Kami Berupaya Salinan Putusan Cepat-cepat Dikirim
Wawancara Dr. Suhadi, Jurubicara Mahkamah Agung
Penangkapan Andri Tristianto Sutrisna (ATS), Kasubdit Kasasi
Perdata dan Tata Laksana Perkara Mahkamah Agung (MA), menjadi peringatan keras bagi
MA. Dia tertangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), setelah diduga menerima suap Rp400 juta dari pengusaha Ichsan
Suadi (IS) melalui pengacara Awan Lazuardi Embat (ALE), guna menunda pengiriman
salinan putusan kasasi. Kendati Andri Tristianto bukan hakim agung, tapi penangkapan
ini telah mencoreng lembaga MA. Pun semakin menguatkan adanya aroma praktik
mafia hukum yang melakukan jual-beli perkara. Ironisnya, MA baru saja
meluncurkan zona integritas bebas korupsi pada pertengahan Januari 2016 lalu.
Belum genap sebulan di-launching,
pejabat MA malah ditangkap KPK.
Pihak MA langsung bertindak cepat. ATS yang telah dijadikan
tersangka penerima suap oleh KPK sejak Senin (15/2) lalu diberhentikan
sementara dari status kepegawaian –termasuk jabatan yang yang melekat padanya.
Untuk penjatuhan sanksi yang lebih dari itu, MA masih menunggu putusan
pengadilan berkekuatan hukum tetap. "Senin (15/2) lalu, hasil rapat
pimpinan MA, menetapkan bahwa terhadap yang bersangkutan ATS diambil tindakan
pemberhentian sementara dari status pegawai, termasuk melingkup pada
jabatannya. Kalau nanti sudah ada keputusan hukum, misalkan yang bersangkutan
sudah divonis dan berkekuatan hukum tetap, maka dapat ditetapkan sanksi sesuai
dengan statusnya sebagai PNS (Aparatur Sipil Negara/ASN) berdasarkan PP 53
tahun 2010, bisa diberhentikan secara tidak hormat," jelas Juru Bicara MA,
Suhadi, kepada Abdul Farid dan Budi Nugroho dari FORUM yang
menjumpainya di ruang kerjanya, Gedung MA, Rabu (17/2) lalu.
Sebelum menjabat Kasubdit Kasasi Perdata dan Tata Laksana Perkara
MA, ATS duduk sebagai Kasubbag Humas MA. Dia dilantik menjadi Kasubdit pada 28
Desember 2015 lalu. Sehari-hari dia tinggal di perumahan mewah di Cluster San
Lorenzo, Paramount Boulevard, Gading Serpong, Tangerang Selatan. Andri
merupakan Kasubdit Perdata dengan pendapatan Rp15 jutaan per bulan. Meski pendapatan
boleh dikatakan relatif lebih dari cukup sebagai seorang pegawai negeri sipil
(PNS), mengapa masih saja terjadi praktik korup di lembaga peradilan? Adakah
yang salah dalam pengawasan dan pembinaan aparatur di lingkungan Mahkamah
Agung? Bagaimana sebetulnya mekanisme pengiriman salinan putusan? Adakah celah
buat dimainkan di sana?
MA sudah cukup optimal dalam melakukan pengawasan dan
pembinaan personal. “Secara organisatoris, ada Badan Pengawas dan ada Badan
Pembinaan. Di sini juga ada pengawasan melekat atasan yang bersangkutan, atasan
langsung. Dalam manajemen perkara, ada panitera, ada panitera muda. Di unit
perkara itu ada tim panitera muda ketika dibagikan di dalam kamar itu sendiri.
Tugasnya mengontrol panitera pengganti, asisten, pengetik, operator, dalam hal
proses penyelesaian perkara,” terang Suhadi. Selengkapnya:
Belum lama ini OTT KPK menangkap oknum pejabat eselon tiga di MA dalam
kasus dugaan penundaan pengiriman salinan putusan perkara, apa yang dilakukan
MA menanggapi kasus ini?
Kami lembaga MA merasa prihatin, sangat kecewa. Di saat kami
membangun lembaga ini dengan garis besar yang sudah ditentukan blue print MA untuk 25 tahun ke depan, 2010-2035 --sudah
lengkap ada jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang -- tahu-tahu
dikejutkan dengan keadaan seperti ini. Saya kira hal seperti ini bisa terjadi
di mana saja, bisa di lembaga lain. Tapi ketika kena pada lembaga kami, jelas
merasa sangat kecewa sekali. Terkejut, kami terus lakukan konsolidasi.
Mendengar dan melihat bagaimana proses penyelesaian perkaranya di KPK. Kemudian
secara simultan dengan Badan Pengawas Mahkamah Agung untuk meneliti sejauh mana
konteks tindakan atau kasus ini bisa terjadi.
Apa yang sudah dilakukan MA terhadap ATS yang telah berstatus
tersangka?
Ada tata cara MA dalam mengambil keputusan ketika seseorang
sudah dinyatakan sebagai tersangka oleh lembaga tertentu (penyidik, baik KPK
maupun Kepolisian), MA langsung mengambil tindakan cepat. Kemarin hari Senin
(15/2), kan kejadian hari Jumat (12/2), Sabtu-Minggu libur, Senin pagi MA
menggelar rapat pimpinan, saya juga ikut sebagai jurubicara. Dan, sudah
ditetapkan bahwa terhadap yang bersangkutan diambil tindakan pemberhentian
sementara dari status pegawai termasuk melingkup pada jabatannya. Pemberhentian
sementara. Kalau nanti sudah ada keputusan hukum, misalkan yang bersangkutan
sudah divonis dan berkekuatan hukum tetap, maka ditetapkan sanksi sesuai dengan
statusnya sebagai PNS (Aparatur Sipil Negara) berdasarkan PP Nomor 53 tahun
2010, ATS bisa diberhentikan secara tidak hormat.
Bagaimana koordinasi dengan KPK?
Sesuai tugas dan tanggung-jawabnya sebagai penyelidik dan
penyidik, KPK bisa melakukan kedua tindakan itu terhadap lembaga MA. Jadi pada
hari Minggu sudah pasang police line di
depan ruang kerja yang bersangkutan ATS. KPK hendak sudah minta izin mau
menggeledah. Karena hari libur dan tutup, kami cegah jangan dulu, tunggu hari
kerja. Karena di situ ada tumpukan perkara, ada hak orang, satu lembar saja
dokumen hilang, menjadi berbahaya bagi yang tengah berperkara, itu perdata kan.
Hari Senin pagi dari jam 08.00 sampai jam 11.00, kami welcome, silakan, didampingi pejabat yang membawahi tersangka ATS,
KPK melakukan pemeriksaan itu sampai selesai.
Sejumlah kalangan menilai, kasus ini terjadi, karena pimpinan MA tidak
optimal melakukan pengawasan dan pembinaan di lingkungan internal?
Ya kalau dikatakan optimal itu, ukurannya apa, kan begitu. Apakah
optimal itu kita melakukan sosialisasi hukum di Indonesia kemudian tidak ada
yang melanggar hukum. Kan tidak demikian. Kami optimalisasi secara
organisatoris: ada Badan Pengawas dan ada Badan Pembinaan. Di sini juga ada
pengawasan melekat atasan yang bersangkutan, atasan langsung. Dalam manejemen
perkara, ada panitera, ada panitera muda. Di unit perkara itu ada tim panitera
muda ketika dibagikan di dalam kamar itu sendiri. Tugasnya mengontrol panitera
pengganti, asisten, pengetik, operator, dalam hal proses penyelesaian perkara. Sebagai
lampu pengawas, tim menunggu kalau ada yang menyimpang dari ketentuan itu langsung
lapor ke Badan Pengawas. Tidak boleh dia sebagai polisi di situ. Atasan itu
bagaimana dia mengawasi dan membina ke bawah. Kalau menyangkut pelanggaran
langsung lapor ke Badan Pengawas untuk diproses kemudian dikenakan sanksi. Bisa
saja seorang panitera pengganti atau asisten, dia baru masuk MA ya langsung out dari sini. Begitu juga ada
karyawan yang menyimpang dari tupoksinya, dia dikenakan sanksi. Itu
optimalisasi yang sudah dilakukan MA.
Bagaimana dengan manajemen perkara?
Manajemen perkara itu sendiri sudah ada peraturan-peraturan
yang dibuat oleh pimpinan MA berdasarkan penelitian-penelitian tentang
bagaimana proses percepatan perkara. Dulu kami punya tunggakan perkara banyak
sekali. Dan ini yang kami jual ke publik. Karena tugas pokok badan peradilan
dari bawah sampai MA itu: menerima, memeriksa dan memutus perkara,
menyelesaikan perkara yang ada dalam kewenangannya. Itulah yang kami gali di
sini. Saya dulu pernah jadi panitera muda perkara pidana khusus, kemudian
panitera MA (eselon satu), baru jadi hakim agung pada 2011. Jadi paham
bagaimana manajemen perkara itu. Tahun 2010 tunggakan perkara mencapai 10.000,
tahun 2011 masih 9.000. Tahun 2012 kami terapkan sistem kamar manajemen
perkara, turun menjadi 6.000. Tahun 2014 turun ke 4000, tahun 2015 akan
dilaporkan nanti sudah di angka 3.000.
Dulu, setelah diserahkan majelis, materi perkara itu dibaca
pembaca satu dulu, lalu pembaca kedua, dia menuangkan dalam satu catatan, baru
masuk ke pembaca tiga. Sekarang ini, berkas perkara itu digandakan. Pembacaan
bareng. Masing-masing harus menuangkan ke catatan. Ini yang saya jual ketika
hendak menjadi hakim agung. Fit and
proper test di DPR itu menanyakan bagaimana kiat saudara mengatasi
tunggakan perkara, saya bilang harus diubah sistem. Lalu anggota Dewan bertanya
lagi, menurut saudara bagaimana? Saya pernah mengadakan penelitian di peradilan
Sydney, Australia, di buku perkara istilahnya. Buku perkara itu digandakan,
dibaca secara simultan. Jadi ketika ketua majelis menerima berkas, lihat jadwal
sidang, langsung tetapkan kapan harus putus. Dulu, kapan perkara putus itu baru
ditetapkan setelah pembaca tiga selesai. Sekarang, begitu terima berkas,
langsung ada dua penetapan: satu tentang susunan majelis hakim dan kedua kapan
harus putus. Jadi kalau tiga hari yang akan datang, punya 10 berkas perkara
harus selesai, ya harus selesai. Misalkan kami di perkara pidana, lihat lima
hari mau habis masa tahanan, bisa-bisa tiga hari tidak tidur, harus itu. Kami bertarung di situ. Kalau dulu kan kami harus
conform dengan pendapat pembaca satu
misalkan, sekarang gak bisa. Di situ kami adu argumentasi, lalu putusan akhir
bagaimana. Itu yang ada sekarang. Rasionya dulu, lemah di pembaca satu maka
numpuk di pembaca satu, pembaca dua nunggu. Lemah di pembaca dua, maka pembaca
tiga nunggu. Sekarang gak ada alasannya. Kalau you gak sanggup, silakan minggir. Sekarang tiga bulan harus sudah
putus di tangan hakim. Itulah yang diperoleh sehingga kami dipacu sedemikian
rupa, kami peroleh prestasi seperti sekarang. Kami langsung publikasi putusan.
Kalau dulu orang bisa menjual informasi. Sekarang begitu majelis memutuskan
perkara, kewajiban panitera atau asisten langsung mempublikasikan. One day publish ya di situ itu. Hari itu
dia harus muat di website MA: kabul, tolak atau tidak dapat diterima. Jadi ini
gak menilai ekonomi lagi.
Semua kembali kepada manusia, bagaimana agar tidak terjadi lagi seperti
kasus ATS?
Sebetulnya ini kan tidak ada lagi yang bisa kita kontrol.
Kasus ini putus bulan September 2015, awal Oktober sudah dikirim ke pengadilan,
bukti posnya ada. Nah sebetulnya selama ini, dengan petikan putusan itu, jaksa
sudah bisa melaksanakan putusan (eksekusi). Contoh, ketika dulu Polycarpus
diputus oleh MA dalam tingkat PK, putus hari itu, petikan langsung kirim ke PN
Jaksel, lalu PN Jaksel delegasi ke PN Tangerang karena dia domisili di sana untuk
diserahkan ke jaksa. Jam dua malam, jaksa sudah eksekusi. Banyak putusan yang
langsung dikirim, ada Nurdin Halid, Neloe, karena saya dulu di panitera muda,
saya yang mengirim petikan putusan, dilaksanakan pada hari itu. Jadi apa yang
mau dijual sebetulnya dalam perkara seperti ini. Kok orang mau buang uang
seperti itu. Padahal dia gak punya korelasi dengan tupoksinya, dia pintu
perkara perdata, menelaah perkara itu sudah memenuhi persyaratan atau tidak.
Itu ada isian, sudah blangko. Tanya ke pengadilan-pengadilan, pakai apa
eksekusi putusan yang sudah punya kekuatan hukum tetap.
Jadi sesungguhnya tak ada celah lagi buat mempermainkan perkara?
Kami pernah dilaporkan ke Komisi Ombudsman oleh Rutan/LP,
ada sekitar 1.500 napi yang tidak memperoleh petikan putusan. Dengan begitu
mereka tidak bisa dieksekusi. Waktu itu saya sebagai panitera, bersama Wakil
Ketua MA, memanggil semua ketua pengadilan negeri seluruh Jakarta dan paniteranya. Kumpulkan di situ, ini angka
dari Ombudsman bahwa Anda tidak mengirim petikan putusan. Menurut aturan pasal
226 KUHAP, petikan putusan itu harus segera dikeluarkan. Mereka membawa ekspedisinya, “sudah pak sudah
diserahkan kepada jaksa”. Tapi belum dilaksanakan eksekusi, kan begitu. Jadi
sebetulnya kalau terdakwa masih sifatnya terdakwa, belum terpidana, dia punya
hak yang bisa dia tuntut. Sebab itu, mereka berteriak itu minta remisi. Mereka
tak akan diberi resmi kalau belum ada eksekusi.
Melihat banyaknya surat yang numpuk di MA , kami berupaya
terus bagaimana agar putusan dipercepat. Salinan putusan harus segera dikirim.
Kalau itu perdata supaya dia bisa eksekusi, yang berperkara bisa menuntut
haknya karena dia menang. Kalau pidana, karena dia mau PK, minta salinan
putusan segera dikirim. Minta peninjauan kembali sebagai upaya hukum lebih
lanjut. Kasus ATS ini justru minta supaya jangan dikirim. Kebetulan sekali
panitera pengganti yang menangani perkara ini dua bulan yang lampu meninggal
dunia, Pak Amin Safrudin namanya. Meninggal dunia di Solo. Jadi agak tersendat
penyelesaian koreksi perkaranya. Asisten koreksinya itu harus menunjuk orang
lain yang ternyata punya tunggak perkara yang cukup banyak.
Sekarang hakim agung ada sekitar 50 orang, apakah masih dirasakan
kurang?
Kami berusaha mengukur rasio penyelesaian perkara, antara beban
dan SDM yang ada. UU Nomor 3/2009 tentang MA memberikan ketentuan maksimal
hakim agung itu berjumla 60 orang. Yang pernah dicapai 53 orang, waktu zaman
Pak Bagir Manan, ada alasan bahwa tempat dan ruangan tidak mengizinkan.
Sekarang kami sudah punya tower. Jadi nanti diteliti, kami sudah pakai sistem
kamar, spesialisasi penanganan perkara itu menjurus kepada jenis perkara
masing-masing, spesifik. Sekarang sudah ke sana. Sehingga ketua muda yang
menurut UU MA itu dibuat nomenklatur baru, dia sebagai ketua kamar. Jadi ada
ketua kamar pidana, ketua kamar perdata, ketua kamar TUN, ketua kamar agama dan
ketua kamar militer. Kita lihat bagaimana beban tugasnya di situ. Beban
tugasnya di kamar masing-masing. Misalkan militer, perkaranya berapa, bisa
selesai satu persen, mungkin satu majelis cukup (tiga orang). Kemudian, agama,
bagaimana perkaranya, mungkin dua majelis sudah cukup. Selanjutnya kamar TUN
bagaimana, berapa perkaranya. Kalau sudah tahu beban tugasnya, bisa dilihat
berapa perkara yang diselesaikan dalam setahun. Begitu juga pidana dan perdata.
Kketika saya dulu berhenti dari panitera tahun 2011, 83
persen perkara di MA adalah perkara dari peradilan umum, yaitu pidana dan
perdata, 11 persen dari TUN. Obyek sengketa TUN itu adalah putusan pejabat atau
badan tata usaha negara, gak begitu banyak. Yang banyak itu PK pajak. Di atas 1.000
waktu itu. Agama di bawah 1.000, cuma sekitar 5 persen. Militer nol koma sekian
sampai satu persen. Jumlah perkara waktu itu 13.000 masuk dan tunggakan 10.000,
jadi 23.000. Nanti dari penelitian itu akan dilihat dibutuhkan berapa hakim,
apakah dari 53 itu perlu sampai 60. Nanti diteliti volume perkara itu
bagaimana. Sekarang ini kami masih 49 , makanya buka 8 di KY. Tadi ada 15 yang
pensiun. Sebagian sudah ada penggantinya dari kamar-kamar tertentu. Baru-baru
ini ada empat atau lima hakim agung baru lagi.
Ada wacana usia pensiun hakim agung pada umur 67-68 tahun, menurut
Anda?
Kita lihat apa alasannya, misalkan meninggal. Yang meninggal
itu sedikit kok. Pak Paulus meninggal, sudah pensiun, Pak Taufik meninggal
menjelang pensiun. Lima belas hakim agung yang purnabakti ini hadir semua,
loncat pagar masih bisa. Kita ambil kesimpulan kan ada standarnya, ada
indikatornya. Bukti dengan komposisi hakim agung sekarang dengan umur 70 malah
makin meningkat kinerja kami. Ukurannya tugas pokok, menyelesaikan perkara. Yakni,
menerima, memeriksa dan memutus perkara yang ada di tangannya. Itu amanat UU
Kehakiman. Jaminan dan asuransi telah ada dari pemerintah. Kendaraan dan makan
siang dijamin. Fokus itu. Kalau mereka bilang kami di tempat yang sunyi, memang
hakim itu harus sunyi. Saya kadang-kadang lebih banyak menyelesaikan di rumah.
Kalau di sini ada telepon dari rekan-rekan wartawan. Perkara itu harus fokus,
ada gangguang bisa buyar, harus dibaca ulang lagi. Sehat-sehat dan kinerjanya
terus bertambah. Tahun 2014 ada 4.000 tunggakan, sekarang tinggal 3.000.
Saya pikir apa yang dicapai MA sekarang sudah luar biasa.
Coba lihat one day publish, kemudian
semua perkara yang masuk website sudah mencapai 1,6 juta. Dulu kalau
penelitian, mahasiswa dan peneliti itu datang ke pengadilan dan MA minta
salinan putusan. Sekarang tinggal klik. Di negara lain, print out putusan itu bayar. Di Indonesia tidak perlu bayar.
Silakan ambil, gratis. Peneliti dari Belanda, Pak Pompe, menyampaiakn salutnya,
ini kan dibuka portalnya. Kemudian bisa masuk ke tingkat pertama, banding dan
sampai MA. Simultan di situ, kelihatan ada 1,6 juta.
Bagaimana dengan status hakim sebagai pejabat negara?
Kalau hakim agung di MA sudah pejabat negara. Hakim di
bawah, UU Kepegawaian itu sudah menyebutkan sebagai pejabat negara. UU Nomor
48, 50 dan 51 tahun 2009 itu hakim sudah pejabat negara. Hakim itu pejabat
negara. Repotnya, karena tidak ada peraturan pelaksananya, dalam lima tahun
terakhir tidak ada rekrutmen calon hakim. Kenapa demikian? Dalam UU itu pejabat
negara, aturan tentang PNS hilang di situ. Lalu untuk menjadi hakim, Ketua MA
mengusulkan calon hakim ke Presiden RI dengan persyaratan punya sertifikasi
pendidikan hakim. Pendidikan hakim terpadu yang sekarang sudah diterapkan itu
berlangsung 2,5 tahun. Dari penerimaan rekrutmen sampai diusulkan itu gak ada
statusnya, siapa yang bayar. Kami pernah mengundang Menpan dan BKN, mereka
angkat tangan. Bukan nomenklatur kami lagi, bukan ASN bukan pula pegawai
negeri. Jadi bukan kewenangan Menpan dan BKN. Kami datang ke Kemenkeu, bisa gak
kasih kuota ke kami. Jawabannya Kemenkeu tak pernah memberikan kuota untuk
pengangkatan pejabat negara atau PNS. Tapi ada keputusan pejabat TUN atau yang
berwenang, kami bayar, karena uang di kami. Ini kesulitannya sekarang. Lima
tahun kami butuh 1.000 hakim baru, belum terjawab. Harus ada peraturan
pelaksana dari tiga UU tersebut. Ini jelas merugikan hakim-hakim di bawah. (*)
Comments
Post a Comment