Gula-gula Itu Bernama Dana Desa



 
Anggaran Dana Desa sebesar Rp20 triliun bagai gula-gula bagi partai politik. Ada dua kementerian yang sedari awal terkesan berebut mengelola Dana Desa tersebut, yakni Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (DPDTT) dan Kementerian Dalam Negeri.

Masing-masing kementerian punya alasan untuk mengambil kewenangan mengelola dana yang sangat menggiurkan itu. Kementerian DPDTT yang dipimpin politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Marwan Jafar beralasan urusan desa berada di bawah kewenangan kementeriannya. Sedangkan di dalam Kemendagri juga ada Dirjen Pemberdayaan Masyarakat Desa. Kemendagri dipimpin politikus senior PDIP, Tjahjo Kumolo.

Kabar terakhir, oknum PKB di daerah sudah ada yang “merancang” mengisi pundit-pundi partai dengan membuat surat kontrak pendamping desa untuk mengelola Dana Desa. Tak tanggung-tanggung, dalam kontrak itu si pendamping mesti masuk PKB dan menyisihkan sebagian upah pendampingan buat kepentingan partai. Dana Desa sungguh rawan diselewengkan. 





 Mengawal Dana Desa pada Yang Berhak


Intro: Strategi pembangunan pemerintahan saat ini adalah membangun Indonesia dari pinggiran. Strategi ini diambil untuk menghidupkan dan memperkuat desa kembali sehingga mampu mewujudkan spirit desa membangun Indonesia. Desa dipersiapkan untuk menjadi masyarakat berpemerintahan (self governing community) yang maju, kuat, mandiri, dan demokratis.
=========


Barangkali Anda pernah mendengar slogan Bali Deso, Mbangun Deso (Kembali ke Desa, Membangun Desa). Slogan itu terkenal saat Provinsi Jawa Tengah dipimpin oleh Bibit Waluyo, Gubernur Jateng periode 2008-2013. Kini, semangat itu bergaung kencang di era Presiden Joko Widodo.

Pemerintah menyadari betul peran sentral wilayah perdesaan sebagai mesin pertumbuhan ekonomi nasional yang selama ini seolah diabaikan. Seluruh sumber daya alam, letaknya di desa (produsen), sedangkan kota tempatnya para konsumen bermukim. Desa harus benar-benar diberdayakan agar mampu tumbuh dan menjadi penopang pembangunan Indonesia. Untuk memperkuat upaya itu telah ditetapkan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Dana Desa. Terdapat dua tujuan utama pengguliran dana desa oleh pemerintah, yaitu untuk pembangunan di desa dan untuk pemberdayaan masyarakat desa.

Namun Dana Desa yang dialokasikan sebesar Rp20 triliun melalui APBN-P 2015 itu, sampai Oktober lalu, baru sekitar Rp7,091 triliun yang dicairkan ke rekening kas desa atau setara 34 persen dari total Dana Desa. Memang pemerintah pusat sudah mengucurkan sebanyak Rp16,5 triliun dana desa (setara 80 persen dari total DD Rp 20,766 triliun) ke rekening kas umum daerah Kabupaten/Kota.

Lambatnya proses penyerapan dan pemanfaatan Dana Desa terjadi  akibat kurang cepatnya kementerian/lembaga dalam menerapkan UU Nomor 6 Tahun 2014. Banyaknya kementerian dan instansi yang terlibat menyebabkan koordinasi menjadi rumit dan terkesan saling melempar tangggung jawab. Kementerian Keuangan yang menyediakan dana sudah siap mentransfer dananya dan bahkan sebagian dana sudah berada di desa. Sementara Kementerian Dalam Negeri, yang seharusnya telah mempersiapkan pelatihan dan pendampingan bagi aparat desa menyusun dan membuat dokumen-dokumen perencanaan desa hingga RAPB Des dan pelaporan, hingga saat ini belum melakukannya. Kementerian Desa Tertinggal juga terlibat dalam program ini berupa pendataan tentang kondisi desa-desa yang tertinggal di Indonesia yang harus dibantu.

Selain koordinasi antar-lembaga yang rumit tadi, kelambatan penyerapan Dana Desa juga disebabkan, antara lain, kompetensi dan kemampuan aparat desa yang belum mumpuni untuk memanfaatkan Dana Desa tersebut, mulai dari tata cara pembuatan dokumen perencanan desa, dokumen RAPB Desa, APB Desa, hingga membuat laporan dan pertanggung-jawaban Dana Desa kelak. Juga belum ada juklak/juknis dari pemerintah daerah yang mendukung dan mempercepat penyaluran Dana Desa, sehingga aparat desa ragu menyerapnya. Lalu pihak provinsi dan kabupaten belum konsisten menyalurkan dana bagi hasil pajak dan retribusi daerah sebesar 10% ke desa. Dan ada kecenderungan makin banyaknya pemekaran desa sehingga data jumlah desa di pusat selalu berubah-bertambah.

Kondisi perangkat desa yang relatif minim lantas dimanfaatkan lembaga-lembaga atau kelompok-kelompok masyarakat di daerah ramai-ramai menawarkan diri melakukan pendampingan dan pelatihan kepada aparat desa yang memang belum ada standardisasinya. Buat mempersiapkan secara lengkap dan tepat waktu segala sesuatu yang terkait dokumen-dokumen kelengkapan administrasi dana desa, yang dibutuhkan adalah pelatihan dan pendampingan bagi aparat desa. Kementerian Keuangan harus segera membuat materi berupa modul terkait pendampingan dan pelatihan aparat desa.

Pendampingan sebaiknya dilakukan dengan pemberdayaan (empowerment) dengan pendekatan untuk memperkuat desa dan rakyat secara sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Aktivitas pendampingan desa (khususnya perencanaan dan penganggaran), selain dengan menggunakan alat yang menghasilkan dokumen, juga diperlukan sentuhan pemaknaan.

Pendampingan terhadap seluruh aktivitas desa harus disertai edukasi sosial dan politik secara inklusif dan partisipatoris. Dalam perencanaan dan penganggaran desa, misalnya, tidak hanya berhenti pada penyusunan dokumen perencanaan yang akan dijabarkan jadi agenda proyek dan pelaporan. Namun, di balik perencanaan dan penganggaran desa ada pembelajaran bagi orang desa membangun impian kolektif dan mandiri mengambil keputusan politik.

Tindakan kongkret agar solusi ini bisa berjalan di lapangan, yaitu Kementerian Keuangan dan pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten, segera mengalokasikan dalam APBN/APBD berupa pos dana pendampingan dan pelatihan aparat desa dalam rangka pelaksanaan Dana Desa.

Secara rinci solusi dapat diberikan melalui pendampingan yang harus segera dilakukan kabupaten bagi aparat desa dalam aspek perencanaan, yaitu mendampingi aparat desa untuk membuat/melengkapi dokumen yang dibutuhkan dan aspek eksekusi dengan melakukan pendampingan dalam pelaksanaan kegiatan dan pelaporan. Untuk itu, perlu pengalokasian sejumah dana dalam APBD kabupaten/provinsi untuk kegiatan pelatihan dan pendampingan bagi aparat desa dalam menyusun dokumen–dokumen perencanaan desa, pertanggung-jawaban APBD, hingga pelaporan APB Desa serta kegiatan pendampingan bagi aparat ketika dana desa dieksekusi.

Pelatihan dan pendampingan sebaiknya dilakukan oleh badan diklat daerah, perguruan tinggi, serta instansi teknis terkait, seperti Bappeda dan Biro Keuangan, untuk memperoleh standardisasi materi pelatihan dan pembuatan dokumen dan laporan. Sebab, pihak provinsi/kabupaten belum memiliki juklak/juknis tentang pendistribusian dana desa, solusinya pemda harus secepatnya mempersiapkan juklak-juknis dan dokumen lain yang dibutuhkan, sebelum waktu pendistribusian Dana Desa dilakukan.

Kegiatan tersebut harus menjadi tanggung jawab pemerintah daerah setempat karena pelatihan ini harus bersertifikat, yang menunjukkan teknis kemampuan warga desa sebagai syarat ketika warga desa mencalonkan diri sebagai aparat desa. Pemerintah daerah harus segera membuat tugas pokok dan fungsi dari kelembagaan yang dibentuk terkait pelaksanaan dana desa, ke peraturan daerah sudah siap, harus segera disosialisaskan ke desa sebelum Dana Desa digulirkan.

Dalam penyusunan juklak/juknis tentang pendistribusian Dana Desa, pemda harus secepatnya menyusun tim kerja yang bekerja sama dengan perguruan tinggi setempat untuk mempersiapkan dan membuat dokumen-dokumen yang dibutuhkan, sebelum waktu pendistribusian Dana Desa dilakukan. Dalam penyusunan APBDP harus diprioritaskan pos alokasi dana desa sebesar 10% dari pajak dan retribusi daerah.

Pemda harus membuat standar perekrutan aparat desa yang memaksa agar setiap calon aparat desa walau tidak harus tamat SMA atau sarjana, calon telah lulus pelatihan aparat desa yang bersertifikat. Pemda harus segera membuat tupoksi, standar operasional prosedur dari kelembagaan yang terkait dengan pelaksanaan dan pengelolaan Dana Desa dan dibuat peraturan daerah.

Selanjutnya Pemda harus melakukan pengalokasian Dana Desa untuk pengkajian kembali dan permasalahan desa, antara lain tentang faktor penyebab kecenderungan banyaknya desa yang dimekarkan, persyaratan desa yang dimekarkan sesuai dengan UU Desa, evaluasi sejauh mana kemampuan desa untuk mandiri secara penuh, kerja sama pendampingan oleh PT (Perguruan Tinggi) dapat melalui program Kuliah Kerja Nyata (KKN). Membangun jaringan untuk akses internet (broadband) perdesaaan, khususnya untuk membuat link dokumen pengelolaan keuangan desa secara tepat waktu.

Dana Desa harus betul-betul dikawal. Maklum, dana desa melibatkan anggaran triliunan rupiah dan sekitar 74.000 desa di seluruh Indonesia akan menerima kucuran Dana Desa, yang besaran tiap desa bervariasi, bergantung pada jumlah penduduk, luas wilayah, tingkat kemiskinan, dan letak geografis. Dana itu akan langsung ditransfer ke dalam APBD Kabupaten/Kota, selanjutnya ditransfer ke kas desa. Berdasarkan acuan itu, minimal dana yang akan diterima desa sebesar Rp150 juta dan maksimal Rp270 juta.

Di tengah-tengah kualitas perangkat desa yang masih relatif lemah, ada kekhawatiran Dana Desa akan menjadi sarang baru bagi koruptor.
"Perangkat desa belum siap mengelola dana dalam jumlah besar, mereka perlu pendampingan dari pemerintah pusat. Kalau itu tidak dilakukan, kasus penyelewengan  seperti terjadi pada Dana Alokasi Khusus bisa terjadi, apalagi Dana Desa kali ini nilainya lebih fantastis," kata Suparman Samsudin, Pengamat Ekonomi Perdesaan.

Dia mencermati alur distribusi Dana Desa disalurkan dari APBN yang kemudian diteruskan ke APBD Kabupaten/Kota, selanjutnya masuk ke kas desa. Kalau tidak ada mekanisme yang ketat di setiap tingkatan birokrasi, kebocoran anggaran berpeluang terjadi lantaran di lini Kabupaten/Kota diisi oleh kader-kader parpol yang sarat kepentingan.

Di lini desa juga tidak kalah rawannya, sebab tidak bisa disangkal para perangkat desa (kepala desa) juga tidak terbebas dari kepentingan politik. "Belum lagi jika dalam pengelolaan Dana Desa, masyarakat desa tidak dilibatkan secara aktif, maka peluang terjadinya penyelewengan ataupun korupsi semakin terbuka lebar. Di sini lah pentingnya manajemen pengelolaan dana yang akuntabel," katanya.

Ihwal kekhawatiran jadi ajang bancakan para koruptor juga disampaikan oleh Koordinator Advokasi FITRA, Apung Widadi. Merujuk pada isu yang belakangan berkembang, kata Apung, ada potensi penyelewengan APBN lewat Dana Desa. “Artinya, di sini ada kelompok tertentu yang diuntungkan. Sehingga boleh dikatakan ini potensi korupsi untuk kepentingan politik meng-capture Dana Desa dan pendampingan. Data penelusuran FITRA, untuk pendamping tahun 2015 berjumlah sekitar 16.000 orang dengan total alokasi di APBN-P 2015 mencapai Rp1,8 triliun,” ulas Apung.

Dalam nada sedikit berbeda Wakil Presiden Jusuf Kalla mengkhawatirkan adanya potensi ketidak-seriusan pengelolaan dana desa. “Namanya beribu-ribu desa, ada saja yang main-main, setengah serius,” katanya beberapa waktu lalu.

Selain ketidak-seriusan pengelolaan, potensi lain seperti ketidak-pahaman pengelolaan dana tersebut juga bisa saja terjadi. “Ada juga barangkali yang tidak mengerti, karena itu semuanya harus disosialisasikan dan dikawal dengan baik,” jelas Wapres Jusuf Kalla.

Untuk mengawal Dana Desa tepat sasaran, sistem regulasi di pemerintah pusat jangan terlalu sering sering berubah-ubah. “Pemerintah harus konsisten dengan aturan yang dikeluarkan,” tegas Ryaas Rasyid selaku Penasehat Khusus Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi).

Sejak diterbitkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) yang dibuat oleh Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, dan Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi yang mulai berlaku 14 September 2015 lalu diharapkan menjadi sebuah regulasi untuk efektifitas dan efisiensi penyaluran Dana Desa. Dan Dana Desa pun benar-benar sampai di tangan yang berhak. (BN) 

Comments

Popular posts from this blog

Kekerasan di Perkotaan

Temuan Riset: Kepolisian dan Pemerintah Daerah Tidak Paham Apa itu Ujaran Kebencian

Kisah Seorang Preman Kupang (1)