Lapindo yang Kembali Tebar Ancaman
Keluarnya izin pengeboran dan izin lokasi di
Desa Kedungbanteng menjadi bukti tidak sensitifnya pemerintah terhadap kondisi
masyarakat. Pemerintah seperti tidak belajar
dari bencana sebelumnya.
====================
Mendengar PT
Lapindo Brantas mengumumkan rencana pengeboran migas di Desa Kedungbanteng,
Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, sontak warga Desa Glagahharum, Kecamatan
Porong dan sekitarnya, merasa
resah. Lokasi itu, hanya berjarak
sekitar dua kilometer dari pengeboran lumpur Lapindo sebelumnya, Sumur
Banjar Panji 1, yang telah mengubur Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, sejak 31 Mei 2006 silam.
Juru bicara Desa Glagaharum yang tergabung dalam Korban
Lapindo Menggugat, Khobir,
mengatakan, warga yang berada dekat lokasi pengeboran sepakat menolak, lantaran trauma dampak semburan
lumpur yang terjadi sembilan tahun terakhir.
Tidak hanya bahaya luberan lumpur panas, warga sudah pernah
merasakan ketakutan akibat banjir air lumpur, tercemarnya air tanah dan sungai,
serta bau tidak sedap. “Warga sangat tidak setuju karena trauma dan takut,”
kata Khobir sebagaimana dikutip Mongabay Indonesia,
Senin (11/1/2016).
Tidak hanya sampai
di situ, warga pun
mengalami kerugian gara-gara kerusakan lahan pertanian sampai gagal panen petani tambak. Ikan
mujaer, bandeng, dan udang milik warga mati, sejak ada luapan lumpur, sehingga
kerugian ekonomi dapat dikatakan tidak
terhitung lagi. “Ini sama
saja dengan racun. Belum lagi bandeng dan udang windu yang siap panen yang mati,”
keluh Khobir yang meneruskan aspirasi para petambak.
Sebelumnya, Public Relation Manager Lapindo Brantas Inc,
Arief Setyo Widodo, mengungkapkan pihaknya melakukan pengeboran di wilayah
Tanggulangin setelah mendapatkan rekomendasi dari tim Geologi Lapindo mengenai
kandungan gas di daerah tersebut. “Kami tetap melakukan pengeboran di
sini, setelah mendapatkan rekomendasi dari tim Geologi Lapindo terkait hasil
analisa yang menunjukkan kandungan gas di wilayah Tanggulangin cukup
tinggi," kata Arief seperti
dikutip http://economy.okezone.com/
beberapa waktu lalu.
"Rencananya, ada dua titik sumur yang akan dilakukan
pengeboran di wilayah desa Kedungbanteng, Tanggulangin, Sidoarjo yang semuanya
akan ditargetkan bisa mengalirkan gas pada bulan Maret 2016 mendatang,” tambah Arief.
Dan pada
Rabu (06/1), seperti diberitakan http://www.bbc.com/, Lapindo Brantas
mulai melakukan persiapan pengeboran sumur gas baru di Desa Kedungbanteng,
Sidoarjo. Proyek yang letaknya 2,5
kilometer dari pusat semburan gas dan lumpur Porong itu, memakan lahan seluas
4.000 meter persegi, dengan lahan yang sudah dibebaskan seluas satu hektar.
Lalu pada Ahad
(10/1/2016), di lokasi
pemadatan lahan yang akan dibor, sudah tidak ada lagi kegiatan persiapan pengeboran sumur gas setelah
Gubernur Jawa Timur meminta aktivitas dihentikan. Aksi penolakan warga mendapat
pengamanan ketat dari aparat kepolisian untuk menghindari hal-hal yang tidak
diinginkan. Sementara suasana di sekitar pengeboran di Desa Kedungbanteng tampak cukup sepi. Menurut Khobir,
meski situasi kondusif, warga takut bersuara di media karena merasa terancam
oknum aparat ataupun pihak
Lapindo.
Tidak hanya Gubernur
Jawa Timur yang menghentikan persiapan pengeboran. Keinginan PT Lapino Brantas
Inc untuk kembali mengebor gas di Sidoarjo, Jawa Timur, itu juga dihentikan
oleh pemerintah. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said
menjelaskan, dalam pengeboran gas, pihaknya memperhatikan aspek sosial, ekonomi
hingga lingkungan.
Apalagi, rencana
pengeboran Lapindo Brantas ini, lokasinya, tak jauh dari lokasi semburan
Lapindo, di Kecamatan Porong, Sidoarjo atau kurang lebih 2,5 kilometer (km).
"Kan ada dua aspek ya, aspek teknis dan aspek sosial ekonomi lingkungan.
Bisa saja secara teknis mereka mengatakan aman, tapi kan usaha itu harus
memperhatikan aspek-aspek lain," kata Sudirman di Istana Negara, Jakarta,
Selasa (12/1).
Sudirman
menambahkan, pemerintah mempunyai tugas agar seluruh aspek tersebut terjaga secara
baik. Saat ditanya sumber pendanaan Lapindo Brantas untuk kembali melakukan
pengeboran gas, Sudirman enggan menjawab.
Menanggapi adanya
persiapan pengeboran sumur gas yang secara tidak langsung berkait dengan keluarnya
izin pengeboran dan izin lokasi di Desa Kedungbanteng, menurut Walhi Jaka Timur, hal ini menjadi
bukti tidak sensitifnya pemerintah terhadap kondisi masyarakat. “Izin
pengeboran itu menunjukkan pemerintah tidak belajar dari bencana sebelumnya.
Pemerintah gagal mengawasi dan membiarkan operasi pertambangan migas di lokasi
padat huni,” papar Rere Christanto, Koordinator Divisi Advokasi dan Kampanye,
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur.
Rere menambahkan, seharusnya pemerintah menuntaskan dulu
persoalan lumpur Lapindo yang hampir 10 tahun tak terselesaikan. Seperti,
pembayaran ganti tugi, sertifikat rumah penduduk, hingga pemulihan dampak
lingkungan dan kesehatan akibat lumpur. “Persoalan sebelumnya belum kelar kok malah
memberikan perizinan baru.”
Praktik pertambangan di kawasan padat huni di Jawa Timur
bukan kali ini saja yang menyebabkan dampak buruk terhadap warga masyarakat. Selain semburan
lumpur Lapindo, kasus ledakan sumur migas Sukowati 5 di Bojonegoro yang menyebabkan
148 orang dirawat di rumah sakit dan ribuan lainnya mengungsi, harusnya jadi
bukti nyata bahwa aktivitas pertambangan di kawasan padat huni sangat
membahayakan dan merugikan.
Rere mengaskan, negara harus membela kepentingan rakyat,
yang selalu dikalahkan pemodal besar. Selain itu, keselamatan ruang hidup
rakyat harus menjadi pilihan bagi pemegang kebijakan, bila tidak ingin
kerusakan lingkungan menyebabkan kepunahan makhluk hidup lain. “Negara harus
melindungi warganya,” tandas Rere.
Hingga kini, luapan lumpur panas Lapindo telah menimbun 15
Desa di 3 Kecamatan, yang terletak di sekitar 800 hektar kawasan padat
penduduk. Sedikitnya, 75 ribu jiwa terpaksa meninggalkan kampung halamannya
karena terendam lumpur Lapindo. (BN)
Boks:
Bukan Semata-mata Persoalan Kerugian Ekonomi
Berdasarkan data Greenomic, pada tahun pertama semburan lumpur Lapindo, perkiraan kerugian
ekonomi akibat semburan sekitar Rp33,2 triliun. Dan menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)
kerugian langsungnya ditaksir Rp7,3 triliun dan kerugian tidak langsung Rp 16,5
triliun.
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Timur menyebutkan, pada sektor formal, jumlah
tenaga kerja turun 166.000 orang akibat kolapsnya perusahaan yang terkena
dampak lumpur. Di sekitar Porong, tidak jauh dari lokasi eksplorasi sumur gas
milik PT Lapindo Brantas, berdiri setidaknya 24 pabrik berbagai komoditi yang
mampu menyerap puluhan ribu pekerja. Selain itu ribuan sektor informal
masyarakat seperti industri rumah tangga, pedagang kecil, petani, tambak ikan,
tukang ojek serta sektor lainnya yang harus kehilangan pekerjaan. Semua
dikarenakan sarana dan prasarana mereka telah hilang, tenggelam atau telah
rusak.
Walhi mencatat data hilangnya hak masyarakat yang harus
ditanggung sebagai bagian dari korban lumpur Lapindo, selain hilangnya tanah
serta bangunan. Di sektor ekonomi dan tenaga kerja terdapat sekitar 31.000
usaha mikro, kecil, dan menengah di Sidoarjo yang mati seketika akibat kejadian
luapan lumpur Lapindo.
Pada persoalan kesehatan, penelitian Walhi menyimpulkan
bahwa tanah dan air di area sekitar lumpur panas mengandung PAH (Polycyclic
Aromatic Hydrocarbon) hingga 2.000 (dua ribu) kali di atas ambang batas normal.
PAH sendiri adalah senyawa organik yang berbahaya dan bersifat karsiogenik
(memicu kanker). Sedang menurut laporan tim kelayakan permukiman yang dibentuk
Gubernur Jawa Timur, level pencemaran udara oleh hidrokarbon mencapai tingkat
8.000-220.000 kali lipat di atas ambang batas.
Di sektor
pendidikan tercatat 63 sekolah yang tenggelam oleh lumpur dan mengakibatkan
ribuan anak-anak kehilangan tempat belajar. Anak-anak itu dipaksa berpindah
sekolah yang membuat mereka beradaptasi di lingkungan baru. (*)
Comments
Post a Comment