliefs struggle to secure ‘ownership’ – and, with it, political power – of various victim-related issues and debates. The ‘problem of crime’, as many have pointed out, is a socially constructed problem. What we mean by this is that, since most people have little firsthand experience of crime and victimization, we are reliant on other sources of information for much of our knowledge about it. Few of these are more important than the media. Media representations influence what the issues of crime and victimization ‘mean’ to people. They help to socially construct these issues by presenting particular ‘views of reality’. There is no necessary connection, however, between what is presented in the media and what is happening ‘in the real world’. The issues of crime and victimization, then, are highly mediatized issues. On this basis, it is our contention that any comprehensive sociological exploration of crime victims and victimization must engage with the media and media representation. For a failure to engage with the media in analyses of this nature is a failure to acknowledge one of the key sources through which the concepts of crime, victim and victimization are given meaning in contemporary society.

Liputan media yang begitu massif terhadap kasus Jessica-Mirna (kasus es kopi Vietnam yang diduga berisi sianida pada 6 Januari 2916) di Jakarta Pusat ini adalah salah satu contoh bagaimana kuatnya cengkeraman media dalam membentuk opini di masyarakat.  Sehingga pakar maupun masyarakat-pun sedikit banyak terpengaruh dan menciptakan opini sendiri-sendiri tentang peradilan Jessica yang berpotensi melanggar asas praduga tak bersalah (presumption of innocence).

Relasi antara Korban, Pelaku Kejahatan dan Tindak Pidana
Posisi dan status korban dalam hubungannya dengan kejahatan dan tindak pidana adalah bervariasi. Korban tidak selamanya betul-betul korban alias ‘innocent’, namun korban juga memiliki variasi relasi tertentu yang sedikit banyak dapat berkontribusi atas terjadinya kejahatan terhadap dirinya ataupun kelompoknya.

Hans von Hentig (dalam Yulia, 2010 : 81 dan Waluyo, 2012 : 19) beranggapan bahwa peranan korban dalam menimbulkan kejahatan adalah :

Tindakan kejahatan memang dikehendaki oleh si korban untuk terjadi;
Kerugian akibat tindak kejahatan mungkin dijadikan si korban untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar;
Akibat yang merugikan si korban mungkin merupakan kerjasama antara si pelaku dan si korban;
Kerugian akibat tindak kejahatan sebenarnya tidak terjadi bila tidak ada provokasi dari si korban.
Kumaravelu Chocklingam (2009) menyebutkan bahwa studi tentang hubungan antara korban dan pelaku kejahatan adalah salah satu focus dari viktimologi di awal berkembangnya ilmu ini.  Ada dua aspek penting yang dikaji yaitu : the study of victim vulnerability and the study of victim culpability (studi tentang tingkat kerentanan dan tingkat kealpaan korban)

Selanjutnya Hans von Hentig (dalam Chockalingam, 2010) menyebutkan sebagai berikut:

Hans von Hentig’s work identified both classes of victims who might be vulnerable or susceptible to victimization as well as those victims who might be culpable as they partially precipitated their own victimization.

Vulnerability refers to the susceptibility ( the state of being easily affected ) of certain groups of people to victimization, through no fault of their own, but on the basis of certain demographic or other characteristics. For example, Are elders more susceptible to victimization than younger people? Are persons who live in certain neighborhoods more susceptible to victimization than those who live in other neighborhoods?Are persons in some occupational groups more susceptible than persons in other occupational groups? Are women more susceptible than men? Are persons who choose certain lifestyles more susceptible to victimization?

Culpability refers to actions on the part of the victim that may either invite or precipitate victimization. Sometimes victims may be partially responsible for their own victimization. For example,Are the motorists who leave their keys in the ignition of an automobile partially responsible if the vehicle is stolen? Is someone who is assaulted after making abusive comments at another person partly responsible for the victimization? If the husband who has habitually battered his wife only to be killed one day by the wife after an attempted assault by him partially responsible for his own victimization?

Beberapa kelompok yang oleh Hans von Hentig (dalam Chockalingam, 2009) disebutkan memiliki tingkat kerentanan (vulnerability) adalah :   The young (kaum muda), The female (perempuan) The old (kalangan lanjut usia), The mentally defective and deranged (orang dengan keterbelakangan atau gangguan mental), Immigrants (imigran), Minorities (minoritas), Dull normal (orang malas/ kurang berpendidikan), The depressed (orang yang mengalami depresi), The acquisitive (orang serakah), The wanton (orang yang nakal/ melawan peraturan), The lonesome and the heartbroken (penyendiri dan orang yang patah hati), The tormentor (penyiksa), The blocked, exempted, or fighting (orang yang terisolasi/ tersisihkan).

Beniamin Mendelsohn (dalamYulia, 2010 : 80 dan Waluyo, 2012 : 19 – 20) menyebutkan bahwa berdasarkan derajat kesalahannya, korban dibedakan menjadi 5 (lima) macam antara lain:

Yang sama sekali tidak bersalah
Yang jadi korban karena kelalaiannya
Yang sama salahnya dengan pelaku
Yang korban adalah satu-satunya yang bersalah (dalam hal ini pelaku dibebaskan).
Beniamin Mendelsohn, seorang pengacara Rumania yang kerap disebut sebagai ‘Bapak Viktimologi’  adalah juga menaruh perhatian terhadap relasi antara korban dan pelaku kejahatan.  Ia kerap menanyakan para korban dan pengamat untuk mengisi kuesioner dalam penyelidikan terhadap kasus-kasusnya.  Setelah melakukan penyelidikan,  Beniamin Mendelsohn menyimpulkan bahwa biasanya ada hubungan interpersonal yang amat kuat antara korban dan pelaku kejahatan.  Akhirnya, pada tahun 1956 Mendelsohn menyusun 6 (enam) tahapan klasifikasi dari korban terkait dengan tingkat kebersalahan-nya dalam suatu tindak pidana, yaitu sebagai berikut (Chockalingam, 2009) :



The first category of the typology of Mendelsohn was the “completely innocent victim”.  This victim type according to him exhibited no provocative behavior prior to the offender’s attack. 

The second type, namely “victims with minor guilt” or “victims due to ignorance” did something inadvertently that placed them in a compromising position before the occurrence of victimization. 

His third category was “victim as guilty as the offender” and the “voluntary victim”. Suicide cases and parties injured while engaging in vice crimes and other “victimless offenses” fell under this category.

Mendelssohn’s fourth type “victim more guilty than the offender” represents the situation in which the victim instigates or provokes the criminal act. A person who is on the losing end of a punch after making an abusive remark would fit in here.

Similarly, a victim who started as an offender and, ended up as victim is “the most guilty victim”. An example of this category would be the burglar shot by a house owner during an intrusion.

The last category is the “simulating or imaginary victim”. Mendelsohn reserves this niche for persons who pretend that they have been victimized. The person who claims to have been mugged, rather than admitting to gambling his or her pay cheque away would be an example.



Studi tentang korban yang lain dilakukan oleh Marvin E. Wolfgang (Chockalingam, 2009).  Ia melahirkan konsep victim precipitation alias seseorang atau kelompok menjadi korban kejahatan karena ia atau mereka sendiri berkontribusi dalam tingkatan tertentu untuk terjadinya kejahatan tersebut. Wolfgang melakukan penelitian terhadap korban-korban pembunuhan di Philadelphia dan melahirkan definisi sebagai berikut :

“The term victim-precipitation is applied to those criminal homicides in which the victim is a direct, positive precipitator in the crime. The role of the victim is characterized by his having been the first in the homicide drama to use physical force directed against his subsequent slayer. The victim-precipitated cases are those in which the victim was the first to show and use a deadly weapon, to strike a blow in an altercation – in short, the first to commence the interplay or resort to physical violence.”

Wolfgang menemukan data bahwa dalam kasus-kasus pembunuhan,  victim-precipitation terjadi pada 26% kasus pembunuhan.  Maka, setelah studi Wolfgang tersebut,  banyak studi lain yang dikembangkan terkait dengan victim precipitation yang berfokus pada kasus pembunuhan, penyerangan, pemerkosaan dan perampokan.

Viktimisasi
Viktimisasi atau proses timbulnya korban dapat melahirkan penderitaan yang bervariasi : “…Victimization often causes trauma and depending upon the level of trauma that a person has already experienced in their lifetime, crime can be devastating.  In general, victimization often impacts  people on an emotional, physical, financial, psychological, and social level…”[9]   Suatu tindak kejahatan dapat melahirkan trauma dan penderitaan bagi korban.  Apakah penderitaan secara fisik, emosi, finansial, psikologis maupun secara sosial.

Viktimisasi adalah jauh lebih luas dari semata-mata tindak pidana.  Karena terjadinya korban adalah tidak semua karena tindak pidana.  Bisa karena bencana alam,  bencana lingkungan, bencana teknologi, penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), pelanggaran HAM (human rights violation) yang tidak terumuskan sebagai tindak pidana, dan lain sebagainya.  Dan viktimologi adalah concern dengan korban dan proses terjadinya korban.  Apakah sebabnya karena tindak pidana atau sebab-sebab non tindak pidana bukan suatu hal yang signifikan.

Pendapat terakhir tersebut paling tidak diacu oleh Beniamin Mendelsohn, Gerd Kirchhoff dan Hidemichi Morosawa (dalam Susetyo, 2012) yang memperkenalkan General Victimology, karena sarjana lain, sebutlah seperti Ezzat Fattah (dalam Susetyo, 2012) lebih meyakini bahwa viktimologi hanya tertarik dengan korban tindak pidana, alias penal victimology,  lain tidak.

Selain viktimisasi, istilah yang juga harus dipahami adalah viktimisasi kedua atau lanjutan alias ‘secondary victimization’ ataupun juga reviktimisasi, yang bermakna :

Secondary victimization refers to the victimization which occurs, not as a direct result of the criminal act, but through the response of institutions and individuals to the victim.  The following are a few examples of secondary victimization:  (1) The refusal to recognize their experience as criminal victimization; (2) Intrusive or inappropriate conduct by police or other criminal justice personnel; (3) The whole process of criminal investigation and trial (decisions about whether or not to prosecute, the trial itself, the sentencing of the offender, and his or her eventual release) (4) The victim perceives difficulties in balancing their rights with those of the accused or the offender; (5) Criminal justice  processes and procedures do not take the perspective of the victim into account.

Dalam banyak kasus, viktimisasi senantiasa berulang namun dengan aktor pelaku yang berbeda namun sama perannya dalam menimbulkan penderitaan kepada korban.  Kasus reviktimisasi yang paling popular adalah kasus Novi Amilia, seorang gadis model yang mengendarai mobil dan menabrak tujuh orang  di Tamansari Jakarta Barat pada 11 Oktober 2012. Ia dalam keadaan mabuk dan  setengah telanjang kemudian mengalami viktimisasi lanjutan di TKP dan  juga di kantor polisi dalam bentuk eksploitasi ketelanjangan  Novi Amilia (Susetyo, 2012).

Sepatutnya ketika Novi ditangkap dan diperiksa, Novi segera ditutupi tubuhnya terlebih dahulu, bukan diperiksa dalam keadaan setengah bugil. Akibat dari peristiwa tersebut, dikabarkan beredar foto-foto novi setengah bugil dengan disaksikan beberapa polisi. Foto tersebut jelas mengisyaratkan bahwa polisi pun ‘menikmati’ ketelanjangan Novi, dan itu sama halnya dengan polisi sudah melakukan tindakan pelecehan terhadap wanita yang sedang tidak berdaya.  Ini jelas bukan saja menjadi aib bagi Novi, tapi juga bagi kepolisian. Peristiwa tersebut  semestinya menjadi pembelajaran yang berharga bagi kepolisian, bukankah ada Polwan yang seharusnya langsung menangani Novi dan menutupi tubuh Novi agar tidak terlihat setengah telanjang. Apalagi diketahui bahwa kondisi Novi dalam keadaan depresi berat, adalah seharusnya tindakan pengamanan yang terlebih dahulu dilakukan, bukanlah pemeriksaan (Susetyo, 2012)

Kasus yang dialami oleh Novi Amilia seolah mewakili ribuan kasus lainnya di Indonesia dimana para saksi, korban ataupun tersangka dalam suatu tindak kejahatan atau pelanggaran seringkali tidak mendapatkan perlindungan yang sepantasnya dari aparat penegak hukum (seperti polisi, jaksa dan hakim).  Alih-alih melindungi para saksi, korban atau tersangka, seringkali aparat penegak hukum melakukan secondary victimization.  Dan bukan hanya aparat penegak hukum, tidak jarang masyarakat umum melakukan hal yang sama. Sehingga para saksi, korban dan tersangka mengalami viktmisasi kedua atau viktimisasi lanjutan (secondary victimization) dan juga social injuries (penderitaan secara sosial). (***)


*)  Disampaikan pada Seminar Internasional Viktimologi FH Unsoed Purwokerto 22 September 2016.

Comments

Popular posts from this blog

Kekerasan di Perkotaan

Temuan Riset: Kepolisian dan Pemerintah Daerah Tidak Paham Apa itu Ujaran Kebencian

Kisah Seorang Preman Kupang (1)