Pemda pun Aksi Ambil Untung



Tidak hanya partai politik yang melirik Dana Desa. Oknum pejabat di lingkungan pemerintah kabupaten dan oknum kepala desa juga banyak yang tergiur.
=============


Penyaluran Dana Desa banyak yang tidak tepat sasaran. Ada oknum kepala desa yang menggunakannya untuk sumbangan hajatan dan membayar pajak bumi dan bangunan (PBB). Sementara oknum pemerintah kabupaten memakai jurus menahan simpanan di bank agar didapat bunga yang lumayan atau tidak transparan berapa sesungguhnya yang berhak diterima satu desa.

Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro) menemukan masih banyak pemerintah kabupaten yang belum menjalankan amanat Undang-Undang Desa untuk mengalirkan setidaknya 80 persen Dana Desa pada pencairan tahap kedua, Agustus 2015 lalu. Lembaga kajian tersebut bahkan menemukan fakta bahwa pada awal Oktober, masih ada desa yang hanya menerima 60 persen dari Dana Desa terutama di kawasan timur Indonesia. Sepertinya sengaja diulur-ulur agar bisa mengambil untung dari proses penyaluran Dana Desa itu.

Direktur Eksekutif Pattiro, Sad Dian Utomo, mengungkapkan, sampai saat ini pencairan Dana Desa oleh pemerintah pusat telah lebih dari 80 persen (Rp16,5 triliun). Jika pemerintah tidak kembali mengulur-ulur waktu, pada bulan November 2015, pencairan Dana Desa tahap terakhir seharusnya akan dimulai.

Sebelumnya, proses pencairan dana desa tahap satu dan dua banyak mengalami kendala, dari proses pencairan dari pusat ke kabupaten dan dari kabupaten ke desa. Dari hasil penelusuran Pattiro, masalah keterlambatan pencairan lebih banyak muncul pada proses yang terakhir.

Ada beberapa modus yang digunakan pemerintah kabupaten untuk mengambil keuntungan dari proses pencairan Dana Desa. Modus pertama, pemerintah kabupaten kerap tidak bersifat transparan kepada perangkat dan masyarakat desa dalam memberikan informasi jumlah dana yang telah menjadi hak desa.

“Seringkali, desa tidak diberi informasi mengenai berapa sesungguhnya jumlah uang yang akan mereka terima dari pemerintah pusat. Jika pun hal itu disampaikan, tak jarang jumlah Dana Desa yang diinformasikan kepada mereka berbeda dengan yang tercantum di dalam peraturan bupati," jelas Sad Dian sebagaimana disampaikan dalam keterangan tertulis, Rabu (21/10).

Akibat kurang pendampingan dan sosialisasi dari pemerintah pusat, pada tahap satu pencairan, banyak pemerintah kabupaten yang tidak mengetahui bahwa Dana Desa berasal sepenuhnya dari APBN.

“Seperti yang terjadi di salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan, pemerintahnya mengatakan kepada para kepala desa bahwa dana 40 persen yang mereka terima, 20 persen berasal dari APBN dan sisanya dari ADD. Inilah sebab masih ada desa yang sampai saat ini baru menerima 60 persen dari dana tersebut,"  tuturnya.

Alih-alih segera memberikan sisanya, pemerintah kabupaten justru memanfaatkan kurangnya pemahaman dan pengetahuan perangkat desa akan hal ini untuk tetap menyimpan 20 persen dana milik desa.

Banyak pula pemerintah kabupaten yang menunda penyaluran dengan alasan desa belum siap secara administrasi --yaitu belum memiliki Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB Desa).

“Dengan alasan inilah kemudian pemerintah kabupaten mendepositokan Dana Desa agar kemudian bisa mengambil keuntungan darinya,” tambah Sad Dian.

Di samping itu, pemerintah kabupaten tak jarang memanfaatkan posisi pemerintah desa yang masih lemah untuk mengambil keuntungan. Salah satu modus yang digunakan pemerintah kabupaten adalah membebankan biaya pelaksanaan program seperti program pelatihan yang mereka miliki ke APB Desa.

“Lebih parahnya lagi, pemerintah kabupaten masih membebankan biaya sekitar Rp10 juta kepada desa agar pemerintahnya bisa mengikuti program pelatihan ini,” ungkapnya.

Cara lain untuk mengeruk rupiah berlebih juga, kabupaten melakukan dengan menarik dana dari APB Desa setidaknya Rp35 juta per desa untuk biaya pengadaan perlengkapan kantor dan sound system.

“Dana desa itu memang benar digunakan untuk membeli perlengkapan kantor dan sound system, tapi wewenang untuk menunjuk perusahaan penyedia barang tersebut diambil-alih oleh kabupaten. Ini menunjukkan bahwa pemerintah desa masih lemah karena mereka manut saja dengan perintah dari kabupaten tanpa mempertanyakan hal itu sebelumnya,” pungkas Sad Dian.

Selain oknum aparatur pemerintah kabupaten yang beraksi ambil untung, tercatat pula puluhan kepala desa di Kabupaten Malang, Jawa Timur, diduga menyalah-gunakan Dana Desa. Pada 2014 ada 75 atau 20 persen dari 378 kepala desa yang diperiksa Inspektorat setempat.

Inspektur Kabupaten Malang Didik Budi Mulyono mengatakan, kebanyakan Dana Desa yang diselewengkan berupa duit alokasi dana desa (ADD) serta anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDes). “Kami sudah memeriksa secara menyeluruh terhadap semua desa dan kami akui banyak yang melanggar aturan atau tidak tertib administrasi,” kata Didik beberapa saat lalu.

Pelanggaran yang ditemukan Inspektorat, antara lain, duit ADD dipakai kegiatan bersih desa dan bahkan dipakai sebagai sumbangan di acara pernikahan dan khitan alias uang buwuh. Ada juga duit ADD dipakai untuk kepentingan politik, membayar pajak bumi dan bangunan, membayar kegiatan hiburan, dan peringatan hari besar nasional. Nilai nominal ADD yang disalahgunakan bervariasi dari ratusan ribu hingga terbanyak Rp 10 juta.

Didik menyatakan penggunaan itu menyalahi ketentuan Peraturan Daerah Kabupaten Malang Nomor 18 Tahun 2006 tentang ADD dan petunjuk pelaksanaan penggunaan ADD yang termaktub dalam Peraturan Bupati Nomor 5 Tahun 2013.

Inspektorat, jelas Didik, memberi kesempatan kepada mereka untuk memperbaiki kesalahan. Uang yang sudah dipakai di luar ketentuan, misalkan, harus dikembalikan ke kas negara. “Sebenarnya kami kasihan juga karena banyak di antara mereka yang berpendidikan rendah,” ujarnya.

Ketua Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) Dewan Pimpinan Cabang Kabupaten Malang, Abdullah, mengingatkan seluruh kepala desa agar bertanggung-jawab dalam penggunaan Dana Desa. Apdesi pun menggiatkan pelatihan agar kapasitas dan kemampuan perangkat desa meningkat. Pelatihan yang diadakan seperti pelatihan penyusunan hingga cara membuat laporan penggunaan APBDes.

“Pelatihannya berbasis penggunaan internet supaya wawasan dan pengetahuan global mereka makin terbuka demi kemajuan desa yang mereka pimpin,” kata Abdullah.

Sungguh tidak mudah mengelola Dana Desa untuk disalurkan kepada yang berhak dan digunakan sesuai dengan peruntukannya. (*)

Comments

Popular posts from this blog

Kekerasan di Perkotaan

Kisah Seorang Preman Kupang (1)

Temuan Riset: Kepolisian dan Pemerintah Daerah Tidak Paham Apa itu Ujaran Kebencian