PUNGUTAN LIAR SEBAGAI PENYAKIT MASYARAKAT


Oleh Suci Febriani
antropologi sosial




Dasar pemikiran mengenai topik ini ialah Indonesia dinobatkan sebagai negara terkorup, dari 16 negara Se Asia Pasifik tahun 2010 (sumber: Political & Economic Risk Consultancy -PERC-). Serta hasil survei integritas Nasional 2011, yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi, “Dari 89 instansi yaitu 22 instansi pusat, 7 instansi vertikal, dan 69 instansi pemerinath daerah, hasilnya menunjukan rata-rata belum mampu untuk mencapai poin (telah ditetapkan) batas integritas yang baik”. Kedua data di atas menjelaskan bahwa memang integritas bangsa yang sangat pluralis seperti Indonesia sangat mengkhawatirkan. Semacam telah terjadi habitual koruptif yang membudidaya dalam pelayanan publik negara ini.
Pasar merupakan suatu tempat yang menjadi sumber kegiatan ekonomi masyarakat di suatu daerah, baik itu bagi masyarakat tradisional maupun masyarakat modern. Bagi masyarakat tradisional, keberadaan pasar tradisional menjadi sangat vital dalam kehidupan mereka sehari-hari karena di sanalah tempat untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, baik sebagai pedagang maupun sebagai pembeli. Sedangkan pada masyarakat modern, keberadaan pasar tidak hanya lagi yang bersifat tatap muka antara pembeli dan penjual saja tetapi sudah mulai lebih canggih dan modern, di mana pasar tersebut memanfaatkan teknologi informasi yakni melalui pasar online. Bukan berarti pasar tradisional juga tidak ada pada masyarakat modern, tetapi sudah lebih tertata rapi dibandingkan dengan pasar tradisional yang identik dengan kotor, becek, barang dagangan yang semrawutan, bau, banyak kejahatan dan lain sebagainya. Pasar tradisional yang melibatkan banyak masyarakat dan juga berkaitan dengan dinas atau instansi pemerintahan terkhusus dinas pasar ternyata juga memiliki beberapa kekurangan lainnya yang menjadi momok sebagai masalah sosial masyarakat.

 Pasar merupakan suatu sistem sosial yang di dalamnya terdapat masyarakat sebagai pedagang dan pembeli, kepala pedagang, petugas keamanan pasar, preman pasar yang sering berpatroli di lingkungannya itu, dinas atau instansi terkait, pemulung, pengemis dan pengamen serta unsur-unsur lainnya. Semua elemen masyarakat yang terdapat di dalam pasar tersebut menjadikan pasar sebagai sistem yang berjalan sesuai kodratinya. Setiap unsur memiliki fungsi dan tujuan masing-masing sesuai kepentingannya namun tetap dalam garis keseimbangan. Sistem yang berjalan dikarenakan elemen-elemen itulah menjadikan pasar sebagai sumber berjalannya struktur yang disebut struktur pasar tradisional. Sebagaimana menurut pandangan teori struktural fungsional elemen-elemen yang membentuk struktur akan saling fungsional satu sama lain dan  berjalan menuju keseimbangan. Namun, setiap struktur tidaklah selalu berjalan fungsional menurut teori konflik karena  setiap elemen tersebut berpotensi untuk menciptakan disintegrasi dalam suatu struktur yang ada.
Pasar yang menjadi tempat berjalannya perekonomian suatu daerah ternyata tidak terlepas dari masalah yang  melibatkan oknum-oknum tertentu dalam meraup keuntungan dengan menekan keuntungan masyarakat yang berprofesi sebagai pedagang di sana. Salah satu dari permasalahan yang sangat marak terjadi ialah pungutan liar atau sering disingkat dengan pungli. Pungutan liar tersebut sering melibatkan mereka yang tidak bertanggung jawab dengan mengatasnamakan kegiatannya itu demi keamanan dan kewajiban bagi para pedagang. Didorong alasan itulah para pedagang yang mau dan tidak mau harus mengeluarkan pungutan-pungutan yang diminta oleh oknum tersebut. Pungli adalah sebutan untuk semua bentuk pungutan yang tidak resmi dan yang tidak mempunyai landasan hukum, maka tindakan pungutan tersebut dinamakan sebagai pungutan liar (pungli). Dalam bekerjanya, pelaku pungli selalu diikuti dengan tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap pihak yang berad a dalam posisi lemah karena adanya kepentingan. Itulah sebabnya, pungli cenderung mengarah pada tindakan pemerasan yang di dalam hukum pidana merupakan perbuatan yang dilarang atau tindak pidana. Berdasarkan catatan dari dokumen perserikatan bangsa-bangsa tentang upaya pemberantasan korupsi, pungutan liar merupakan pungutan  tidak resmi, permintaan, penerimaan segala pembayaran, hadiah atau keuntungan lainnya, secara langsung atau tidak langsung, oleh pejabat publik  atau wakil yang dipilih dari suatu negara dari perusahaan swasta atau publik termasuk perusahaan transnasional atau individu dari negara lain yang  dikaitkan dengan maksud untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tugas  yang berkaitan dengan suatu transaksi komersial internasional. Perbuatan yang dilakukan oleh pegawai negeri atau penyelenggara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum terdapat dalam rumusan korupsi Pasal 12 huruf e menunjuk pada Pasal 423,  dan Pasal 12 huruf f, rumusannya diambil dari Pasal 425 ayat (1) KUHP.
Dalam Undang-undang Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 perubahan atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi telah diatur berbagai macam ataupun jenis tindak pidana korupsi. Pungutan liar seperti yang telah disebutkan di atas bahwasanya ia juga merupakan tindakan yang mengarah pada tindakan koruptif. Hasil penelitian berbagai lembaga pemerintah maupun non pemerintah, dapat dikristalkan bahwa adanya pungutan liar telah merugikan masyarakat. Mengarah pada kerugian keuangan negara, yang dirata-ratakan berada di 20-25 triliunan rupiah setiap tahunnya, pada satu sektor penyelenggaraan pelayanan publikDapat dikatakan antara sadar atau tidak, pungli telah bersemayam dalam jiwa masyarakat Indonesia, karena hampir setiap pelayanan publik dikenakan tarif yang sebenarnya tidak patutu untuk dikenakan biaya, pasar salah satunya. Ketika kita melihat fenomena pungutan liar ini begitu dalam menjalar pada masyarakat Indonesia, secara historis memang wajar hal tersebut terjadi karena sudah terlanjur menjadi semacam budaya dan tradisi. Sebelum adanya negara dan bangsa Indonesia, masyarakat kita sudah hidup di bawah kekuasaan kerajaan-kerajaan tertentu. Rakyat yang harus mengeluarkan pajaknya terhadap kerajaan harus membayar kepada patih-patih yang telah ditunjuk oleh kerajaan tempatnya berada. Namun sayangnya, hal tersebut tidak berjalan lurus saja dalam mencapai tujuannya karena banyak di antara para patih-patih kerajaan yang menambahkan biaya dan pengeluaran kepada rakyat di luar batas kewajaran dalam melayani rakyatnya. Mau dan harus mau rakyat tetap membayarnya walaupun itu melebihi kewajiban pajak mereka dan inilah yang membuka peluang lahirnya kegiatan pungli di masa itu sehingga menggenerasi sampai saat ini di setiap sistem sosial masyarakat yang ada, terutama dalam hal pelayanan publik.
Pada dimensi sosial, gejala pungutan liar ini tampaknya telah menjadi aturan sosial yang diformalkan. Apalagi pemahaman terhadap praktik pungutan liar, pengemis dan premanisme menjadi bercampur baur. Masyarakat semakin sulit membedakan mana yang retribusi, mana pungutan liar, mana pengemis dan mana yang premanisme. Dengan kondisi ini, pungutan liar itu menjadi semacam organized crime yang muncul dalam bentuk pengemis yang premanistik. Maka, dengan melihat gejala ini caranya tidak lain adalah penegakan hukum yang tegas, khususnya terhadap pungutan liar. Kita selaku masyarakat yang tidak begitu paham akan hak terhadap pelayanan publik yang secara free dapat dinikmati sering terkecoh dengan bayaran-bayaran yang seharusnya tidak perlu untuk dikeluarkan karena sudah ada anggarannya. Sebagian lain dari masyarakat kita juga memandang wajar pungutan-pungutan tersebut karena memang kita tidak punya waktu banyak untuk mempersoalkan hal yang biayanya memang tidak seberapa itu. Sering juga kita menghalalkan pungutan itu demi kelancaran urusan di tempat dan tidak berbelit-belit. Hal tersebut sama saja kita membiarkan korupsi tumbuh menjamur di sekitar kita dan pada akhirnya dampak akan kembali kita rasakan sebagai masyarakat umum. Seharusnya memang sebagai warga negara pelayanan publik itu kita mendapat kebebasan dalam menikmatinya sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan, namun tampaknya keminiman pengetahuan masyarakat dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang berkepentingan dengan memungut biaya-biaya yang mengatasnamakan instansi tempat dia bernaung.
Birokrasi sebagai jembatan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat atau warga negara cenderung menampakkan sisi gelapnya melalui maraknya praktek-praktek pungutan liar di dalamnya. Tidak hanya itu, beberapa pelayanan yang tidak memuaskan juga seroing terjadi seperti ketidakpastian pelayanan (sering ditunda-tunda), pengabaian hak dan martabat masyarakat, juga pelayanan yang kuram ramah-tamah. Sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor  5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengeluarkan 12 (dua belas) instruksi  kepada para pimpinan birokrasi. Diantaranya adalah instruksi  untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada publik, baik dalam bentuk jasa ataupun perizinan melalui transparansi dan standardisasi pelayanan yang meliputi persayaratan-persyaratan, target waktu penyelesaian, dan tarif biaya yang harus dibayar oleh masyarakat untuk mendapatkan pelayanan tersebut sesuai peraturan perundang-undangan dan menghapuskan pungutan-pungutan liar. Ada satu kutipan opini koran “...Sektor pelayanan pajak, misalnya, merupakan sektor yang dituding rawan  korupsi. Di sana tempat terhimpun uang milyaran sampai triliunan rupiah dari para wajib pajak, sehingga ada saja oknum yang tergoda untuk menggerogotinya dengan berbagai cara. Perbuatan itu, bukan hanya dilakukan oknum aparat pajak, melainkan juga oleh para wajib pajak. Modusnya seperti menggangsir setoran pajak, tawar menawar nilai pajak sehingga pajak yang dibayar lebih kecil, menggelapkan pajak yang dibayarkan, meminta persenan dari pemohon bebas pajak,  memanipulasi laporan keuangan sehingga nilai pajaknya berkurang, pemalsuan faktur pajak,  mengisi SPT dengan data yang tidak sesuai dengan kenyataan, dan meminta  pembenaran isi SPT itu dengan cara menyuap oknum konsultan pajak, maupun petugas pajak.” (Tempo, edisi 13-19 Juni 2005).
Pada tugas pertama awal kuliah setelah ujian tengah semester ini dosen kami meminta masing-masing mahasiswa untuk menghadirkan satu contoh dari realita masalah sosial yang ada di sekitar kita. Dari contoh yang ada tersebut mahasiswa diminta untuk menganalisisnya menggunakan teori, pendekatan, dan identifikasi sumber permasalahan yang telah dipelajari sebelumnya. Untuk itu saya mencoba menghadirkan beberapa contoh masalah sosial yang terjadi di sekitar kita dan tampaknya tidak saja terjadi pada tempat-tempat yang saya coba kutip. Masalah tersebut berkenaan dengan ketidakbebasan masyarakat dalam penggunaan pelayanan publik yang ditandai dengan adanya pungutan liar atau pungli. Ada satu judul artikel koran yang menjadi fokus perhatian saya ketika hendak menjadikan masalah pungutan liar ini sebagai topik utama tugas saya. Judul artikel tersebut adalah “PKL Dibebani Pungutan Liar” dan disambung dengan penjabaran fakta “Derita Pedagang Di Pasar Raya Padang Dipungut Rp.75 Ribu Sehari, Pungutan Itu Membuat Kami Kurus Kering...” yang terbit pada tanggal 18 Januari 2015 kemaren pada koran lokal Sumatera Barat, Singgalang. Artikel tersebut sudah saya klipingkan ke dalam tugas kali ini.
Isi dari artikel yang juga berisi opini dan fakta lapangan tersebut membeberkan bahwasanya kenyamanan dan kesejahteraan para pedagang di Pasar Raya Padang tidak terjamin bahkan terbebani oleh adanya pungutan-pungutan liar dari berbagai pihak terhadap mereka. Di samping harus mengeluarkan pungutan-pungutan liar yang menjadi kewajiban mereka dalam berdagang di tempat itu, hasil dari jual beli pun tidak menjamin untuk selalu mendapatkan keuntungan dikarenakan kebijakan soal waktu berdagang yang belum seutuhnya berpihak kepada mereka, begitupun kepastian hukum yang belum juga terjamin untuk keberadaan mereka. Para pedagang kaki lima di Pasar Raya tersebut dimintai pungutan-pungutan oleh banyak pihak setiap waktunya, ada yang tiap hari, per minggu dan ada yang per bulan bahkan per jangka waktu tertentu. Misalnya saja pungutan yang ditagih oleh orangbagak atau pareman pasa, ketua pedagang, aparat pemerintah dan pejabat dinas dan orang-orang lainnya yang merasa dirinya memiliki hak dan otoritas untuk menagih pungutan tersebut. Dari tulisan tersebut dengan jelas menggambarkan penderitaan dan keluhan-keluhan yang muncul dari para pedagang. Mereka merasa terbebani oleh banyaknya pungutan yang harus mereka keluarkan setiap harinya sedangkan jual beli tidak seberapa. Bahkan yang membuat ironinya ialah meskipun mereka selalu rutin membayar pungutan tersebut namun tetap saja penggusuran menghantui jalan mereka dalam mencari nafkah untuk keluarga, bahkan juga kebijakan tentang waktu boleh dan tidaknya berjualan tersebut juga memperminim keuntungan mereka dalam berdagang. Waktu yang diperbolehkan berdagang berkisar dari jam 15.00 WIB ke atas, sedangkan jam 6 sore itu saja pasar sudah mulai sepi akibatnya pedagang tidak banyak berjual beli. Alhasil yang terjadi ialah para PKL-PKL yang memanfaatkan kelengahan petugas pasar untuk membuka lapak mereka di tempat-tempat yang sebenarnya dilarang.
Realita mengenai pungutan-pungutan liar yang dialami oleh para pedagang itu tampaknya tidak hanya terjadi pada PKL di Pasar Raya Padang saja tetapi juga pada pedagang-pedagang kecil lainnya di berbagai tempat terutama tempat wisata. Persoalan pungutan liar itu tidak hanya mengudara di kalangan pedagang saja tetapi juga kepada masyarakat umum seperti misalnya tempat wisata, parkiran hingga belokan di jalur dua pun sering dimintai pungutan. Sehingga kenyamanan dan kebebasan menikmati fasilitas publik menjadi tidak terwujud dan masyarakat tidak puas dengan pemerintah. Bagaimana tidak, jika saja pungutan yang mereka minta tersebut tidak diindahkan maka siap-siap saja kenyamanan akan terusik. Itulah permasalahannya, di mana masyarakat kurang diuntungkan dengan keberadaan pungutan tersebut sehingga hanya oknum-oknum yang berkepentingan yang meraup untung dari sana. Selain dari contoh di atas mengenai adanya pungutan liar yang menjamur dalam masyarakat kita juga ada beberapa contoh yang saya lampirkan dan menjadi referensi dalam menganalisa penyakit sosial ini. Dari contoh berita dan realita di atas memang terlihat adanya kesenjangan yang mengakibatkan muncul masalah-masalah yang terkategori sebagai masalah sosial di tengah masyarakat. Fenomena sosial yang ada tersebut bisa dilihat dari berbagai macam sudut pandang yang berbeda, misalnya dengan melihat dengan pendekatan perspektif teori struktural fungsional, perspektif teori konflik dan perspektif teori interaksionisme simbolik.
Nah, dari contoh berita yang saya hadirkan mengenai pungutan liar dan pedagang kaki lima di Pasar Raya Padang tersebut saya mencoba melihatnya dengan perspektif teori fungsional struktural. Perspektif teori funsional struktural ini berangkat dari paradigma fakta sosial dengan memfokuskan perhatian pada struktur sosial dan pranata sosial. Menurut teori ini struktur dan pranata berada dalam suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen yang saling terkait dan menyatu dalam keseimbangan. Ia menekankan pada keberaturan dan mengabaikan konflik serta perubahan-perubahan dalam masyarakat. Perspektif teori ini memiliki asumsi dasar yang berbunyi bahwasanya setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain dan sebaliknya jika tidak fungsional maka struktur ini tidak akan ada atau akan hilang dengan sendirinya. Setiap elemen yang ada saling melengkapi dan terintegrasi melalui adanya nilai sosial yang menajdi pegangan bersama. Melalui perspektif teori fungsional struktural inilah muncul beberapa pandangan dasar dalam menganalisis suatu masalah sosial yang berkembang di masyarakat, seperti misalnya: perspektif patologi sosial, perspektif disorganisasi sosial dan perspektif prilaku menyimpang.
Mengapa saya mengambil perspektif tersebut karena saya melihat pedagang, masyarakat, oknum serta pejabat pemerintah merupakan satu kesatuan yang saling terkait dan memberikan kontribusi terhadap berjalannya sistem. Mereka saling fungsional dalam menjalankan struktur yang ada agar berjalan seimbang dan terintegrasi. Namun, pada realitanya tetap saja struktur tersebut tidak berjalan sesuai yang diharapkan dan sistem akhirnya berantakan sehingga memunculkan yang namanya masalah sosial baik itu bagi pedagang, pemerintah, pareman pasa hingga masyarakat umum.
Dari berita tersebut sistem yang ada itu ialah ‘pasar’ di mana elemen-elemennya adalah pedagang, pembeli, dan oknum-oknum lainnya seperti pemerintah, ketua pedagang, satpol PP dan lain sebagainya yang telah disebutkan di atas tadi. Ketika elemen-elemen yang ada tersebut tidak fungsional sebagaimana mestinya maka yang terjadi ialah kegagalan struktur bahkan disintegrasi di dalamnya. Dengan maraknya pungutan-pungutan liar oleh pelaku-pelaku yang mengatasnamakan dirinya sebagai orang yang berhak dan memiliki otoritas terhadap pemungutan itu membuat sistem di dalam pasar menjadi semrawutan dan kurang berpihak kepada pedagang-pedagang kecil. Sehingga banyak pada akhirnya para pedagang yang mencuri-curi tempat untuk berdagang di luar waktu yang telah ditentukan, banyaknya oknum yang memanfaatkan situasi tersebut dengan menjual pangkatnya demi memberikan dekingan kepada para pedagang, dan juga petugas pasar yang semena-mena meminta pungutan. Pungutan itu seperti uang kepada ketua pedagang di setiap blok pasar Rp.300 ribu per meja, pungutan tiap harinya sebesar Rp.50 ribu oleh preman pasar, uang lapiak sebesar Rp.100 ribu, juga pungutan Rp.5 ribu untuk sewa payung, kebersihan dan jaga malam dan masih banyak lagi pungutan-pungutan yang harus dibayarkan oleh PKL-PKL di Pasar Raya tersebut. Mereka sering berciloteh dengan menyebut “manggaleh di siko samo jo maiduik an anak bini urang, inyo dak bakarajo diagiah juo pitih dek awak nan manggaleh ko”.
Perspektif patologi sosial coba saya gunakan dalam melihat fenomena di atas, di mana masyarakat di dalam pasar tersebut merupakan sistem yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan dan setiap elemen yang ada memiliki tujuan dan fungsi masing-masing namun membentuk suasana integrasi dan keberaturan. Perspektif ini melihat keadaan yang patologi itu disebabkan oleh adanya individu-individu yang berprilaku tidak sesuai pedoman yang ada yaitu nilai-nilai sosial sehingga memunculkan penyakit yang membuat struktur berantakan. Tidak hanya individu yang menyumbang keadaan patologi, kelompok pun bisa menjadi penyebabnya apabila kelompok atau masyarakat tersebut tidak ada penyesuaian antar unsur dalam sistem sosial. Persoalan di atas memposisikan oknum yang meminta pungutan tersebut sebagai penyumbang kondisi patologi sosial karena mereka memanfaatkan keberadaan pedagang untuk membayar pungutan mereka. Mau tidak mau pungutan itu harus dibayar jika masih mau berdagang di sana dan petugas pun sering memberikan kelonggaran kepada pedagang nakal yang memanfaatkan dekingan petugas tersebut dalam membuka lapak mereka, tentu dengan mengeluarkan lagi pungutan.
Maraknya pungutan liar itu membuat pedagang yang tidak memiliki otoritas, kewenangan dan kekuasaan menjadi semakin terpinggirkan. Keberadaan mereka tidak sepenuhnya aman dari penggusuran, keamanan pun belum pasti mereka peroleh apalagi keuntungan dari berdagang tersebut tidak bisa mereka targetkan untuk selalu untung. Malahan pungutan-pungutan itu membuat mereka para PKL menjadi sangat terbebani namun apalah daya mereka tetap saja membayar jika masih mau berdagang di sana. Selain dengan perspektif patologi sosial, kondisi ini juga dapat disorot dengan kaca mata perspektif teori konflik yakni sudut pandang dari perspektif institusional. Menurutnya, masyarakat tersusun dalam suatu struktur di mana ada sebagian angggota masyarakat yang memiliki kekuatan, kekuasaan, kesempatan dan peluang yang lebih besar dibandingkan masyarakat lainnya. Dengan demikian mereka mampu mengendalikan dan mengontrol kehidupan sosial ekonomi dalam sistem sosialnya dengan menggunakan instrumen institusi sosial yang ada. Akibatnya distribusi akan hal-hal yang empat tadi tidak merata. Misalnya para petugas yang ditempat di pasar tersebut yang dapat menjual nama mereka sebagai anggota lembaga atau institusi tertentu untuk memberikan deking kepada para pedagang, begitu juga pemerintah yang memanfaatkan otoritas mereka dalam menyusun kebijakan penataan pasar sesuai kepentingan mereka. Kalau bicara dekingan untuk mendapat tempat berdagang di luar waktu yang telah ditentukan itu tentu tidak semuanya pedagang bisa membayar pungutan tambahan kepada mereka. hanya pedagang yang “mampu” yang melaksanakannya dan tentu untung mereka juga besar dibandingkan dengan pedagang yang benar-benar mematuhi peraturan.
Jika persoalan mengenai pungutan liar di Pasar Raya Padang tersebut diidentifikasi menggunakan pendekatan individu dan sistem yang telah dipelajari sebelumnya, maka saya menggunakan dua pendekatan yakninyapertama, masalah sosial terjadi pada level individu dan sumber masalah disebabkan oleh sistem dan yang kedua ialah masalah sosial terjadi pada level sistem yang menjadi sumber masalahnya ialah level sistem juga. Pendekatan yang melihat masalah sosial terdapat pada level individu dan sumber masalahnya ialah sistem dapat diartikan seperti berikut ini: masalah yang menyebabkan terjadi perilaku individu yang menyimpang ditelusuri dari kesalahan sistem yang menaunginya. Berbagai bentuk prilaku individu yang dianggap melanggar norma atau tidak sesuai dengan harapan, sebetulnya muncul dari adanya sistem yang kurang benar. Berarti dalam pemecahan masalah yang terjadi pada level individu ini juga dilakukan identifikasi dan diagnosisnya dengansystem blame approach atau pendekatan sistem artinya bukan hanya pendekatan yang menekankan individu saja yang bermasalah. Ada beberapa upaya mencari sumber masalah dari kondisi sistem tersebut seperti: adanya cacat struktur, disorganisasi sosial, dan pandangan labeling.
Pada pendekatan yang pertama yakni masalah sosial pada level individu dan sumber masalahnya berasal dari sistem ialah cacat struktur dimana individu tidak memiliki kebebasan dalam mengembangkan kapasitas dan kebebasan dirinya. Selain itu, hambatan dari aspek struktural dalam masyarakat ialah tidak menjaminnya distribusi penguasa resources dan power. Hal itu akan mengakibatkan warga masyarakat tertentu merasa terhambat dalam mengembangkan potensi dan kapasitas dirinya tadi yang disebabkan oleh kurang dimilikinya prestise dan power tersebut. Hambatan-hambatan yang dirasakan ini dapat menyebabkan terjadinya proses menarik diri atau mengisolasi diri dari masyarakatnya bahkan memusuhi masyarakat. Manifestasi dari pada itu dapat berupa mengambil tindakan di luar sistem dengan mengabaikan berbagai bentuk kontrol sosial atau  norma dan kaedah sosial yang berlaku di masayarakat. Bentuk konkretnya seperti untuk memenuhi kebutuhan hidup yang sulit melalui usaha berdasarkan sistem yang berlaku, kemudian seseorang lebih memilih melakukan tindakan kejahatan. Sehingga dari hal tersebut, hanya orang-orang atau oknum yang memiliki power dan resources yang telah disebutkan tadi saja yang mampu mengendalikan sistem dan kepentingan tiap-tiap individu yang berbeda dan berpeluang memunculkan cacat struktur dalam suatu sistem sosial contohnya Pasar Raya Padang tadi. Urang bagak dan preman pasar dengan semena-mena bahkan menggunakan paksaan untuk meminta pungutan liar tersebut dengan alasan penjagaan keamanan pagi para pedagang dan juga seorangpareman pasa bersama dengan anak-anak buahnya merasa ialah pemilik tanah dari pasar tersebut atau sering dengan kata lain pungutan yang ditagihnya itu adalah bayaran sewa tanah karena telah berjualan di tempatnya itu. Pemilik tanah merasa dirugikan karena telah dibangunnya pasar di tanah miliknya sehingga untuk tetap ada pemasukan ia menagih pungutan-pungutan kepada para pedagang. Padahal, keberadaan tanah yang dijadikan pasar tersebut sebenarnya sudah milik pemerintah baik itu nagari, kecamatan, kota bahkan negara yang artinya masyarakat bebas menggunakannya dan hanya dikenakan tarif oleh dinas petugas ketertiban dan keamanan pasar saja. Namun karena tekanan dari pareman pasa dan orang bagak itu lebih kuat dibandingkan dengan sosialisasi pemerintah terhadap aturan main di pasar tradisional maka yang terjadi ialah menjamurnya pungutan-pungutan liar terhadap para pedagang di pasar tersebut.
Selain orang bagak dan pareman pasar yang meminta tagihan atau pungutan kepada pedagang yang ada di pasar sebagai identifikasi masalah pada level individu, ternyata petugas juga menjadi sasaran yang bermasalah. Seperti yang telah dijelaskan di atas, seseorang atau kelompok memiliki kekuatan dan kekuasaan yang lebih dibandingkan dengan individu atau kelompok lain. Ia cenderung memanfaatkannya untuk memepertahankan status quo yang ia miliki dan mampu mengendalikan kehidupan sosial, politik dan ekonomi masyarakat. Petugas yang keberadaannya sebagai wakil pemerintah tampaknya membiarkan hal pungutan liar itu terjadi dengan alasan memang sudah sewajarnya karena dari waktu ke waktu hal tersebut terus dilakukan dan sudah menjadi kewajiban saja, artinya di sini ialah telah terjadi semacam pembenaran massal terhadap sesuatu yang sebenarnya bernilai salah.  Petugas pasar tersebut terkadang juga memanfaatkan institusinya untuk ‘menjual kewenangan’ yang ia miliki kepada para pedagang nakal dalam membuka lapak pada jam-jam yang sebenarnya masih dilarang untuk berjualan, mereka sebagai pedagang membayar uang pelicin kepada petugas agar tempat mereka tidak digusur dan diperbolehkan saja untuk berdagang, alhasil yang terjadi ialah kondisi semrawutan pasar di mana lahan parkir menjadi minim dan juga badan-badan jalan menjadi sempit sehingga menyebabkan kemacetan bagi para pengendara.
Artinya, petugas juga terlibat di dalam hal itu, dan  status quo menjadi hal yang harus dipertahankan oleh setiap individu atau kelompok yang memilikinya. Masalah pungutan liar di pasar ataupun di tempat-tempat umum lainnya juga dapat diidentifikasi dengan pandangan labeling di mana tindakan tersebut menjadi hal wajar karena memang masyarakat menginterpretasinya sebagai hal wajar dan biasa saja. Persamaan interpretasi dan saling mendukung antara individu dan masyarakat tersebut tentang suatu tindakan dan kondisi yang sebenarnya justru dapat mendorong terjadinya masalah sosial. Mereka mengakuinya sebagai hal yang wajar agar persoalan di lapangan menjadi cepat selesai dan instan padahal mereka sendiri yang dirugikan. Seperti yang telah juga dijabarkan sebelumnya, praktek adanya pungutan liar merupakan tindakan yang bersifat koruptif. Hal tersebut memang marak terjadi pada masyarakat kita sehingga Indonesia tersohor sebagai salah satu negara yang paling korup di dunia. Hasil riset Transparency International yang berpusat di Jerman beberapa tahun terakhir masih menempatkan Indonesia di antara Negara paling korup di dunia. Berdasarkan analis data statistik pada CPI 2004 yang dilakukan oleh Prof. Dr. Johann Graft Lambsdorf, sebagaimana dikutip dari Awang Anwarudin, Strategi Implementasi Percepatan Pemberantasan Korupsi. Dalam jurnal  Borneo Administrator, Volume 1 Nomor 2 Tahun 2005, hlm. 121 Indonesia berada di urutan ke 10 dari  negara-negara paling korup di dunia. Atau berada di urutan  ke-3 negara terkorup di Asia setelah Bangladesh dan Myanmar.
Pada pendekatan ke dua yakni masalah sosial pada level sistem dan sumber masalahnya juga disebabkan oleh sistem. Sistem yang bermasalah ialah keadaan pasar yang semrawutan dan kehidupan masyarakat pasar yang tidak stabil sedangkan sumber masalahnya ialah sistem penataan pasar, kebijakan, dan persoalan pungutan oleh banyak oknum yang sering liar dan informal. Masalah maraknya pungutan-pungutan liar kepada para PKL-PKL di Pasar Raya tersebut dikarenakan mereka sebagai suatu struktur yang memiliki bagian dan elemen yang saling fungsional dan memiliki fungsi masing-masing juga memiliki kepentingan yang berbeda. Dilihat dari perspektif  “Sistem yang Diskriminatif” struktur tersebut terdiri dari individu-individu yang memiliki nilai-nilai sosial dalam institusi mereka dan dapat menumbuhkan prilaku yang diskriminatif antar unsur di dalam masyarakat pasar tersebut. Dalam kata lain persoalan mengenai maraknya pungutan liar yang dibebankan kepada para pedagang-pedagang kecil di Pasar Raya Padang tersebut lebih disebabkan oleh struktur dan institusi sosial mereka yang tidak menampakkan penyebaran dan distribusi yang merata akan kesempatan, peluang, dan kekuasaan. Urang bagak dan preman pasar tersebut memiliki penguasaan yang besar dalam meminta pungutan kepada para pedagang di sana begitupun dengan petugas dan pihak pemerintah yang terkait mmeiliki otoritas dan kewenangan yang formal dalam memanfaatkan keberadaan mereka dalam institusi yang sedang mereka duduki dalam menyelipkan kepentingan pribadi atau kelompoknya dalam persoalan masalah pungutan pada para PKL di Pasar Raya Padang.
Pasar yang menjadi tempat sebagian masyarakat menggantungkan nasibnya melalui berdagang ini merupakan satu di antara tempat umum yang diperuntukkan dalam pelayanan publik. Setiap masyarakat berhak untuk berjualan di sana dengan mematuhi aturan-aturan yang ada menurut Dinas Perindustrian Perdagangan dan Pengelolaan Pasar (Disperindagsar). Dalam arti yang sempit, pelayanan publik adalah suatu tindakan pemberian barang dan jasa kepada masyarakat oleh pemerintah dalam rangka tanggung jawabnya kepada publik, baik diberikan secara langsung maupun melalui kemitraan dengan swasta dan masyarakat, berdasarkan jenis dan intensitas kebutuhan masyarakat, kemampuan masyarakat dan pasar. Konsep ini lebih menekankan bagaimana pelayanan publik berhasil diberikan melalui suatu delivery systemyang sehat. Pelayanan publik ini dapat dilihat sehari-hari di bidang administrasi, keamanan, kesehatan, pendidikan, perumahan, air bersih, telekomunikasi, transportasi, bank, dsb.Tujuan pelayanan publik adalah menyediakan barang dan jasa yang terbaik bagi masyarakat. Barang dan jasa yang terbaik adalah yang memenuhi apa yang dijanjikan atau apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan demikian pelayanan publik yang terbaik adalah yang memberikan kepuasan terhadap publik, kalau perlu melebihi harapan publik bukan malah memberatkan masyarakat selaku pengguna pelayanan publik.
Di bawah ini akan saya hadirkan beberapa contoh bentuk pungutan liar yang berkembang dan tumbuh menjamur di tengah-tengah masyarakat kita, mulai dari pelayanan publik oleh birokrasi, pendidikan, transportasi, pasar, bahkan pembangunan sarana umum dan lain sebagainya. Semoga tugas ini dapat menjadi referensi dan bermanfaat bagi kita semua.

Comments

Popular posts from this blog

Kekerasan di Perkotaan

Kisah Seorang Preman Kupang (1)

Temuan Riset: Kepolisian dan Pemerintah Daerah Tidak Paham Apa itu Ujaran Kebencian