Lewat Mendongeng, Menjaga dan Merawat Titipan Tuhan



Hakekatnya, anak itu ada dua. Pertama anak yang lahir dari rahim isteri dan, kedua, anak yang lahir dari hati. Dua-duanya hanyalah titipan. Dan titipan itu harus dipertanggung-jawabkan.
===============


Selama sekitar tujuh tahun, Iman Surahman aktif di dunia kebencanaan alam. Aktif di Komando Dissaster Management Center Dompet Dhuafa, dia sibuk dan sigap membantu korban bencana. Dia aktif merespon semua kejadian bencana alam, mulai dari bencana tsunami Aceh sampai letusan Gunung Merapi (Jawa Tengah) yang membawa korban sang jurukunci Mbah Marijan.

Pengalaman malang-melintang mengurus korban bencana alam, di mata Kang Iman (begitu dia akrab disapa), ternyata bagi anak Indonesia yang paling berbahaya bukan bencana alam itu melainkan bencana sosial. Banyak anak di wilayah bencana alam tiba-tiba menjadi yatim, bahkan tidak sedikit yang yatim piatu. Anak-anak kehilangan asa dan masa depan.   

Sebagai sosok yang memilih profesi pendongeng, Kang Iman berusaha membangkitkan asa dan harapan anak-anak korban bencana melalui dongeng. Dia pun aktif mendongeng ke mana saja, terutama di tempat-tempat pengungsian korban bencana alam.

Selain menghibur, kata Kang Iman, lewat dongeng dapat ditanamkan karakter, perilaku, sikap dan moral yang baik kepada anak-anak. “Di masa kecil, saya sudah takut ketika abah mendongeng Malin Kundang. Ada nilai moral di situ, anak tak boleh durhaka kepada ibu. Jangan sampai anak-anak kita dengan seenaknya bilang ’terima kasih ya kamu bantu saya mencuri mangga tetangga’ atau ‘terima kasih, kamu telah Bantu saya mengambil duit ibu’. Harus ada standar moral yang ditanamkan di benak anak-anak,” tutur Kang Iman dalam obrolan ringan dengan FORUM.

Standar moral itu tidak muluk-muluk, yakni jujur, penyayang, penyabar, dan tawadhu (rendah hati). Standar moral yang mengacu pada akhlak Rasulullah Muhammad saw itulah yang berusaha Kang Iman tanamkan melalui dongeng.  

Ya, melalui dongeng yang di mata orang kebanyakan hanyalah cerita khayalan atau cerita yang tidak benar-benar terjadi. Di mata Kang Iman, dongeng tidak semata-mata cerita yang dikarang-karang atau tidak benar-benar terjadi. Bisa saja, menurutnya, dongeng itu berasal dari kejadian sehari-hari. Yang jelas, dari dongeng itu ada nilai, karakter, sikap, nilai dan pesan moral yang hendak disampaikan.

Lantas dongeng macam apa yang biasa dibawakan oleh Kang Iman? “Bisa saja membawakan dongeng tradisional masa lalu yang sarat pelajaran dan makna kehidupan, namun perlu disesuaikan dengan keadaan anak-anak masa kini. Bisa juga cerita-cerita kepahlawan atau orang alim,” terang ayah dari tiga orang anak ini.

Kang Iman punya banyak kesan mendongeng di berbagai tempat di muka bumi ini. Yang paling berkesan, katanya, saat mendongeng tentang kisah motivasi untuk para narapidana di LP Nusakambangan, Cilacap. Lalu mendongeng untuk anak-anak korban bencana seperti ketika meletus Gunung Merapi (Magelang, Jawa Tengah). Bahkan dia tak bisa melupakan pengalamannya mendongeng untuk korban bencana banjir di Pakistan pada tahun 2010.

Kedua orangtua Kang Iman sebenarnya ingin menjadikan dirinya kiai atau ulama besar. Sebab itu, lulus SD dia dimasukkan Pesantren As-Syafi’iyah (Jakarta) dan dipindahkan lagi ke Pesantren Lirboyo Kediri, Jawa Timur). Lalu terakhir di Pesantren As-Shiddiqiyah (Jakarta). Namun lulus dari pesantren, Kang Iman tidak melanjutkan ke Kairo (Mesir) atau Madinah (Saudi Arabia) tapi dia memilih kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Di kampus seni negeri yang berdiri pada 1984 itulah potensi dan bakat Kang Iman mendongeng terasah.

Maklum, sejak SD, Kang Iman sudah mulai mendongeng dari pesta ke pesta. Pertama kali mendongeng pada acara ulang tahun. Lalu acara kegiatan RT, acara keluarga, dan acara teman-teman lainnya. Saat itu ucapan terima-kasih cukup berupa nasi kotak. “Kesannya menyenangkan karena bisa melihat tawa dan semangat dari anak-anak yang mendengarkan cerita, bahkan mereka hanyut terbawa isi kisah yang saya sampaikan,” katanya.

Di masa dewasa, Kang Iman tidak hanya berhenti sebagai pendongeng keliling nan profesional. Hatinya pun tergerak untuk merawat dan mengasuh anak-anak korban bencana alam. Dia mengambil anak-anak yatim dari berbagai daerah untuk diasuh dan dibesarkan dalam keluarganya. Untuk itu, tujuh tahun silam dia membentuk Pondok Yatim Seribu Pulau (YSP).

Tujuan mendirikan Pondok YSP, jelas Kang Iman, agar  tetap terjalin silaturahim antara  masyarakat  muslim di daratan luas dan kepulauan kecil dan terpencil, tercipta keseimbangan  pendidikan  masyarakat pulau, dan terpacunya motivasi untuk  semangat  dalam memperoleh ilmu agama dan umum sebagai bekal hidup di masa depan.

Sebab itu sebagai sosok yang pernah dididik di lingkungan pondok pesantren, Kang Iman membuat jadwal yang cukup ketat pemanfaatan waktu (agenda) anak-anak Pondok YSP berikut:

----------------------------------
    03.00 – 05.15 WIB  bangun malam – tahajud – solat subuh berjamaah
    05.15 – 06.00 WIB  belajar pagi (dibimbing Guru)
    06.00 – 07.00 WIB  persiapan pribadi dan sarapan pagi
    07.00 – 10.00 WIB  sekolah bagi yang sekolah pagi, solat Dhuha
    10.00 – 11.30 WIB  istirahat,persiapan pribadi
    11.30 – 12.30 WIB  makan siang dan solat Dhuhur berjamaah
    12.30 – 17.30 WIB  sekolah SMK
    17.30 – 18.00 WIB  persiapan pribadi
    18.00 – 19.30 WIB  solat magrib berjamaah, belajar sore (dibimbing Guru)
    19.00 – 19.30 WIB  makan malam
    19.30 – 22,00 WIB  mutolaah (belajar bersama)
    22.30 – 03.00 WIB  tidur malam
--------------------

“Mencintai dan mengasihi anak yatim merupakan amanah Nabi Muhamad SAW, dan janji Allah SWT  pada mereka yang membantu dan melindungi yatim Insyaa Allah akan kita rasakan bersama, baik di dunia maupun di akhirat kelak,” tutur Kang Iman.

Saat ini, Pondok YSP mengasuh 23 anak yatim dari berbagai daerah, antara lain dari pulau-pulau kecil yang tidak ada sekolahnya seperti Pulau Tunda dan Pulau Untung Jawa, Tasik, Logodor Pangandaran, dan Soe (Nusa Tenggara Timur). Bahkan ada yang berasal dari Sorong, Papua. Yang paling kecil berusia tiga tahun dan paling besar mahasiswa semester lima. “Baru saja saya dapat telepon dari teman mengabarkan ada penemuan bayi di dekat rumahnya dan tidak ada yang mau merawat. Saya katakan, kirim saja ke Yatim Seribu Pulau,” ujar lelaki yang pernah nyantri di Lirboyo ini.

Kang Iman dan isterinya (Eri Setyowati) memperlakukan anak-anak yatim ini sebagai bagian dari keluarganya. Mereka disekolahkan dan bila telah lulus SD dikirim ke pesantren yang ada di Bekasi, Depok dan Bogor.

Selain disekolahkan, Kang Iman juga mengajari dan melatih anak-anak YSP untuk berwirausaha. Di sela-sela kesibukan sekolah, mereka punya jadwal mengelola usaha laundry Anak Ceria milik YSP. Di YSP, mereka juga punya peti pembeku untuk menyimpan es rujak dan susu buatan sendiri untuk dijual.

“Semoga apa yang telah mereka usahakan dan mereka rencanakan bisa berjalan sesuai dengan rencana dan hasil bisa memuaskan sesuai dengan keinginan mereka, karena usaha besar yang terwujud itu sesuai dengan impian besar yang kita ciptakan sendiri,” tutur Umi Eri Setyowati selaku pembimbing sekaligus ibu bagi adik-adik Pondok YSP.

Kang Iman menambahkan pola asuh anak-anak Pondok YSP memang mengarah pada penanaman spirit wirausaha dan keluar dari pondok mereka sudah mampu mandiri. “Saya mengacu pada perjalanan hidup Rasulullah Muhammad saw pada masa kecil. Beliau lahir kan sudah tidak melihat ayahnya. Lalu beliau dididik dengan cara berusaha lewat penggembalaan kambing atau domba,” tuturnya.

Dia menandaskan bahwa anak-anak yatim Pondok YSP tidak dididik untuk sekadar menerima amplop. Dengan model ini, katanya, seolah anak-anak yatim itu mesti dikasihani. Pola ini, katanya, akan mudah hilang dan hanya muncul pada even tertentu, misalkan Hari Idul Fitri dan 10 Muharam. “Kalau ada yang mau memberikan bantuan harus jelas peruntukannya, tidak langsung ngucur tanpa kejelasan,” tuturnya tanpa menampik bila sikapnya ini tidak sejalan dengan banyak pemberi dana buat anak yatim.

Tentu bukan perkara mudah membiayai perjalanan Pondok YSP yang menaungi 23 anak yatim. Belasan juta rupiah harus digelontorkan Kang Iman saban bulan. Memang sudah ada donator yang menginfakkan sebagian hartanya tiap bulan. Bahkan, Dinas Sosial setempat sempat menawarkan bantuan namun Kang Iman tidak sepakat lantaran ada poin yang kurang sreg di hatinya.

“Dinas Sosial meminta, saya harus pasang plang papan nama di depan rumah yang ditempati YSP. Saya tidak mau, saya ingin memberikan nuansa keluarga kepada anak-anak yatim yang kami asuh. Saya tanamkan mereka bahwa mereka sekarang memiliki abah dan umi baru di sini. Kalau ada plang papan nama, tentu terasa berbeda,” kata lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini. Jadi pengasuhan anak-anak yatim di YPS ini betul-betul berbasis keluarga. Mereka dibuat memiliki keluarga utuh yang lengkap dengan abah (ayah) dan umi (ibu).

Kendati tidak ada kesepakatan bantuan dengan Dinas Sosial, Kang Iman meyakini benar bahwa setiap anak sudah ada jalan rezeqi dari Allah Yang Maha Pemberi Rezeqi. Setiap insane sudah ditetapkan rezeqinya.

Ada banyak jalan untuk mengetuk pintu rezeqi buat menguatkan YSP. Beberapa tahun sebelum mendirikan YSP, bersama isterinya yang juga adik kelasnya semasa kuliah di ISI Yogya, Eri Setiowati, Kang Iman membentuk makhluk Dongeng Ceria Management (DCM). Saat ini DCM memiliki 11 program: Dongeng ceria untuk anak anak, Dongeng dakwah untuk remaja, Berbagi kisah untuk dewasa, Majelis cilik rutin satu bulan sekali, Menjemput rupiah untuk sekolah (rutin mereka lakukan menjelang akhir tahun atau pertengahan tahun), Pelatihan teknik mendongeng untuk mengajar yang menyenangkan (buat para guru), Pelatihan mitigasi bencana alam untuk anak Jelajah Negeri (dari Sabang sampai Merauke), Sambangi anak Indonesia untuk berbagi ceria, Kampanye gerakan satu rumah satu pendongeng untuk membentengi anak dengan ahklak dan keimanan lewat bercerita, dan Anak asuh di seberang lautan.

Dari beberapa program tersebut, ada di antaranya Kak Iman bertindak profesional dalam pengelolaan. Artinya, ada pemasukan dari profesi pendongeng yang dijalaninya. Lalu dia menginfakkan 50 persen dari hasil profesinya itu untuk keberlangsungan Pondok YSP. Tentu tidaklah cukup kalau hanya Kang Iman sendirian yang mendedikasikan imbalan profesinya. Di sini, terdapat satu pendongeng inti dan tiga pendongeng voluntir. Mereka semua telah mengikhlaskan separo dari imbalan profesinya buat Pondok YSP. Sebab itu pula, DCM dikelola secara profesional lengkap dengan manajer.  

Satu hal menarik, DCM mengusung program majelis cilik secara rutin sebulan sekali di tiga tempat. Untuk mendukung program ini, bersama sang istri tercinta, Eri Setyowati, Kang Iman mendirikan majelis cilik Rohmatul Mawaddah di kediamannya di Bekasi, Jawa Barat. Sebulan sekali, ratusan anak usia TK hingga SMP di Jakarta Timur, Depok, dan Bekasi berkumpul di majelisnya. Menurut Kang Iman, majelis tersebut bertujuan menjadi wadah buat menuangkan keluh-kesah para anak yang membutuhkan pengembangan diri.

Asal mula pembentukan majelis cilik ini, demikian kata Kang Iman, berangkat dari keluhan sejumlah orang tua yang dijumpai di Depok dan Bekasi. Mereka mengeluhkan anak-anaknya yang kecanduan game online yang marak di warnet-warnet yang bertebaran di mana-mana. Terpikir olehnya bagaimana mengisi waktu luang anak-anak –terutama di Sabtu malam-- agar tidak keluyuran di warnet-warnet untuk main game online yang tidak mendidik itu.

Lingkungan terbaik yang masih dipercaya untuk menjaga moral dan akhlak saat ini adalah majelis (taklim). Lantas tercetus ide membentuk majelis cilik yang diadakan pada Sabtu malam. “Diadakan Sabtu malam karena jangka panjangnya, agar selepas remaja, mereka terbiasa menghabiskan waktu Sabtu malam di tempat terbaik, yakni majelis cilik ini,” tutur Kang Iman.

Karena itu pula, majelis cilik tidak membawa iklim taklim dewasa yang acap dogmatis. Di sini, pesan moral dan sosialisasi nilai disampaikan dalam bentuk permainan dan dongeng. Cara ini lebih melekat di benak anak-anak.

Pada dasarnya, di mata Kang Iman, anak itu ada dua macam. Pertama anak yang lahir dari rahim isteri dan, kedua, anak yang lahir dari hati. Dua-duanya hanyalah titipan. Dan titipan itu harus dipertanggung-jawabkan. “Lewat dongeng inilah saya jadikan jalan dalam merawat dan menjaga titipan tersebut,” ujar pendongeng yang membawa visi bercerita dengan cinta menanamkan akhlak mulia ini.

Kang Iman masih ingin mewujudkan mimpi memiliki lahan sendiri. Lalu di atasnya dibangun rumah bambu untuk anak-anak Pondok YSP. Sejauh ini, katanya, sudah ada orang yang menyumbangkan lahan dan minta segera balik nama. Namun, dia ingin lahan itu bukan atas namanya, cukup sebagai tanaf wakaf buat anak yatim. (BN)


Biodata

Nama: Iman Surahman

TTL: Kuningan, 27 September 1976

Status Menikah:
* Isteri: Eri Setyowati (lahir 19 April 1979)
* Anak: Adib Keren, Riana Aurora, dan Mutiara Adeliana

Pekerjaan:
* Pendiri dan Pengasuh Pondok Yatim Seribu Pulau
* Pendongeng, motivator, pada Dongeng Ceria Management
* Pendiri Dongeng Ceria Management
* SGEI LPI DOMPET DHUAFA

Pendidikan:
* ISI (Yogyakarta)
* Asshiddiqiyah Islamic College (Jakarta)
* AICHS (Opelousas, Louisiana)

Comments

Popular posts from this blog

Kekerasan di Perkotaan

Kisah Seorang Preman Kupang (1)

Temuan Riset: Kepolisian dan Pemerintah Daerah Tidak Paham Apa itu Ujaran Kebencian