KRIMINOLOGI


 Kriminologi adalah ilmu pengetahuan tentang kejahatan. secara etimologis kriminologi berasal dari kata crimen berarti kejahatan dan logos yang artinya pengetahuan atau ilmu pengetahuan. istilah kriminologi pertama kali digunakan oleh P.Topinard, seorang ahli antropologi Perancis. terjadinya kejahatan dan penyebabnya telah menjadi subyek yang banyak mengundang perdebatan, spekulasi, teoritisasi, penelitian di antara para ahli maupun masyarakat. banyaknya teori yang berusaha menjelaskan tentang masalah kejahatan walaupun teori-teori tersebut banyak dipengaruhi oleh agama, ekonomi, filsafat dan politik.

Menurut E.H. Sutherland, kriminologi adalah seperangkat pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai fenomena sosial, termasuk di dalamnya proses pembuatan undang-undang, pelanggaran undang-undang, dan reaksi terhadap pelanggaran undang-undang. para filosof Yunani kuno seperti Aristoteles dan plato sdh menjelaskan studi tentang kejahatan ini di jaman mereka, khususnya usaha untuk menjelaskan sebab-sebab kejahatan. walaupun studi tentang kejahatan (kriminologi) secara ilmiah dianggap baru lahir pada abad 19, yaitu dengan ditandai lahirnya statistik kriminal di Perancis pada tahun 1826 atau dengan diterbitkannya buku L'Uomo Delinguente tahun 1876 oleh Cesare Lombroso.

Secara umum kriminologi bertujuan mempelajari kejahatan dari berbagai aspek, sehingga pemahaman tentang fenomena kejahatan akan bisa diperoleh dengan baik. berkembangnya kriminologi dan semakin maraknya pemikiran-pemikiran kritis yang mengarah pada studi untuk mempelajari proses-proses pembuatan undang-undang, maka penting bagi mahasiswa fakultas hukum untuk mempelajari kriminologi, agar dapat diperoleh pemahaman yang baik tentang fenomena kejahatan dan juga masalah hukum pada umumnya. pada konferensi tentang pencegahan kejahatan dan tindakan terhadap Delinkuen yang diselenggarakan oleh International Non Govemmental Organizations atas bantuan PBB di Jenewa pada 17 Desember 1952, merokomendasikan agar kriminologi diajarkan di universitas yang lulusannya akan bekerja dalam bidang Hukum.
     
Yang dimaksud dengan aliran pemikiran adalah cara pandang (kerangka acuan, paradigma, perspektif) yang digunakan oleh para kriminolog dalam melihat, menafsirkan, menanggapi dan menjelaskan fenomena kejahatan. Dalam sejarah intelektual, terhadap masalah penjelasan secara umum dapat dibedakan dua cara pendekatan yang mendasar yaitu pendekatan spiritistik atau demonologik dan pendekatan naturalistik, kedua-duanya merupakan pendekatan pada masa kuno maupun modern. Penjelasan spiritistik atau demonologik berdasar pada adanya kekuasaan lain atau spirit (roh). Unsur utama dalam penjelasan spiritistik atau demonologik ini adalah sifatnya yang melampaui dunia empirik; tidak terikat oleh batasan-batasan kebendaan atau fisik, dan beroperasi dalam cara-cara yang bukan menjadi subyek dari kontrol atau pengetahuan manusia yang bersifat terbatas. Pada pendekatan naturalistik, penjelasan yang diberikan lebih terperinci dan bersifat khusus, serta melihat dari segu obyek dan kejadian2 dunia kebendaan dan fisik. Apabila penjelasan spiritistik atau demonologik menggunakan dasar dunia lain untuk menjelaskan apa yang terjadi, maka penjelasan naturalistik menggunakan ide-ide dan penafsiran terhadap obyek-obyek dan kejadian-kejadian serta hubungannya dengan dunia yang ada (nyata). Pendekatan naturalistik dapat dibedakan dalam tiga bentuk sistem pemikiran atau paradigama, yaitu:

1. Kriminologi Klasik
Kriminologi klasik mendasarkan pada pandangan bahwa intelegensi dan rasionalitas merupakan ciri fundamental manusia dan menjadi dasar bagi penjelasan perilaku manusia, baik yang bersifat perorangan maupun yang bersifat kelompok. Kunci kemajuan menurut kriminologi klasik adalah kemampuan kecerdasan atau akal yang dapat ditingkatkan melalui latihan dan pendidikan, sehingga manusia mampu mengontrol dirinya sendiri , baik sebagai individu maupun sebagai suatu masyarakat. Kejahatan didefenisikan sebagai setiap pelanggaran terhadap perbuatan yang dilarang undang-undang pidana, penjahat adalah setiap orang yang melakukan kejahatan. dalam hal ini tugas kriminologi adalah menbuat pola dan menguji sistem hukuman yang dapat meminimalkan terjadinya kejahatan. dalam literatur kriminologi, pemikiran klasik (dan neo klasik) maupun positif merupakan ide-ide yang penting dalam usaha untuk memahami dan mencoba berbuat sesuatu terhadap kejahatan. Cesare Beccaria (1738-1794) adalah orang yang sangat terkenal dari mazhab klasik.

2. Kriminolgi Positif
kriminologi Positif bertolak pada pandangan bahwa perilaku manusia ditentukan oleh faktor-faktor di luar kontrolnya, baik yang berupa faktor biologis maupun kultural. ini berarti, manusia bukan mahkluk yang bebas untuk menuruti dorongan keinginannya dan intelegensinya, akan tetapi mhkluk yang dibatasi atau ditentukan perangkat biologisnya dan situasi kulturalnya. manusia berubah dan berkembang bukan semata-mata karena intelegensinya, akan tetapi melalui proses yang berjalan secara perlahan-lahan dari aspek biologisnya atau evolusi kultural. aliaran positif dapat dipandang sebagai yang pertama kali dalam bidang kriminologi yang menformulasikan dan menggunakan cara pandang, metodologi, dan logika dari ilmu pengetahuan alam di dalam mempelajari perbuatan manusia. Dasar yang sesungguhnya dari positivisme dalam kriminologi adalah konsep tentang sebab kejahatan yang banyak (multiple factor causation), yakni faktor-faktor yang alami atau yang dibawa manusia dan dunianya, yang sebagian bersifat biologis dan sebagian karena pengaruh lingkungan.

3. kriminologi Kritis
Pemikiran kritis yang lebih dikenal dalam berbagai disiplin ilmu, seperti politik, ekonomi, sosiologis, dan filsafat, muncul pada dasawarsa terkhir ini. Aliran pemikiran kritis tidak berusaha menjawab pertanyaan apakah perilaku manusia itu bebas atau ditentukan, akan tetapi lebih mengarahkan pada mempelajari proses-proses manusia dalam membangun dunianya dimana dia hidup. kriminologi kritis, misalnya berpendapat bahwa fenomena kejahatan sebagai konstruksi sosial, artinya apabila masyarakat mendefenisikan tindakan tertentu sebagai kejahatan, maka orang-orang tertentu dan tindakan-tindakan mungkin pada waktu tertentu memenuhi batasan sebagai kejahatan. Kriminolgi kritis mempelajari proses-proses dimana kumpulan tertentu dari orang-ornag dan tindakan-tindakan ditunjuk sebagai kriminal pada waktu dan tempat tertentu. Kriminologi kritis bukan sekedar mempelajari perilaku dari orang-orang yang didefenisikan sebagai kejahatan, akan tetapi juga perilaku dari agen-agen control social (aparat penegak hukum).

Arti Kriminolgi bagi Hukum Pidana
sejak kelahirannya, hubungan kriminologi dengan hukum pidana sangat erat, artinya hasil-hasil penyelidikan kriminologi dapat membantu pemerintah dalam menangani masalah kejahatan, terutama melalui hasil-hasil studi di bidang etiologi kriminal dan penologi (ilmu yang berkenaan dengan kepenjaraan). Disamping itu, dengan penelitian kriminologi dapat dipakai untuk membantu pembuatan undang-undang pidana (kriminalisasi) atau pencabutan undang-undang (dekriminalisasi, sehingga kriminologisering disebut  sebagai "signal-wetenschap". Bahkan aliran modern yang diorganisasikan oleh von liszt menghendaki kriminologi begabung dengan hukum pidana sebagai ilmu bantunya agar bersma-sama menangani hasil penyelidikan kriminal sehingga memungkinkan memberikan petunjuk jitu terhadap penanganan hukum pidana dan pelaksanaannya, yang semuanya ditujukan untuk melindungi warga negara yang baik dari penjahat. Terhadap kriminalisasi, H. Mannheim memberikan pandangannya bahwa terdapat berbagai bentuk perbuatan anti sosial yang tidak dijadikan tindak pidana dan banyak diantaranya yang seharusnya tidak boleh dijadikan tindak pidana karena tiga alasan :
1. Efesiensi dalam menjalankan undang-undang pidana banyak tergantung pada adanya dukungan dari masyarakat luas, sehingga harus diselidiki apakah tentang kelakuan yang bersangkutan itu ada sikap yang sama dalam masyarakat.
2. Sekalipun ada sikap yang sama, maka harus diselidiki pula apakah tingkah laku yang bersangkutan merupakan tingkah laku yang penindakannya secara teknis sangat sulit atau tidak. Sebab apabila ini terjadi, akan menimbulkan manipulasi dalam pelaksanaannya.
3. Perlu diingat pula apakah tingkah laku yang bersangkutan sebenarnya merupakan sesuatu yang tidak sesuai untuk dijadikan obyek hukum pidana, artinya apakah nantinya tidak terlalu banyak mencampuri kehidupan pribadi atau individu.

Kriminologi khususnya sebagai pengaruh pemikiran kritis yang mengarahkan studinya pada proses-proses (kriminalisasi), baik proses pembuatan maupun bekerjanya undang-undang, dapat memberikan sumbangan besar di bidang sistem peradilan, khususnya berupa penelitian tentang penegakan hukum, akan dapat digunakan untuk memperbaiki bekerjanya aparat penegak hukum, seperti untuk memberikan perhatian terhadap hak-hak terdakwa maupun korban kejahatan, organisasi (birokrasi) penegakan hukum serta perbaikan terhadap perundang-undangan itu sendiri.

Sejarah Perkembangan Pengertian Kejahatan

Menurut asalnya tidak ada pembatasan secara resmi dan juga tidak ada campur tangan penguasa terhadap kejahatan, melainkan kejahatan semata-mata dipandang sebagai persoalan pribadi atau keluarga. individu yang merasa dirinya menjadi korban perbuatan orang lain, akan mencari balas terhadap pelakunya atau keluarganya. Konsep peradilan ini dapat ditemui pada perundang-undangan lama, seperti Code Hammurabi (1900 SM), perundang-undangan Romawi Kuno (450 SM) dan pada masyarakat Yunani kuno, seperti curi sapi bayar sapi. konsep pembalasan ini juga terdapat pada Kitab Perjanjian Lama: eye for eye.

kemudian konsep ini bekembang untuk pebuatan-perbuatan yang ditujukan kepada raja seperti penghianatan, sedangkan terhadap perbuatan-perbuatan yang ditujukan kepada individu masih menjadi urusan pribadi. Seiring berjalannya waktu maka kemudian kejahatan menjadi urusan raja (sekarang negara) yaitu dengan mulai berkembangnya apa yang disebut sebagai parents patriae. Konsekuensi selanjutnya dengan dioper tugas ini oleh negara maka main hakim sendiri dilarang. Pada abad ke 18 munculah para penulis yang kemudian disebut sebagai mazhab klasik, sebagai reaksi atas ketidakpastian hukum dan ketidakadilan serta kesewenang-wenangan penguasa pada waktu ancient regime. Mahzab klasik ini mengartikan kejahatan sebagai perbuatan yang melanggar undang-undang. Ajaran yang terpenting adalah doktrin nullum crimen sine lege yang bererti tidak ada kejahatan apabila undang-undang tidak menyatakan perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang dilarang. Takut terhadap timbulnya ketidakpastian dan timbulnya kesewenang-wenangan dari penguasa (hakim), maka mahzab ini berpendapat, hakim hanyalah sebagai mulut/corong undang-undang saja (legisme). Lama kelamaan timbul ketidakpuasan terhadap ajaran mahzab ini dan pada akhir abad ke-19 muncullah pandangan baru yang lebih menitikberatkan pada pelakunya dalam studi terhadap kejahatan. Mahzab ini muncul diantara para penstudi kejahatan di Italia yang kemudian disebut sebagai mahzab positif. mahzab ini dipelopori oleh C. Lambroso seorang ahli ilmu kedokteran kehakiman. aliran ini berusaha untuk mengatasi relativitas dari hukum pidana dengan mengajukan konsep kejahatan yang non hukum, serta mengartikan kejahatan sebagai perbuatan yang melanggar hukum alam (natural law).

Dalam perkembangan selanjutnya, konsep kejahatan yang non hukum tersebut banyak menguasai para sarjana kriminologi di Amerika terutama sampai pertengahan abad ke 20. Beberapa kritik  yang diajukan terhadap mahzab tersebut antara lain oleh Ray Jeffery yang menyatakan bahwa dalam mempelajari kejahatan harus dipelajari dalam kerangka hukum pidana sebab dari hukum pidana kita dapat mengetahui dengan pasti dengan kondisi yang bagaimanakah suatu tingkah laku dipandang sebagai kejahatn dan bagaimana peraturan perundang-undangan berinterksi dengan sistem norma yang lain. George C. Vold mengatakan, dalam mempelajari kejahatan terdapat persoalan rangkap, artinya kejahatan selalu menunjuk pada perbuatan manusia dan juga batasan-batasan atau pandangan masyarakat tentang apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang, apa yang baik dan apa yang buruk, yang semuanya itu terdapat dalam undang-undang, kebiasaan dan adat istiadat.

E. Durkheim, seorang pakar sosiologi menyatakan kejahatn bukan saja normal, dalam arti tidak ada masyarakat tanpa kejahatan bahkan dia menambahkan kejahatan merupakan sesuatu yang diperlukan, sebab ciri masyarakat adalah dinamis, dan perbuatan yang telah menggerakan masyarakat tersebut pada mulanya seringkali disebut sebagai kejahatan, misalnya dengan dijatuhkannya hukuman mati terhadap Socrates dan Galileo-Galilea atas buah pikirannya. Perlu ditegaskan bahwa kejahatan bukanlah fenomena alamiah, malainkan fenomena sosial dan historis, sebab tindakan menjadi kejahatan haruslah dikenal, diberi cap dan ditanggapi sebagai kejahatan, di sana harus ada masyarakat yang normanya, aturannya dan hukumnya dilanggar, disamping adanya lembaga yang tugasnya menegakkan norma-norma dan menghukum pelanggarnya.

Kejahatan dan Hubungannya dengan Norma-norma

Hubungan kejahatan dengan Hukum (undang-undang)
Bagaimanapun juga kejahatan terutama merupakan pengertian hukum, yaitu perbuatan manusia yang dapat dipidana oleh hukum pidana. Tetapi kejahatan bukan semata-mata merupakan batasan undang-undang, artinya ada perbuatan-perbuatan tertentu yang oleh masyarakat dipandang sebagai jahat, tetapi oleh undang-undang tidak menyatakan sebagai kejahatan (tidak dinyatakan sebagai tindak pidana), begitu pula sebaliknya. Dalam hukum pidana orang seringkali membedakan antara delik hukum (rechtsdelicten atau mala per se), khususnya tindak pidana yang disebut 'kejahatan' (buku II KUHP) dan delik undang-undang (wetsdelicten atau mala probibita) yang berupa 'pelanggaran' (buku III KUHP) mengenai perbedaan antara mala per se dengan mala probibita dewasa ini banyak dipertanyakan orang, yaitu apakah semua tindak pidana itu sebenarnya adalah merupakan mala probibita, artinya perbuatan-perbuatan tertentu merupakan kejahatan oleh karena perbuatan tersebut oleh undang-undang ditunjuk atau dijadikan kejahatan (tindak pidana).
Oleh karena pandangan orang mengenai hubungan antara undang-undang dengan organisasi sosial mempunyai pengaruh yang penting dalam penyelidikan kriminologi selanjutnya, maka perlu diketahui pandangan-pandangan yang ada mengenai hubungan antara keduanya. Secara umum terdapat tiga perspektif mengenai pembentukan undang-undang yang dapat dipakai untuk menjelaskan antara hubungan hukum (undang-undang) dengan  masyarakat yaitu model konsesus, pluralis, dan konflik. Masing-masing model tersebut mencerminkan perbedaan pandangan mengenai asal pembuatan aturan dan nilai-nilai dasar kehidupan sosial. Penerapan undang-undang dipandang sebagai pembenaran hukum yang mencerminkan keinginan kolektif. Apabila model konsesus menganggap adanya persetujuan umum atas kepentingan dari nilai-nilai dasar manusia, sebaliknya model pluralis menyadari adanya keanekaragaman kelompok-kelompok sosial yang mempunyai perbedaan dan persaingan atas kepentingan dan nilai-nilai. Menyadari kebutuhan akan adanya mekanisme penyelesaian konflik, orang-orang sepakat terhadap struktur hukum yang dapat menyelesaikan konflik-konflik tersebut tanpa membahayakan kesejahteraan masyarakat. Menurut perspektif tersebut, konflik timbul karena adanya ketidaksetujuan dalam substansinya, akan tetapi mereka setuju mengenal asal dan bekerjanya hukum. Sebagai model untuk mempelajari hukum dan masyarakat, perspektif konflik menekankan pada adanya paksaan dan tekanan yang berasal dari sistem hukum. Sistem hukum tidak dipandang sebagai alat yang netral untuk menyelesaikan perselisihan, tetapi sebagai mekanisme yang diciptakan oleh kelompok politis yang paling berkuasa untuk melindungi dan mencapai kepentingan-kepentingannya sendiri. hukum bukan saja untuk melayani pencapaian kepentingan-kepentingan tertentu bagi kelompok yang memiliki kekuasaan, akan tetapi juga kepentingan mereka untuk mempertahankan kekuasaannya.

Hubungan Kejahatan dengan Norma-Norma Yang lain


Secara teknik yuridis, istilah kejahatan hanya digunakan untuk menunjukan perbuatan-perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan sebagai tindak pidana, akan tetapi bagi kriminologi harus ada kebebasan untuk memperluas studinya di luar batasan pengertian yuridis, bukan saja untuk dapat digunakan sebagai petunjuk dalam menelusuri apa yang dipandang sebagai kejahatan, namun juga munculnya pemikiran yang menghasilkan model konflik dalam pembentukan undang-undang kritis yang menghasilkan model konflik dalam pembentukan undang-undang sebagiamana disebutkan diatas. Di samping itu, hukum tidak lain merupakan salah satu norma di antara sistem norma yang lain yang mengatur tingkah laku manusia atau dalam bahasa psikoanalisa hanya sebagai suatu tabu di antara tabu-tabu yang lain, yaitu norma agama, kebiasaan dan moral.

Ruang Lingkup Obyek Studi Kriminologi
Menurut Sutherland, kriminologi terdiri dari tiga bagian utama, yaitu :
1. Etiologi kriminal, yaitu usaha secara ilmiah untuk mencari sebab-sebab kejahatan.
2. Penologi, yaitu pengetahuan yang mempelajari tentang sejarah lahirnya hukuman, perkembangannya serta arti dan faedahnya.
3. Sosiologi hukum (pidana), yaitu analisis ilmiah terhadap kondisi-kondisi mempengaruhi perkembangan hukum pidana.

Telah diuraikan di atas mengenai aliran-aliran pemikiran, maka obyek studi kriminologi adalah :
1. kejahatan, yaitu perbuatan yang disebut sebagai kejahatan. Apakah yang dimaksud dengan kejahatan? dalam hal ini yang dipelajari terutama adalah peraturan perundang-undangan (pidana), yaitu norma-norma termuat di dalam peraturan pidana. Meskipun kriminologi terutama mempelejari perbuatan-perbuatan yang oleh undang-undanng dinyatakan sebagai tindak pidana, naman perkembangan kriminologi setelah tahun 1960-an khususnya studi sosiologi terhadap peraturan perundang-undangan pidana telah menyadarkan bahwa dijadikannya perbuatan tertentu sebagai kejahatan (tindak pidana) tidak semata-mata dipengaruhi oleh besar kecilnya kerugian yang ditimbulkannya atau karena bersifat amoral, melainkan lebih dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan (politik). sebagai akibatnya kriminologi memperluas studinya terhadap perbuatan-perbuatan yang dipandang sangat merugikan masyarakat luas, baik kerugian materi maupun kerugian/bahaya terhadap jiwa dan kesehatan manusia, walaupun tidak diatur dalam undang-undang pidana. Sejalan dengan itu, konggres ke-5 tentang pencegahan kejahatan dan pembinaan pelanggar hukum, yang diselenggarakan oleh PBB pada bulan september 1975 di Jenewa memberikan rekomendasi dengan memperluas pengertian kejahatan terhadap tindakan penyalahgunaan kekuasaan ekonomi secara melawan hukum (illegal abuses of economic power) seperti pelanggaran terhadap peraturan perburuhan, penipuan konsumen, pelanggaran terhadap peraturan lingkungan, penyelewengan dalam bidang pemasaran dan perdagangan oleh perusahaan-perusahaan transnasional, pelanggaran terhadap peraturan pajak, dan terhadap penyalahgunaan kekuasaan  umum secara melawan hukum (illegal abuses of publik power) seperti pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia, penyalahgunaan wewenang oleh alat penguasa, misalnya penangkapan dan penahanan yang melanggar hukum.

2. Pelaku, yaitu orang yang melakukan kejahatan atau sering disebut "penjahat". Studi terhadap pelaku ini terutama dilakukan oleh kriminologi positivis dengan tujuan untuk mencari sebab-sebab orang melakukan kejahatan. Dalam mencari sebab-sebab kejahatan, kriminologi positivis menyadarkan pada asumsi dasar bahwa penjahat berbeda dengan bukan penjahat, perbedaan tersebut pada aspek biologis, psikologik maupun sosio-kultural. Oleh karena itu, dalam mencari sebab-sebab kejahatan biasanya dilakukan terhadap narapidana atau bekas narapidana dengan cara mencarinya pada ciri-ciri biologisnya (determinis biologis) dan aspek kultural (determinis kultural). Keberatan yang utama terhadap kriminologi positivis adalah bukan saja asumsi dasar tersebut tidak pernag terbukti, akan tetapi juga karena kejahatan adalah kontruksi sosial, artinya perbuatan tertentu diberlakukan sebagai kejahatan karena perbuatan tersebut ditunjuk sebagai kejahatan oleh masyarakat, yang selalu terjadi dalam konteks. Di samping itu, cara studi tersebut mengandung beberapa kelemahan antara lain :
(a) Sebagai sampel dianggap kurang valid, sebab mereka tidak mewakili populasi penjahat yang ada dimasyarakat secara representatif.
(2) Terhadap pelaku-pelaku kejahatan tertentu yang berasal dari kelompok atau lapisan sosial tertentu yang cukup besar jumlahnya, akan tetapi hampir tidak pernah di penjara. Hal ini misalnya ditunjukan oleh Sutherland dalam penelitiannya terhadap kejahatan white-collar, dimana kurang dari 10 % kasus kejahatan white-collar yang diproses melalui peradilan pidana.
(3) Undang-undang pidana yang bersifat berat sebelah.
(4) Maraknya kejahatan korporasi yang dilakukan oleh korporasi, dimana sosok korporasi berbeda dengan manusia.

Di dalam perkembangannya, studi terhadap pelaku diperluas dengan studi tentang korban kejahatan. Hal ini sebagai pengaruh dari tulisan Hans von Hentig dan B. Mendehlsohn dalam bukunya " The Criminal and his Victim" (1949). von Hentig menunjukan bahwa di dalam kejahatan-kejahatan tertentu korban mempunyai peranan yang sangat penting dalam terjadinya kejahatan. Studi tentang korban ini kemudian berkembang pesat dan muncullah Viktimologi yaitu pengetahuan yang membahas masalah korban dengan segala aspeknya. Pada permulaannya, beberapa sarjana antara lain: B. Mendehlsohn menghendaki viktimologi terlepas dari kriminologi, akan tetapi dengan berkembangannya kriminologi tahun 60-an, yaitu lahirnya "kriminologi hubungan-hubungan" adalah kurang beralasan untuk melepaskan viktimologi dan kriminologi.

3. Reaksi masyarakat terhadap kejahatan dan pelaku. Studi mengenai reaksi masyarakat terhadap kejahatan bertujuan untuk mempelajari pandangan serta tanggapan masyarakat terhadap perbuatan-perbuatan atau gejala yang timbul di masyarakat yang di pandang sebagai merugikan atau membahayakan masyarakat luas, akan tetapi undang-undang belum bisa mengaturnya. Berdasarkan studi ini bisa dihasilkan apa yang disebut sebagai kriminalisasi, deskriminalisasi atau depenalisasi. Studi mengenai reaksi masyarakat terhadap kejahatan ini bagi masyarakat kita sangat penting antara lain karena KUHP kita merupakan peninggalan pemerintah kolonian. Masyarakat kita yang terdiri dari berbagai suku dengan nilai-nilai sosialnya yang berbeda-beda, adanya wilayah yang sangat luas dengan tingkat kemajuan yang berbeda-beda, serta pengaruh industrialisasi dan perdagangan pada dasawarsa terakhir ini telah memunculkan fenomena/kejahatan yang baru. (http://pipi-megawati.blogspot.co.id/)

Comments

Popular posts from this blog

Kekerasan di Perkotaan

Kisah Seorang Preman Kupang (1)

Temuan Riset: Kepolisian dan Pemerintah Daerah Tidak Paham Apa itu Ujaran Kebencian