KEJAHATAN POLITIK
Seorang PNS yang tak berpengaruh bisa mendapat punishment menyakitkan karena dianggap telah berkampanye, sedangkan kasus raibnya anggaran Negara (APBD dan APBN) dalam dugaan kuat dimanfaatkan untuk kampanye tidak dapat dihentikan kecuali sekadar dicatat dalam ingatan para aktor demokrasi sejati.
Austin T.Turk menyimpulkan bahwa kejahatan politik (political crime) selama ini hanya lebih sering dijadikan sebagai obyek pernyataan bagi para partisan daripada objek penelitian independen dan serius bagi lembaga akademis. Meskipun terdapat gairah sporadis dalam pengembangannya sebagai isyu penting untuk ditelaah, namun faktanya hingga kini sulit untuk membangun sebuah kerangka kelembagaan untuk studi yang serius. Namun demikian, harus diakui kini semakin banyak penelitian yang telah memberikan kontribusi untuk mengartikulasikan isu-isu dalam mendefinisikan kejahatan politik. Juga usaha-usaha serius untuk menggambarkan kasus dan pola resistensi terhadap otoritas politik yang terlihat seperti legal, dan lain-lain.
Apa yang disebut sebagai kejahatan politik dan siapa-siapa saja yang boleh disebut sebagai penjahat akan selalu sukar ditentukan, dan jika pun ditentukan kerap sangat bertentangan dengan akal sehat (common sense). Partai penguasa dan atau penguasa bertanggungjawab sepenuhnya atas kekaburan ini. Sejarah akan mencatat mereka dalam lembaran yang tak akan terlupakan karena pengaruhnya yang begitu destruktif terhadap masyarakat.
Masalah Pendefinisian. Pengertian kejahatan politik dapat dibuat sesempit yang dikehendaki atau seluas yang diinginkan. Ini akan selalu terkait dengan tingkat penawaran hukum dan interpretasi oleh otoritas. Katakanlah misalnya larangan penggunaan jabatan untuk kampanye politik. Seorang PNS yang tak berpengaruh bisa mendapat punishment menyakitkan karena dianggap telah berkampanye, sedangkan kasus raibnya anggaran Negara (APBD dan APBN) dalam dugaan kuat dimanfaatkan untuk kampanye tidak dapat dihentikan kecuali sekadar dicatat dalam ingatan para aktor demokrasi sejati.
Nilai dan citarasa politik pemegang otoritas mempengaruhi konsepsi tentang apa dan siapa yang secara politik dapat disebut penjahat. Karena itu Kittrie dan Wedlock (1998) secara pesimistik menyimpulkan bahwa definisi obyektif dan netral dari kejahatan politik tidak mungkin disepakati. Hubungan relativistik antara motif dan tindakan individu dan perspektif pemerintah terhadap perilaku mereka sendiri dan para pengikutnya membuatnya tidak mungkin.
Resolusi yang paling umum adalah untuk memperluas definisi untuk memasukkan siapa saja yang melakukan tindakan ekstralegal membela atau menyerang struktur otoritas. Misalnya, Roebuck dan Weeber (1978) menganggap bahwa dalam setiap kejahatan politik akan ada tindakan illegal atau ditolak yang dilakukan oleh pemerintah atau agen kapitalistik, atau rakyat, terhadap pemerintah. Tertawalah membaca definisi itu, karena memang sifanya sangat subjektif (ditolak oleh siapa?). Lagi pula kejahatan dapat didefinisikan berbeda pada tingkat yang berbeda pula, dari organisasi politik internasional maupun nasional.
Para pegiat lingkungan telah banyak mendekam dalam penjara ketika mereka memimpin perlawanan terhadap sejumlah proyek kapitalis yang berdampak destruktif terhadap masyarakat mereka. Pemerintah lokal dan nasional, atas kepatuhan terhadap kapitalis asing, menyebut mereka sebagai penjahat. Tetapi rasanya sangat tidak masuk akal, karena faktanya di sejumlah proyek yang bermasalah (misalnya di wilayah tambang Madina, Batangtoru-Tapsel, wilayah geothermal Sarulla, dan wilayah operasional pabrik kertas Porsea), mereka justru telah mengorbankan keselamatan dan kebebasannya sendiri untuk kemaslahatan dan masa depan masyarakat serta lingkungan.
Para pegiat yang berusaha melindungi masyarakat itu telah berulangkali terposisikan kalah telak berhadapan dengan para pengendali pemerintahan yang memerankan diri sebagai komprador yang tidak memiliki integritas. Semua tahu pembangunan wajib berwawasan lingkungan, tetapi isyu ini ternyata hanyalah alat politik yang diatur dengan standar ganda.
Menolak Otoritas? Kalau begitu persepsi siapakah gerangan yang pada akhirnya akan memutuskan apa yang akan disebut sebagai kejahatan politik? Realitas empiris kejahatan politik adalah apa yang didefinisikan oleh mereka dengan kekuatan yang cukup untuk memaksakan persepsi mereka. Sejauh struktur otoritas politik telah ditetapkan, orang dapat berargumentasi bahwa partai-partai yang dominan atau para penguasalah yang memiliki kekuatan untuk menentukan apa yang boleh disebut sebagai kejahatan politik (Turk 1982 dan 1984). Tentulah pandangan ini tidak cukup membantu utuk menjelaskan posisi pihak pemegang otoritas itu sendiri, apakah berstatus sebagai penjahat politik atau tidak.
Di negara yang tak mengalami pertumbuhan demokrasi yang sehat seperti Indonesia, penampilan saja atau potensi resistensi saja mungkin sudah lebih dari cukup bagi otoritas untuk bertindak memberangus. Untuk Indonesia misalnya, setelah UNDP (United Nation Development project) melepas tanggungjawab pembiayaan evaluasi demokrasi Indonesia, kini telah ditangani sendiri meski tetap menggunakan kerangka pikir dan pola yang baku dari UNDP. Kelompok Kerja (Pokja) yang menjadi semacam derivasi semangat dan perpanjangan tangan UNDP tetap saja tidak berselera menyintuh permasalahan money politic yang begitu marak dalam demokrasi proseduralIndonesia.
Mudah mereka memberi argumen yang tak masuk akal bahwa money politic dan jenis kejahatan lain seperti pemanfaatan kekuasaan untuk kepentingan diri sendiri dan atau kelompok sendiri (kasus khas incumbent) sukar diidentifikasi, sedangkan ketidak-netralan penyelenggara dan kecurangan dalam setiap perhitungan suara dapat dengan mudah mereka tunjuk. Isyu-isyu lain dalam mekanisme elektoral sudah didiskusikan secara serius, tetapi tidak money politic. Mengapa?
Shohibul Anshor Siregar. Tulisan ini diinspirasi oleh Austin T Turk (Political Crime) dalamEncyclopedia of Sociology. Naskah ini pertamakali diterbitkan oleh Harian Waspada, Medan, tanggal 14 Januari 2013, hlmB5
(https://nbasis.wordpress.com/)
Comments
Post a Comment