ANAK JALANAN, ERAT DENGAN SEKS DAN KRIMINAL

Liar, bebas dan keras akan ditemui dalam kehidupan anak-anak jalanan di mana saja termasuk di Semarang, bahkan tindak kriminal dan hubungan seks bebas terpaksa dilakukan demi sesuap nasi.

Bukan fenomena baru jika kebebasan, liar dan kekerasan mewarnai kehidupan anak jalanan di kota manapun dan akibat terburuk bisa menimbulkan tindakan kriminal bahkan berakhir di penjara.
Banyak alasan terlontar dari anak-anak usia sekolah yang berpredikat anak jalanan ketika ‘harus’ melakukan berbagai tindak kekerasan itu, mulai dari mencari sesuap nasi, rasa ketakutan sampai hanya untuk kepuasan pribadi.

Anak jalanan, sesuai dengan kesepakatan konvensi Nasional adalah anak-anak di bawah umur 16 tahun yang menggunakan sebagian besar waktunya untuk bekerja di jalanan dari kawasan urban.
Istilah anak jalanan itu menjadi semakin dikenal, karena kiprahnya di sepanjang jalan-jalan perkotaan tidak jauh berbeda seperti pemulung, pengemis atau preman yang mengandalkan kemurahan orang dengan menjual jasa yang dimilikinya.
Hasil pemetaan yang dilakukan Yayasan Duta Awam Semarang, Paguyuban Anak Jalanan Semarang serta Pemda Kodya Semarang menyebutkan pada tahun 1996 tercatat jumlah anak jalanan di ibukota provinsi Jateng ini mencapai 500 orang.
Sekitar 48% anak jalanan di kota ini berasal dari Pontianak, Banjarmasin, Surabaya, Palembang, Lampung, Bali, Padang, Blora dan Sukoharjo. Sisanya sebanyak 52% berasal dari kota Semarang.
Dari jumlah tersebut, penelitian yayasan tersebut mengambil responden sebanyak 101 orang anak. Terdiri dari 78 orang anak jalanan berkelamin laki-laki dan sisanya 23 orang anak wanita.
Anak jalanan di kota Semarang tersebar di beberapa tempat yang bisa mendatangkan uang dengan mudah dan cepat. Di antaranya, kawasan Pasar Johar, Karangayu, Pasar Bulu, Poncol, Banyumanik, Simpang Lima serta Terboyo.
Namun, meski anak jalanan mempunyai tempat mangkal, bukan berarti mereka menetap di suatu lokasi, karena berdasarkan penelitian yayasan tersebut sekitar 25,7% anak jalanan berpindah-pindah lokasi kerja.
Kriminalitas
Hasil penelitian yang diperoleh dari sejumlah anak jalanan di Semarang sungguh mengejutkan, karena tindakan kriminal dan hubungan seksual menjadi kebutuhan serta kegiatan sehari-hari anak jalanan itu.
Diakui oleh sebanyak 35,6% anak jalanan dari 101 responden pernah melakukan tindakan kriminal seperti mencuri atau mencopet, menodong, merampok, memperkosa dan merampas uang temannya.
Anak-anak jalanan itu kebanyakan pernah melakukan tindak kriminal sebanyak 2-5 kali atau 63,9%. Sedangkan satu kali melakukan tindakan kriminal ada 19,4% dan 5-10 kali ada 2,8% anak jalanan.
Seusai melakukan tindakan kriminal, sebanyak 30,6% anak pernah ditangkap, baik oleh polisi atau massa yang melihat kejadian. Dari yang berhasil ditangkap ada 90,9% mengalami penyiksaan dan sisanya 9,1% tidak disiksa.
Menurut Direktur Eksekutif Yayasan Duta Awam Semarang Nila Ardhianie, tindak kriminal yang dilakukan anak jalanan itu tidak terlepas dari kebutuhan akan makan, minum, pakaian dan tempat tinggal yang sangat minim.
“Anak jalanan terpaksa melakukan tindak kriminal untuk mencukupi kebutuhan hidup atau diajak teman, apalagi penghasilan sehari-hari tidak mencukupi,” jelasnya.
Tidak semua anak jalanan pernah melakukan tindak kriminal, karena ada yang bekerja sebagai pengamen, tukang semir, penjual koran. Sedang waktu kerja yang dipergunakan beragam, mulai dari 1 – 2 jam sehari atau lebih dari delapan jam sehari.
Tapi dari waktu yang dipergunakan untuk bekerja dalam satu hari, sebanyak 44,4% anak jalanan mengakui tidak pasti memiliki waktu bekerja.
Mengenai penghasilan yang diperoleh dari hasil bekerja itu, tercatat 43,3% anak jalanan dalam satu minggu memperoleh penghasilan lebih dari Rp 14.000. Sekitar 18,9% berpenghasilan Rp 8.000 – Rp 11.000 per minggu.
Besar kecilnya pendapatan per minggu seringkali tidak sama dalam satu bulan, karena etos kerja serta pola pikir mereka tentang hidup tidak untuk jangka panjang.
Sepanjang masih memiliki uang untuk makan, maka sisa waktunya untuk kegiatan lain dan jika uang makan menipis atau lapar mengganggu, maka kerja akan kembali dilakukan.
Seks Bebas
Yang lebih mengejutkan lagi dari penelitian pada November 1996 – Maret 1997 itu, sebanyak 31% anak jalanan wanita atau pria seringkali melakukan hubungan seks bebas.
Sebesar 56,5% anak jalanan wanita dari 23 orang responden mengaku pernah melakukan hubungan seksual dengan sejumlah pasangan dan anak jalanan pria hanya 23%.
Dalam hal keberanian melakukan hubungan seks, ternyata anak laki-laki jauh lebih berani. Dimana sebanyak 22,2% anak pernah berhubungan seks sejak usia sembilan tahun, sedangkan anak wanita pada umur 13 tahun.
Mengenai jumlah hubungan seksual yang mereka lakukan dalam waktu satu bulan relatif tinggi. Yakni, ada 12,9% anak yang biasa melakukan hubungan seks lebih dari delapan kali dalam satu bulan.
Sedang hubungan seksual dalam waktu sebulan yang tidak pasti ada 48,4% dan selebihnya 6,5% melakukan sekali dan sebanyak 2-3 kali ada 16,2%.
Para pelacur (wanita) anak-anak atau dalam bahasa prokem Semarang-an disebutciblek menjadi incaran tidak saja sesama anak jalanan yang seusia, tapi juga Oom senang, pacar atau warior (istilah perempuan yang bisa diajak berhubungan seksual tanpa dibayar.
Satu anak jalanan wanita ketika ditanya kenapa menyenangi pekerjaan seperti itu, karena bisa seperti orang kaya, naik turun mobil dan bisa makan makanan yang dimakan orang kaya, seperti spaghetti dan McDonald.
Untuk pasangan hubungan seks yang dilakukan anak jalanan pria adalah yang usianya lebih tua, karena mereka biasanya banyak berhubungan dengan pelacur atau wanita nakal sejenisnya. Bukan menjadi rahasia lagi perempuan jenis tersebut suka berhubungan dengan anak lelaki di bawah umur.
Nila Ardhianie mengungkapkan biasanya seusai dipakai oleh pelacur profesional, maka anak jalanan lelaki itu akan mencari pasangan lain, sehingga kegiatan seksual menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi.
“Berbeda dengan anak wanita atau ciblek itu melakukan hubungan seks karena dipaksa melayani siapa saja, baik itu anak yang lebih besar dan lebih tua,” tandas dia.
Sementara itu, cukup banyak pula anak jalanan yang mengalami rasa sakit setelah melakukan hubungan seksual, terutama para wanita.
Dimana 61,5% anak wanita yang pernah melakukan hubungan seks pernah merasa sakit, seperti alat kelamin gatal, terasa perih, lecet dan berbau.
Yang lebih menakutkan lagi, bayangan penyakit AIDS mengancam kehidupan anak jalanan, apalagi sebanyak 70,6% anak yang sakit itu tidak berobat ke paramedis, tapi hanya dengan minum obat bebas serta ramuan tradisional yang dijual di toko obat.
Pakar kesehatan Wimpie Pangkahila dalam sarasehan Malam Renungan AIDS Nusantara 1997 di Hotel Patrajasa Semarang mengatakan perilaku seks bebas anak jalanan itu memang rentan sekali terhadap virus HIV yang nantinya akan berakibat terjangkit AIDS.
“Penularan virus HIV paling mudah terjadi pada pasangan yang berhubungan seks bebas dan anak jalanan yang melakukan hal tersebut bisa saja terkena virus mematikan itu,” ujarnya.
Meski bayangan penyakit AIDS yang bisa saja diderita anak jalanan, tapi jika berpikir tentang sesuap nasi untuk makan, maka rasa takut pada virus HIV itu akan sirna.
Perhatian dan kewaspadaan para orang tua menjadi hal yang sangat penting dilakukan agar anak-anak yang masih di bawah umur itu tidak lari dari rumah dan bergelimang kekerasan, seksualitas serta tindak kriminal.
R. Fitriana & Edy Barlianto R

Comments

Popular posts from this blog

Kekerasan di Perkotaan

Kisah Seorang Preman Kupang (1)

Temuan Riset: Kepolisian dan Pemerintah Daerah Tidak Paham Apa itu Ujaran Kebencian