Memartabatkan Petani dengan Tanah dan Benih Lokal
* Nissa Wargadipura, Pengasuh Pondok Pesantren Ath-Thaariq
Tekadnya jelas, membawa petani pada martabat yang
jauh dari jerat utang karena salah urus bertani. Dia pun keluar-masuk rumah-rumah
petani di nun jauh pelosok Kabupaten Garut. Langkahnya yang tiada henti mampu
membawa ratusan petani Garut kembali memperoleh hak kepemilikan lahan setelah
proses redistribusi pada tahun 1997. Langkahnya tak berhenti di situ, ia terus
mendampingi para petani itu sampai lepas dari ketergantungan pada pemodal,
pestisida, dan industri benih.
=================
Tahun 2015 barangkali menjadi satu noktah penting perjalanan
hidup seorang Nissa Wargadipura. Awal Desember 2015 lalu, ia dinobatkan sebagai
pemenang Kategori Perempuan dan Lingkungan dalam perhelatan
Perempuan Inspiratif Nova (PIN) yang tahun 2015 itu mengusung tema “Berkarya dengan
Cinta” dan digelar di Grand Indonesia, Jakarta Pusat.
Nissa memang sangat akrab dengan aktivitas
pelestarian lingkungan. Tahun 2009, bersama suaminya Ibang Lukmanurdin,
ia mendirikan Pesantren Ath Thaariq di Kampung Citeureup, Kelurahan Sukagalih,
Kecamatan Tarogong Kidul, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Sebuah pesantren
berkonsep ekologi. Selain belajar mengaji, para santri di sini belajar pula cara
bertani organik dengan memelihara berbagai habitat di dalamnya untuk menjaga
ekosistem. “Saya sama sekali tidak memikirkan mendapatkan penghargaan, karena
saya hanya ingin bekerja dan bekerja,” tandas Nissa dengan rendah hati.
Ibu dari tiga anak ini mengaku apresiasi dari Tabloid Nova
itu hanyalah noktah dari sebuah perjalanan. Dan, mengurus pesantren ekologi merupakan
bentang perjalanan panjang yang masih harus dituntaskan. Perjalanan diawali di
tahun 1994 saat Nissa mulai aktif di Serikat Petani Pasundan (SPP). Hatinya
bagai tersayat sembilu manakala melihat ketimpangan-ketimpangan agraria yang
menimpa para petani di Kabupaten Garut dan sekitarnya. Sebab itulah, dirinya
terpacu bekerja keras memberikan kontribusi yang berarti agar para petani itu
lepas dari konflik dan ketimpangan pertanahan.
“Bermula dari konflik-konflik agraria dan ketidak-adilan yang
menimpa para buruh tani, terutama di daerah Garut. Waktu itu, tahun 1994, saya
mengorganisir dan melakukan pendampingan di Desa Sagara, Kecamatan Cibalong. Ada
sekitar 700 orang yang sedang berkonflik dengan pihak Perhutani. Padahal,
menurut Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Garut, tanah-tanah di Desa Sagara itu
berstatus tanah negara. Tanah yang harus segera diredistribusikan kepada warga masyarakat,”
ujar Nissa Wargadipura mengawali perbincangan dengan FORUM medio pekan
lalu.
Mellaui perjuangan tiada henti bersama punggawa SPP, pada
1997, tanah-tanah di Desa Sagara berhasil diredistribusi menjadi tanah milik
sekitar 700 orang petani. Mereka menjadi pemilik sah.
Perjuangan Nissa tidak berhenti pada pencapaian para petani
memiliki tanah. Tanah saja tanpa pengelolaan pertanian yang benar juga akan
mengancam kehidupan para petani. Ia pun terus aktif bergerak dari rumah ke
rumah sekitar 10.000 petani yang tersebar di desa-desa Kabupaten Garut. Sampai
wilayah desa yang sangat pelosok. Di sana ia berkolaborasi dengan organisasi
tani lokal.
Dari langkah keluar-masuk rumah para petani, ada satu hal
membuat miris wanita kelahiran Garut 1976 ini. Ia melihat begitu banyak masalah
membelit petani, mulai dari tata kelola,
tata produksi sampai pasca panen. Mulai dari pupuk, benih, sampai tenaga kerja,
petani itu tidak mandiri. Setelah melihat petani palawija dan hortikultura yang
dijumpainya, ada pemandangan mengenaskan
di mata Nissa. “Hampir setiap rumah tangga tani punya utang, utang dari bertani,
karena sistem pertanian mereka itu monokultur,” ungkapnya.
Nissa sedikit menggambarkan kehidupan petani (monokultur)
kentang yang sempat ditemuinya. Mereka harus menyiapkan dan menyediakan sarana
produksi pertanian yang cukup banyak dan mahal. Mereka harus membayar tenaga
untuk membersihkan rumput di sela pohon kentang sampai buruh pemupukan. Sangat
jarang ditemukan petani yang mengerjakan sendiri. Jelas, semua itu membutuhkan
modal upah kerja. Mau tak mau mereka meminjam dulu ke seorang bandar. Bandar itu
pula lah yang akan membeli hasil panen kentang. Masalah pupuk, mereka harus
membeli di toko-toko yang ada di kota. Yang paling menyakitkan, mereka harus beli
benih.
“Tidak hanya di hortikultura, di palawija juga menghadapi
persoalan benih. Ketergantungan petani pada ketersediaan benih di toko sangat
tinggi. Mereka tidak percaya benih-benih lokal. Mulai dari benih mentimun, sawi,
sampai benih padi harus dibeli. Saya sampai bingung, apakah mereka tidak bisa
melakukan pembenihan,” tutur Nissa yang belakangan cukup aktif diundang
berbicara di berbagai seminar ini.
Tragisnya lagi, kebutuhan sehari-hari petani itu tidak
digantungkan kepada kebun atau sawah yang mereka miliki. Tapi, digantungkan
kepada warung-warung dekat tempat tinggal. Mereka punya kentang, namun kentang
itu tidak untuk dimakan. Hasil penjualan kentang kemudian dibelikan kebutuhan
pangan semisal beras. Sementara kentang sangat rentan penyakit. Satu pohon kena
virus, tanaman kentang dalam satu lahan itu bisa tertular. Penanganannya harus
dengan pestisida paling paten. Dan jelas, pestisida itu mahal. Lagi-lagi,
petani menggantungkan pinjaman dari bandar. Utang petani pun berlipat-lipat.
Dari pengalaman bergaul dengan para petani, bersama suaminya
Ibang Lukmanurdin, tahun 2009 Nissa mendirikan Pesantren Ekologi Ath Thaariq di
atas lahan seluas sekitar 4000 meter persegi. Bangunan pesantren yang juga
menjadi rumahnya dikelilingi berbagai macam tanaman sayur mayur, bunga,
obat-obatan herbal, dan padi. Tidak ada lahan yang dibiarkan kosong tanpa
tanaman. Ia mendesain beberapa pojok ruangan pesantren dilengkapi buku-buku
pergerakan petani, Al-Quran, kitab dan hadis. Di dalam sebuah lemari berwarna
hitam dekat ruang tamu tersusun di dalamnya berbagai macam aneka benih tanaman
pangan dan tanaman lokal.
Nissa menceritakan bahwa mereka membangun pesantren ini
berangkat dari sebuah evaluasi pergerakan SPP. SPP yang dulu mereka juga ikut
mendeklarasikan pendiriannya ini merupakan organisasi advokasi untuk perjuangan
hak atas tanah untuk petani. Dalam perjalanannya SPP tidak memiliki penataan
produksi, baik itu penanaman, pemanenan ataupun pengembangan pasar hasil
pertanian. Kasus tanah yang sudah diredistribusi seluas 2.100 ha oleh para
petani di Desa Sagara, lalu dijual oleh pemiliknya adalah sebuah pembelajaran
yang sangat berharga.
Motivasi lainnya adalah keluarga besar Ibang dan Nissa
banyak mendirikan pesantren di wilayah Garut. “Kami membangun pesantren ini
tidak ingin seperti pesantren-pesantren yang sudah ada atau pesantren modern
yang berkembang saat ini. Anak-anak hanya diajarkan membaca dan memahami Al-Quran.
Memiliki berbagai laboratorium yang lengkap dan aneka ragam fasilitas, tapi
tidak mau menyentuh dan menggenggam tanah. Tidak mencintai bumi, tidak
mempelajari lagi ajaran ulama tentang pengelolaan pertanian tradisional dan
memahami sebuah rangkaian ekologi” ungkap Nissa.
Lebih dari seratus anak yang sudah pernah belajar di pesantren
ini. Anak-anak tersebut tetap belajar sekolah formal di luar. Setelah pulang
dari sekolah formal, mereka belajar di pesantren. “Di sini tidak diajarkan
dengan menggunakan ipad, tablet ataupun smartphone. Sebab itu, ada
banyak anak-anak yang pulang karena tidak mau meneruskan belajar di pesantren,”
kata Nissa sembari menambahkan bahwa pada hari Sabtu dan Ahad mereka tidak
belajar mengaji, hanya belajar menanam dan berkebun.
Melalui pesantren itu, Nissa ingin mengajarkan bahwa bertani
itu tidak tergantung segalanya kepada bandar dan toko sarana produksi
pertanian. Ia belajar dari kedua orang tua dan kerabat-kerabatnya yang sejak
dulu kala akrab dengan pertanian tradisional yang tidak tergantung pada pestisida,
pupuk kimia dan obat-obatan pengusir hama lainnya. Pertanian yang berbasis
ekosistem. Pertanian yang sangat tradisional yang kemudian menyerahkan semuanya
kepada keseimbangan alam.
Sebagai sosok yang dibesarkan di Tanah Sunda, Nissa mencoba
belajar dari kearifan lokal Kebun Talun. Hamparan kebun talun cukup luas, lima
hektar sampai puluhan hektar. Kebun talun ini kebun sosial. Masyarakat desa
bisa mengakses seluruh hasil kebun, dengan catatan tetap memeliharanya. Arti
kata, bila mengambil tanaman maka harus menanam lagi tanaman sejenis. Untuk
jenis kayu, warga masyarakat tidak boleh mengambil sembarang untuk keperluan rumah
pribadi. Kayu baru boleh diambil bila digunakan buat membangun masjid.
“Selain jenis kayu, semuanya bersifat sosial. Pertanian
kebun talun ini menjadi contoh yang diambil oleh Pesantren Ekologi Ath Thaariq.
Semuanya ada di sini, model pertanian polikultur. Ada tanaman sayur, mangga dan
pisang. Ada pula yang jangka panjang seperti pohon kelor yang mampu hidup bertahun-tahun.
Jenis-jenis seperti ini diperbanyak di kebun talun. Saya mengadopsi itu. Hebatnya
lagi, dalam pertanian kebun talun ini, ekosistem binatang terpelihara, mereka
saling melindungi,” urai Nissa.
Dengan mengadopsi konsep kebun talun, ada sebagian lahan di Pesantren
Ath Thaariq tampak dibiarkan tidak terawat. Rumput dan ilalang tumbuh di mana-mana.
Nissa menjelaskan mengapa mereka membiarkan beberapa bagian lahan semak
belukar. Hal ini dilakukan untuk mengundang ular dan berbagai macam satwa
lainnya. Aneka macam satwa ini bisa menjadi pembasmi hama alami.
“Di sini kami menerapkan sistem pertanian organik. Tahun
lalu hasil padi kami sangat kurang karena diserang tikus dan wereng. Kami
mencoba bertanya kepada beberapa ahli pertanian dan ekologi. Setelah dikaji,
ternyata di wilayah ini semuanya hamparan sawah, tidak ada jenis tanaman lain
dan tempat naungan satwa lain yang bisa sebagai penyerang hama tikus. Sebab
itulah kami membiarkan beberapa lahan menjadi semak dan ditanam beberapa pohon
besar untuk naungan ular dan burung,” kata Nissa. Keberadaan ular dan burung
hantu bisa mengurangi jumlah populasi tikus. Untuk mengusir hama wereng, para
santri menanam tanaman gemitir atau tahi kotok di pematang-pematang sawah.
Perempuan lulusan SMA Negeri Cibatu ini tampak begitu
menguasai pengelolaan pertanian polikultur. Hal ini tak lepas dari keseharian
yang seluruh waktunya dicurahkan buat mengelola praktik pertanian di Pesantren
Ekologi Ath Thaariq. Ia betul-betul aktif pada tataran praktik pertanian. Sementara
suaminya, Kang Ibang Lukman, fokus pada pembekalan kajian-kajian teologi
pertanian buat para santri. Ia jadi begitu fasih manakala berbicara konsep
pertanian berbasis ekosistem dan ramah lingkungan.
Di Pesantren Ath Thaariq, Nissa kebagian peran mengembangkan
pertanian yang betul-betul berbasis ekosistem dan potensi lokal. Di tangan
dingin Nissa, sekarang sudah ada lebih dari 400 jenis tanaman lokal yang
penyilangannnya dilakukan secara terbuka. “Alam sudah begitu arif dan cerdas dalam
mengembangkan pertanian tradisional ini. Ke-400 jenis itu ada horti dan ada jenis
kayu. Kalau belimbing, yang kita cari belimbing lokal, kadu (durian – red)
yang super lokal,” paparnya.
Nissa terus aktif mencari benih-benih lokal unggul.
Pesantren ini pun berhasil mengembangkan 12 jenis padi, antara lain Rojolele,
cempo ireng (yang menghasilkan beras organik warna hitam) dan padi beras merah.
Dalam hal mendidik santri, Nissa menandaskan, Pesantren Ath
Thaariq berusaha menjadikan lulusannya sebagai sosok yang mampu memimpin.
Setiap alumni diharapkan mampu memimpin, minimal mampu membangun sebuah madrasah
berperspektif agro-ekologi. “Madrasah yang mandiri, berasnya dari sawah
sendiri, sayur dari halaman sendiri. Itulah yang kami urus dan pelajaran kami
berikan kepada para santri. Dalam perjalanannya, banyak alumni yang kini punya
komunitas-komunitas. Mereka memiliki komunitas seperti pesantren ekologi ini.
Ada murid lengkap dengan kegiatannya. Mereka bareng-bareng belajar di alam. Minimal
begitulah,” papar perempuan yang senantiasa ramah menyambut siapa pun yang
datang ke pesantrennya untuk belajar bertani organik.
Dalam perjalanannya, Pesantren Ath Thaariq tidak hanya
menggembleng santri-santri yang terdaftar di dalamnya. Banyak pula kalangan
lain yang ingin menimba ilmu di pesantren kebanggaan warga Garut ini. Bahkan
kini pesantren ini telah memiliki banyak mitra untuk menularkan pengetahuan
bertani secara polikultur berbasis ekosistem.
Tercatat beberapa mitra antara lain Taman Buruan Bumi
Bangkong Reang di Desa Pabuaran, Kecamatan Kemang, Bogor; dan Pesantren Agraria
dan Agroekologi Darul Ulum di Halimun, Bogor Utara. Ada pula mitra yang datang jauh-jauh
dari Makassar, Sulawesi Selatan, yang sekarang juga aktif mengembangkan model
pertanian Pesantren Ath Thaariq.
Nissa dan suaminya terus bergerak menebarkan ilmu dan
pengetahuan pertanian tradisional berbasis ekosistem, pertanian yang menjadikan
petani mandiri dan bermartabat. “Ke depan pesantren ini berusaha menjadi contoh
bagi petani-petani Indonesia umumnya bahwa pertanian monokultur itu merugikan. Buat
kami, pertanian berbasis agroekologi itu metode pertanian paling modern. Misi
kami mengembangkan pertanian yang sistemnya begitu mudah dilakukan, seluruh
halaman kita itu bisa ditanami bermacam rupa tanaman. Kami bermimpi, keluarga
petani itu bisa belajar di pesantren ini, setelah pulang mereka mengadopsi model
pertanian Pesantren Ath Thaariq. Bila kita ingin kuyit atau buah markisa,
tinggal ambil. Di mana kita membutuhkan teh daun pandan tinggal petik. Dan itu
tidak harus memakai pupuk kimia. Mimpi besar kami, keluarga-keluarga petani di Indonesai
seperti itu,” ujar Nissa menutup perbincangan.
Ya, memang tidak mudah mengembalikan sistem pertanian
tradisional berbasis ekosistem yang telah telanjur “rusak” oleh revolusi hijau
di tahun 1970-an. Di tengah semakin meraksasanya industri benih hibrida, kreasi
dan pengembangan benih lokal pun tidak gampang. Nissa Wargadipura dan Pesantren
Ekologi Ath Thaariq telah memulainya. (BN)
Boks:
Biodata
Nissa Wargadipura
• Lahir di
Garut, Jawa Barat, tahun 1976
• Status
menikah, 16 Oktober 1997
* Suami: Ibang Lukmanurdin (lahir 1971)
* Anak: Salwaa Khanzaa (15), Akhfaa Nazhat (12), Kaisaa
Qaramiha (4).
Pekerjaan:
- Pendiri dan Pemimpin di Pesantren Ath Thaariq Garut
- Pendiri, Deklarator, Organizer di Serikat Petani Pasundan
Pendidikan:
- Sekolah Menegah Atas Negeri Cibatu, Garut (1987-1991)
Organisasi:
• Serikat
Petani Pasundan (SPP)
Penghargaan:
- Perempuan Inspiratif Nova 2015
Comments
Post a Comment