Kontroversi Rompi Anti-kanker dari Alam Sutera
Temuan perangkat yang berhubungan dengan kesehatan
manusia tidak bisa serta diterapkan meski banyak orang telah merasakan
hasilnya. Mesti melewati uji klinis.
================
Ada yang
berbeda pada Klinik Kanker PT Edwar Technology di Alam Sutera, Tangerang,
baru-baru ini. Sejak sebulan yang lalu, seperti dilansir detikHealth, tidak
ada lagi kata 'klinik' melekat di fasilitas yang lebih tepat disebut
laboratorium riset itu.
Pada papan nama, kata 'klinik' ditutup dengan selotip putih. Bila
semula bernama 'C-Care Klinik Riset Kanker', lalu berubah menjadi 'C-Care Riset
Kanker'. Begitu pun dengan banner besar yang sebelumnya terpasang di
sisi depan, kini sudah tak ada di tempatnya.
Fauzan Zidni, Direktur PT Edwar Technology, menuturkan bahwa
perubahan ini sudah terjadi sejak sebulan silam. Katanya lebih lanjut, ini sebagai
bagian dari rebranding karena saat ini perusahaan milik Dr Warsito Purwo
Taruno, M.Eng itu hanya melakukan riset pengembangan alat pendeteksi dan
pembasmi sel kanker.
Selain rebranding, perubahan ini tidak lepas dari diterbitkannya
sebuah surat dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada 20 November 2015. Dalam
surat itu, Sekretaris Jendral Kemenkes dr Untung Suseno Sutarjo, MKes meminta
Walikota Tangerang menertibkan klinik milik Dr Warsito dan PT Edwar Technology.
Menurut surat itu, ada sebagian kaidah penelitian yang belum dipenuhi.
Puncaknya, pada Rabu (2/12), PT Edwar Technology mendatangi
Kemenkes. Didampingi Dr Edi Sukur dan Fauzan Zidni, keduanya dari PT Edwar Technology,
Dr Warsito Purwo Taruno M.Eng diterima oleh Staf Ahli Kementerian Kesehatan
(Kemenkes) Bidang Medikolegal, yang juga pelaksana tugas Kepala Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes), drg Tritarayati, SH dalam
satu pertemuan tertutup di ruang rapat pimpinan nomor 224 Gedung Adyatman
Kemenkes. Menurut informasi, pertemuan dihadiri pula oleh Kepala Pusat
Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi dr Siswanto, MHP, DTM, dan Staf
Khusus Kemenkes Prof Dr dr Akmal Taher, SpU(K).
Kedua pihak lalu menyepakati tiga hal, salah satunya adalah
review atau peninjauan ulang atas riset yang dilakukan Dr Warsito di
laboratorium risetnya. Kemenkes merasa perlu melakukan review karena
mengacu pada UU Nomor 36/2009 tentang Kesehatan, rompi antikanker harus
menjalani uji klinis sebelum dipasarkan. Hasil review akan menentukan apakah
riset Dr Warsito boleh dilanjutkan atau tidak.
Review oleh Kemenkes akan dilakukan selama 30 hari, dengan
melibatkan sejumlah pihak antara lain Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan (Balitbangkes), Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi,
juga pakar-pakar onkologi.
Selama proses review, Dr Warsito tidak diperkenankan
menerima klien sampai hasil evaluasi selesai. Namun, dia masih bisa melakukan
tindak lanjut pada klien yang selama ini sudah diberi terapi.
Meski meyakini bahwa alatnya tidak termasuk kategori alat
kesehatan yang butuh uji klinis, Dr Warsito telah sepakat. Dia berkomitmen
patuh pada keputusan apapun yang akan diambil Kemenkes terkait hasil review
tersebut. Jika hasil review baik, dia akan melanjutkan penelitian.
Langkah Kementerian Kesehatan menghentikan sementara kegiatan
pengobatan kanker di CTECH Labs Edwar Technology di Alam Sutera milik Warsito
dinilai tepat. Namun, langkah mengkaji ulang selama satu bulan dinilai tak
cukup untuk memberi bukti bahwa teknologi terapi kanker yang dikembangkan pusat
riset itu aman.
"Review oleh Kemenkes tidak cukup. Review
Kemenkes harus ke luar negeri juga," kata Danang Birowosuto, peneliti
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Senior Research Fellow program
CINTRA di Nanyang Technological University yang menekuni fisika medis.
Lab milik Warsito mengembangkan 2 inovasi terkait kanker, yaitu
Electrical Capacitance Volume Tomography (ECVT) yang merupakan teknologi
pemindaian 4D pertama di dunia serta Electrical Capacitive Cancer Theraphy
(ECCT) yang berguna untuk membantu penyembuhan kanker. Wujudnya adalah rompi dan
helm antikanker.
Riset lab itu mulai mengundang kontroversi setelah secara
terbuka membuka layanan penyembuhan kanker. Ada sekitar 6.000 pasien yang telah
menggunakan teknologi antikanker Warsito sekaligus menjadi obyek studi. Riset
mengundang kontroversi sebab ECCT dianggap belum teruji dan membuat kondisi
penderita kanker memburuk karena meninggalkan perawatan medis.
Danang menilai, ada cara lain yang lebih tepat dan obyektif
untuk mengkaji ulang. "Tinggal meng-hire peneliti-peneliti
Indonesia di luar sana yang mampu menilai kualitas riset," kata Danang seperti
dikutip Kompas.com, Selasa (8/12).
"Justifikasi hasil penelitian adalah internasional, tidak
pernah lokal. Sebagai contoh, Jepang pada awalnya juga sangat kuat pada konten
lokal. Biarpun mereka banyak menerima hadiah nobel belakangan ini, mereka pun
mulai terbuka, karena mereka menyadari lingkup peer review itu
internasional," imbuhnya.
Cara lain yang paling tepat adalah memublikasikannya di jurnal
ilmiah. Danang mengatakan, Warsito telah membuat inovasi berdampak saat
mengembangkan Electrical Capacitance Volume Tomography (ECVT). Publikasinya
telah terbit di sejumlah jurnal dan disitasi banyak ilmuwan.
Langkah yang sama seharusnya juga bisa dilakukan dalam
pengembangan Electrical Capacitive Cancer Therapy (ECCT) yang menjadi dasar
pengembangan rompi dan helm untuk terapi kanker. "Beliau (Warsito)
terkenal untuk inovasi ECVT-nya. Kenapa untuk ECCT beliau tidak mau go
international?"
Riset efektivitas ECCT telah dilakukan, di antaranya oleh
peneliti lulusan Tokyo University Firman Alamsyah dan Sahudi Salim dari
Universitas Airlangga. Meski hasil penelitian itu dipaparkan di sejumlah forum,
tak satu pun diterbitkan di jurnal ilmiah.
Kepala Riset dan Pengabdian Masyarakat Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, dr Budi Wiweko, menilai bahwa langkah Kemenkes
mengirimkan surat sudah tepat. Menurut dia, hal itu dilakukan untuk menjamin
hak setiap pasien untuk mendapatkan pengobatan yang aman.
Wiweko mengatakan bahwa dirinya mendukung penuh riset dan
inovasi dalam bidang kedokteran. Namun, katanya, riset dan inovasi harus
dilakukan dengan cara yang benar dan beretika. "Ini bukan mempersulit tapi
menjamin keamanan," katanya.
Riset dengan cara yang tepat pada akhirnya berpotensi
mengantarkan teknologi ECCT menjadi terapi kanker yang ampuh. "Kalau tidak
teruji ilmiah malah akan hanya menjadi pengobatan alternatif," kata
Wiweko.
Di tengah penghentian sementara lab-nya, Warsito beroleh
dukungan. Salah satunya dari Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
(Menristekdikti) Mohamad Nasir mendukung temuan Warsito Purwo Taruno soal ECVT
dan ECCT. Menurut dia, penelitian Warsito sudah dianggap terdepan di mata dunia
teknologi.
Menurut Nasir, alat terapi kangker temuan Warsito itu merupakan
hal yang patut diantisipasi kemajuannya di Indonesia ataupun dunia. Dia juga
mengaku bahwa riset di Indonesia memang kurang mendapatkan perhatian.
"Untuk itu kami dukung dan dorong terus temuan dan
penelitian Warsito," kata Nasir saat berkunjung C-Care Riset Kanker Alam
Sutera, Serpong, Kota Tangerang, Senin (7/12).
Mantan Rektor Universitas Diponegoro (Undip) ini mengutarakan pula
akan terus mendampingi penelitian Warsito. Dia tidak ingin mematikan riset anak
bangsa Indonesia, apalagi riset yang dihasilkan merupakan terdepan di dunia.
Nasir pun mengapresiasi hal-hal yang telah dilakulan Warsito.
Hal ini diutamakan pada sikap Warsito yang tidak pernah meninggalkan Indonesia
dengan temuannya itu. Ini membuktikan bahwa Warsito merupakan sosok yang cinta
Indonesia.
Dengan adanya situasi ini, Nasir menegaskan akan berusaha
mengkomunikasikan ini dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Dia berharap
tidak akan ada lagi upaya mematikan inovasi di Indonesia ke depannya.
Dia juga meminta agar ada pendampingan dari kedokteran dan dunia
medis. Pasalnya, temuan Warsito ini masih belum di-scale up sesuai dengan
peraturan yang berlaku.
Ke depan, Nasir berharap temuan ECVT dan ECCT Warsito dapat dipakai di Puskesmas-Puskesmas
seluruh Indonesia. (BN)
Comments
Post a Comment