Jangan dari Internal, Saya Takut Ada Beban Masa Lalu


* Bincang  Bersama Anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, KRH Henry Yosodiningrat SH

Pengantar:
Lantaran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut kasus dugaan suap yang menjerat mantan Sekjen Partai NasDem Patrice Rio Capella terkait dengan perkara yang ditangani Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara dan Kejaksaan Agung, lantas saja banyak mata membidik ke arah kinerja Gedung Bundar yang kini dipimpin oleh HM Prasetyo, kader Partai NasDem.
Saat pemeriksaan Evy Susanti selaku tersangka dan saksi, penyidik KPK memperdengarkan rekaman sadapan perbincangan Evy dengan Otto Cornelis Kaligis, M Yagari Bhastara Guntur alias Gary, Patrice Rio Capella dan Mustafa (kader PKS yang juga teman dekat Gubernur Sumatera Utara non-aktif Gatot Pujo Nugroho). Materi yang terungkap, Evy dengan ketiga orang itu memperbincangkan upaya pengamanan kasus di “Gedung Bundar” atau Kejaksaan Agung. Perbincangan itu terjadi setelah kasus dugaan korupsi bantuan sosial dan bantuan daerah bawahan (BDB) 2012-2013.
Di depan penyidik, Evy dan Gatot mengakui Rio dan Kaligis menjadi orang yang mengurus ke Kejaksaan Agung. Pengamanan itu dilakukan setelah dilakukan pertemuan di Kantor DPP Partai NasDem. Namun Jaksa Agung HM Prasetyo membantah adanya keterlibatan jaksa dalam kasus suap yang melibatkan petinggi Partai NasDem Patrice Rio Capella. “Rio ya Rio. Gedung Bundar ya Gedung Bundar. Sama sekali tidak ada hubungannya,” kata Prasetyo kepada pers, Jumat (16/10).
Terlepas dari masih adanya polemik keterlibatan kejaksaan dalam kasus suap Bansos Gubernur Sumatera Utara (non-aktif) Gatot Pujo Nugroho, yang jelas Anggota DPR Fraksi PDI Perjuangan, KRH Henry Yosodiningrat SH, sedari awal meragukan kinerja Jaksa Agung HM Prasetyo dan jajarannya. Dia mempertanyakan kesungguhan Kejaksaaan Agung untuk tidak tebang pilih dalam memberantas Tindak Pidana Korupsi.
Lebih jauh tentang kinerja kejaksaan dan bagaimana seharusnya sosok seorang Jaksa Agung, berikut wawancara Abdul Farid dan Budi Nugroho dari FORUM pada Selasa (20/10) dengan Henry Yosodiningrat di DPR RI, Senayan.

Dari kacamata Anda, bagaimana kinerja Jaksa Agung dalam setahun ini?
Sejak awal, saya tidak terlalu yakin bahwa sosok Jaksa Agung ini akan mampu memenuhi semangat pemberantasan korupsi khususnya yang telah dicanangkan Presiden RI. Sebelum menjadi anggota DPR, saya sebagai advokat yanga bukan di belakang meja saja. Dari zaman HIR saya sudah di lapangan. Karena itu saya mengenal satu per satu jaksa itu, termasuk Pak Jaksa Agung sekarang ini.
Kemudian kongkritnya, dalam bulan apa itu, saya mendapat informasi dari masyarakat tentang adanya dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh baik perseorangan maupun korporasi. Tentunya, saya tidak percaya begitu saja. Saya cari bukti-bukti, saya melakukan “penyelidikan” sendiri. Dari “penyelidikan” saya, ternyata memang ada tindak pidana korupsi yang saya duga dilakukan peseorangan maupun korporasi. Saya lalu melapor ke Kejaksaan Agung. Kemudian Kejaksaan Agung membentuk Tim khusus atau apa namanya itu. Dari penyelidikan ditingkatkan ke penyidikan. Dan dari hasil penyidikan lalu gelar perkara, seperti biasa. Ditetapkan tersangka, yaitu korupsi terhadap aset tanah milik Jakpro –Jakarta Propertindo— BUMD di Pemda DKI Jakarta. Nilainya tidak tanggung-tanggung, triliunan rupiah.
Saya tidak mempunyai kepentingan apa-apa, kecuali sebagai wakil rakyat yang sejak awal, sejak masih jadi advokat, punya komitmen pemberantasan korupsi. Kalian pasti tahu bahwa saya tidak pernah menjadi pengacaranya tersangka di KPK. Boleh dicek. Saya tidak pernah sidang yang namanya pengadilan Tipikor. Tempatnya saja saya tidak tahu, yang saya tahu di Kuningan. Masuk ke sana tidak pernah. Ke KPK itu hanya sekali, yaitu bersama dengan Pak Mahfud MD dalam kapasitas sama-sana pengurus Ikatan Alumni UII (Universitas Islam Indonesia). Waktu itu kami mencoba menjembatani masalah Polri dan KPK, waktu zamannya kasus Kakorlantas. Kami datang ke KPK, datang ke Kapolri. Malah datang juga ke Menkopolhukam.
Karena komitmen itu, ada yang bertanya, lho Anda dulu pernah membela Susno Duadji. Itu bukan perkara korupsi, perkara konspirasi saja. Nah, artinya, dalam hal ini, saya dalam kedudukan sebagai wakil rakyat yang mempunyai komitmen moral yang sangat tinggi untuk pemberantasan korupsi tiba-tiba melihat perkara besar ini itu kok mandek.
Kira-kira mengapa kasus ini sampai terhenti?
Saya melihat ada keluhan dari orang di bawah, dari penyidik, bahwa mereka sudah mengajukan permohonan ke Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara untuk melakukan penggeledahan, untuk mohon izin melakukan penggeledahan. Nggak keluar-keluar tuh izin. Akhirnya saya tulis surat ke Mahkamah Agung dan akhirnya dibalas juga oleh Mahkamah Agung. Ternyata dua hari sebelum surat saya itu, kalau gak salah, Pengadilan Negeri Jakarta Utara sudah mengeluarkan izin. Dan hingga saat ini tidak pernah dilakukan penggeledahan itu. Surat itu keluar Maret 2015. Surat MA keluar Mei 2015. Kalau saya Jaksa Agung, ya sudah selesai, mungkin sudah sampai pengadilan.   
Mengapa tidak juga dilakukan penggeledahan di kantor tersangka?
Kata mereka yang di bawah, ada perintah dari Jaksa Agung supaya ...ya pokoknya ada perintah lah. Nggak mungkin lah nggak jalan, kan sudah ditetapkan ada tersangka. Lalu saya jumpa Jaksa Agung dalam rapat gabungan antara Kapolri, Komisi II DPR, Jaksa Agung, Ketua KPU,Menteri Dalam Negeri dan sebagainya dalam kaitannya dengan pengamanan Pilkada serentak. Setelah bubar acara saya tanya “Pak Jaksa Agung, itu perkara dengan tersangka ini, kasus ini, kok mandek?” Jawab Jaksa Agung, “ada yang berkepentingan.”  Maksudnya? “Itu banyak pihak yang berkepentingan.” Karena waktunya singkat, dan nggak etis kalau saya kejar terus. Kemudian saya tulis surat ke Jakasaan Agung menanyakan perkembangan kasus itu. Nggak ada follow-up. Lalu saya tulis surat ke KPK.  Dengan UU KPK, kalau nggak salah pasal 8, selain melakukan supervisi, KPK juga berhak mengambil-alih perkara yang sedang dilakukan penyidikan oleh kejaksaan. Sebab itu saya minta KPK mengambil-alih kasus dugaan korupsi aset Jakpro ini.
Apa tindakan KPK?
Belum ada perkembangan dari KPK. Malah saya dengar kabar akan ada penghentian penyidikan. Saya tulis surat ke Presiden. Ya namanya tulis surat ke Presiden kan, meskipun dari anggota DPR RI muternya ke Solo, Semarang, dulu, bahkan ke Aceh dulu surat itu. Kemudian kebetulan ada rapat Komisi II DPR dengan Menteri Sekretaris Negara, Menteri Sekretaris Kabinet, Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki, awalnya muncul  wacana Menteri Sekretaris Negara akan menghibahkan lahan aset negara kepada Pemda DKI Jakarta. Saya mulai masuk situ, saya bilang nanti dulu.
Sebagai wakil dari PDI Perjuangan, anggota DPR khususnya mewakili rakyat kelas bawah, rakyat miskin, saya khawatir itu jadi obyek korupsi lagi. Saya ceritakan kasus Jakpro ini, saya minta Menteri Sekretaris Negara tolong ditelusuri surat saya itu. Kebetulan ada tenaga ahli saya hadir, waktu itu saya minta print-kan, itu jam sepuluh malam. Print surat dan saya serahkan. Surat saya ke Presiden bahwa saya meragukan kesungguhan Jaksa Agung RI dalam penegakan hukum dalam tindak pidana korupsi.
Kemudian tadi malam, saya ketemu Menteri Sekretaris Negara, surat itu sudah diteruskan ke Jaksa Agung disertai beberapa catatan. Intinya, dengan kasus seperti ini, saya ragu terhadap Jaksa Agung. Semestinya kalau saya Jaksa Agung, saya panggil kenapa ini nggak jalan. Cekal, kan begitu. Ini ada apa?
Ada kepentingan apa sebenarnya?
Saya tidak bisa pahami. Dalam surat kepada Presiden, saya sampaikan saya dapat informasi karena perintah Jaksa Agung, kasus ini tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sehubungan dengan hal tersebut, saya bertemu dengan Jaksa Agung di Kompleks DPR RI dalam rapat gabungan dengan Menteri Dalam Negeri, Jaksa Agung, Kapolri, Ketua KPU dan Bawaslu, saya menanyakan hal tersebut kepada Jaksa Agung. Atas pertanyaan saya, Jaksa Agung memberikan jawaban yang tidak jelas dan tidak bisa saya pahami maksudnya. Dalam tanda kutip banyak pihak yang berkepentingan dalam perkara itu. Sehubungan dengan hal tersebut saya mohon perhatian Bapak Presiden RI dengan harapan agar terwujud Indonesia yang bersih, Indonesia yang bermartabat dan Indonesia yang bebas dari korupsi. Dirgahayu 70 tahun kemerdekaan RI. Saya tulis surat itu pada tanggal 17 Agustus 2015.  
Belakangan Kejaksaan Agung banyak kalah di pra-peradilan, mengapa bisa demikian?
Mungkin, pertama ya, leadership, kepemimpinan. Jaksa Agung itu penegak hukum, dibutuhkan sosok yang berani, tidak cukup hanya karena dia orang lapangan. Artinya, orang lapangan itu hanya sampai eselon tertentu. Setelah dia jadi jaksa tinggi atau apa, tidak lagi lapangan kan. Jadi dibutuhkan orang yang tahu betul seluk beluk dalam artian kotornya, masih banyak oknum jaksa yang kotor. Ini harus dilakukan atau dibersihkan oleh sosok Jaksa Agung yang berani, yang nggak punya beban. Kecuali bila Presiden bisa menemukan satu sosok jaksa yang betul-betul clean and clear.
Masih adakah?  
Menyapu lantai harus dengan sapu yang bersih. Jaksa Agung, kalau nanti diganti, atau Presiden harus mengganti, ganti dengan sosok yang bersih. Dengan begitu dia bisa bersih-bersih dulu, dia sapu bersih dulu. Sapunya itu bersih dulu, baru bisa membersihkan.
Lalu, meskipun dia orang partai, dia harus melepaskan diri dari kendali. Sosok yang sekarang ini ya kelihatan lah.
Dari jaksa karir, adakah yang memenuhi kriteria clean and clear?
Nggak ada lah. Pak Lopa dulu, nggak ada lahir lagi Lopa kedua.    
Saat ini banyak desakan agar Jaksa Agung diganti, menurut Anda?
Saya melihat ini fenomena ketidak-seriusan dan tidak menunjukkan sikap sebagai seorang penegak hukum yang berani. Dan ini kalau dibiarkan terus akan berdampak terjadi public distrust –ketidak-percayaan publik—terhadap institusi penegak hukum, dalam hal ini Kejaksaan Agung. Selama ini Kejaksaan Agung tidak kok bersih-bersih amat di mata publik. Sebab itu semestinya kemarin Presiden memilih sosok Jaksa Agung yang berani, yang bersih, yang record-nya betul-betul tidak tersandera oleh masa lalu.
Saya tidak mengatakan bahwa beliau ini tersandera. Artinya, kalau kita memilih sosok Jaksa Agung ke depan, saya sudah mengarah ini harus diganti. Terus terang untuk apa lagi. Saya nggak punya beban, saya harus berani mengatakan bahwa dengan peristiwa ini saya nggak percaya lagi. Harus dicari sosok atau figur yang tidak tersandera oleh masa lalu, orang yang nothing to lose, orang gak punya beban. Orang yang betul-betul mempunyai, selain semangat, juga kemampuan dan pengetahuan tentang di mana sih jorok-joroknya kejaksaan. Kalau kita mau membersihkan kamar mandi, kalau Cuma disiram-siram saja, gak mau mana sudut-sudut yang kotor nempel, pasti akan tetap bau.
Taruhlah penggantinya nanti tetap perwakilan partai politik, seperti apa sosok yang diharapkan?
Pertama, harus orang yang betul-betul praktisi yang dalam record-nya, sepanjang karirnya, tidak tercela. Salah satunya nggak pernah membela perkara korupsi. Kedua, dia tidak pernah cacat karena menyuap. Sebagai advokat misalkan, bukan advokat hitam. Kalau mantan jaksa, ya jaksa yang dikenal publik sebagai jaksa yang bersih. Kalau perlu ya dipublikasi dulu, siapa-siapa mempunyai keberatan. Jadi harus betul-betul orang yang mempunyai pengalaman dalam bidang penegakan hukum paling sedikit 35 tahun, sudah mengerti betul. Dia tahu bagaimana cara jaksa itu bermain, jadi dia tahu kelakuan anak buah. Jadi orang nggak bisa diakal-akali begitu karena dia tahu seluk-beluknya.
Adakah sosok seperti itu?
Ya, yang baik di antara yang buruk insyaa Allah masih ada. Masa saya mau bilang saya yang layak, kan nggak mungkin.
Boleh jadi sosok seperti hakim agung Artjdo Alkostar?
Ya, Artidjo cukup katakanlah antisuap. Tapi juga dibutuhkan orang yang komunikatif. Artidjo itu senior saya, kakak kelas saya, tapi di mata publik orang gemar tepuk tangan. Seperti misalnya sampai orang takut kasasi, padahal secara hukum keyakinannya percaya, nggak adil tuh pengadilan tinggi. Wah bagaimana kalau ketemu Artidjo.
Saya kasih contoh perkaranya Angelina Sondakh, mengenai bersalah-tidaknya seseorang tergantung keyakinan hakim yang ditunjang minimal dua alat bukti yang sah. Mengenai berat-ringannya hukuman seseorang tergantung dari rasa keadilan hakim. Sekarang di mana rasa keadilan hakim Artidjo dan kawan-kawan ketika menambah hukuman Angelina Sondakh. Bukan berarti saya membela koruptor, ketika empat atau tujuh tahun menjadi belasan tahun, di mana rasa keadilan pada anak-anak kecil yang baru ditinggal bapaknya mati, di mana bapak dan ibunya bercerai, Aji Masaid dan isterinya, anaknya ada di Angelina Sondakh. Anak-anak menunggu empat atau tujuh tahun sudah lama banget. Rasa keadilan itu bukan hanya terhadap si terhukum, tapi juga terhadap masyarakat, terhadap lingkungannya. Nggak boleh mengatakan anaknya bukan urusan saya. Itu juga harus dipertimbangkan. Ooo saya nggak kenal sama anaknya, ya terserah mau ikut kakek atau neneknya. Nggak boleh seperti itu. Ini menjadi catatan buat saya, meskipun dia senior saya.
Lalu, sebaiknya dari internal atau eksternal?
Janganlah dari internal. Dari internal saya nggak melihat, saya takut nanti ketemu sosok yang punya beban masa lalu, tersandera oleh masa lalunya. Dan ada kecenderungan untuk membela korp, biasanya masyarakat dikorbankan. Jadi nggak berani buka-bukaan. Kalau tujuannya untuk menciptakan Indonesia yang bermartabat, Kejaksaan Agung yang bersih, semestinya harus kita buka. Itu dari sisi internalnya.
Kemudian kalau dari eksternal, juga harus orang yang betul-betul paham dan harus punya jiwa fighter, tahan teror, berani argumentasi. Misalkan ada intervensi dari partainya, dia harus berani untuk menjelaskan. Ketika dia sudah mengemban satu amanah, jadi wakil rakyat atau pejabat, maka yang ada dalam benak, pikiran dan jiwa dia bahwa “saya melakukan sesuatu untuk kepentingan bangsa, bukan untuk kepentingan partai”. Dan harus berani tampil beda, mau dikatakan lho Anda tidak loyal atau durhaka ke partai, durhaka itu seperti apa dulu. Perintah orang tua saja boleh dilanggar, kalau untuk melakukan hal-hal yang batil. Ayah saya bilang meskipun keluar dari pantat anjing kalau itu baik maka ambil. Lalu meskipun itu keluar dari mulut saya kalau itu buruk maka tinggalkan. Artinya siapapun orang, kalau baik maka ikuti. Saya cenderung dukung yang dari luar.
Luar ini, apakah harus partai atau luar partai?
Dari mana saja, tapi ya itu kriterianya tadi. Dia harus orang yang betul-betul memahami. Menurut saya, mutlak dari praktisi, dia tahu bagaimana proses dari penyidikan ke penuntutan, apa sih syaratnya. Harus tahu sampai ke detail. Dari dalam itu, rata-rata kalau seumur saya, sudah pensiun. Jadi saya nggak melihat lagi itu. Kalau saya PNS, saya sudah pensiun nih, umur 62 tahun. Yang baru-baru, yang lain-lain, saya tahu. Minimal saya tidak melihat sosok Baharudin Lopa. Kemarin kebetulan lah, kita masih ketemu Pak Basrief Arif, saya kenal sejak masih sama-sama di lapangan, waktu menjadi penuntut Panglima NII Jawa-Madura, Aceng Kurnia. Saya kebtulan pengacaranya Aceng Kurnia tahun 1983 atau 1984. Saya sering ketemu, di sidang. Dia pensiun, diminta lagi zaman Pak SBY.
Ada wacana agar KPK memeriksa Jaksa Agung terkait kasus Bansos Gubernur Sumatera Utara?
Boleh saja, nggak ada larangan. Barangsiapa, nggak ada kecuali Jaksa Agung. Presiden saja boleh diperiksa oleh KPK. Nggak ada larangan itu. Dan semestinya usai Jaksa Agung dan Kapolri diangkat, keduanya duduk bareng ngobrol, baca dong konsideran tentang UU KPK, dibentuknya lembaga adhoc KPK itu karena institusi penegak hukum yang ada tidak mampu bekerja secara optimal. Siapa institusi penegak hukum, ya Kejaksaan Agung dan Polri. Malu nggak mereka? Tapi kok terus begini. Ndableg.
Mestinya mereka membuktikan diri bagaimana meningkatkan kualitas penyidik, intel jaksa, dan sebagainya. Bukan memperoslan KPK mau mengambil-alih. Kualitas dan profesionalitas jaksa banyak yang menurun. Yang dipersoalkan penetapan tersangka, artinya belum memenuhi minimal dua alat bukti yang cukup. Prosedur bagaimana yang diatur di KUHAP itu ada yang terlewatkan. Tunjukkan kepada bangsa dan negara ini untuk terus meningkatkan kualitas dan profesionalitas jaksa. (*)

Comments

Popular posts from this blog

Kekerasan di Perkotaan

Kisah Seorang Preman Kupang (1)

Temuan Riset: Kepolisian dan Pemerintah Daerah Tidak Paham Apa itu Ujaran Kebencian