PKB Tersandung Dana Desa



Intro: Pemilihan Umum (Pemilu) masih sekitar empat tahun lagi. Namun sepertinya ada yang ingin buru-buru mengisi pundi-pundi buat biaya bertarung di Pemilu 2019.
=============


Awal pekan lalu publik dikejutkan dengan dokumen mirip kontrak kerja antara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan pendamping Dana Desa di wilayah Sukabumi, Jawa Barat. Dokumen mirip kontrak yang beredar tersebut mengikat dua hal, yaitu kewajiban pendamping dana desa menjadi kader partai dan keharusan memberikan 10 persen gaji untuk setoran kepada partai.

Koordinator Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Apung Widadi menyayangkan jika dokumen tersebut memang benar dibuat oleh pendamping Dana Desa dengan PKB. Ada tiga hal yang disorot Apung atas dokumen tersebut. “Pertama, potensi penyalahgunaan wewenang oleh oknum partai. Kedua, potensi penyelewengan APBN dari gaji dana pendamping. Ketiga, potensi menguntungkan partai dari dana desa,” jelas Apung.

Dalam “Surat Pernyataan Komitmen” dengan kop PKB tersebut disebutkan bahwa pernyataan itu ditandatangani oleh Indra Sukmana Agustian, kelahiran Sukabumi, 3 Agustus 1979. Indra Sukmana menulis alamatnya dengan tulisan tangan di Kampung Cisarua RT 016/03 Desa Berekah, Kecamatan Bojonggenting.

Surat yang berisi lima poin tersebut ditandatangani pada Juli 2015 di atas sebuah materai Rp6.000. “Ini potensi korupsi untuk kepentingan politik meng-capture Dana Desa dan pendampingan,” ujar Apung.

Berdasarkan data yang dihimpun FITRA, anggaran untuk para pendamping Dana Desa dalam APBN Perubahan tahun 2015 mencapai Rp1,8 triliun untuk sebanyak 16 ribu orang.

Apung meminta Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Marwan Jafar untuk menjelaskan mengenai keberadaan dokumen tersebut. “Ketua Umum PKB agar membuktikan bahwa dokumen ini tidak benar dan KPK untuk turun tangan secara serius menuntaskan dugaan korupsi politik ini,” tutur Apung.

Menanggapi permintaan FITRA, Menteri Desa dan Daerah Tertinggal Marwan Jafar langsung angkat bicara tentang perilaku oknum PKB yang memalak pendamping Dana Desa. Marwan menegaskan itu adalah fitnah yang dilakukan pihak tidak bertanggung-jawab. “Sudah dapat konfirmasi bahwa itu adalah fitnah yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung-jawab, bukan kader PKB,” kata Marwan lewat akun twitternya, awal pekan lalu.

Marwan mengajak masyarakat mengawasi proses seleksi pendamping Dana Desa. Dia menjanjikan akan melakukan tindakan jika ada oknum yang melakukan upaya penipuan tersebut. “Sedang diselidiki dan akan dilaporkan polisi,” ancamnya.

Repotnya, apa yang disampaikan Marwan berbeda dengan pengakuan Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) PKB Lukman Edy. Lukman menuturkan ada oknum pengurus PKB yang bermain. “Jadi, ada beberapa cabang yang tidak disiplin, yang tidak koordinasi dengan kami,” kata Lukman Edy.

Lukman menuturkan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar dan Menteri Desa Marwan Jafar sudah memanggil pengurus DPW PKB yang bawahannya menyodorkan kontrak ke para pendamping desa. Hasilnya, ada beberapa pengurus PKB yang memang terbukti menyodorkan kontrak yang isinya meminta setoran 10 persen gaji pendamping desa. “Kami temukan pengurus kecamatan yang lakukan hal ini. Ini bukan instruksi dari pusat, ini penyimpangan!” ujar Lukman.

DPP PKB sudah membuat larangan pengurus daerah ikut campur dalam pengelolaan Dana Desa. Tak boleh ada kader PKB yang aji mumpung karena Menteri Desa adalah kader PKB. Di sejumlah daerah, mereka yang dipilih Kementerian Desa dan Daerah Tertinggal menjadi pendamping Dana Desa disodori kontrak oleh oknum pengurus PKB. Isi kontraknya antara lain meminta para pendamping desa menjadi kader PKB. Lebih parah lagi, gaji para pendamping itu juga akan dipotong untuk kepentingan pengurus PKB wilayah setempat.

Sejak awal, bahkan saat masih berupa UU, Dana Desa ini banyak dimanfaatkan partai politik untuk meraih simpati rakyat. Dan PKB lah yang paling beruntung.

Pengamat hukum tata negara, Margarito Kamis, menilai Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sangat diuntungkan dengan program Dana Desa. Pasalnya, eksekutor dana ini ada di tangan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) yang kini dipimpin politikus PKB, Marwan Jafar.

"Secara politis, yang paling untung dengan Dana Desa itu bisa saja PKB. Sebab, masyarakat desa akan familiar dengan Mendes PDTT yang berasal dari PKB," kata Margarito dalam sebuah diskusi beberapa waktu lalu.

Margarito menambahkan, dalam pemanfaatan Dana Desa itu juga akan ada petugas pendamping desa. Jumlahnya mencapai puluhan ribu sesuai jumlah desa di Indonesia. Dia menegaskan, peran pendamping itu sangat strategis, tidak hanya dalam pemanfaatan dana desa. “Tapi juga di pilkada dan pilpres," tegasnya.

Sesuai dengan tradisi berpolitik di Indonesia, katanya, sulit bagi petugas pendamping desa untuk melepaskan diri dari peristiwa politik. "Apalagi dalam UU Pilkada dilegalkan politik uang dengan jumlah Rp50 ribu. Dilarang saja lolos politik uang itu, apalagi dilegalkan," ujarnya.

Margarito meyakini PKB sangat menyadari potensi itu. Karenanya, partai pimpinan Muhaimin Iskandar itu akan tetap memertahankan agar jatah PKB untuk menempatkan kader sebagai Menteri DPDTD.

Di awal 2015 terbetik isu dua kementerian berebut mengelola Dana Desa tersebut, yakni Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (DPDTT) dan Kementerian Dalam Negeri.

Masing-masing kementerian punya alasan. Kementerian DPDTT yang dipimpin politikus PKB Marwan Jafar beralasan urusan desa di bawah kementeriannya. Sedangkan di dalam Kemendagri juga ada Dirjen Pemberdayaan Masyarakat Desa. Kemendagri dipimpin politikus PDIP, Tjahjo Kumolo.

Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani mengendus, ada nuansa politis di balik perebutan alokasi Dana Desa. Ujung-ujungnya adalah untuk kepentingan Pemilu 2019. "Nuansa politik pasti ada, ini pengaruh terhadap desa-desa," kata Muzani.

Bagi mantan anggota Panitia Khusus (Pansus) UU Desa, Abdul Malik Haramain, sikap Kementerian Dalam Negeri yang tetap mempertahankan Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) akan terus menimbulkan konflik otoritas dan kewenangan Kementerian Desa (Kemdes).
"Kalau Dirjen dan sejumlah direktorat itu tetap masuk ke Kementerian Dalam Negeri, tumpang tindih kewenangan dua kementerian itu pasti terjadi. Akibatnya pembangunan desa tidak efektif," kata Malik.

Menurut Malik, Direktorat Jenderal Pemerintahan Desa memiliki Direktorat Fasilitasi Pemerintah Desa, Direktur Fasilitas Keuangan dan Aset Desa, Direktur Fasilitasi Pembinaan Kelembagaan dan Kemasyarakatan, Direktur Fasilitas Pengembangan Kapasitas Desa dan Direktur Pembinaan dan Peratutan Desa.

"Dirjen dan sejumlah direktur itu, mengurangi kewenangan Kemendes yang memang dibuat untuk fokus pembangunan dan pemberdayaan desa," tambah Malik.

Mestinya, menurut Malik, urusan administrasi Pemerintahan Desa di Kemendagri cukup masuk dan menjadi bagian dalan kedirjenan politik dan PUM Kemendagri, bukan menjadi Kedirjenan yang membawahi 4-5 direktorat.

"Kita berharap dengan dibentuknya Kementerian Desa, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa bisa lebih cepat dan efektif untuk tujuan kesejahteraan masyarakat," tandas Malik.

Motif polemik di antara kedua kementerian itu disebut-sebut dipicu dari alokasi anggaran yang berlimpah untuk desa. Dana alias duit memang menyilaukan. Apa saja akan dilakukan demi menarik dana masuk kantong partai. (*)

Comments

Popular posts from this blog

Kekerasan di Perkotaan

Temuan Riset: Kepolisian dan Pemerintah Daerah Tidak Paham Apa itu Ujaran Kebencian

Kisah Seorang Preman Kupang (1)