Uji Kompetensi Berbuah Demo
Lulusan universitas –termasuk dokter—sepertinya
tidak cukup dipercaya kompetensinya. Mereka wajib ikut uji kompetensi sebelum
mengambil ijazah.
=============
Awal pekan lalu tampak puluhan dokter dari Pergerakan Dokter
Muda Indonesia (PDMI) berunjuk rasa di depan Istana Merdeka Jakarta. Mereka
memprotes Kemenristek Dikti yang menahan ijazah fakultas kedokteran dan mewajibkan
ujian kompetensi di berbagai universitas yang ada di Indonesia. Mereka menilai,
kebijakan Dikti itu hanya untuk senjata mendapatkan uang, bukan untuk
kepentingan meningkatkan kualitas kompetensi profesi.
Sekitar lima puluhan partisipan dokter mengikuti unjuk rasa
ini mewakili 40 fakultas kedokteran di Indonesia. Mereka mengenakan jas putih
khas dokter dan pita hitam di lengan bagian kanan.
"Kami tidak butuh pengakuan Dikti, kami tidak takut
kompetensi. Kami hanya butuh ijazah untuk bisa mengabdi pada masyarakat. Dikti
telah merampas hak kami karena membuat kami tidak bisa berbakti pada nusa dan
bangsa," kata salah satu orator PDMI dari atas mobil bak terbuka.
Sejatinya, aksi PDMI ini sudah keempat kalinya dilakukan.
Namun, suara mereka yang ingin mendapatkan ijazah belum juga didengar oleh
pemerintah.
"Kami ingin Jokowi memberikan hak ijazah kami. Negara
telah gagal memberikan hak kami agar tenaga medis dapat melayani
masyarakat," kata Bayu dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
salah satu perwakilan PDMI.
Sebelumnya, 24 Agustus 2015, seratusan dokter muda dari
berbagai perguruan tinggi juga menggelar unjuk rasa ke DPRD Provinsi Sumatera
Utara. Mereka menuntut fakultas tidak menahan ijazah dan menolak surat
keputusan Dirjen Dikti (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi) yang memicu
keresahan mahasiswa kedokteran.
Kedua unjuk rasa dokter muda tersebut tak terlepas dari nota
ksepahaman (NK) dan perjanjian kerjasama (PKS) yang ditandatangani oleh
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen DIKTI) dan Pengurus Besar Ikatan
Dokter Indonesia (PB IDI) pada tanggal 16 Juni 2014. Kerjasama tersebut,
demikian penjelasan Ketua PB IDI Zaenal Abidin, sebagai harmonisasi kebijakan
di sisi pendidikan dan pelayanan, serta mempertegas aturan pada masa transisi
implementasi uji kompetensi dokter dengan sistem baru. "Substansi utama
dari NK dan PKS ini adalah kesepakatan untuk mengintegrasikan pelaksanaan uji
kompetensi dokter dan uji kompetensi bagi mahasiswa program profesi dokter guna
menjamin mutu profesi dokter," kata Ketua PB IDI Zaenal Abidin.
Menurut Zaenal, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Ditjen
Dikti Kemdiknas (sekarang Ditjen Dikti Kemenristek Dikti) sepakat secara
bersama menyusun kebijakan dalam pelaksanaan uji kompetensi bagi mahasiswa
program profesi dokter sesuai dengan kewenangan masing-masing, dan menyusun
formatur yang terdiri dari Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Ketua Umum
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, dan Ketua Majelis Kolegium Kedokteran
Indonesia dalam rangka pembentukan Panitia Nasional Uji Kompetensi bagi
Mahasiswa Pogram Profesi Dokter.
Dari keepakatan itulah kemudian dokter-dokter muda yang baru
lulus diwajibkan ikut uji kompetensi. Mereka mengeluhkan biaya yang dikeluarkan
untuk mengikuti uji kompetensi yang relatif besar.
Koordinator aksi di depan DPRD SUmut, dr Ronni Kurniawan,
menyebutkan, mereka telah menyelesaikan pendidikan baik akademik maupun
profesi, bahkan telah melunasi semua persyaratan administrasi, namun pihak
fakultas perguruan tinggi masih menahan ijazah dokter mereka. Ijazah baru
dikeluarkan setelah mereka mengikuti uji kkompetensi.
"Untuk mengikuti ujian tersebut dibutuhkan biaya sekitar
Rp3 sampai Rp9 juta sekali ujian. Dalam setahun bisa sampai empat kali
ujian," Roni menambahkan.
Apalagi, ungkapnya, bila dalam ujian tersebut dinyatakan
tidak lulus, maka harus kembali mengulang dengan biaya yang sama. Peraturan
tersebut justru jauh lebih berat dibanding saat menempuh pendidikan di Fakultas
Kedokteran hingga menyelesaikan program
akademik untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran. (*)
Comments
Post a Comment