Aroma Sangit Ongkos Politik


Duit lonte politik, biaya pemenangan, atau apa pun istilahnya sepertinya telah lazim. Padahal, menurut undang-undang, Partai politik atau gabungan partai politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun dalam proses pemilihan kepala daerah.
============

Saban kali memasuki masa pemilihan umum –baik nasional maupun daerah—selalu saja meruyak isu duit lonte politik. Seseorang yang hendak maju ke pencalonan kepala daerah harus merogoh kocel dalam-dalam agar ada partai politik yang bakal mengusungnya. Untuk ukuran calon gubernur, boleh jadi minimal Rp5 miliar. Sedangkan calon bupati atau walikota ya kisaran Rp2 miliar.

Banyak petinggi partai politik (parpol) enggan mengakui praktik yang menjadikan biaya tinggi demokrasi ini. Tersebutlah Nurdin Halid. Anggota Tim Penjaringan Pilkada Golkar kubu Aburizal Bakrie ini menegaskan tidak ada transaksi mahar di tim yang terdiri dari 10 orang ini. "Itu urusan mereka (saling tuding), kami nggak ada. Tim sepuluh 1.000 persen tidak ada mahar, meskipun kami dengar di partai lain ada. Kalau tim 10 tidak boleh," kata Nurdin di Jakarta akhir Juli lalu.

Begitu pula ungkapan Yorrys Raweyai. Dengan nada sedikit berputar, Wakil Ketua Umum Golkar hasil Munas Ancol (kubu Agung) ini tak menampik tudingan pihaknya meminta duit saat pendaftaran calon kepala daerah. "Kalau bisa Bambang (Bendahara Umum Partai Golkar hasil Munas Bali Bambang Soesatyo – red) harus membuktikan ucapannya. Saya mau bertanya, apakah mereka tidak minta duit?" ujar Yorrys secara terpisah.

Terlepas mengelak ataupun mengakui, aroma duit lonte politik agar parpol bersedia mengusung seorang calon kepala daerah itu tetap saja ada. Orang dekat calon Gubernur Sumatera Barat Muslim Kasim menyebutkan koleganya harus merogoh kocek dalam-dalam, sekitar Rp25 miliar, untuk maju memperebutkan kursi orang nomor Sumatera Barat. Muslim yang kini berusia 73 tahun pun terpaksa menggandeng konglomerat lokal Tanah Minang. Dana sebanyak itu untuk membayar dukungan 9 parpol yang bakal mengusungnya. Sedangkan lawannya, sang petahana Gubernur Irwan Prayitno, hanya didukung dua parpol (Gerindra dan PKS).

Muslim Kasim sendiri mengaku dana itu amat penting. “Untuk yang satu ini jelaslah penting. Namun berapa nominalnya, nantilah kita sampaikan. Intinya, tergantung bagaimana situasinya nanti. Saya pun yakin calon-calon yang ada tidak ditopang pendanaan yang kuat. Ya, sama-sama berjuanglah kita nanti,” ujar Muslim diplomatis kepada www.koran.padek.co.   

Cerita lain datang dari orang dekat Bupati Bulungan Budiman Arifin yang hendak maju ke Pilkada Provinsi Kaltara. Budiman sempat memimpin Bulungan dua periode dan membesarkan Partai Demokrat di wilayah yang dipimpinnya. Namun dia mengaku mundur dari pencalonan orang nomor satu di provinsi pemekaran dari Provinsi Kalimantan Timur tersebut. Dia mengaku kecewa berat lantaran partai yang dibesarkannya di tingkat provinsi baru itu pada detik-detik terakhir pendaftaran mengusung calon lain dari pusat.

Langkah serupa oleh Bupati Kepahiang (Bengkulu) Bando Amin. Bando berpikir ulang sebelum maju dalam pilkada Provinsi Bengkulu karena dia melihat parpol yang ada sudah dibeli calon-calon lain. Sampai-sampai, katanya Bupati Musi Rawas (Sumatera Selatan) pun bertarung di Bengkulu. Sejauh ini sudah terdaftar dua pasang calon yang akan meramaikan Pilkada Bengkulu, yakni Sultan B Nadjamudin - Mujiono yang diusung PDIP, Partai Demokrat, PPP, PBB dan PKS; dan pasangan Ridwan Mukti - Rohidin Mersyah yang dibawa oleh Partai Nasdem, PKB, Hanura, PKPI, Gerindra, Golkar versi Agung Laksono, PPP versi Romahurmuziy dan PAN.

Sekali lagi memang duit lonte ke parpol sulit dibuktikan. Ada baiknya mari kita simak testimoni Hadi Wiyono, kandidat calon Bupati Situbondo, Jawa Timur. Hadi Wiyono yang menjadi salah satu kandidat calon Bupati dari Partai berlambang banteng moncong putih itu, mengaku pernah dimintai uang sebesar Rp2, 3 miliar rupiah saat mengikuti proses penjarinagn calon di PDI Perjuangan.

Kemungkinan karena tidak memberikan mahar politik tersebut, Hadi Wiyono terpental dari bursa pencalonan. DPP PDI Perjuangan yang berkoalisi dengan Partai Demokrat memberikan rekomendasi kepada pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati KH Abdullah Faqih Gufron dan Untung.

Dalam testimoninya pada Kamis (6/8), Hadi Wiyono juga pernah diminta menyediakan uang pemenangan saat akan maju melalui Partai Demokrat. Jumlahnya lebih kecil, Rp1,5 miliar.

Nasib Hadi Wiyono di Partai Demokrat juga sama seperti saat di PDIP. Hadi Wiyono yang menjadi satu-satunya kandidat calon Bupati Partai Demokrat didukung 12 PAC, ternyata juga tak mendapatkan rekomendasi.

Testimoni Hadi Wiyono langsung ditanggapi Ketua DPC PDI Perjuangan Situbondo Narwiyoto yang membatah pihaknya menetapkan duit politik Rp2,3 miliar. Saat menggelar jumpa pers di Kantor DPC PDI Perjuangan (Ahad, 8/8), Narwiyoto mengaku tidak pernah menerima uang sepeser pun dari Hadi Wiyono, selaku kandidat calon Bupati yang mengikuti uji kepatutan melalui PDIP.

Menurut Narwiyoto, DPP PDI Perjuangan tidak meminta duit politik untuk mengeluarkan rekomendasi kepada kandidat calon Bupati, termasuk KH Abdullah Faqih Gufron yang kini mendapatkan rekomendasi mendaftar ke KPUD Situbondo.

Narwiyoto menambahkan, pemberian rekomendasi tersebut menjadi kewenangan mutlak DPP PDI Perjuangan dengan berbagai pertimbangan. Sedangkan DPC PDIP hanya bertugas mengamankan rekomendasi serta menyusun langkah taktis pemenangan.

Aroma duit politik juga berhembus saat mulai memasuki tahapan Pilkada Serentak 2015 di Kabupaten Bandung. Salah satu kandidat bakal calon Bupati Bandung dari PDI Perjuangan, Agung Suryatriyana, membeberkan duit politik yang dialaminya terjadi saat menjelang Lebaran lalu, ketika Agung meminta dukungan terhadap parpol yang hendak mengusungnya.

Merasa ditipu oleh parpol yang bakal mengusungnya, Agung pun menyiapkan gugatan ke DPC PKB Kabupaten Bandung dan DPD PAN Kabupaten Bandung. Kedua parpol itu dinilai melakukan wanprestasi dengan melanggar kesepakatan yang telah dicapai untuk mengusung Agung sebagai balon kepala daerah.

Agung merasa diperlakuan tidak fair oleh PKB dan PAN di mana sebelumnya menyatakan siap mengusung Agung sebagai balonbup. Namun di tengah jalan, tepatnya saat tahapan pendaftaran balonbup untuk kalangan parpol dibuka pada 27 Juli 2015, seketika PKB dan PAN malah mengusung paslon Sofyan Yahya-Agus Yasmin sebagai balonbup/wabup dari Koalisi Barokah dan bukan Sofyan Yahya-Agung Suryatriyana.

Gugatan pun disiapkan terhadap PKB dan PAN yang menurut Agung telah menerima duit politik menjelang Lebaran. "Mereka bilang, mana atuh buat beli sarung Lebaran dulu. Kasih DP saja dulu, sisanya boleh nanti setelah resmi diusung," tutur Agung menirukan permintaan mahar dari PKB dan PAN. Untuk menggugat, Agung beserta tim hukumnya telah menyiapkan bukti-bukti seperti surat pernyataan dukungan dari PKB dan PAN.

Dengan iklim pencalonan semacam itu, rasanya sulit kita berharap bakal lahir pemimpin yang mengerti persoalan dan menyejahterakan rakyat. Rasanya muskil. Pemimpin yang lahir tentulah pemimpin yang hanya memikirkan bagaimana mengembalikan dana besar yang telah dikeluarkannya untuk nyalon. Dan, akan semakin banyak bupati, walikota dan gubernur menghuni Rutan KPK. (*)

Comments

Popular posts from this blog

Kekerasan di Perkotaan

Kisah Seorang Preman Kupang (1)

Temuan Riset: Kepolisian dan Pemerintah Daerah Tidak Paham Apa itu Ujaran Kebencian