KEJAHATAN TRANSNASIONAL



Kejahatan  lintas negara (transnational crimes) dewasa ini dipandang sebagai salah satu ancaman serius terhadap keamanan global. Pada lingkup multilateral, konsep yang dipakai adalah Transnational Organized Crimes (TOC) yang disesuaikan dengan instrumen hukum internasional yang telah disepakati tahun 2000 yaitu Konvensi PBB mengenai Kejahatan Lintas Negara Terorganisir (United Nations Convention on Transnational Organized Crime-UNTOC).
Kejahatan lintas negara memiliki karakteristik yang sangat kompleks sehingga sangat penting bagi negara-negara untuk meningkatkan kerjasama internasional untuk secara kolektif menanggulangi meningkatnya ancaman kejahatan lintas negara tersebut.
Konvensi PBB mengenai Kejahatan Lintas Negara Terorganisir (United Nations Convention on Transnational Organized Crime-UNTOC) yang telah diratifikasi Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional Yang Terorganisasi) menyebutkan sejumlah kejahatan yang termasuk dalam kategori kejahatan lintas negara terorganisir, yaitu pencucian uang, korupsi, perdagangan gelap tanaman dan satwa liar yang dilindungi, kejahatan terhadap benda seni budaya (cultural property), perdagangan manusia, penyelundupan migran serta produksi dan perdagangan gelap senjata api. Konvensi juga mengakui keterkaitan yang erat antara kejahatan lintas negara terorganisir dengan kejahatan terorisme, meskipun karakteristiknya sangat berbeda. Meskipun kejahatan perdagangan gelap narkoba tidak dirujuk dalam Konvensi, kejahatan ini masuk kategori kejahatan lintas negara terorganisir dan bahkan sudah diatur jauh lebih lengkap dalam tiga Konvensi terkait narkoba11sebelum disepakatinya UNTOC.
Perkembangan kualitas tindak pidana atau kejahatan menunjukan bahwa batas- batas teritorial antara satu negara dan negara lain di dunia, baik dalam satu kawasan maupun berbeda kawasan sudah semakin menghilang. Pada dewasa ini, hampir dapat dipastikan bahwa semua jenis atau bentuk kejahatan tidak dapat lagi hanya dipandang sebagai yuridiksi kriminal suatu negara, akan tetapi sering diklaim termasuk yuridiksi kriminal lebih dari satu atau dua negara, sehingga dalam perkembangannya kemudian telah menimbulkan masalah konflik yuridiksi yang sangat mengganggu hubungan internasional antarnegara yang berkepentingan di dalam kasus tindak pidana tertentu yang bersifat lintas batas teritorial.
Sejumlah asumsi tentang kejahatan transnasional dapat ditemukan dibanyak publikasi saat ini. Asumsi yang paling penting adalah: (1) kejahatan transnasional pada dasarnya merupakan suatu fenomena baru yang muncul pada 1990-an, (2) untuk sebagian besar terhubung dengan skala besar organisasi kriminal yang sering memiliki latar belakang etnis tertentu, (3) dan secara teratur bekerja bersama-sama dengan organisasi kriminal di negara lain, (4) kejahatan transnasional terutama disebabkan oleh proses globalisasi selama tiga dekade terakhir dan (5) merembes ke dalam bisnis yang sah dan pemerintah.
Berbagai asumsi di atas akan digunakan untuk merefleksi fenomena kejahatan transnasional. Jika kita cermati, berbagai asumsi ini tidak selalu tampak rasional, karena terbuka berbagai perubahan yang terjadi sehubungan dengan perkembangan kejahatan transnasional itu sendiri. Berbagai asumsi tersebut dapat digunakan untuk mengkonfirmasi pengamatan Letzia Paoli, yang mengatakan bahwa persepsi (transnasional) kejahatan terorganisir tercemar oleh kepanikan moral, dan “isu-isu yang dibentuk oleh kepanikan moral tidak mungkin ditangani dengan cara rasional”. Yang pasti, asumsi tidak harus dilihat sebagai unsur dari perspektif standar tentang kejahatan transnasional.
Proses  umum globalisasi dekade terakhir memberikan penjelasan utama bagi munculnya kejahatan transnasional. Karena liberalisasi pasar dan penurunan kepentingan perbatasan antar negara, kejahatan transnasional telah meningkat secara dramatis. Asumsi ini sampai batas tertentu menyederhanakan penyebab dan perkembangan kejahatan transnasional. Hal itu sudah menunjukkan bahwa kejahatan transnasional selalu terjadi. Bagaimanapun, kejahatan transnasional tidak hanya terjadi karena orang, barang dan jasa bisa menyeberang perbatasan. Mereka hanya melintasi perbatasan ketika ada alasan untuk itu. Hal yang memungkinkan terjadinya kejahatan transnasional adalah bahwa barang-barang tertentu yang tersedia di beberapa negara dan tidak pada negara lain (meskipun ada permintaan untuk mereka), atau bahwa perbedaan harga membuat penyelundupan menguntungkan. Jika alasan seperti itu ada, dan peluang transportasi meningkat maka lalu lintas dapat membuat arus perdagangan kejahatan transnasional lebih mudah.
Namun, beberapa aspek globalisasi sebenarnya dapat mengurangi penyebab kejahatan transnasional. Liberalisasi pasar, misalnya, menyebabkan deregulasi arus modal di banyak negara. Hal ini menyebabkan penurunan otomatis dalam pelarian modal, karena banyak kegiatan yang pernah dicap sebagai pelarian modal sekarang menjadi transaksi keuangan legal melintasi perbatasan internasional. Di sisi lain, kejahatan transnasional banyak disebabkan atau setidaknya dirangsang oleh negara-negara yang mempertahankan undang-undang yang berbeda sehubungan dengan komoditas tertentu. Skala penyelundupan rokok saat ini, misalnya, tidak bisa dibayangkan ketika negara-negara yang sama tidak akan mempertahankan perbedaan besar seperti di bidang perpajakan. Harmonisasi peraturan antar negara, sebagai bagian dari proses globalisasi, bisa membatalkan setidaknya sebagian dari eksternalitas negatif (seperti kejahatan transnasional) dari proses globalisasi.
 Beberapa penjelasan mengenai contoh kejahatan transnasional :
1.      pencucian uang (money laudry)
adalah suatu upaya perbuatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang/dana atau Harta Kekayaan hasil tindak pidana melalui berbagai transaksi keuangan agar uang atau Harta Kekayaan tersebut tampak seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah/legal.
Pada umumnya pelaku tindak pidana berusaha menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang merupakan hasil dari tindak pidana dengan berbagai cara agar Harta Kekayaan hasil kejahatannya sulit ditelusuri oleh aparat penegak hukum sehingga dengan leluasa memanfaatkan Harta Kekayaan tersebut baik untuk kegiatan yang sah maupun tidak sah. Oleh karena itu, tindak pidana Pencucian Uang tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan, melainkan juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pencucian Uang umumnya dilakukan melalui 3 (tiga) langkah tahapan: langkah pertama yakni uang/dana yang dihasilkan dari suatu kegiatan tindak pidana/kejahatan di ubah ke dalam bentuk yang kurang atau tidak menimbulkan kecurigaan melalui penempatan kepada sistem keuangan dengan berbagai cara (tahap penempatan/placement); langkah kedua adalah melakukan transaksi keuangan yang kompleks, berlapis dan anonim dengan tujuan memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya ke berbagai rekening sehingga sulit untuk dilacak asal muasal dana tersebut yang dengan kata lain menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan hasil tindak pidana tersebut (tahap pelapisan/layering); langkah ketiga (final) merupakan tahapan dimana pelaku memasukkan kembali dana yang sudah kabur asal usulnya ke dalam Harta Kekayaan yang telah tampak sah baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam berbagai bentuk kekayaan material maupun keuangan, dipergunakan untuk membiayai kegaiatan bisnis yang sah ataupun untuk membiayai kembali kegiatan tindak pidana (tahap integrasi).
2.      perdagangan gelap tanaman dan satwa liar yang dilindungi
Kegiatan perdagangan tumbuhan dan satwa liar, sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan yang berlaku, dan CITES, secara umum mengikuti tahapan penentuan kuota, perizinan perdagangan tumbuhan dan satwa liar, dan pengawasan peredaran tumbuhan dan satwa liar sebagai suatu sitem dalam pengendalian perdagangan tumbuhan dan satwa liar, sebagai berikut :
  1. Kuota
Perdagangan jenis tumbuhan dan satwa liar diawali dengan penetapan kuota pengambilan/penangkapan tumbuhan dan satwa liar dari alam. Kuota merupakan batas maksimal jenis dan jumlah tumbuhan dan satwa liar yang dapat diambil dari habitat alam. Penetapan kuota pengambilan/penangkapan tumbuhan dan satwa liar didasarkan pada prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dan dasar-dasar ilmiah untuk mencegah terjadinya kerusakan atau degradasi populasi (non-detriment finding) sebagaimana tertuang dalam Article IV CITES. Kuota ditetapkan oleh Direktur Jenderal PHKA berdasarkan rekomendasi LIPI untuk setiap kurun waktu satu tahun. takwim untuk spesimen baik yang termasuk maupun tidak termasuk dalam daftar Appendix CITES, baik jenis yang dilindungi maupun tidak dilindungi. Dalam proses penyusunan kuota disadari bahwa ketersediaan data potensi tumbuhan dan satwa liar yang menggambarkan populai dan penyebaran setiap jenis masih sangat terbatas. Untuk itu peranan lembaga swadaya masyarakat dan perguruan tinggi akan sangat berarti dalam membantu informasi mengenai potensi dan penyebaran jenis tumbuhan dan satwa liar yang dimanfaatkan.
  1. PerizinanPerdagangan jenis tumbuhan dna satwa liar hanya dapat
dilakukan oleh Badan Usaha yang didirikan menurut hukum Indonesia, dan mendapat izin dari Pemerintah (Departemen Kehutanan c.q Direktorat Jenderal PHKA).
Menurut Keputusan Menteri Kehutanan No. 477/Kpts-II/2003, dikenal tiga jenis izin perdagangan tumbuhan dan satwa liar, yaitu :
    1. izin mengambil atau menangkap tumbuhan dan satwa liar, yang diterbitkan BKSDA,
    2. izin sebagai pengedar tumbuhan dan satwa liar Dalam Negeri, yang diterbitkan BKSDA, dan
    3. izin sebagai pengedar tumbuhan dan satwa liar ke dan dari Luar Negeri, yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal PHKA.
  1. Perdagangan TSL
Untuk menunjukkan legalitas peredaran tumbuhan dan satwa liar untuk tujuan perdagangan, kepada setiap pedagang diwajibkan memiliki dokumen berupa Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Liar Dalam Negeri (STAS-DN), untuk meliput peredaran tumbuhan dan satwa liar di dalam negeri. Dan S urat Angkut Tumbuhan dan Satwa Liar Luar Negeri (SATS-LN), untuk meliput peredaran tumbuhan dan satwa liar ke luar negeri (ekspor)/CITES export permit, dari luar negeri (impor)/CITES import permit, dan pengiriman lagi ke luar negeri (re-ekspor)/CITES re-export permit. Dokumen tersebut memuat informasi mengenai jenis dan jumlah tumbuhan dan satwa liar yang diangkut, nama dan alamat pengirim, serta asal dan tujuan pengiriman.
  1. Pengawasan dan Pembinaan Perdagangan TSL
Dilakukan mulai dari tingkat kegiatan pengambilan atau penangkapan spesimen tumbuhan dan satwa liar, pengawasan peredaran dalam negeri, dan pengawasan ke dan dar i luar negeri. Pengawasan penangkapan tumbuhan dan satwa liar di alam dilakukan dengan tujuan agar pemanfaatan sesuai dengan izin yang diberikan (tidak melebihi kuota tangkap), penangkapan dilakukan dengan tidak merusak habitat atau populasi di alam, dan untuk spesimen yang dimanfaatkan dalam keadaan hidup, tidak menimbulkan banyak kematian yang disebabkan oleh cara pengambilan atau penangkapan yang tidak benar. Disamping itu, dalam rangka pengendalian perdagangan tumbuhan dan satwa liar, Ditjen PHKA beserta BKSDA melakukan pembinaan kepada para pengambil tumbuhan dan penangkap satwa liar, pengedar tumbuhan dan satwa liar dalam negeri, pengedar tumbuhan dan satwa liar luar negeri, dan para asosiasi pemanfaat tumbuhan dan satwa liar. Namun demikian, pengawasan terhadap berbagai aktivitas diatas, mulai dari penangkapan di habitat alam, pengiriman di dalam negeri dan pengiriman ke luar negeri, adalah pekerjaan yang tidak mudah. Untuk itu kerjasama dan koordinasi antara Ditjen PHKA dan BKSDA dengan instansi terkait seperti Bea Cukai, Balai Karantina, dan Kepolisian serta masyarakat (lembaga swadaya masyarakat) sangat penting.
5.      Perdagangan TSL Illegal
Pengaturan perdagangan tumbuhan dan satwa liar yang dijalankan berdasarkan peraturan perundangan nasional dan CITES, adalah dalam upaya memanfaatkan potensi tumbuhan dan satwa liar secara lestari. Dibalik itu, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa perdagangan tumbuhan dan satwa liar ilegal juga terjadi baik di tingkat nasional maupun internasional.
Tumbuhan dan satwa liar yang yang menjadi sasaran perdagangan ilegal mengancam lebih parah kelestarian suatu jenis tumbuhan dan satwa liar, karena pada umumnya dari jenis-jenis yang berdasarkan hukum nasional termasuk dalam katagori dilindungi, atau masuk dalam katagori Appendix I CITES. Beberapa jenis satwa liar yang diperdagangkan secara ilegal yang masuk dalam dua katagori itu, yaitu dilindungi dan masuk Appendix I CITES, diantaranya adalah orangutan, harimau sumatera, gajah, dan badak. Perburuan liar terhadap jenis-jenis tersebut dilakukan untuk tujuan peliharaan, kulit, taring, dan gading/cula.
Dalam ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) No. 8 Tahun 1999 dan CITES, pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar dilindungi dan terdaftar dalam Appendix I CITES dimungkinkan dilakukan, melalui upaya penangkaran. Tumbuhan dan satwa liar dilindungi dapat dimanfaatkan melalui upaya penangkaran, setelah hasil penangkaran mencapai generasi kedua (F2), dan unit usaha penangkarannya telah terdaftar di Sekretariat CITES. Namun demikian perdagangan tumbuhan dan satwa liar dilindungi dan terdaftar dalam Appendix I CITES dari hasil penangkaran, di Indonesia tidak banyak dilakukan, kecuali untuk jenis arwana dan beberapa jenis burung. Faktanya adalah perdagangan tumbuhan dan satwa liar dilindungi dan terdaftar dalam Appendix I CITES yang diambil dari habitat alam masih terjadi, baik untuk perdagangan di dalam negeri dan perdaganagan ke luar negeri. Tentu saja, perburuan ilegal ini semakin mengancam keberadaan populasi jenis tumbuhan dan satwa liar yang dihabitat alam sudah semakin sedikit, dengan habitat yang semakin terbatas. Langkah penting untuk mengatasi perburuan ilegal adalah melakukan penegakan hukum secra tegas, dan mengembangkan secara terus menerus teknik/metoda penangkaran tumbuhan dan satwa liar dilindungi dan terdaftar dalam Appendix I CITES.
3.      Perdagangan Manusia
Perdagangan manusia adalah segala transaksi jual beli terhadap manusia.
Menurut Protokol Palermo pada ayat tiga definisi aktivitas transaksi meliputi:
  • perikritan
  • perekrutan
  • pengiriman
  • pemindah-tanganan
  • penampungan atau penerimaan orang
Yang dilakukan dengan ancaman, atau penggunaan kekuatan atau bentuk-bentuk pemaksaan lainya, seperti:
  • penculikan
  • muslihat atau tipu daya
  • penyalahgunaan kekuasaan
  • penyalahgunaan posisi rawan
  • menggunakan pemberian atau penerimaan pembayaran (keuntungan) sehingga diperoleh persetujuan secara sadar (consent) dari orang yang memegang kontrol atas orang lainnya untuk tujuan eksploitasi.
Eksploitasi meliputi setidak-tidaknya; pelacuran (eksploitasi prostitusi) orang lain atau lainnya seperti kerja atau layanan paksa, pebudakan atau praktik-praktik serupa perbudakan, perhambaan atau pengambilan organ tubuh.
Dalam hal anak perdagangan anak yang dimaksud adalah setiap orang yang umurnya kurang dari 18 tahun.
4.      Pasar Gelap
Pasar gelap ialah sektor kegiatan ekonomi yang melibatkan transaksi ekonomi ilegal, khususnya pembelian dan penjualan barang dagangan secara tak sah. Barang-barangnya sendiri bisa ilegal, seperti penjualan senjata atau obat-obatan terlarang; barang dagangan bisa curian; atau barang dagangan barangkali sebaliknya merupakan barang resmi yang dijual secara gelap untuk menghindari pembayaran pajak atau syarat lisensi, seperti rokok atau senjata api tak terdaftar. Disebut demikian karena urusan "ekonomi gelap" atau "pasar gelap" dilakukan di luar hukum, dan perlu diadakan "dalam kegelapan", di luar penglihatan hukum. Pasar gelap dikatakan berkembang saat pembatasan tempat negara pada produksi atau syarat barang dan layanan yang berasal dari konflik dengan permintaan pasar. Pasar-pasar itu berhasil baik, kemudian, saat pembatasan negara makin berat, seperti selama pelarangan atau pendistribusian. Bagaimanapun, pasar gelap secara normal hadir dalam ekonomi kapitalisme maupun sosialisme. Istilah pasar gelap dalam bahasa inggris dikenal dengan illicit trade (dulu illegal trade, sekarang berusaha untuk dihapus karena tidak sesuai). (http://semangatmalam.blogspot.co.id/)

Comments

Popular posts from this blog

Kekerasan di Perkotaan

Kisah Seorang Preman Kupang (1)

Temuan Riset: Kepolisian dan Pemerintah Daerah Tidak Paham Apa itu Ujaran Kebencian