Penagihan Utang dan Pembobolan Bank

* Analisis
 
Semua kasus kejahatan operasional perbankan selalu melibatkan kolusi antarorang dalam bank dengan pihak luar bank. Kejahatan operasional umumnya menyangkut kelemahan sistem dan prosedur, kelemahan teknologi, dan perilaku karyawan. Eko B. Supriyanto
Karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Gara-gara kasus pembobolan dana nasabah privat (private banking) dan meninggalnya nasabah kartu kredit Citibank, perbankan nasional menjadi rusak. Dikesankan seolah-olah perbankan nasional tidak aman dan bisnis kartu kredit mendapat cobaan berat.
Kasus Melinda Dee (karyawan Citibank) dan Irzen Octa, nasabah kartu kredit Citibank yang meninggal mendadak setelah dimintai tanggung jawabnya oleh Citibank lewat jasa penagih pihak ketiga (debt collector), membuat ramai dunia perbankan dan hingga sekarang belum reda.
Bahkan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pun membuat rekomendasi yang salah satu rekomendasinya sungguh tidak masuk akal, yaitu meminta seluruh perbankan menghentikan penggunaan jasa debt collector. Yang melakukan kesalahan Citibank, tapi seluruh bank penerbit kartu kredit dipermasalahkan, sementara yang di luar perbankan tidak dipermasalahkan, seperti multifinance yang caranya menagih (utang) kepada debitor pun tak berbeda dengan perbankan.
Kesan adanya politisasi perbankan mencuat terkait dengan kasus Citibank. Langkah ramai-ramai mengembalikan kartu kredit secara simbolis oleh sebagian anggota DPR bukanlah solusi yang baik, tapi mengandung efek yang panjang terhadap masa depan tagihan yang tersisa.
Kini, banyak terjadi peningkatan non performing loan (NPL) kartu kredit. Banyak bank yang menerima pengembalian kartu yang menyisakan tunggakan. Bank-bank pun tidak berani menagihnya lewat penggunaan jasa pihak ketiga. Padahal, sebenarnya Bank Indonesia (BI) sudah mengatur penggunaan jasa pihak ketiga ini. Ada tiga hal yang sudah diatur dalam Surat Edaran (SE) Nomor 11/10/DASP tanggal 13 April 2009 yang dikeluarkan BI.
Satu, jasa pihak ketiga dapat digunakan untuk kredit yang sudah masuk kelompok diragukan dan macet. Dua, bank wajib menjamin penagihan dilakukan dengan cara tidak melanggar hukum. Tiga, bank dan pihak penagih harus membuat klausul tentang tanggung jawab penerbit segala akibat hukum yang timbul.
Jadi, sebenarnya penggunaan jasa pihak ketiga sudah diatur oleh BI. Hanya saja ada pihak-pihak yang tidak menghendaki kehadirannya. Bahkan, ada yang meminta debt collector menjadi karyawan tetap dan menjadi bagian dari karyawan bank. Hal ini tentu akan meningkatkan biaya. Apalagi kehadiran debt collector hanya diperuntukkan bagi nasabah yang utangnya sudah macet.
Nah, daripada sibuk memolitisasi atau merusak tatanan yang sudah ada, menuding ke sana kemari, dan seperti langganan para anggota DPR yang terus menuding menyalahkan BI, alangkah baiknya jika segera dibuat undang-undang (UU) tentang mekanisme penagihan utang. Sebab, cara-cara penyelesaian masalah utang-piutang seperti ini bisa saja tidak efektif.
Bagaimana hak bank yang uangnya sudah dipinjam? Banyak kasus, orang yang punya banyak utang tetap saja tidak bisa dipailitkan. Jadi, sudah waktunya membuat aturan agar hak dan kewajiban bank atau para pemberi pinjaman dan debitor menjadi sangat jelas. Jadi, sudah sangat mendesak UU penagihan utang ini. Jika situasi ini terus diambangkan dan DPR masih ngotot melarang penggunaan debt collector, akan terjadi gunung kredit macet.
Di lain sisi, kasus pembobolan bank juga sepertinya terus meningkat. Padahal, jika melihat aturan BI, rasanya sangat sulit melakukan kejahatan operasional yang belakangan ini marak terjadi. Kasus Melinda Dee dengan nasabah privat-nya telah membuka mata kita semua bahwa petugas bank yang dipercaya ternyata bisa menjadi tikus yang rapih.
Kejahatan kerah putih di bidang perbankan ini terus saja ada dan tidak mungkin bisa hilang sama sekali. Apalagi yang menyangkut kolusi antarorang dalam lebih dari dua orang—akan sangat sulit dideteksi.
Semua kasus kejahatan operasional perbankan selalu melibatkan kolusi antarorang dalam bank dengan pihak luar bank. Kejahatan operasional umumnya menyangkut kelemahan sistem dan prosedur, kelemahan teknologi, dan perilaku karyawan.
Untuk itu, mekanisme kontrol manajemen menjadi sangat penting. Sistem rotasi menjadi sangat urgent. Jangan sampai menempatkan karyawan dalam satu bidang tertentu selama bertahun-tahun hanya karena karyawan tersebut mendatangkan bisnis. Jawaban Citibank tentang nyamannya nasabah dilayani Melinda Dee bukanlah jawaban. Jika nasabah tidak mau, perlu diyakinkan.
Perilaku karyawan yang berubah mendadak dengan hidup yang gemerlap sudah waktunya menjadi perhatian. Risiko operasional akan terus ada. Kejahatan akan terus terjadi karena ini menyangkut keinginan manusia. Ada baiknya ada audit fraud—tapi memang umumnya bank diam-diam melaporkan pembobolan yang dilakukan oleh karyawannya—karena menyangkut kepercayaan nasabah.
Kendati demikian, dengan dana pihak ketiga yang sebesar Rp2.400 triliun yang melibatkan jutaan transaksi, kejahatan bank yang terjadi saat ini tidaklah menggambarkan situasi perbankan nasional. Bank-bank masih tetap aman untuk menyimpan dananya. Namun, pihak bank harus lebih waspada. Lingkungan sosial dengan hukum yang lemah memungkinkan pembobolan bank bakal selalu ada. (http://www.infobanknews.com)






 







 

Comments

Popular posts from this blog

Kekerasan di Perkotaan

Temuan Riset: Kepolisian dan Pemerintah Daerah Tidak Paham Apa itu Ujaran Kebencian

Kisah Seorang Preman Kupang (1)