Polemik Revisi UU Terorisme


Pemerintah dan DPR akur merevisi UU Terorisme. Namun sejumlah pegiat HAM mengkhawatirkan revisi itu bakal mengekang kebebasan sipil.
=============

Upaya merevisi Undang-undang Terorisme yang banyak ditentang sejak diungkapkan empat tahun lalu, mendapat momentum baru dari tragedi teror bom di Sarinah, Jakarta, pertengahan Januari lalu. Pemerintah dan DPR pun bersepakat merevisi UU Terorisme.

Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas mengatakan Dewan dan  Pemerintah sepakat memasukkan revisi Undang-Undang (UU) No.15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016 karena sifatnya mendesak.

"Sudah masuk (Prolegnas 2016) atas usulan Pemerintah dilakukan perubahan," katanya di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, belum lama ini.

Dia menjelaskan Pemerintah dan DPR sepakat memasukkan revisi undang-undang itu dalam Prolegnas 2016 saat rapat konsinyering antara DPR, DPD, dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada Rabu (20/1) malam di Wisma DPR, Kopo, Jawa Barat.

Supratman menekankan bahwa revisi hanya akan dilakukan pada UU No.15/2003 yang direvisi. UU No. 9/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme tidak dimasukkan ke Prolegnas 2016 untuk revisi.

Setelah disetujui masuk Prolegnas 2016, dia menjelaskan, pembahasan dan penyusunan revisi Undang-Undang Terorisme akan dilakukan oleh masing-masing komisi.

Tugas Baleg DPR hanya menyusun Prolegnas dan kalau sudah selesai di tingkat satu maka dilakukan harmonisasi UU tersebut, kata dia. "Finalisasi akhir terkait harmonisasi UU agar tidak bertentangan antara UU satu dengan yang lain," katanya.

Revisi UU Terorisme merupakan satu dari 40 undang-undang yang masuk dalam Prolegnas 2016, yang menurut dia sebagian besar merupakan bawaan dari Prolegnas 2015.

Kesepakatan Dewan dan Pemerintah untuk merevisi UU Terorisme itu spontan mengundang reaksi para pegiat hak asasi manusia (HAM). Mereka memperingatkan potensi bahayanya bagi kebebasan sipil.

Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak kekerasan (Kontras), Haris Azhar, mencemaskan bahwa histeria akibat serangan teror di Jakarta yang menewaskan delapan orang, termasuk empat pelaku, itu membuat publik jadi menginginkan apa yang mereka pikir sebagai jalan pintas untuk memperoleh jaminan keamanan melalui revisi UU Terorisme.

Menurut Haris, "sudah sejak mulai diwacanakan sekitar empat tahun lalu, pemerintah selalu menggunakan momentum serangan teror seperti (di Sarinah) ini untuk mengangkat lagi ide merevisi UU Terorisme. Jadi ini lagu lama, sebetulnya."

Kalangan pegiat HAM menyebut gagasan revisi UU itu, jika dilakukan, akan mengancam kebebasan sipil dan kebebasan berpendapat. Dan bisa disalah-gunakan untuk memberangus kalangan yang tak sepaham dengan pemerintah, lebih-lebih di daerah bergolak seperti di Papua.

Dalam pertemuan dengan para pimpinan lembaga negara di Istana Negara Selasa (19/1) Presiden Joko Widodo mengemukakan bahwa revisi itu sedang didiskusikan untuk mengkaji apakah UU sekarang sudah cukup kuat dan efektif dalam mencegah dan memberantas terorisme.

Ketua MPR Zulkifli Hasan menyebutkan bahwa polisi meminta agar hal kewenangan penahanan dan penangkapan dimasukkan dalam revisi. Usulan yang sudah banyak dilontarkan selama beberapa waktu, memang terutama berfokus pada kewenangan tindakan penangkapan dan penahanan, antara lain menyangkut lamanya penahanan sebelum dikenakan status tersangka, seperti dipaparkan Agus Rianto, juru bicara Polri.

"Pendalaman terhadap mereka yang diduga terkait teror itu selama ini 7x24 jam. Nah itu sedapat mungkin bisa ditambah, apakah menjadi 20 hari atau berapa -ini harus dibahas lagi," kata Agus Rianto.

"Yang jelas, (penahanan) tujuh hari itu terlalu singkat. Sementara bukti-bukti yang harus kami kumpulkan juga tidak sedikit, kecuali mereka yang sudah dari awal didapatkan bukti-buktinya yang kuat," kata Agus Rianto pula.

Sebelumnya, Kapolri Badrodin Haiti pernah mengatakan, bahwa langkah pencegahan teror seringkali terhambat karena tak ada dasar hukum. "Untuk menindak, polisi terikat ketentuan bahwa yang bersangkutan harus melakukan pidana," kata Badrodin.

Padahal, kata Badrotin, "seringkali polisi sudah mengetahui potensi orang-orang untuk melakukan aksi teror, tetapi tidak bisa bertindak karena tidak ada pelanggaran hukumnya."

Hal ini disepakati pengamat terorisme Hasibullah Satrawi. "Memang terdapat kekurangan-kekurangan (dalam UU) yang selama ini tidak meng-cover (mencakup) kebutuhan penanggulangan terorisme di lapangan," kata Hasibullah.

Katanya lebih lanjut, "Pertama, bagaimana menyikapi (secara hukum) orang-orang yang bergabung dengan kelompok-kelompok di luar negeri yang sudah dinyatakan sebagai organisasi teroris. Ini harus sudah ada aturan yang lebih detail dalam UU antiterorisme kita."

"Yang kedua, terkait ujaran kebencian, hasutan, penyesatan -bagaimana dengan orang-orang yang mengungkapkan kata-kata yang secara langsung menyebut NKRI adalah thogut, dan sebagainya-bagaimana negara menyikapi orang-orang yang tak mengakui keberadaan negara, dan menyerukan kekerasan untuk itu?" ujar Hasibullah.

Masalahnya penangkapan sewenang-wenang di masa lalu masih membekas di ingatan para pegiat HAM. Koordinator Kontras, Haris Azhar, menyebutkan, "memang di satu sisi, kita harus membatasi penyebaran ekstremisme dan kebencian, dan hasutan. Tetapi tindakan-tindakan hukumnya harus berdasarkan prosedur yang ada ukurannya, yang bisa diuji dan dipertanggungjawabkan siapa pun."

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Maneger Nasution, menyarankan pemerintah sebaiknya menyediakan cukup ruang dan waktu untuk mendengar dan menyerap aspirasi publik sebelum merevisi UU tersebut.

"Ada beberapa prinsip pokok sekira dilakukan revisi UU itu agar pemberantasan tindak pidana terorisme tidak menjadi kontraproduktif," ujar Maneger seperti dikutip Sindonews, Kamis (21/1).

Dia menyampaikan, ada beberapa hal yang perlu diatur secara lebih detail dalam Revisi UU Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pertama, aparat kemanan atau penegak hukum diberikan keleluasaan terukur untuk melakukan tindakan penegakan hukum dalam pemberantasan tindak pidana terorisme, sehingga operasi di lapangan betul-betul terukur dan publik diberi ruang untuk bisa menilai independensi dan profesionalitas aparat kepolisian.

Kedua, kata Maneger, ketika aparat penegak hukum dalam pemberantasan tindak pidana terorisme melakukan salah sasaran penindakan, maka diperlukan rehabilitasi. Menurutnya, aparat penegak hukum berkewajiban meminta maaf kepada keluarga korban salah sasaran penindakan dan kepada publik serta dibarengi dengan melakukan rehabilitasi secara terbuka.

Ketiga, lanjutnya, memberikan kewenangan terukur terhadap pihak kepolisian untuk dapat menangkap atau menahan terhadap terduga teroris atau kombatan yang berasal dari sejumlah daerah konflik.

Maneger menambahkan, keempat adalah penegasan terkait kerja dan wewenang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). "Selama ini, kerja BNPT dinilai campur aduk antara pengambil kebijakan, supervisi, dan operasional," jelasnya.

Kelima, kata dia, pengaturan anggaran melalui APBN. Artinya, pembiayaan personil dan operasi penanganan terorisme oleh BNPT dan Polri-Densus 88 hanya oleh APBN. "Hal-hal seperti di atas yang perlu diatur dengan rumusan yang lebih detail dan jelas sekira ada revisi," tandasnya.

Pengamat terorisme Hasibullah Satrawi memahami kekhawatiran para pegiat HAM itu. "Memang harus dibuat aturan mainnya sedemikian rupa, agar undang-undang yang direvisi itu tidak bisa dimanfaatkan untuk hal-hal yang tidak menjadi tujuannya," kata Hasibullah. Misalnya tak bisa disalahgunakan untuk menumpas gerakan demokrasi di kawasan rawan konflik seperti Papua. (BN)

Comments

Popular posts from this blog

Kekerasan di Perkotaan

Kisah Seorang Preman Kupang (1)

Temuan Riset: Kepolisian dan Pemerintah Daerah Tidak Paham Apa itu Ujaran Kebencian