Kejahatan Korporasi Dalam Penerapan Sanksi Hukum


Berdasarkan UU No. 25 Tahun 2003
Serta Implementasinya
By Timur Abimanyu, SH.MH
Kejahatan korporasi(corporate crime) merupakan  salah satu penomena yang timbul dengan semakin majunya kegiatan perekenomian dan teknologi.Corporate crimebukanlah barang baru, melainkan barang lama yang senantiasa berganti kemasan.  Tidak ada yang dapat menyangkal bahwa perkembangan zaman serta kemajuan peradaban dan teknologi turut disertai dengan perkembangan tindak kejahatan berserta kompleksitasnya.   Di sisi lain, ketentuan Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia belum dapat menjangkaunya dan senantiasa ketinggalan untuk merumuskannya. Salah satu contohnya adalah Tindak Pidana Pencucian Uang (money laundering) yang baru dikriminalisasi secara resmi pada tahun 2002.  Contoh lain adalah kejahatan dunia maya atau cyber crime yang sampai dengan saat ini pengaturannya masih mengundang tanda tanya.  Akibatnya, banyak bermunculan tindakan-tindakan atau kasus-kasus illegal, namun tidak dapat dikategorikan sebagai crime.
Agar dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, maka di berlakukanya Undang Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentan Perubahan Atas Undang Undang Nomor 15 Tan 2002 tetang Tindak Pidana pencucian uang perlu disesuaikan dengan perkembangan hukum pidana tentang pencucian uang dan standar internasional, dengan berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud tersebu diatas.
Tindak pidana (crime)dapat diidentifikasi dengan timbulnya kerugian (harm), yang kemudian mengakibatkan lahirnya pertanggungjawaban pidana atau criminal liability. Yang pada gilirannya mengundang perdebatan adalah bagaimana pertanggungjawaban korporasi atau corporate liability mengingat bahwa di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang dianggap sebagai subyek hukum pidana hanyalah orang perseorangan dalam konotasi biologis yang alami (naturlijkee person). Di samping itu, KUHP juga masih menganut asas sociates delinquere non potest dimana badan hukum atau korporasi dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana sebagaimana ditentukan undang-undang. Jika seandainya kegiatan atau aktivitas yang dilakukan untuk dan atas nama suatu korporasi terbukti mengakibatkan kerugian dan harus diberikan sanksi, siapa yang akan bertanggungjawab ?  Apakah pribadi korporasi itu sendiri atau para pengurusnya ?
Dasar analisa pemikiran tersebut untuk mendeteksi sampai sejauh manakah undang-undang kejahatan korporasi tersebut dapat mencegah para pelaku tindak pidana pencucian uang yang banyak terjadi di dalam maupun diluar wilayah hukum negara Indonesia.
Ruang lingkup kejahatan Korporasi adalah di bidang perekonomian terutama pada industri perbankan yaitu Pencucian Uang adalah perbuatan yang menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan yang sah, yang dilakukan oleh 1.Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi, 2. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum, 3. Harta Kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan 4. Penyedia Jasa Keuangan adalah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, kustodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, perusahaan asuransi, dan kantor pos.
Setiap transaksi adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan hak atau kewajiban atau menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih, termasuk kegiatan pentransferan dan/atau pemindahbukuan dana yang dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan, dimana terhadap transaksi Keuangan yang mencurigakan adalah berupa : a. transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik atau kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan, b. transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dan/atau c. transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.
Sedangkan transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai adalah transaksi penarikan, penyetoran, atau penitipan yang dilakukan dengan uang tunai atau instrumen pembayaran lain yang dilakukan melalui Penyedia Jasa Keuangan, dengan dokumen yang nerupakan data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada : a. tulisan, suara, atau gambar, b. peta, rancangan, foto, atau sejenisnya dan c. c. huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya. Dengan adanya pusat pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang selanjutnya disebut yang PPATK adalah suatu lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang menurut Undang-undang No. 25 Tahun 2003 tentang tindak pidana pencucian uang.
1. Pengertian Kejahatan Korporasi.[1]
Sebagaimana penulis uraikan diatas, bahwa Kejahatan KorporasiBlack’s Law Dictionary menyebutkan kejahatan korporasi atau corporate crimeadalah any criminal offense committed by and hence chargeable to a corporation because of activities of its officers or employees (e.g., price fixing, toxic waste dumping), often referred to as “white collar crimeyangartinya kejahatan korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan oleh dan oleh karena itu dapat dibebankan pada suatu korporasi karena aktivitas-aktivitas pegawai atau karyawannya (seperti penetapan harga, pembuangan limbah), sering juga disebut sebagai “kejahatan kerah putih”.
Sally. A. Simpson yang mengutip pendapat John Braithwaite menyatakan kejahatan korporasi adalah “conduct of a corporation, or employees acting on behalf of a corporation, which is proscribed and punishable by law“. Simpson menyatakan bahwa ada tiga ide pokok dari definisi Braithwaite mengenai kejahatan korporasi. Pertama, tindakan ilegal dari korporasi dan agen-agennya berbeda dengan perilaku kriminal kelas sosio-ekonomi bawah dalam hal prosedur administrasi. Karenanya, yang digolongkan kejahatan korporasi tidak hanya tindakan kejahatan atas hukum pidana, tetapi juga pelanggaran atas hukum perdata dan administrasi. Kedua, baik korporasi (sebagai “subyek hukum perorangan “legal persons“) dan perwakilannya termasuk sebagai pelaku kejahatan (as illegal actors), dimana dalam praktek yudisialnya, bergantung pada antara lain kejahatan yang dilakukan, aturan dan kualitas pembuktian dan penuntutan. Ketiga, motivasi kejahatan yang dilakukan korporasi bukan bertujuan untuk keuntungan pribadi, melainkan pada pemenuhan kebutuhan dan pencapaian keuntungan organisasional. Tidak menutup kemungkinan motif tersebut ditopang pula oleh norma operasional (internal) dan sub-kultur organisasional.
Jelasnya bahwa kejahatan korporasi mungkin tidak terlalu sering terpublikasi dalam pemberitaan-pemberitaan kriminil di media. Aparat penegak hukum, seperti kepolisian juga pada umumnya lebih sering menindak aksi-aksi kejahatan konvensional yang secara nyata dan faktual terdapat dalam aktivitas sehari-hari masyarakat.  Ada beberapa beberapa faktor yang mempengaruhi hal ini.  Pertama, kejahatan-kejahatan yang dilaporkan oleh masyarakat hanyalah kejahatan-kejahatan konvensional.  Penelitian juga menunjukkan bahwa aktivitas aparat kepolisian sebagian besar didasarkan atas laporan anggota masyarakat, sehingga kejahatan yang ditangani oleh kepolisian juga turut bersifat konvensional. Kedua, pandangan masyarakat cenderung melihat kejahatan korporasi atau kejahatan kerah putih bukan sebagai hal-hal yang sangat berbahaya,dan juga turut dipengaruhi. Ketiga,  pandangan serta landasan hukum menyangkut siapa yang diakui sebagai subjek hukum pidana dalam hukum pidana Indonesia.  Keempat, tujuan dari pemidanaan kejahatan korporasi adalah lebih kepada agar adanya perbaikan dan ganti rugi, berbeda dengan pemidanaan kejahatan lain yang konvensional yang bertujuan untuk menangkap dan menghukum. Kelima, pengetahuan aparat penegak hukum menyangkut kejahatan korporasi masih dinilai sangat minim, sehingga terkadang terkesan enggan untuk menindaklanjutinya secara hukum.  Kelima, kejahatan korporasi sering melibatkan tokoh-tokoh masyarakat dengan status sosial yang tinggi.  Hal ini dinilai dapat mempengaruhi proses penegakan hukum.
2. Pertanggungan Jawaban Pidana Akibat Kejahatan Koorporasi.[2]
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia memang hanya menetapkan bahwa yang menjadi subjek tindak pidana adalah orang persorangan (legal persoon). Pembuat undang-undang dalam merumuskan delik harus memperhitungkan bahwa manusia melakukan tindakan di dalam atau melalui organisasi yang, dalam hukum keperdataan maupun di luarnya (misalnya dalam hukum administrasi), muncul sebagai  satu  kesatuan  dan karena  itu diakui  serta  mendapat  perlakuan  sebagai badan hukum atau korporasi. Berdasarkan KUHP, pembuat undang-undang akan merujuk pada pengurus atau komisaris korporasi jika mereka berhadapan dengan situasi seperti itu. Sehingga,  jika  KUHP Indonesia saat ini tidak bisa dijadikan sebagai  landasan untuk pertanggungjawaban pidana oleh korporasi, namun hanya dimungkinkan pertanggungjawaban oleh pengurus korporasi.   Hal ini bisa kita lihat dalam pasal 398 KUHP yang menyatakan bahwa jika seorang pengurus atau komisaris perseroan terbatas, maskapai andil Indonesia atau perkumpulan korporasi yang dinyatakan dalam keadaan pailit atau yang diperintahkan penyelesaian oleh pengadilan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun 4 bulan: 1. jika yang bersangkutan turut membantu atau mengizinkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan  yang bertentangan dengan anggaran dasar, sehingga oleh karena itu seluruh atau sebagian besar dari kerugian diderita oleh perseroan, maskapai, atau perkumpulan.
Di Belanda sendiri, sebagai tempat asal KUHP Indonesia, pada tanggal 23 Juni 1976, korporasi diresmikan sebagai subjek hukum pidana dan ketentuan ini dimasukkan kedalam pasal 51 KUHP Belanda (Sr.), yang isinya menyatakan antara lain:
1. Tindak pidana dapat dilakukan baik oleh perorangan maupun korporasi;
2. Jika suatu tindak pidana dilakukan oleh korporasi, penuntutan pidana dapat dijalankan dan sanksi pidana maupun tindakan yang disediakan dalam perundang-undangan sepanjang berkenaan dengan korporasi dapat dijatuhkan.  Dalam hal ini, pengenaan sanksi dapat dilakukan terhadap :
2.1. korporasi sendiri, atau
2.2. mereka yang secara faktual memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana yang dimaksud, termasuk mereka yang secara faktual memimpin pelaksanaan tindak pidana dimaksud, atau
2.3. korporasi atau mereka yang dimaksud di atas bersama-sama secara tanggung renteng.
Berkenaan dengan penerapan butir-butir sebelumnya, yang disamakan dengan korporasi: persekutuan bukan badan hukum, maatschap(persekutuan perdatan), rederij(persekutuan perkapalan) dandoelvermogen(harta kekayaan yang dipisahkan demi pencapaian tujuan tertentu; social fundatau yayasan).
Meskipun KUHP[3] Indonesia saat ini tidak mengikutsertakan korporasi sebagai subyek hukum yang dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana, namun korporasi mulai diposisikan sebagai subyek hukum pidana dengan ditetapkannya UU No.7/Drt/1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
Kemudian kejahatan korporasi juga diatur dan tersebar dalam berbagai undang-undang khusus lainnya dengan rumusan yang berbeda-beda mengenai “korporasi”, antara lain termasuk pengertian badan usaha, perseroan, perusahaan, perkumpulan, yayasan, perserikatan, organisasi, dan lain-lain, seperti :
- UU No.11/PNPS/1964 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi ;
- UU No.38/2004 tentang Jalan ;
- UU No.31/1999  jo. UU No.21 tahunn 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi .;
Jelasnya bahwa Pertanggungjawaban Pidana oleh Korporasi, dimana korporasi sebagai badan hukum sudah tentu memiliki identitas hukum tersendiri.  Identitas hukum suatu korporasi atau perusahaan terpisah dari identitas hukum para pemegang sahamnya, direksi, maupun organ-organ lainnya. Dalam kaidah hukum perdata (civil law), jelas ditetapkan bahwa suatu korporasi atau badan hukum merukapan subjek hukum perdata dapat melakukan aktivitas jual beli,  dapat membuat perjanjian atau kontrak dengan pihak lain, serta dapat menuntut dan dituntut di pengadilan dalam hubungan keperdataan. Para pemegang saham menikmati keuntungan yang diperoleh dari konsep tanggung jawab terbatas, dan kegiatan korporasi berlangsung terus-menerus, dalam arti bahwa keberadaannya tidak akan berubah meskipun ada penambahan anggota-anggota baru atau berhentinya atau meninggalnya anggota-anggota yang ada. Namun sampai saat ini, konsep pertanggungjawaban pidana oleh korporasi sebagai pribadi (corporate criminal liability) merupakan hal yang masih mengundang perdebatan. Banyak pihak yang tidak mendukung pandangan bahwa suatu korporsi yang wujudnya semu dapat melakukan suatu tindak kejahatan serta memiliki criminal intentyang melahirkan pertanggungjawaban pidana.  Disamping itu, mustahil untuk dapat menghadirkan di korporasi dengan fisik yang sebenarnya dalam ruang pengadilan dan duduk di kursi terdakwa guna menjalani proses peradilan.
Perlu diketahui dalam sistem hukumcommon lawmaupun civil law, sangat sulit untuk  dapat mengatribusikan suatu bentuk tindakan tertentu (actus reusatauguilty act) serta membuktikan unsur mens rea(criminal intentatauguilty mind) dari suatu entitas abstrak seperti korporasi.  Di Indonesia, meskipun undang-undang diatas dapat dijadikan sebagai landasan hukum untuk membebankan criminal liabilityterhadap korporasi, namun Pengadilan Pidana sampai saat ini terkesan enggan untuk mengakui dan mempergunakan peraturan-peraturan tersebut.  Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya kasus-kasus kejahatan korporasi di pengadilan dan tentu saja berdampak pada sangat sedikitnya keputusan pengadilan berkaitan dengan kejahatan korporasi. Akibatnya, tidak ada acuan yang dapat dijadikansebagai preseden bagi lingkungan peradilan di Indonesia.  Dua kasus yang muncul di peradilan sampai dengan saat ini hanya berkaitan dengan pelanggaran lingkungan hidup.
Jika kita melihat praktek yang diterapkan di Belanda sebelum pertanggung-jawaban pidana korporasi ditetapkan dalam KUHP Belanda, sebagaimana disebutkan oleh Remmelink dalam bukunya Hukum Pidana : Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kita Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, dalam bidang hukum pidana fiskal atau ekonomi, ditemukan kemungkinan menuntut pertanggunjawaban pidana terhadap korporasi.    Pandangan ini bahkan sudah dikenal lama sebelum KUHP Belanda dibuat. Hal ini dimungkinkan dengan mempertimbangkan kepentingan praktis. Dari sudut pandang ini, hukum pidana dapat dengan mudah melakukan perujukan pada kewajiban yang dibebankan oleh hukum fiskal pada pemilik, penyewa, atau yang menyewakan dan lain-lain, yang sering kali berbentuk korporasi. Namun, terlepas dari itu, dalam perkembangan selanjutnya hukum pidana umum juga semakin sering dengan masalah tersebut. Semakin banyak perundang-undangan dan peraturan administratif baru yang bermunculan. Dalam aturan-aturan tersebut, pembuat undang-undang merujuk pada ‘pengemban’ hak-hak warga yang banyak berbentuk korporasi.  Bilamana suatu kewajiban tidak dipenuhi, maka beranjak dari sistem perundang-undangan yang ada, ‘korporasi’ juga dimungkinkan untuk dipandang sebagai ‘pelaku’.  Di Belanda, kemungkinan ini sudah lama dikenal dalam waterschapsverordening(peraturang tentang  tata guna dan lalu lintas perairan) yang sering mewajibkan pemilik tanah yang terletak disamping kali atau saluran air untuk membersihkan atau menjaga kebersihan kewajiban yang diancam dengan sanksi pidana apabila dilalaikan.
Dalam  praktek common law, Pengadilan Inggris pertama kali memberlakukan pertanggungjawaban pidana korporasi hanya bagi kasus-kasus pelanggaran kewajiban hukum oleh korporasi-korporasi quasi-public yang hanya bersifat pelanggaran ketertiban umum (public nuisance). Sejalan dengan semakin meningkatnya jumlah dan peranan korporasi, pengadilan memperluas pertanggungjawaban pidana korporasi pada bentuk-bentuk  pelanggaran  atau  kejahatan yang tidak terlalu serius yang tidak  memerlukan  pembuktian mens rea atau criminal intent(offenses that did not require criminal intent), yang didasarkan pada doktrin vicarious liability.  Hal ini diikuti oleh  pengadilan di Amerika Serikat yang turut memberlakukan ketetapan yang serupa.
Pembebanan pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap kejahatan yang memerlukan pembuktian mens reabaru dilakukan setelah melalui waktu dan perkembangan yang lambat.  Di Amerika Serikat, penerapan corporate criminal liabilitypertama kali diterapkan dalam kasus New York Central & Hudson River Railroad Company v. United States, dimana pemerintah Amerika Serikat mendakwa perusahaan New York Central telah melanggar Elkins Act sectionI.
Oleh karenanya dengan berlakunya Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang kejahatan tindak pidana pencucian uang yang mengatur tenang bantuan timbal balik didalam masalah tindak pidana pencucian uang diatur pada Pasal 44 yaitu :
(1). Dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang, dapat dilakukan kerja sama bantuan timbal balik di bidang hukum dengan negara lain melalui forum bilateral atau multilateral sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Kerja sama bantuan timbal balik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ini dapat dilaksanakan dalam hal negara dimaksud telah mengadakan perjanjian kerja sama bantuan timbal balik dengan Negara Republik Indonesia atau berdasarkan prinsip resiprositas dan kerja sama yang dimaksud antara lain meliputi: a. pengambilan barang bukti dan pernyataan seseorang, termasuk pelaksanaan surat rogatori, b. pemberian barang bukti berupa dokumen dan catatan lain, c. identifikasi dan lokasi keberadaan seseorang, d. pelaksanaan permintaan untuk pencarian barang bukti dan penyitaan, e.upaya untuk melakukan pencarian, pembekuan, dan penyitaan hasil kejahatan, f.mengusahakan persetujuan orang-orang yang bersedia memberikan kesaksian atau membantu penyidikan di negara peminta dan g. bantuan lain yang sesuai dengan tujuan pemberian kerja sama timbal balik yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Dan dalam rangka melakukan kerja sama bantuan timbal balik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri yang bertanggung jawab di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan dapat meminta pejabat yang berwenang untuk melakukan tindakan kepolisian berupa penggeledahan, pemblokiran, penyitaan, pemeriksaan surat, pengambilan keterangan, atau hal-hal lain yang sesuai dengan ketentuan dan persyaratan sebagaimana diatur dalam Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang ini serta Barang bukti, pernyataan, dokumen, atau catatan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan alat bukti yang digunakan dalam pemeriksaan tindak pidana pencucian uang sesuai dengan peraturan perundang­undangan.
(3) Permintaan kerja sama bantuan timbal balik dari dan ke negara lain disampaikan kepada dan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang hukum dan perundang-undangan.
(4) Menteri dapat menolak permintaan kerja sama bantuan timbal balik dari negara lain dalam hal tindakan yang diajukan oleh negara lain tersebut dapat mengganggu kepentingan nasional atau permintaan tersebut berkaitan dengan penuntutan kasus politik atau penuntutan yang berkaitan dengan suku, agama, ras, kebangsaan, atau sikap politik seseorang.
3. Dasar Hukum adalah Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, UU No.11/PNPS/1964 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, UU No.38/2004 tentang Jalan, UU No.31/1999  jo. UU No.21 tahunn 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang No. 3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia dan KUHP Pasal 51, Pasal 398.
Kebijakan Menurut Undang Undang No. 25 Tahun 2003 Dan Opini Terehadap Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Dimana Menurut Pasal 2 adalah mengenai Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana: a. Korupsi,b.penyuapan,c. penyelundupan barang, d. penyelundupan tenaga kerja, e. penyelundupan imigran, f. di bidang perbankan,g. Dibidang pasar modal, h.dibidang asuransi,i.narkotika,j.psikotropika,k. perdagangan manusia, l. perdagangan senjata gelap .....dst.
Dimana tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4(empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia, dimana terhadap Harta Kekayaan yang dipergunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme dipersamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n dari Undang Undang No. 25 Tahun 2003.
  1. Contoh Kasus
1. Jakarta-Wakil Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Azis mengungkapkan kasus Melinda Dee dan kasus debt collector yang menimpa Citibank mungkin saja merupakan sebuah kejahatan korporasi."Polisi kan bilang kemungkinan masih tetap ada. Kita lihat saja nanti, kita enggak bisa memberikan sanksi karena belum ada bukti yang kuat," ujar Harry ketika berbincang dengan okezone, Minggu (1/5/2011). Menanggapi masalah ini, Harry mengaku akan kembali membahasnya dengan pihak Bank Indonesia (BI) untuk menilai apakah keputusan BI sesuai dengan keputusan komisi atau tidak."Masih pembahasan. Apa yang sudah dilakukan Bank Indonesia, nanti Mei kita masuk lagi. Kesempatan rapat kerja dengan gubernur BI," tambahnya. Harry pun menambahkan belum adanya laporan resmi dari BI mengenai masalah ini atau masalah pelanggaran standard of procedure (SOP) dari pihak Citibank. Pihaknya pun akan terus menelusuri kasus ini. "Sekarang belum ada laporan lebih lanjut," Ungkap Harry.Lebih lanjut, dirinya juga masih mempertanyakan kepastian kasus ini, apakah termasuk kejahatan korporasi atau kejahatan individual."Apakah nanti kasus ini tingkat tertentu badan usaha. Sekarang kan posisinya masih individual. Apakah itu ada kaitan dengan kejahatan korporasi, apakah tindakan kematian nasabah atau Melinda jabatan tertentu kejahatan korporasi," pungkasnya.[4]
2. Jakarta- Penyidik Kepolisian Daerah Metro Jaya akan mengusut kemungkinan adanya uang negara dalam dana Elnusa senilai Rp 111 miliar yang dibobol. Jika ada, polisi akan mendalami dugaan tindak pidana korupsi dalam pembobolan tersebut. "Sementara, kita akan dalami, saham itu siapa saja yang punya. Kalau ada uang negara, kita selidiki ke sana (dugaan korupsi)," jelas Kepala Satuan Fiskal, Moneter dan Devisa (Fismondev) Polda Metro Jaya AKBP Arismunandar kepada wartawan di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Rabu (11/5/2011). Sementara itu, Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Baharudin Djafar mengatakan, pembobolan dana Elnusa adalah kejahatan korporasi. Pasalnya, pembobolan tersebut dilakukan secara berjamaah dengan melibatkan sejumlah pejabat dari berbagai instansi."Sejak awal, kasus ini korporasi. Buktinya, mereka berlima bersepakat bersepakat berlima orang, yang latar belakang berbeda melakukan kejahatan mengalihkan dana PT Elnusa," jelas Baharudin. Seperti diketahui, pembobolan dana PT Elnusa senilai Rp 111 miliar itu melibatkan Direktur Keuangan Elnusa, Santun Nainggolan, Kepala Cabang Bank Mega Jababeka, Itman Harry Basuki, Direktur PT Discovery, Ivan CL, Direktur PT Harvestindo Andi Gunawan beserta Staf Collection-nya bernama Zulkarnaen, juga seorang broker bernama Richard Latief. Dana Elnusa yang didepositokan itu dicairkan, lalu diinvestasikan ke lima perusahaan berjangka. Menurut pengakuan tersangka Ivan, dana yang diinvestasikan sebesar Rp 87 miliar. Namun, dari hasil pemeriksaan lima direksi perusahaan investasi, dana Elnusa yang diinvestasikan hanya Rp 55,4 miliar saja.
3. Jakarta (ANTARA News)[5] - Pakar hukum pidana Universitas Indonesia (UI), Mardjono Reksodiputro, mengatakan bahwa korporasi dapat dipidana terkait kasus mafia pajak yang melibatkan mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak, Gayus HP Tambunan. "Jadi meskipun yang menyampaikan uang pada saudara Gayus itu orang, tapi uang itu datangnya dari perusahaan. Jadi perusahaannya harus bisa dianggap bersalah," katanya di sela-sela seminar dengan tema "Kasus Gayus Ditinjau Dari Pendekatan Interdisipliner" di Jakarta, Kamis.Kasus pajak yang melibatkan Gayus itu, katanya, gratifikasinya besar, karena sebenarnya perusahaan yang meminta misalnya penurunan pajak dan sebagainya."Jadi meskipun yang tentu menyampaikan uang pada saudara Gayus itu orang, tapi uang tersebut datangnya dari perusahaan, maka perusahaannya harus bisa dianggap bersalah," kata Mardjono.Gayus saat menjadi pegawai Dirjen Pajak menangani pajak 149 perusahaan, di mana tiga perusahaan adalah milik Bakrie Group yakni Arutmin, Kaltim Prima Coal (KPC) dan Bumi Resources. Mardjono menambahkan ada empat sisi kasus Gayus yakni korupsi, penyimpangan oleh kekuasaan, penyalahgunaan wewenang oleh petugas penegak hukum dan harta kekayaan dalam kasus Gayus."Hampir semua Undang-Undang yang baru, itu dinyatakan bahwa kalau korporasi yang melakukan tindak pidana maka akan dikenakan hukuman yang berat," katanya.Menurut Mardjono, sebuah korporasi atau badan hukum dijadikan terpidana sebenarnya bukan hal baru, karena pada 1955 Indonesia sudah ada Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi."Tetapi sekarang selalu yang dikejar dan dibawa ke pengadilan adalah manusia," kata Guru Besar Fakultas Hukum UI itu.
4. Canadian Dredge and Dock v. The Queen, [1985] 1 S.C.R. 662.  Dalam kasus ini, Supreme Court mengakui teori ini sebagai model untuk menentukan tanggungjawab perusahaan. Pengadilan berpendapat bahwa faktor yang membedakan antara directing mind dengan pegawai biasa adalah tingkatan kewenangan pengambilan atau pembuatan keputusan dalam praktek individual. Individu yang bertanggungjawab menyusun dan menerapkan kebijakan korporasi adalah directing mind dari perusahaan bersangkutan. Sebaliknya, individu yang membuat kebijakan untuk operasional day-to-day basis, bukanlah directing mind. Supreme Courtmenempatkan directing mind sebagai “ego”, “pusat” dan/atau “organ vital” korporasi.
Implementasi Kebijakan secara Internal.[6]
Analisa implementasi secara faktor internal terhadap upaya pencegahan kejahantan korporasi, walaupun sudah ada undang-undang yang berlapis yaitu Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, UU No.11/PNPS/1964 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, UU No.38/2004 tentang Jalan, UU No.31/1999  jo. UU No.21 tahunn 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No. 3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia dan KUHP Pasal 51, Pasal 398.Akan tetapi dalam upaya pencegahan secara faktor internal dimana segala kebijakan yang secara internal belum benar-benar berjalan dengan sebaik-baiknya dan terimplementasi didalam menanggulali kejahatan koorpirai tersebut. Dan secara otomatis dalam upaya penegakan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Undang-undang ini secara faktor internal dianggap mandul, karena tidak dapat berfungsi untuk menanggulangi kejahatan kooporasi, apalagi didalam hal memberikan hukuman yang setimpal sesuai dengan kejahatan kooporasi yang mereka lakukan. Al hasil karena ketidak tegasan didalam penindakan, maka kejahatan koorporasi akan terus berkembang dan semakin canggih motif prilaku kejahatan koorporasi dengan menggunakan perangkat yang lebih canggih, ketimbang perangkat yang dipunyai para penegak hukum atau institusi pemerintah tersebut.
Implementasi Kebijakan secara External.[7]
Analisa secara faktor ekstenal, suatu korporasi adalah sebuah abstraksi dimana kejahatan koorporasiIa tidak berdiri dan tumbuh yaitu karena ada kehendak yang harus dicari atau ditemukan untuk tujuan tertentu yang dapat disebut sebagai agen/perantara, yang benar-benar merupakan otak dan kehendak untuk mengarahkan (directing mind and will)[8], maka tindakannya pasti merupakan tindakan dari perusahaan itu sendiri. Dengan kata lain unsur mens readari pertanggungjawaban pidana korporasi terpenuhi dengan dipenuhinya unsur mens reapengurus korporasi atau perusahaan tersebut.  Begitu pula dengan actus reusyang diwujudkan oleh pengurus korporasi yang berarti merupakan actus reusperusahaan. Hal ini dapat dilihat terhadap pelaku tindak pidana yang berkomplot atau berkonspirasi untuk menggelapkan uang dan memperoleh uang dengan cara menipu. Jika memang demikian seharusnya Pengadilan berpendapat bahwa tidak ada alasan mengapa suatu korporasi yang dapat mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian dengan individu atau korporasi lain tidak dapat memenuhi unsur mens rea ketika korporasi tersebut melibatkan dirinya dalam perjanjian yang menjadi dasar utama konspirasi dan penipuan tersebut dan secara umum terhadap perusahaan yang merupakan kehendak bertindak dan mengarahkan (acting and directing will) dari perusahaan.   Niat untuk melakukan tindak pidana (mens rea) dan tindakan hukumnya (actus reus) merupakan niat dan tindakan dari perusahaan dan bahwa konspirasi untuk penggelapan uang dan penipuan merupakan kejahatan yang mampu diwujudkan oleh suatu perusahaan.
Analisa Pertanggungan Jawab Pidana sebagai akaibat Perbuatan Melawan Hukum Kejahatan Korporasi.
Terdapatnya beberapa prinsip atau konsep yang penting.Pertama, directing minddari suatu korporasi atau perusahaan tidak terbatas hanya satu individu saja. Sejumlah pejabat korporasi atau anggota direksi bisa membentuk directing mind. Kedua, faktor geografis[9] tidak berpengaruh. Fakta bahwa suatu korporasi memiliki banyak operasi atau cabang di daerah yang berbeda-beda tidak akan mempengaruhi penentuan individu-individu yang mana yang menjadi directing mindskorporasi.  Dengan demikian, seseorang tidak dapat menghindar dari tanggung jawab hanya karena ia tidak ditempatkan atau bertugas di daerah dimana perbuatan melawan hukum dilakukan.  Ketiga, korporasi[10] tidak bisa lari dari tanggung jawab dengan berkilah bahwa individu-individu tersebut melakukan perbuatan melawan hukum  meskipun  telah  ada  instruksi  untuk melakukan tindakan lain yang sah (tidak melawan hukum).  Anggota direksi dan pejabat korporasi lainnya memiliki kewajiban untuk  mengawasi tindak tanduk para pegawai lebih dari sekedar menetapkan panduan umum yang melarang tindakan illegal.Keempat, untuk dapat dinyatakan bersalah melakukan perbuatan melawan hukum, individu bersangkutan harus memiliki criminal intentatau mens rea.  Directing minddan mens reaada pada individu yang sama. Namun dalam teori identifikasi, anggota direksi atau pejabat korporasi lain yang merupakandirecting mindkorporasi tidak bisa dikenakan tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan tanpa mereka sadari. Kelima, untuk dapat menerapkan teori identifikasi harus dapat dibuktikanbahwa tindakan seorangdirecting mindadalah :  i) berdasarkan tugas atau instruksi yang ditugaskan padanya, ii)  bukan merupakan penipuan (fraud) yang dilakukan terhadap perusahaan, dan iii) dimaksudkan untuk dapat mendatangkan keuntungan bagi perusahaan. Keenam, tanggung jawab korporasi memerlukan analisa kontekstual. Dengan kata lain, penentuannya harus dilakukan berdasarkancase-to-case basis.  Jabatan seseorang dalam perusahaan tidak secara otomatis menjadikannya bertanggungjawab.  Penilaian terhadap kewenangan seseorang untuk menetapkan kebijakan korporasi atau keputusan korporasi yang penting harus dilakukan dalam konteks keadaan yang tertentu (particular circumstances).
Dalam hal Pertanggungan Jawab Pidana sebagai akaibat Perbuatan Melawan Hukum Kejahatan Korporasi[11]. Korporasi sebagai badan hukum sudah tentu memiliki identitas hukum tersendiri.  Identitas hukum suatu korporasi atau perusahaan terpisah dari identitas hukum para pemegang sahamnya, direksi, maupun organ-organ lainnya. Dalam kaidah hukum perdata (civil law), jelas ditetapkan bahwa suatu korporasi atau badan hukum merukapan subjek hukum perdata dapat melakukan aktivitas jual beli,  dapat membuat perjanjian atau kontrak dengan pihak lain, serta dapat menuntut dan dituntut di pengadilan dalam hubungan keperdataan. Para pemegang saham menikmati keuntungan yang diperoleh dari konsep tanggung jawab terbatas, dan kegiatan korporasi berlangsung terus-menerus, dalam arti bahwa keberadaannya tidak akan berubah meskipun ada penambahan anggota-anggota baru atau berhentinya atau meninggalnya anggota-anggota yang ada. Namun sampai saat ini, konsep pertanggungjawaban pidana oleh korporasi sebagai pribadi (corporate criminal liability) merupakan hal yang masih mengundang perdebatan. Banyak pihak yang tidak mendukung pandangan bahwa suatu korporsi yang wujudnya semu dapat melakukan suatu tindak kejahatan serta memiliki criminal intentyang melahirkan pertanggungjawaban pidana.  Disamping itu, mustahil untuk dapat menghadirkan di korporasi dengan fisik yang sebenarnya dalam ruang pengadilan dan duduk di kursi terdakwa guna menjalani proses peradilan.
Baik dalam sistem hukumcommon lawmaupun civil law, sangat sulit untuk  dapat mengatribusikan suatu bentuk tindakan tertentu (actus reusatauguilty act) serta membuktikan unsur mens rea(criminal intentatauguilty mind) dari suatu entitas abstrak seperti korporasi.  Di Indonesia, meskipun undang-undang diatas dapat dijadikan sebagai landasan hukum untuk membebankan criminal liabilityterhadap korporasi, namun Pengadilan Pidana sampai saat ini terkesan enggan untuk mengakui dan mempergunakan peraturan-peraturan tersebut.  Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya kasus-kasus kejahatan korporasi di pengadilan dan tentu saja berdampak pada sangat sedikitnya keputusan pengadilan berkaitan dengan kejahatan korporasi. Akibatnya, tidak ada acuan yang dapat dijadikan sebagai preseden bagi lingkungan peradilan di Indonesia.  Dua kasus yang muncul di peradilan sampai dengan saat ini hanya berkaitan dengan pelanggaran lingkungan hidup.
Jika kita melihat praktek yang diterapkan di Belanda sebelum pertanggung-jawaban pidana korporasi ditetapkan dalam KUHP Belanda, sebagaimana disebutkan oleh Remmelink dalam bukunya Hukum Pidana : Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kita Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, dalam bidang hukum pidana fiskal atau ekonomi, ditemukan kemungkinan menuntut pertanggunjawaban pidana terhadap korporasi.    Pandangan ini bahkan sudah dikenal lama sebelum KUHP Belanda dibuat. Hal ini dimungkinkan dengan mempertimbangkan kepentingan praktis. Dari sudut pandang ini, hukum pidana dapat dengan mudah melakukan perujukan pada kewajiban yang dibebankan oleh hukum fiskal pada pemilik, penyewa, atau yang menyewakan dan lain-lain, yang sering kali berbentuk korporasi. Namun, terlepas dari itu, dalam perkembangan selanjutnya hukum pidana umum juga semakin sering dengan masalah tersebut. Semakin banyak perundang-undangan dan peraturan administratif baru yang bermunculan. Dalam aturan-aturan tersebut, pembuat undang-undang merujuk pada ‘pengemban’ hak-hak warga yang banyak berbentuk korporasi.  Bilamana suatu kewajiban tidak dipenuhi, maka beranjak dari sistem perundang-undangan yang ada, ‘korporasi’ juga dimungkinkan untuk dipandang sebagai ‘pelaku’.  Di Belanda, kemungkinan ini sudah lama dikenal dalam waterschapsverordening(peraturang tentang  tata guna dan lalu lintas perairan) yang sering mewajibkan pemilik tanah yang terletak disamping kali atau saluran air untuk membersihkan atau menjaga kebersihan-kewajiban yang diancam dengan sanksi pidana apabila dilalaikan.
Dalam  praktek common law[12], Pengadilan Inggris pertama kali memberlakukan pertanggungjawaban pidana korporasi hanya bagi kasus-kasus pelanggaran kewajiban hukum oleh korporasi-korporasi quasi-public yang hanya bersifat pelanggaran ketertiban umum (public nuisance). Sejalan dengan semakin meningkatnya jumlah dan peranan korporasi, pengadilan memperluas pertanggungjawaban pidana korporasi pada bentuk-bentuk  pelanggaran  atau  kejahatan yang tidak terlalu serius yang tidak  memerlukan  pembuktian mens rea atau criminal intent(offenses that did not require criminal intent), yang didasarkan pada doktrin vicarious liability.  Hal ini diikuti oleh  pengadilan di Amerika Serikat yang turut memberlakukan ketetapan yang serupa. Pembebanan pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap kejahatan yang memerlukan pembuktian mens reabaru dilakukan setelah melalui waktu dan perkembangan yang lambat.  Di Amerika Serikat, penerapan corporate criminal liabilitypertama kali diterapkan dalam kasus New York Central & Hudson River Railroad Company v. United States, dimana pemerintah Amerika Serikat mendakwa perusahaan New York Central telah melanggar Elkins Act sectionI.
Tindakan yang dilakukan seseorang diduga melakukan kejahatan dapat diuji berdasarkan kaedah hukum yang dilanggar apakah tindakan seseorang tersebut termasuk kategori tindakan yang merupakan mala in seatau perbuatan yang merupakan mala in prohibita. Tindakan yang termasuk mala in se, adalah perbuatan yang melawan hukum, ada atau tidak ada peraturan yang melarangnya misalnya mencuri, menipu, membunuh, dan sebagainya. Sedangkan perbuatan yang merupakan mala in prohibita adalah perbuatan yang dinyatakan melanggar hukum apabila ada aturan yang melarangnya misalnya aturan-aturan lalu lintas di jalan raya, aturan-aturan administrasi internal suatu lembaga. Apabila tindakan seseorang itu termasuk perbuatanmala in prohibita, ada kemungkinan dia hanya melanggar aturan administrasi dan tidak dapat dikenakan hukuman pidana melainkan hanya tindakan administratif.
Namun, apabila tindakan yang dilakukan seseorang itu termasuk kategori mala in se, misalnya, dalam kasus obligor meskipun dana tersebut dikembalikan, unsur tindak pidananya tidak hilang, pengembalian tersebut hanya merupakan unsur pertimbangan untuk memberi keringanan hukuman. Untuk itu perlu ditelusuri kaedah hukum apa yang dilanggar? Apakah tindakan tersebut termasuk melanggar kaedah hukum bahwa seseorang tidak boleh mengambil barang orang lain tanpa hak seperti pada pencurian, penipuan atau perampokan maka selanjutnya di telusuri pula unsur lainnya seperti adanya mens rea dan actusreus.
Dalam wacana common law, ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk menentukan pertanggungjawaban pidana korporasi.
Identification Tests / Directing Mind Theory, atau directing minds theory, kesalahan dari anggota direksi atau organ perusahaan/korporasi yang tidak menerima perintah dari tingkatan yang lebih tinggi dalam perusahaan,  dapat dibebankan kepada perusahaan/ korporasi.  Teori ini diadopsi di Inggris sejak tahun 1915, yaitu melalui kasusLennard’s Carrying Co. Ltd v. Asiatic Petroleum Co., [1915] A.C. 705, at 713 (H.L.).  Dalam kasus ini, Hakim Pengadilan berpendapat : ”Suatu korporasi adalah sebuah abstraksi. Ia tidak punya akal pikiran sendiri dan begitu pula tubuh sendiri;  kehendaknya harus dicari atau ditemukan dalam diri seseorang yang untuk tujuan tertentu dapat disebut sebagai agen/perantara, yang benar-benar merupakan otak dan kehendak untuk mengarahkan (directing mind and will) dari korporasi tersebut……Jika Tuan Lennard merupakan otak pengarah dari perusahaan, maka tindakannya pasti merupakan tindakan dari perusahaan itu sendiri”.
Kesimpulan :
1. Kejahatan Korporasi adalah di bidang perekonomian terutama pada industri perbankan yaitu Pencucian Uang adalah perbuatan yang menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan yang sah, yang dilakukan oleh Setiap orang (orang perseorangan atau korporasi), kumpulan orang dan/atau kekayaan yang merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum, semua benda bergerak atau benda tidak bergerak (berwujud maupun yang tidak berwujud), dan Penyedia Jasa Keuangan. Dan setiap transaksi adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan hak atau kewajiban atau menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih, termasuk kegiatan pentransferan dan/atau pemindahbukuan dana yang dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan.
2. Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai adalah transaksi penarikan, penyetoran, atau penitipan yang dilakukan dengan uang tunai atau instrumen pembayaran lain yang dilakukan melalui Penyedia Jasa Keuangan, dengan dokumen yang nerupakan data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada: a. tulisan, suara, atau gambar, b. peta, rancangan, foto, atau sejenisnya dan c. huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya. Dengan adanya pusat pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang selanjutnya disebut yang PPATK adalah suatu lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang tindak pidana pencucian uang.
3. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia memang hanya menetapkan bahwa yang menjadi subjek tindak pidana adalah orang persorangan (legal persoon), dalam merumuskan delik harus memperhitungkan bahwa manusia melakukan tindakan di dalam atau melalui organisasi yang, dalam hukum keperdataan maupun di luarnya (misalnya dalam hukum administrasi), muncul sebagai  satu  kesatuan  dan karena  itu diakui  serta  mendapat  perlakuan  sebagai badan hukum atau korporasi. Berdasarkan KUHP, pembuat undang-undang akan merujuk pada pengurus atau komisaris korporasi jika mereka berhadapan dengan situasi seperti itu, KUHP Indonesia tidak bisa dijadikan sebagai  landasan untuk pertanggungjawaban pidana oleh korporasi, namun hanya dimungkinkan pertanggungjawaban oleh pengurus korporasi ( pasal 398 KUHP yang menyatakan bahwa jika seorang pengurus atau komisaris perseroan terbatas, maskapai andil Indonesia atau perkumpulan korporasi yang dinyatakan dalam keadaan pailit atau yang diperintahkan penyelesaian oleh pengadilan).
4. Meskipun KUHP Indonesia saat ini tidak mengikut sertakan korporasi sebagai subyek hukum yang dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana, namun korporasi mulai diposisikan sebagai subyek hukum pidana dengan ditetapkannya UU No.7/Drt/1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi dan sistem hukumcommon lawmaupun civil law, sangat sulit untuk  dapat mengatribusikan suatu bentuk tindakan tertentu (actus reusatauguilty act) serta membuktikan unsur mens rea(criminal intentatauguilty mind) dari suatu entitas abstrak seperti korporasi.  Di Indonesia, meskipun undang-undang diatas dapat dijadikan sebagai landasan hukum untuk membebankan criminal liabilityterhadap korporasi, namun Pengadilan Pidana sampai saat ini terkesan enggan untuk mengakui dan mempergunakan peraturan-peraturan tersebut.  Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya kasus-kasus kejahatan korporasi di pengadilan dan tentu saja berdampak pada sangat sedikitnya keputusan pengadilan berkaitan dengan kejahatan korporasi. Akibatnya, tidak ada acuan yang dapat dijadikan sebagai preseden bagi lingkungan peradilan di Indonesia.
5. Dalam  praktek common law, Pengadilan Inggris pertama kali memberlakukan pertanggungjawaban pidana korporasi hanya bagi kasus-kasus pelanggaran kewajiban hukum oleh korporasi-korporasi quasi-public yang hanya bersifat pelanggaran ketertiban umum (public nuisance). Sejalan dengan semakin meningkatnya jumlah dan peranan korporasi, pengadilan memperluas pertanggungjawaban pidana korporasi pada bentuk-bentuk  pelanggaran  atau  kejahatan yang tidak terlalu serius yang tidak  memerlukan  pembuktian mens rea atau criminal intent(offenses that did not require criminal intent), yang didasarkan pada doktrin vicarious liability.  Hal ini diikuti oleh  pengadilan di Amerika Serikat yang turut memberlakukan ketetapan yang serupa.
6. Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang kejahatan tindak pidana pencucian uang yang mengatur tenang bantuan timbal balik didalam masalah tindak pidana pencucian uang diatur pada Pasal 44 yaitu :(1). Dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang, dapat dilakukan kerja sama bantuan timbal balik di bidang hukum dengan negara lain melalui forum bilateral atau multilateral sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, (2) Kerja sama bantuan timbal balik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ini dapat dilaksanakan dalam hal negara dimaksud telah mengadakan perjanjian kerja sama bantuan timbal balik dengan Negara Republik Indonesia atau berdasarkan prinsip resiprositas dan kerja sama yang dimaksud.
7. Analisa implementasi secara faktor internal terhadap upaya pencegahan kejahantan korporasi, walaupun sudah ada undang-undang yang berlapis yaitu Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, UU No.11/PNPS/1964 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, UU No.38/2004 tentang Jalan, UU No.31/1999  jo. UU No.21 tahunn 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No. 3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia dan KUHP Pasal 51, Pasal 398. Dalam upaya pencegahan secara faktor internal dimana segala kebijakan yang secara internal belum benar-benar berjalan dengan sebaik-baiknya dan terimplementasi didalam menanggulali kejahatan koorpirai tersebut. Dan secara otomatis dalam upaya penegakan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Undang-undang ini secara faktor internal dianggap tidak berfungsi secara maksimal, karena tidak dapat berfungsi untuk menanggulangi kejahatan kooporasi, apalagi didalam hal memberikan hukuman yang setimpal sesuai dengan kejahatan kooporasi yang mereka lakukan. Al hasil karena ketidak tegasan didalam penindakan, maka kejahatan koorporasi akan terus berkembang dan semakin canggih motif prilaku kejahatan koorporasi dengan menggunakan perangkat yang lebih canggih, ketimbang perangkat yang dipunyai para penegak hukum atau institusi pemerintah tersebut.
8. Analisa secara faktor ekstenal, suatu korporasi adalah sebuah abstraksi dimana kejahatan koorporasiIa tidak berdiri dan tumbuh yaitu karena ada kehendak yang harus dicari atau ditemukan untuk tujuan tertentu yang dapat disebut sebagai agen/perantara, yang benar-benar merupakan otak dan kehendak untuk mengarahkan (directing mind and will), maka tindakannya pasti merupakan tindakan dari perusahaan itu sendiri. Dengan kata lain unsur mens readari pertanggungjawaban pidana korporasi terpenuhi dengan dipenuhinya unsur mens reapengurus korporasi atau perusahaan tersebut.  Begitu pula dengan actus reusyang diwujudkan oleh pengurus korporasi yang berarti merupakan actus reusperusahaan. Hal ini dapat dilihat terhadap pelaku tindak pidana yang berkomplot atau berkonspirasi untuk menggelapkan uang dan memperoleh uang dengan cara menipu. Jika memang demikian seharusnya Pengadilan berpendapat bahwa tidak ada alasan mengapa suatu korporasi yang dapat mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian dengan individu atau korporasi lain tidak dapat memenuhi unsur mens rea ketika korporasi tersebut melibatkan dirinya dalam perjanjian yang menjadi dasar utama konspirasi dan penipuan tersebut dan secara umum terhadap perusahaan yang merupakan kehendak bertindak dan mengarahkan (acting and directing will) dari perusahaan.   Niat untuk melakukan tindak pidana (mens rea) dan tindakan hukumnya (actus reus) merupakan niat dan tindakan dari perusahaan dan bahwa konspirasi untuk penggelapan uang dan penipuan merupakan kejahatan yang mampu diwujudkan oleh suatu perusahaan.
9. Berdasarkan case-to-case basis.  Jabatan seseorang dalam perusahaan tidak secara otomatis menjadikannya bertanggungjawab.  Penilaian terhadap kewenangan seseorang untuk menetapkan kebijakan korporasi atau keputusan korporasi yang penting harus dilakukan dalam konteks keadaan yang tertentu (particular circumstances). Dengan demikian Pertanggungan Jawab Pidana sebagai akaibat Perbuatan Melawan Hukum Kejahatan Korporasi. Korporasi sebagai badan hukum sudah tentu memiliki identitas hukum tersendiri.  Identitas hukum suatu korporasi atau perusahaan terpisah dari identitas hukum para pemegang sahamnya, direksi, maupun organ-organ lainnya. Dalam kaidah hukum perdata (civil law), jelas ditetapkan bahwa suatu korporasi atau badan hukum merukapan subjek hukum perdata dapat melakukan aktivitas jual beli,  dapat membuat perjanjian atau kontrak dengan pihak lain, serta dapat menuntut dan dituntut di pengadilan dalam hubungan keperdataan. Para pemegang saham menikmati keuntungan yang diperoleh dari konsep tanggung jawab terbatas, dan kegiatan korporasi berlangsung terus-menerus, dalam arti bahwa keberadaannya tidak akan berubah meskipun ada penambahan anggota-anggota baru atau berhentinya atau meninggalnya anggota-anggota yang ada.
10. Konsep pertanggungjawaban pidana oleh korporasi sebagai pribadi (corporate criminal liability) merupakan hal yang masih mengundang perdebatan. Banyak pihak yang tidak mendukung pandangan bahwa suatu korporsi yang wujudnya semu dapat melakukan suatu tindak kejahatan serta memiliki criminal intentyang melahirkan pertanggungjawaban pidana.  Disamping itu, mustahil untuk dapat menghadirkan di korporasi dengan fisik yang sebenarnya dalam ruang pengadilan dan duduk di kursi terdakwa guna menjalani proses peradilan.
11. Tindakan yang dilakukan seseorang diduga melakukan kejahatan dapat diuji berdasarkan kaedah hukum yang dilanggar apakah tindakan seseorang tersebut termasuk kategori tindakan yang merupakan mala in seatau perbuatan yang merupakan mala in prohibita. Tindakan yang termasuk mala in se, adalah perbuatan yang melawan hukum, ada atau tidak ada peraturan yang melarangnya misalnya mencuri, menipu, membunuh, dan sebagainya. Sedangkan perbuatan yang merupakan mala in prohibita adalah perbuatan yang dinyatakan melanggar hukum apabila ada aturan yang melarangnya misalnya aturan-aturan lalu lintas di jalan raya, aturan-aturan administrasi internal suatu lembaga. Apabila tindakan seseorang itu termasuk perbuatanmala in prohibita, ada kemungkinan dia hanya melanggar aturan administrasi dan tidak dapat dikenakan hukuman pidana melainkan hanya tindakan administratif.
12. Kategori mala in se, misalnya, dalam kasus obligor meskipun dana tersebut dikembalikan, unsur tindak pidananya tidak hilang, pengembalian tersebut hanya merupakan unsur pertimbangan untuk memberi keringanan hukuman. Untuk itu perlu ditelusuri kaedah hukum apa yang dilanggar ? Apakah tindakan tersebut termasuk melanggar kaedah hukum bahwa seseorang tidak boleh mengambil barang orang lain tanpa hak seperti pada pencurian, penipuan atau perampokan maka selanjutnya di telusuri pula unsur lainnya seperti adanya mens rea dan actusreus.
sumber: http://www.kompasiana.com

DAFTRA PUSTAKA
Abraham, Martin. “ The Lesson of Bhopal a Community Action Resource Manual on Hazardous Tecnologoes”.Penang, Malaysia : International Organization of Consumers Union IOCU, 1985.
Allen, Linda. “ Capital Markets And Institutions “: A Global View.New York, Brisbane, Singapore : Jhon Wiley & Sons’s, Inc., 1997.
Black and Daniel, “ Money and Bangkok”, Contemporary Pranctices, Politik and Isues Business Publication INC.Plano, Texas 1991.
Brodjonegoro, B. and Asunama, S. 2000: Regional Autonomy and Fiscal Decentralization in Democratic Indonesia. Unpublished paper, University of Jakarta.
Blair, H. 2000: Participation and Accountability at the Periphery: Democratic Local Governance in Six countries. World Development.
Crook, R. and Manor, J. 1994: Enhancing Participation and Institutional Performance: Democratic Decentralisation in South Asia and West Africa. London: Overseas Development Administration.
Corgill, Dennis.S.” Insider Trading, Price Signals, and Noisy Information”. Indiana Law Journal, vol. 71, 1996.
Davis, Jeffry L.” Disorgement in Insider Trading Cases : A Proposed Rule”. Securities Regulation Law Journal, vol.22, 1994.
------------Dasar-Dasar Perkreditan, Penerbit PT.Gramedia, Jakarta, 1988. Downes, John dan Jordan Elliot Gooman, “ Dictionary of Finance and Investment Term “Diterjemahkan oleh Soesanto Budhidarmo. Jakarta : PT.Elex Media Komputindo, 1991.
Eisert, Edward G “ Legal Strategis for Avoiding Class Action Law Suit Against Mutual Funds”. Securities Regulation Law Journal. Vol.24, 1996.
Eaton, K. 2001: Political Obstacles to Decentralization. Evidence from Argentina and the Philippines. Development and Change.
Fischel, Daniel R.” Efficient Capital Markets, The Crash, and the Fraud on the Market Theory”. Delaware Journal of Corporate Law, vol. 74, 1989.
Gallant, Peter.” The Eurobond Market, First Publishied”.New York :New York Institute of Finance, 1988.
Goelzer, Daniel L. Esq.” Management’s Discussion and Analysis and Environmental Disclosure”.Preventive Law Reporter, Summer, 1995.
Hardjasoemantri, Koesnadi. “Hukum Tata Lingkungan”.Edisi Ketujuh. Yogyakarta :Gadjah Mada University Press, 1999.
Harzel Leo & Richard Shepro.” Setting the Boundaries for Disclosure”.Delevare Journal of Corporate Law, vol. 74 1989.
Hidayat, Ade, Marthen Selamet Susanto, dan Sri Unggul Azul Sjafrie.I.Putu Gede Ary Suta. “Menuju Pasar Modal Modern’. Jakarta : Yayasan SAD Satria Bhaktu, 2000.
Indonesian Observer, 4/10/00: ‘Regions learning streamlined administration’. Islam, I. 1999: Regional Decentralisation in Indonesia: Towards a Social Accord. Working paper 99/01. Jakarta: United Nations Support Facilityfor Indonesian Recovery.
Kirana Jaya, W. and H. Dick, 2001: The Latest Crisis of Regional Autonomy in Historical Perspective. In Lloyd, G. and Smith, S., Editors, IndonesiaToday: Challenges of History. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
Podger, O. 2001: Regions know what to do to develop themselves. Opinion. Jakarta Post, 29/3/01.
Prasetyo, P. 2000: Personal communications.
Rondinelli, D. 1990: Decentralization, Territorial Power and the State: A Critical Response. Development and Change.
Rondinelli, D. and Cheema, G. 1983: Implementing Decentralization policies. In Cheema, G. and Rondinelli, D., Editors, Decentralization andDevelopment. Policy Implementation in Developing Countries. California: SAGE Publications.
------------Republik Indonesia, Undang Undang Nomor 25 tahun 2003 tentang
------------Republik Indonesia, Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang “Otonomi Daearh.”
Republik Indonesia Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang “Pemerintahan Daerah.”[Republic of Indonesia Law Number 22, 1999 regarding ‘Regional Governance’].-sudah tidak berlaku lagi.
------------Republik Indonesia, Undang Undang Nomor. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
------------Republik Indonesia, Undang Undang Nomor. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Republik Indonesia, Undang Undang Nomor. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Republik Indonesia, Undang Undang Nomor. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Republik Indonesia, Undang Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang “Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.”
------------Republika Online, Ju,;at. Tgl 27 Desember 1996 Sukrisno, “ Perencanaan Strategis Bank”, Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia, J akarta 1992.
Soejono Soekanto, Mengenai Sosiologi Hukum, Bandung, PT. Citra Bakti, 1989. Teguh Pudjo Mulyono, “Anlisis Laporan Keuangan untuk Perbankan”, Penerbit Djambatan , Jakarta, 1999.
Schwarz, A. 2000: A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s. New South Wales: Allen and Unwin.
Slater, D. 1989: Territorial Power and the Peripheral State: The issue of Decentralisation, Development and Change.1990: Debating Decentralisation–A Reply to Rondinelli,Development and Change.
Sadli, M. 2000: Establishing Regional Autonomy in Indonesia. The State of the Debate. Paper presented at the University of Leiden, Holland, 15- 16 May.
Suharyo, W. 2000: Voices from the Regions: A Participatory Assessment of the New Decentralization Laws in Indonesia. Report prepared for the United Nations Support Facility for Indonesian Recovery, Jakarta.
Turner, S. and Seymour, R., 2002: Ethnic Chinese and the Indonesian Crisis.In R. Starrs, Editor, Nations under Siege: Globalisation and Nationalism in Asia. New York, Palgrave, MacMillian Press.
Thomas Suryono DKK, “ Kelembagaan Perbankan”, Penerbit PT. Gramedia, Jakarta, 1998.
http://www.yahoo.com
http://www.Antara.com
http://www.Google.com
Http://www.detik.com

[1].Undang Undang Republik Indonesia, Nomor 31 Tahun 1999, Pasal 1, Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:1.Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.2. Pegawai Negeri adalah meliputi : a. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Kepegawaian;b. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana; c.orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;d. orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; ataue. orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.

[2] Undang Undang Republik Indonesia, Nomor 20 Tahun 2001, Pasal I, Beberapa ketentuan dan penjelasan pasal dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diubah sebagai berikut:1.Pasal 2 ayat (2) substansi tetap, penjelasan pasal diubah sehingga rumusannya sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal Demi Pasal angka 1 Undang-undang ini.2. Ketentuan Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, rumusannya diubah dengan tidak mengacu pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tetapi langsung menyebutkan unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing pasal Kitab Undang­undang Hukum Pidana yang diacu, sehingga berbunyi sebagai berikut:Pasal 5, (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: :a.memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau, b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).Pasal 6, (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang::a.memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau, b.memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili dan seterusnya.

[3] Undang Undang Republik Indonesia, Nomor 20 Tahun 2001, Pasal I, Beberapa ketentuan dan penjelasan pasal dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diubah sebagai berikut:1.Pasal 2 ayat (2) substansi tetap, penjelasan pasal diubah sehingga rumusannya sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal Demi Pasal angka 1 Undang-undang ini.2. Ketentuan Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, rumusannya diubah dengan tidak mengacu pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tetapi langsung menyebutkan unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing pasal Kitab Undang­undang Hukum Pidana yang diacu, sehingga berbunyi sebagai berikut:Pasal 5, (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: :a.memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau, b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).Pasal 6, (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang::a.memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau, b.memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili..(2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan seterusnya.

[4] http://www.yahoo.com

[5] http://www.Antara.com

[6].Charty Scott, op.cit, hal. 274-275.Caveat venditor merupakan lawan caveat emtor digunakan biasanya dalam lingkungan finansiil, Winardi, Kamus Ekonomi (Inggris-Indonesia), (Bandung : Penerbit Alimni, 1982), hal 59. Caveat Venditor diartikan sebagai sipenjual harus berhati-hati (Let The Seller Beware), Henry Campbell Vlack, Op.cit, hal.222. Kasmir, SE.,MM., “Dasar-Dasar Perbankan”, Divisi Buku Perguruan Tinggi, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta.Tahun 2005.

[7]Frederic.S.Mishkin, The Economics of Money, Bangking and Financial Market, Sixth Edition, Addison Wesley Longman USA, 2001.


[8]Gallant, Peter.” The Eurobond Market, First Publishied”.New York :New York Institute of Finance, 1988

[9]Hardjasoemantri, Koesnadi. “Hukum Tata Lingkungan”.Edisi Ketujuh. Yogyakarta :Gadjah Mada University Press, 1999.

10.Harzel Leo & Richard Shepro.” Setting the Boundaries for Disclosure”.Delevare Journal of Corporate Law, vol. 74 1989.

[11]Undang Undang Republik Indonesia, Nomor 31 Tahun 1999, Pasal 1, Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:1.Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.2. Pegawai Negeri adalah meliputi : a. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Kepegawaian;b. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana; c.orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;d. orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; ataue. orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.

[12]Soejono Soekanto, Mengenai Sosiologi Hukum, Bandung, PT. Citra Bakti, 1989.
Teguh Pudjo Mulyono, “ Anlisis Laporan Keuangan untuk Perbankan”, Penerbit Djambatan , Jakarta, 1999.

Comments

Popular posts from this blog

Kekerasan di Perkotaan

Temuan Riset: Kepolisian dan Pemerintah Daerah Tidak Paham Apa itu Ujaran Kebencian

Kisah Seorang Preman Kupang (1)