Menunggu Aksi Restorasi BRG
Kebakaran hutan dan lahan sepanjang 2015
telah menyebabkan banyak kerugian. Terutama kerusakan lahan
gambut. Pemerintah pun merespon dengan membentuk Badan Restorasi Gambut.
=====================
Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB) menaksir
kerugian akibat bencana karhutla dan kabut asap mencapai lebih dari Rp 20
triliun. Sebuah kerugian yang tidak
kecil. Agar bencana kebakaran lahan gambut tak terulang, akhirnya Pemerintah
mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) untuk Badan Restorasi Gambut.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya
Bakar menjelaskan Peraturan
Presiden yang menjadi payung Badan Restorasi Gambut (BRG) adalah Perpres No 1 Tahun 2016, yang
dikeluarkan pada 6 Januari 2016.
"Badan ini bertugas
menata lanskap ekologi yang namanya gambut. Dia harus selamat dan tidak boleh
terbakar atau membuat kebakaran," kata Siti di Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan, belum lama ini.
Menurut Siti, badan ini bertugas melakukan konstruksi serta
menjaga gambut agar tetap stabil dari kebakaran. Tak hanya sebatas itu, badan ini juga melakukan pengelolaan atas gambut.
Ke depan sekitar
2-3 juta hektar lahan gambut
di Indonesia direstorasi. Selain
restorasi, BRG terfokus pula pada manajemen penggunaan
lahan gambut terutama metode dan emisi karbon.
Sejumlah lembaga atau kementerian juga turut dilibatkan
dalam kegiatan restorasi lahan gambut. Selain Kementerian LHK, ada Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Pertanian, Kementerian Agraria
dan Tata Ruang, serta Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Mengenai
anggaran, jelas Menteri Sekretaris Negara Pratikno, diambil sebagian
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan sebagian lagi dari
dukungan berbagai pihak.
Dalam Perpres
soal BRG sudah jelas disebutkan restorasi di daerah mana saja dan target
capaian per tahun. Bagaimana pandangan kalangan pegiat lingkungan terhadap
badan baru ini?
Pada prinsipnya I
Nyoman Suryadiputra, Direktur Wetlands International Indonesia, mengatakan, mendukung BRG meskipun
tantangan bakal cukup kompleks. “BRG
harus diawali rekrut tim
kuat, berisi individu-individu kunci yang harus memiliki pengalaman lapangan, terutama kegiatan rewetting,” katanya seperti dikutip Mongabay, akhir pekan lalu.
Suryadiputra berharap, BRG bisa mengoordinasikan pihak
terkait seperti Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Pertanian, Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pemerintah daerah, dan TNI/Polri. “Saya usulkan BRG diperkuat tim penasehat diwakili stakeholder terkait seperti swasta,
organisasi masyarakat sipil, pakar gambut dan lain-lain.”
Untuk restorasi gambut rusak dan lokasi sulit, Suryadiputra menyarankan, mulai
dari kawasan konservasi yang ada hutan gambut. Katanya, segera lakukan tindakan
pencegahan kebakaran seperti Suaka Margasatwa Kerumutan Riau, TN Berbak Jambi,
TN Sembilang Sumsel, dan TN
Danau Sentarum Kalbar. “Semua ini ada banyak gambut dalam. Larangan buka kanal
baru harus ditegakkan,” tandasnya.
Tanggapan juga datang dari Abetnego Tarigan, Direktur
Eksekutif Walhi Nasional. Dia mengatakan, ada beberapa tantangan operasional
BRG. “Sesuai Perpres pembentukan BRG, ini bisa efektif jika dijalankan bersama
pemda dan kementerian terkait. Kalau kementerian tak kooperatif, tidak
bekerjasama dengan BRG, restorasi tak
akan jalan,” katanya.
Dia mencontohkan, kala KLHK tak agresif menindak pelanggaran
administrasi, perdata dan pidana, maka restorasi tak akan berjalan. Juga jika
Kementerian ATR/BPN, tidak
bisa menginformasikan hak guna usaha, izin prinsip di daerah, tak akan jalan.
“Perpres ini menjadi tantangan. Ketika Presiden mengatakan BRG di bawahnya
langsung, asumsinya Presiden akan turun tangan.”
Abetnego mengatakan, persoalan lahan gambut yang direstorasi
harus jelas. Ketika lahan berizin dan terbakar, harus diambil-alih BRG tapi harus beres juga soal hukumnya. “Kalau nggak,
ketika badan ini restorasi, tanpa status hukum selesai, bisa masuk
penyerobotan. Perlu ada kejelasan. Kita tahu yang terbakar banyak sekali di
kawasan berizin. Mungkin kalau nggak ada konsesi ya tanah
negara, itu akan cepat. Bagaimana di konsesi-konsesi? Ini satu tantangan
besar,” tandasnya.
Kurniawan Sabar, Manajer Kampanye Walhi, berharap, pemulihan ekosistem gambut tidak terpisah dari upaya
menyelesaikan akar masalah kebakaran gambut termasuk pengelolaan hutan
keseluruhan. “Kita tekankan, BRG seharusnya bisa menegaskan upaya mendorong
perbaikan tata kelola hutan dan gambut secara menyeluruh,” tuturnya.
Dia menekankan, restorasi tak menghilangkan aspek penegakan
hukum. “Percuma restorasi kawasan, ternyata status hukum atau penindakan
kawasan berizin terbakar tak selesai. Izin dicabut, BRG bisa bekerja maksimal
untuk pemulihan.”
Zenzi Suhadi, Manager Kampanye Hutan dan Perkebunan Skala
Besar Walhi Nasional menambahkan, sebelum BRG menentukan di mana dan seperti apa mekanisme bekerja,
penting klasifikasi wilayah.
Dia membagi tiga klasifikasi. Pertama, lahan gambut di konsesi perusahaan. Kedua,
gambut di sekitar konsesi perusahaan. Ketiga, kawasan hutan.
“Pengklasifikasian ini penting supaya nanti solusi tidak
salah. Kalau berada di konsesi perusahaan, langkah pertama penghapusan hak
kelola perusahaan terhadap wilayah itu. Terkait pembiayaan restorasi. Kalau BRG
memulihkan konsesi atau sekitarnya yang terbakar, menggunakan uang negara, kita
mengingkari mandat UU 32 tahun 1999.”
Menurut dia, biaya pemulihan seharusnya pada pemegang
konsesi. BRG harus menyusun mekanisme penagihan biaya pemulihan pada korporasi
yang bertanggungjawab. “Apabila terjadi di kawasan hutan, jelas wilayah KLHK.
Kalau api dari korporasi, tetap biaya ditagihkan kepada perusahaan.”
Selain pemulihan, tanggung gugat pembiayaan, tanggung jawab
hukum terhadap lahan konsesi harus dilakukan. Pemerintah, katanya, selain
pemulihan kawasan rusak, juga harus menunjukkan wibawa negara terhadap
korporasi.
“Kalau pemerintah hanya mendorong pemulihan tanpa mendorong
tanggungjawab perusahaan, negara ini mengambil posisi sebagai tukang cuci
piring terhadap satu pesta besar korporasi.”
Amron, Sekjen Jaringan Masyarakat Gambut Jambi (JMGJ), mengatakan, sampai saat ini belum
ada sosialisasi di tingkat masyarakat terkait pemulihan atau restorasi oleh
BRG. “Harapan kita, melibatkan masyarakat. Sangat penting, karena masyarakat
lebih tahu sesungguhnya yang harus dilakukan terhadap gambut. Pada hakikatnya
masyarakat dari zaman nenek moyang sudah tahu persis apa yang harus dilakukan
di lahan gambut,” katanya.
Selama ini sudah
banyak badan dibentuk untuk menanggulangi berbagai bencana. Repotnya, banyak
anggaran negara tersedot namun perannya belum tampak berarti bagi khalayak. (BN)
Boks:
Dikepalai Adik Kelas Jokowi
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menunjuk Nazir Fuad
memimpin Kepala Badan Restorasi Gambut. Nazir adalah adik kelas Presiden Joko
Widodo (Jokowi) di Fakultas Kehutanan bidang konservasi sumberdaya alam,
Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Hal tersebut diketahui dari biodata yang diserahkan ke pihak
Istana Kepresidenan. Nazir, pria
kelahiran Medan 6 Juni 1967 itu menyelesaikan kuliah strata satu selama tujuh
tahun dan lulus pada tahun 1992.
Dia kuliah selama tujuh tahun di UGM karena sambil aktif di The World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia. Sedangkan Jokowi menjalani perkuliahan UGM pada tahun 1980-1985 di fakultas yang sama.
Nazir pernah aktif di The Netherlands
Forestry Ministry pada tahun 1995.
Pada tahun yang sama, Nazir kuliah di University of
Gottingen Jerman. Kemudian, Nazir belajar di Durrel Institute of Conservation
and Ecologi di University of Kent United Kingdom pada tahun 1995-1996.
Pada tahun 1997 belajar
di Indiana University, Amerika Serikat dan tahun 1998 di Smithsnonian Institute
USA. Kemudian Nazir bekerja di Yayasan WWF Indonesia pada tahun 1992.
Dari 1992 hingga 1995, dia pernah menjadi Manager Stasiun
Riset Kayan Menterang yang betugas mengkoordinasikan kegiatan riset WWF, LIPI
dan Departemen Kehutanan di Cagar Alam Kayan Menterang Kalimantan Timur.
Nazir juga dipercaya menjadi Project Manager Ujung Kulon
1997-2001, Deputi Direktur Konservasi Spesies 2000-2001, Direktor Region
Sumatera-Jawa WWF 2001-2003, dan Direktur Konservasi Species tahun 2003-2006.
Lalu menjadi Direktur Bidang Kebijakan dari 2006 hingga 2011.
Pada tahun 2011 sampai
tahun 2014 bekerja di Yayasan WWF Indonesia tersebut dia dipercaya
menjadi Direktur Konservasi.
Sejak 2014 hingga sebelum ditunjuk jadi Kepada Badan
Restorasi Gambut, dia bergabung dengan Climate and Land Use Alliance (CLUA)
sebagai Pimpinan Program Indonesia.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Teguh Surya
mengapresiasi penunjukan Nazir Foead sebagai kepala BRG. “Ini kabar baik. Sosok
Nazir sebagai aktivis lingkungan hidup, lama berkecimpung di WWF Indonesia,”
katanya. (*)
Comments
Post a Comment