Dengan Wawong Melawan Kebun Ilegal Sawit
Selama ini wawong atau kumbang menjadi momok
pemilik sawit dan terus diupayakan untuk dibasmi. Kali ini, di tangan pegiat
lingkungan, wawong justru dikembang-biakkan buat dijadikan pasukan melawan
perkebunan sawit ilegal.
===============
Lantaran begitu gerah dan kesal melihat pembukaan kebun
sawit di dalam hutan secara ilegal, sejumlah mahasiswa dan sarjana dari berbagai
perguruan tinggi di Jawa dan Sumatera yang tergabung dalam Kelompok Pemuda
Menolak Sawit Ilegal (KPMSI) aktif melakukan perlawanan. Mereka membunuh dan
menghancurkan perkebunan sawit ilegal menggunakan binatang bernama wawong atau
kumbang sawit.
Hasil penelitian selama lebih dari setahun, wawong atau
kumbang dianggap sebagai musuh dan hama paling ditakuti sawit. Wawong mampu
memakan buah sawit baru tumbuh, batang, daun ataupun tunas.
“Wawong mampu membunuh pohon sawit dan buah sekaligus. Mampu
memakan kapan saja. Musuh bebuyutan sawit dan musuh utama pengusaha sawit,”
kata Dudi FN, tim peneliti KPMSI, seperti dikutip www.mongabay.co.id belum lama ini.
Tim yang beranggotakan mahasiswa sarjana lintas disiplin
ilmu ini menyebutkan mereka memulai aksi dari sebuah desa di Labuhan Batu
Utara. Bersama para sarjana pertanian dan sejumlah mahasiswa dari kedokteran
hewan, mereka meneliti bagaimana cara mengembang-biakkan wawong dalam jumlah
banyak, namun tetap memegang prinsip mengontrol jumlah, agar tak menjadi wabah bilamana
populasinya berlebihan. “Mohon maaf, tidak bisa menyebutkan alamat kami,
menjaga agar tak ada preman suruhan pengusaha sawit ke sini,” kata Dudi.
Upaya mereka membombardir perkebunan sawit ilegal di wilayah
Sumatera, demikian kata Dudi, tidak semuanya berjalan mulus. Aksi teror, perusakan
area pengembang-biakan wawong, sampai ancaman langsung dari orang-orang tidak
dikenal terpaksa harus mereka hadapi.
Namun semua itu tak menyurutkan niat mereka menghancurkan perkebunan sawit
tidak ramah lingkungan dan berada di dalam hutan.
Upaya mereka membasmi perkebunan sawit dalam hutan
memperoleh dukungan dari para petani sawit. “Kami tidak ingin popular. Karena Anda
sudah datang ke sini kami mau tidak mau menjelaskan. Konsep kami, bagaimana
membunuh perkebunan sawit dalam hutan, dengan menggunakan musuh utama. Ada
orang tua angkat kami yang dukung. Beberapa pohon sawit diberikan buat
pengembang-biakkan wawong dalam penelitian,” terang Dudi FN.
Menurut dia, cara frontal dengan menebang, meracun, dan
menghadang serta menolak penanaman sawit dinilai kurang ampuh. Pengusaha sawit
nakal dan cerdik. Mereka menggunakan oknum penegak hukum dalam menjalankan
usaha ilegal ini.
Dudi mengatakan, ada senyawa-senyawa yang mereka suntikkan
pada anakan dan dewasa wawong ini guna meningkatkan gairah dan nafsu makan.
Makin rakus, makin cepat sawit mati. “Bahan kimia yang disuntikkan, hanya untuk
memakan sawit. Penelitian-penelitian terus kami lakukan. Jangan sampai ketika
sawit busuk nggak ada makanan binatang dan makan yang lain,” jelasnya.
Kalau para aktivis lingkungan dari KPSMI menempuh jalan
memanfaatkan hama sawit buat melawan perkebunan sawit ilegal, berbeda lagi yang
dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang. Dengan dipimpin Bupati Aceh
Tamiang Hamdan Sati, petugas dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan melakukan
pembabatan kebun sawit illegal di hutan langsung. Mereka berupaya membabat 1.071
hektar kebun kelapa sawit yang masuk dalam hutan lindung di Kecamatan
Tenggulun, Aceh Tamiang. Kemudian kebun sawit itu diganti dengan tanaman hutan
yang hasilnya dapat dimanfaatkan warga masyarakat sekitar.
Dalam rangka memperingati Hari Menanam Pohon Indonesia
(HMPI) 2015 beberapa waktu lalu, Bupati Hamdan Sati menandaskan, “Saya
menyampaikan, kita melawan kegiatan yang merusak sumber-sumber air di Kabupaten
Aceh Tamiang. “Beberapa bulan lalu, di tempat kita berdiri ini, adalah kebun
sawit ilegal. Kita harus ingat, banjir bandang 2006 lalu akibat rusaknya hutan
di hulu Tamiang. Sekarang, saatnya kita mengembalikan hutan seperti sedia kala.
Hari ini, seperti yang kita lihat hampir seluruh kelapa sawit yang ada di
kawasan hutan telah ditebang dan mulai ditanam tanaman hutan.”
Secara tegas, Hamdan menyebutkan, meski keberadaan kebun
sawit ilegal tersebut diiming-iming dapat memberikan pendapatan asli daerah
(PAD), namun dirinya tetap menolak. “Kami tidak ingin sawit ilegal ini. Semakin
cepat restorasi dilakukan, semakin cepat pula kita mendapatkan hasilnya, baik
dari stabilnya sumber air maupun hasil hutan non-kayu yang kelak dihasilkan
dari tanaman hutan ini,” tuturnya
Hamdan menjelaskan, sebelum pemusnahan dilakukan, banyak
pihak yang menemui dirinya agar mempertahankan kebun tersebut. Alasannya, sawit
tersebut menghasilkan. “Namun, kami tidak ingin mempertahankannya. Bagi kami,
hutan harus dikembalikan, karena hutan adalah titipan generasi akan datang.
Komitmen kami adalah membangun Tamiang tanpa merusak hutan,” ungkapnya.
Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh Tamiang, Alfuadi,
mengakui adanya kerusakan hutan lindung di Aceh Tamiang. Pihaknya, bersama
berbagai pihak terus berusaha menjaga hutan yang tersisa di ujung timur
Provinsi Aceh itu.
Diuraikanya, HMPI di Aceh Tamiang dilaksanakan di areal
restorasi seluas 1.071,46 hektar yang sebagian areal kelapa sawit telah
ditebang melalui kerja sama dengan Forum Konservasi Leuser (FKL) sejak akhir
2014.
Saat ini 100 hektar lahan telah ditanami Dishutbun Aceh
Tamiang, 100 hektar oleh BPDAS Krueng Aceh melalui KPH Wilayah III, 250 ha
lainnya dalam proses penanaman oleh tiga kelompok masyarakat Tenggulun dan
sisanya direstorasi oleh FKL melalui regenerasi alam.
Field Manager Forum Konservasi Leuser (FKL), Tezar Pahlevi,
mengatakan, masyarakat akan mengelola hutan seluas 250 hektar berdasarkan kerja
sama pengelolaan dengan Dinas Kehutanan Aceh. “Mereka akan menaman tanaman yang
bisa dimanfaatkan hasilnya seperti aren, durian, gelugur, jengkol, petai, serta
tanaman hutan lainnya,” paparnya.
Tezar menyebutkan, masyarakat wajib memelihara tanaman hutan
tersebut agar dapat dimanfaatkan hasilnya. “Ini kami lakukan untuk membuktikan,
tanaman hutan sebenarnya lebih menguntungkan bagi masyarakat dibandingkan
kelapa sawit. Kita butuh lahan yang luas untuk kelapa sawit, sementara untuk
tanaman hutan hanya sedikit.”
Menurut Tezar, pemusnahan 1.071 kebun sawit merupakan bagian
dari pemusnahan 3.000 hektar kebun ilegal di hutan lindung yang telah
diserahkan ke pemerintah pada 2009–2011 lalu. Badan Pengelolaan Konservasi
Ekosistem Leuser (BPKEL) telah melakukan restorasi hingga 2011. Namun pada
2012, BPKEL dibubarkan oleh Gubernur Aceh sehingga kegiatan restorasi terhenti.
“Pada 2014, Forum Konservasi Leuser (FKL) mendorong
pemerintah melakukan restorasi di lokasi ini.di tahun yang sama, Pemerintah
Kabupaten Aceh Tamiang membentuk tim restorasi kawasan hutan lindung
berdasarkan SK Bupati Aceh Tamiang No. 938 Tahun 2014. 27 September 2015,
Pemkab Aceh Tamiang bersama Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Wilayah III Aceh,
FKL, masyarakat dan LSM memulai lanjutan penebangan sawit ilegal ini yang
diperkirakan akan selesai akhir 2016,” ungkap Tezar.
Melawan perkebunan sawit illegal memang harus berbagai cara.
Bila pemerintah daerah mengerahkan segenap aparaturnya untuk langsung melakukan
penebangan dan pemusnahan karena memang punya kewenang, maka pegiat lingkungan
mesti cerdik dan cerdas agar aman dari ancaman pihak-pihak bayaran perkebunan
sawit illegal. Semua harus berjalan berbarengan agar lingkungan (terutama
sumber-sumber air) tetap terjaga dan lestari. (BN)
Comments
Post a Comment