Memutus Mata Rantai Pungli, Semua Dilayani dengan IT
Banyak notaris mengeluhkan betapa lama proses pengurusan
sertifikat fidusia di Direktorat Jenderal Adminitrasi Hukum Umum (AHU)
Kementerian Hukum dan HAM. Bisa memakan waktu sampai enam bulan. Bisa saja
dalam waktu singkat selesai, namun mesti menyelipkan sejumlah dana di berkas
permohonan. Belum lagi persoalan calo yang menawarkan jasa percepatan
pengurusan. Pendek kata serba sulit dan kadang berbelit.
Tak hanya dalam urusan sertifikat fidusia. Keluhan yang sama
muncul ketika warga masyarakat mengurus akte perseroan terbatas (PT) dan akta
yayasan. Yang seharus bisa selesai dalam satu hari, ternyata pemohon harus
menunggu dalam hitungan pekan, bahkan bulan.
Kunci pembenahannya adalah bagaimana meminimalisasi tatap
muka pemohon dan aparatur yang mengurus. Dan, menurut Sekretaris Direktorat Jenderal
Administrasi Hukum Umum (AHU) DR. Freddy Harris SH, MH, LLM, hal itu dapat
diatasi dengan penerapan online dalam proses permohonan dan sertifikasi
fidusia, akta perseroan terbatas, akta yayasan dan sejenisnya. Hal itu pula
yang dilakukan Freddy dengan dukungan penuh Inspektorat Jenderal yang juga
Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal AHU Chaidir Amin Daud untuk membenahi
pelayanan yang selama ini dikeluhkan berbagai kalangan itu.
Tentu tidak mudah melangkah membenahi meja-meja birokrasi
yang terlanjur penuh kepentingan. Bahkan, Freddy sempat memperoleh surat kaleng
dan fitnah di awal-awal menerapkan sistem online pelayanan di Ditjen AHU.
Bahkan, sampai “berkelahi” dengan pejabat yang tersenggol kepentingan. “Waktu
itu ada seorang level menengah mengadu ke direkturnya. Saya sampai barangkali ‘berkelahi’
karena dia merasa orang yang terganggu,” ujar Freddy Harris kepada Abdul
Farid dan Budi Nugroho dari FORUM yang menjumpai di ruang
kerjanya pekan lalu. Berikut petikannya:
Apa yang membuat Anda tergerak dan mendobrak sistem pelayanan
lama yang sakit ke sistem pelayanan berbasis teknologi (online)?
Indonesia itu masih berprinsip bahwa kalau pemimpinnya punya
kesadaran berubah maka bawahannya juga akan berubah, pemimpin jadi contoh. Kalau
pemimpinnya gak mau berubah, ya bawahan pun gak berubah. Artinya, saya sadar
betul, saya bukan orang substantif, tapi suportif. Untuk itu caranya bagaimana saya
mensupport agar kinerja lembaga ini jauh lebih baik. Kebetulan saya sedikit
mengerti tentang teknologi dan mengerti
substansinya. Dan saya ini orang logic, analytic dan kritis. Kalau gak logic,
buat saya gak masuk akal. Tuhan kasih akal, kok ada sesuatu gak masuk akal.
Saya sadari bahwa eluruh pembenahan akan bermuara kepada
manusianya. Sebab itu yang saya lihat bagaimana memulai membenahi manusianya. Ternyata
hambatannya terlalu besar, karena rusaknya sudah terlalu lama. Bukan salah
mereka juga, karena dibiarkan. Ibarat penyakit sudah kronis. Tapi kita yakin
juga, penyakit apapun ada obatnya.
Kita lihat lebih jauh, o ya pelayanan. Mindset dari
banyak birokrat adalah ‘gue yang dilayani’. Itu terbalik, harusnya birokrat
yang melayani. Kita ini digaji dari uang rakyat, dari pajak, dari hasil bumi,
dan sebagainya. Seluruh birokrat harus sadar betul digaji dengan uang rakyat.
Itu dulu yang diubah. Intinya di situ. Birokrat harus men-serve rakyat. Sebab
itu, mari kita melayani. Saya yakin kalau orang senang maka rezeqi kita ada.
Dan benar, sekarang semua menikmati. Menikmati dalam hal yang legal. Kalau dulu
tidak legal. Mungkin gak bisa bandel-bandel lagi lah. Gak bisa isteri dua atau
isteri tiga, karena sekarang sudah terpola income-nya.
Tentu bukan hal mudah mengubah mindset dilayani menjadi
melayani?
Ya, sebab itu kita mulai dari pelayanan terdepan, customer
service dulu. Kita nih sudah kayak Terminal Bus Cililitan. Semua orang
berseliweran, termasuk calo. Kalau begitu customer service-nya kita ubah
layaknya sebuah bank. Kita bikinlah layanan jasa hukum terpadu. Ada ruang
duduk, AC, aqua gratis, dan ikan hias.
Pelayanan terbenahi, lalu saya lihat ada calo. Ini juga
persoalan. Calo link-nya pasti ke orang dalam. Sebab itu, saya resmikan
saja keberadaan calo. Saya kasih name tag. Loe boleh calo, gak
apa-apa, loe daftar. Tapi awas, kalau loe ngasih ke orang dalam.
Memang tidak serta merta berjalan. Apapun namanya revolusi
itu memakan korban.
Pungli dan calo pun terkikis, adakah resistens atau
hambatan dari dalam?
Yang banyak adalah fitnah. Pokoknya dicoba fitnah bahwa saya
gak bener, saya main ini segala macam. Ada surat kaleng, surat botol, surat
ember dan semacamnya. Ya kita konsisten
saja. Yang penting juga kita sama-sama sosialisasi ke internal, kita mau
ngapain.
Sebab itu, yang saya tanya bukan lini atas, tapi lini bawah.
Loe sehari dapat berapa. Waktu itu 2010, mereka dapat sekitar Rp50 ribu
sampai Rp100 ribu. Kalau gitu lima hari Rp500, sebulan Rp2 juta. Pasti gak pendapatan
itu? Kadang-kadang sampai, kadang-kadang tidak. Artinya loe dapat Rp1
juta sampai Rp1,5 juta. Segitu ya. Maka harus dicarikan jalan keluarnya dulu. Kalau
gitu loe kita kasih satu kali perjalanan dinas tiap bulan. Satu
perjalanan dinas mereka biasa dapat Rp1 juta. Ini cuma untuk membelokkan dulu. Perjalanan
dinas ke mana saja terserah, loe mau ngapain, kontrol atau apa ke kantor
wilayah, silakan. Pasti ada uang dinasnya.
Dari situ ok, tapi masih tetap ada pungli. Karena waktu itu
masih face to face dalam pelayanan. Sebab itu saya lihat lagi. Kalau
begitu harus dipercepat pelayanannya. Akhirnya jatuh ke sistem IT (Information
Technology), supaya faceless --tanpa tatap muka. Artinya semua
dilayani dengan IT. Kalau ada orang datang ke layanan terpadu, memang ada
kesulitan, kelamaan, atau kesalahan, bukan untuk meminta pelayanan. Misalkan
pendirian PT, gak bisa di sana (pelayanan terpadu), tapi ke notaris. Kalau
notarisnya salah masukkan data, kok fidusia saya jadi seperti ini, itu di
pelayanan terpadu. Istilahnya lebih ke customer service saja. Kalau dulu
kan terima berkas, lalu mau cepat atau tidak, tergantung amplopnya. Kan itu
yang terjadi. Perangkonya mau mana nih, kilat atau tercatat. Itu nyata. Saya
lihat dari lantai dua kan, mana ada amplop, mana ada ini.
Level bawah dikasih jalan keluar perjalanan dinas,
bagaimana dengan level menengah?
Lahan calo saya gak gusur. Calo tetap ada tapi tidak bisa
lagi buat main-mainan. Waktu itu ada seorang level menengah mengadu ke
direkturnya, saya sampai barangkali “berkelahi” karena dia merasa orang yang
terganggu. Saya konsisten saja. Dan saya sangat didukung oleh Pak Dirjen. Ini
penting. Makanya kemudian Pak Dirjen mengajak “marilah kita berjalan dari arah
yang gelap menuju ke arah yang terang”. Komitmen itu yang saya pegang. Saya
selalu merasa bahwa hasil ini adalah hasil kita, bukan saya seorang atau dirjen
seorang, tapi kita, tim. Itu menjadi penting, karena kalau toh kemudian Dirjen
yang memperoleh nama, naturalnya begitu kan. Apapun yang dilakukan sekarang, ya
Pak Jokowi yang punya nama. Di bawahnya itu pembantu. Lha saya pembantu Pak
Dirjen. Siapa yang berhasil, ya Pak Dirjen. Saya tidak boleh mengatakan saya
yang berhasil. Dan itu harus punya kekuatan hati untuk tidak eksis.
Sebagai Sesditjen, saya kan belum punya pengalaman. Orang
melihat saya ini serem. Sebab itu saya berusaha mendekat ke bawah. Dari dulu,
Sesditjen itu ditakuti, gak tahu kenapa, apakah muka saya ini serem. Mendekati
ke bawah, sederhana saja yang saya lakukan. Misalkan saya mau menyuruh
teman-teman shalat jamaah tepat waktu. Gak bisa saya katakan ‘eh shalat jamaah
kalian’. Tapi harus mulai dari diri saya sendiri. Ya, saya di sini ada polisi
syariah yang kasih tahu ‘pak sudah adzan’. Saya terus turun shalat berjamaah.
Lama kelamaan sambil jalan saya ajak mereka.
Itu kan dalam hal spiritualnya. Dalam hal keseharian ya
terus saya tanamkan ‘jangan lagi seperti dulu’. Ya akhirnya terhenti. Mau apa
lagi, buat pelayanan, apa yang mau dicalo-in lagi, wong sudah cepat. Ya semua
bisa berjalan.
Selain hilangnya tatap muka, sistem online juga tidak
lagi membutuhkan kertas sertifikat kosong, bagaimana legalitas dan keamanan
dokumen?
Ya, orang memang lalu bicara tentang kertas. Saya sampaikan,
kita gak butuh kertas lagi. Dulu kertas dokumen SK itu kan bagus banget,
kertasnya pakai security printing. Tapi tetap yang namanya pemalsuan
bisa saja terjadi. Di Pramuka itu banyak dokumen dipalsukan. Saya bilang kita
tidak jualan kertas, yang kita lakukan adalah data. Masyarakat itu akan
memperoleh data yang benar, misalkan tentang data Perseroan Terbatas (PT). Dulu
ada yang bilang ini melanggar ketentuan, karena harus tanda tangan basah. Wow
begitu ya. Coba kita lihat SIM, kira-kira Dirlantas Polda Metro Jaya ini tanda
tangan basah gak ke SIM. Polisi sudah melakukan hal ini sejak dulu. Anda mau
bilang ini gak sah, maka SIM ini gak sah. Mari kita ke Dirlantas Polda Metro
Jaya untuk mengatakan SIM ini tidak sah.
Saya bilang tidak bisa begitu lagi, polanya sudah berubah. Jadi
harus digunakan logika-logika yang tepat. Analoginya harus benar. Kan benar,
SIM yang diberbitkan Polda Mtero sah gak, sah kan. Padahal bukan tanda tangan
basah. Juga tanda tangan di fidusia atau akta PT, tanda tangan digital saja.
Yang penting tanda tangan digital itu ter-record di kita. Jadi terlihat hari
ini tanda tangan berapa, kan nada log di kita. Dan Pak Dirjen waktu itu dikasih
report tiap hari. Pak Dirjen kasih print out, tanda tangan PT ini, PT
itu. Akhirnya menghabiskan kertas juga, berapa rim kertas habis. Sekarang kalau
mau, Pak Dirjen lihat tanda tangan di log saja.
Bagaimana dengan fidusia yang dulu harus lewat Kanwil?
Memang dulu orang ngurus fidusia harus ke Kanwil. Waktunya
gak jelas kapan mereka dapat sertifikat. Sesudah itu saya bilang, kebetulan pas
UU Fidusia diundangkan, saya orang pertama yang memberikan sosialisasi, waktu
zaman Prof. Natabaya. Saya sebenarnya agak bingung dengan Indonesia, waktu saya
belajar di Belanda, fidusia sudah dicabut. Waktu berbicara di depan 300 orang
notaris, semuanya mengeluh, fidusia penuh dengan calo dan segala macam. Lalu
saya lihat, ini Kakanwil ya. Ini kan mainan di wilayah. Kita benahi lagi. Caranya
apa, ya dengan IT. Dulu fidusia ini kalau mau daftar, enam bulan baru selesai.
Ujung-ujungnya bisa satu hari, tapi perangkonya berapa. Ini gak bisa dibiarkan.
Padahal undang-undangnya menyatakan sertifikat fidusia itu diberikan pada hari
yang sama saat pendaftaran. Jadi satu hari saja. Orang datang mendaftar, maka
hari itu juga sertifikatnya jadi.
Ini kok enam bulan. Banyak pengaduan waktu itu ke kejaksaan.
Katanya banyak pungli. Saya minta ke kejaksaan, tolong lah pokoknya kita benahi.
Waktu itu bulan November, saya bilang kalau Desember atau Januari belum beres,
silakan proses. Lalu kita lihat bersama Pak Dirjen. Saya sampaikan ‘kalau
begitu online kan saja’.
Wah langsung ribut, tanda-tangannya gak sah. Di sini ada
peran Wakil Menteri Hukum dan HAM (2009-2014) Deny Indrayana, saya tak akan
menghilangkan fakta sejarah. Seluruh Kakanwil gak mau kasih tanda tangan
specimen ke kita. Saya lapor ‘Pak Wamen, gak ada Kakanwil yang mau tanda tangan
nih’. Waktu itu Deny cukup ditakuti. Jadi Deny punya peran dalam pembenahan
fidusia ini. Akhirnya semua Kakanwil bersedia tanda tangan daripada
dinon-jobkan.
Setelah itu proses permohonan fidusia menjadi satu hari.
Bukan satu hari lagi, tapi tujuh menit. Begitu pula untuk mengurus akta PT. Boleh
dicetak di kertas. Saya bilang sertifikat fidusia boleh dicetak di kertas F-4,
minimal 70gram, warna putih. Kita gak bilang harus kertas conqueror,
tapi kalau notaris mau mencetak di kertas conqueror silakan.
Berapa penghematan dari hilangnya kertas dari
sistemonline ini?
Dulu untuk biaya cetak sertifikat kosong sampai Rp24 miliar
setahun. Jadi kita bisa hemat Rp24 miliar. Pengamanan cukup dengan barcode.
Kalau kita scan, data yang keluar akan sama dengan data yang tercetak di
kertas. Sistem barcode ini meminimalisir pemalsuan, kecuali ada kerjasama
dengan orang dalam, orang IT. Dan orang IT sudah kita sumpah.
Lalu apa peran Kakanwil sekarang?
Peran mereka menggunakan anggaran. Dulu mereka tidak bisa
menggunakan anggaran. Karena selalu jadi temuan BPK, penerimaan tidak pernah
klop, tidak consolidated. Sekarang sudah consolidated. Sekarang
Kakanwil bisa cek langsung, mereka sudah menghasilkan berapa ratus juta dari
fidusia online ini. Misalkan kita menghasilkan Rp100 miliar, Menteri Keuangan
memberi kewenangan kita boleh menggunakan Rp76 miliar. Dari Rp76 miliar, 40%
AHU dan 60% Kanwil. Kanwil-Kanwil itu sekarang kendaraan dinas baru, kegiatan
didukung. Dulu susah, yang kaya pribadi-pribadi. Itu pun tidak seberapa.
Bagaimana memberikan pemahaman kepada warga masyarakat,
terutama yang belum melek teknologi?
Perlu sosialisasi yang intensif. Kita masukkan ke media, kita
promosikan http://ahu.go.id/ atau AHU online
ke sejumlah media cetak, majalah Wings, Lion, Garuda. Tapi kita tetap
harus terus intensif sosialisasi. Kemarin CEO Kompas meeting dengan Pak
Jokowi, saya datang, saya jelaskan AHU online ini, kebetulan duduk satu
meja dengan CEO-CEO.
Agak keluar jalur, apa peran AHU dalam ikut serta
mengurangi beban kerja Lembaga Pemasyarakatan?
Di Kemenkumham ini istilahnya dari ditjen kaya dan ada
ditjen dhuafa. Karena ada ditjen yang tidak menghasilkan PNBP. Sementara AHU
ini PNBP-nya naik terus, 2010 itu cuma Rp48 miliar, sekarang sudah Rp750 miliar,
tahun depan kita targetkan di atas Rp1 triliun. Artinya, ternyata kalau
masyarakat kita mudahin maka duit masuk. Itu riil duit masuk, bukan omong
kosong. Dulu kita agak dhuafa dikit. AHU, administrasi hukum umum, istilah saya
Ditjen A3 –apa aja ada. Sementara teman-teman Pemasyarakat kan kasihan, mereka
hidup dengan rupiah murni. Bagaimana agar kita bisa membantu kegiatan
pemasyarakatan, maka kita lekatkan di sini ada direktur pidana, evaluasi
pemantauan narapidana. Ditjen Pas yang punya gawe, AHU yang kasih biaya. Masak
kita diam saja, kita kaya berlimpah anggaran sedangkan Ditjen Pas kesulitan. Sepanjang
gak kolusi, korupsi dan nepotisme ya gak masalah. Sekarang AHU pikirnya sudah
dalam konteks Kementerian.
Ditjen PAS gak punya anggaran buat beli komputer, AHU tiap
tahun bisa beli komputer. Kita tahun depan beli, komputer yang ada menurut
peraturan Menkeu tidak boleh langsung diberikan ke PAS. Caranya, orang AHU pakai
komputer baru, komputer lamanya pindah buku ke PAS. Maunya kita langsung bantu,
tapi gak bisa, harus dicatat dulu di buku kita. Kalau tidak akan repot
berhadapan dengan BPK. Jadi trik-trik positif ini juga penting.
Dengan model pelayanan online, Ditjen AHU memperoleh
penghargaan dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi dan jadi tempat belajar aparatur Mahkamah Agung, bisa diceritakan?
Saya bilang ke teman-teman Mahkamah Agung, kalau masyarakat
kita permudah maka duit akan datang dengan sendirinya. Lalu, untuk pelayanan
terdepan bukan lagi PNS. Karena PNS sudah terbentuk begitu, sulit untuk
melayani. Pelayanan terdepan itu harus outsourcing. Kan lebih mudah
mengendalikan outsourcing ‘eh kalau loe gak layani dengan baik,
ganti’. Lebih gampang kan, kontrak mereka. Tiga tahun kalau bagus kita
lanjutkan, kalau kurang bagus bisa cari yang lebih segar lagi. Mereka juga
enak, upah minimum tidak dipotong, di tempat lain upah minimum itu masih
dipotong. Tanya saja Satpam sini dengan Satpam sebelah sudah beda upahnya.
Apa yang dilakukan AHU ke depan?
Kita sudah launching data searching, data PT, data
Fidusia, data Yayasan. Teman-teman FORUM kalau lagi ada pemberitaan investigatif
ingin lihat PT Kuda Lumping milik Nazaruddin misalkan, cukup beli voucer BNI
senilai Rp50 ribu, langsung bisa searching melihat siapa pemegang saham
terakhir, siapa direksinya. Kalau mau lengkap datanya, mulai dari pendirian,
voucer Rp500 ribu. Jauh lebih murah daripada Singapura (7 dolar AS), Australia
(6 dolar AS), dan Amerika (6 dolar AS).
Idenya berawal dari di Indonesia ini semuanya dibilang
rahasia. Gak begitu. Ada data yang sebenarnya menjadi hak publik untuk tahu.
Cuma pengelolaan data itu butuh biaya, maka kita kenakan charge, dan gak
boleh mahal-mahal. Kita sampaikan biaya pengelolaan data, kapasitas, dan apa
saja yang bisa dinikmati masyarakat. Kita betul-betul terapkan seperti
korporasi. Kita sudah paparkan ke Menteri Keuangan sehingga sampai pada angka
Rp50 ribu. Charge sebesar Rp50 itu bisa dipertanggung-jawabkan. Kenapa
tidak Rp25 ribu, oo begini rinciannya. Sebenarnya biaya Rp75 ribu, tapi kita
pungut cukup Rp50 ribu.
Bagaimana tanggapan masyarakat?
Cukup antusias menunggu. Misalkan Anda mau beli perusahaan
tambang di Jawa Barat, PT Kuda Lumping. Yang mau dibeli kan sahamnya. Mau tahu
dong, siapa pemiliknya, sejarahnya. Kita lihat dulu dong, jangan-jangan gak
bener. Dengan Rp50 ribu kita secure, oh betul dia direksi, dia pemegang
saham. Kita bisa lihat akta notaris terakhir, oh di notaris ini. Kita datangi
notarisnya, minta lihat akta perusahaan, betulkah orang ini punya kewenangan
perusahaan. Jadi buat bisnis, sangat membantu.
Juga misalkan Bank mau memberi kredit Rp100 miliar ke PT
Jambu Bol. Pihak Bank bisa lihat dulu, benarkah asset dan modalnya layak
dikucuri Rp100 miliar. Bank jadi secure. (*)
Comments
Post a Comment