Analisis Yuridis Terhadap Perselisihan Kewenangan Penyidik Polisi Republik Indonesia dengan Komisi Pemberantasan Korupsi Pada Tindak Pidana Korupsi Simulator Surat Izin Mengemudi

Polisi Republik Indonesia
Pengertian Polisi
Moylan mengemukakan pendapatnya mengenai arti serta pengertian kepolisian sebagai berikut (Molyan,1953:4):
”Istilah polisi sepanjang sejarah ternyata mempunyai arti yang berbeda-beda dalam arti yang diberikan pada semulanya. Juga istilah yang diberikan oleh tiap-tiap negara terhadap pengertian “polisi” adalah berbeda oleh karena masing-masing negara cenderung untuk memberikan istilah dalam bahasanya sendiri. Misalnya istilah “contable” di Inggris mengandung arti tertentu bagi pengertian “polisi”, yaitu bahwa contable mengandung dua macam arti, pertama sebagai satuan untuk pangkat terendah di kalangan kepolisian (police contable) dan kedua berarti kantor polisi (office of constable)”.
Di samping itu istilah “police” dalam Bahasa Inggris mengandung arti yang lain, seperti yang dinyatakan oleh Charles Reith dalam bukunya “The Blind Eya of History” yang mengatakan Police in the English language came to mean any kind of planing for improving of ordering communal existence”. Dari defenisi tersebut dapat diartikan bahwa Charles Reith mengatakan bahwa polisi dituntut mengayomi masyarakat namun di satu sisi polisi dapat melakukan tindakan hukum dari beratnya kejahatan(Anton Tabah, 2002:32).
Perkembangan selanjutnya di Indonesia dikenal istilah “Hukum Kepolisian” adalah istilah majemuk yang terdiri atas kata “Hukum” dan “Kepolisian”. Jadi menurut arti tata bahasa istilah “Hukum Kepolisian” adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang bertalian dengan polisi. Dalam Pasal 1 Bab I Ketentuan Umum Poin 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia bahwa ”Kepolisian adalah segala hal–ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Sedangkan menurut Pasal 5 ayat (1) pada undang-undang yang sama, Kepolisian Negara Republik Indonesia dikatakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negara.
Tugas dan Kewenangan Kepolisian Republik Indonesia
Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 mengenai Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Perkembangan kemajuan masyarakat yang cukup pesat, seiring dengan merebaknya fenomena supremasi hukum, hak asasi manusia, globalisasi, demokratisasi, desentralisasi, transparansi, dan akuntabilitas, telah melahirkan berbagai paradigma baru dalam melihat tujuan, tugas, fungsi, wewenang dan tanggung jawab Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya menyebabkan pula tumbuhnya berbagai tuntutan dan harapan masyarakat terhadap pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia yang makin meningkat dan lebih berorientasi kepada masyarakat yang dilayaninya.
Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Kedua, Ketetapan MPR RI No.VI/MPR/2000 dan Ketetapan MPR RI No.VII/MPR/2000, keamanan dalam negeri dirumuskan sebagai format tujuan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan secara konsisten dinyatakan dalam perincian tugas pokok yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat.Namun, dalam penyelenggaraan fungsi kepolisian, Kepolisian Negara Republik Indonesia secara fungsional dibantu oleh kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa melalui pengembangan asas subsidiaritas dan asas partisipasi.
Sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakkan hukum, perlindungan, dan pelayanan kepada masyarakat, tugas dan kewenangan Kepolisian Republik Indonesiameliputi:
Tugas Kepolisian Republik Indonesia meliputi:
a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. menegakkan hukum; dan
c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Kewenangan Kepolisian Republik Indonesia Meliputi:
a) Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patrol terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan.
b) Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan.
c) Turut serta dalam pembinaan hukum nasional
d) Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan.
e) Menerima laporan dan/atau pengaduan.
f) Membantu menyelesaikan perselisihan waga masyarakat yang dapat menggangu ketertiban umum.
g) Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian.
h) Mencari keterangan dan barang bukti.
i) Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat.
j) Menyelenggarakan pusat informasi criminal nasional.
k) Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian.
Komisi Pemberantasan Korupsi
Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat.Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa.Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa.
Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan.
Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, Pemerintah Indonesia telah meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana korupsi. Berbagai kebijakan tersebut tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, serta Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, badan khusus tersebut yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi, memiliki kewenangan :
Melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, sedangkan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja dan pertanggung jawaban, tugas dan wewenang serta keanggotaannya diatur dengan Undang-undang.
Pada saat ini pemberantasan tindak pidana korupsi sudah dilaksanakan oleh berbagai institusi seperti kejaksaan dan kepolisian dan badan-badan lain yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, oleh karena itu pengaturan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dilakukan secara berhati-hati agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dengan berbagai instansi tersebut.
Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi meliputi tindak pidana korupsi yang :
1. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;
2. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
3. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Dengan pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2003 tentang Pemeberantasan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi:
1) Dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan memperlakukan institusi yang telah ada sebagai “counterpartner” yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif;
2) Tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan;
3) Berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi (trigger mechanism);
4) Berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah ada, dan dalam keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan.
Selain itu, dalam usaha pemberdayaan Komisi Pemberantasan Korupsi telah didukung oleh ketentuan-ketentuan yang bersifat strategis antara lain:
1. Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang memuat perluasan alat bukti yang sah serta ketentuan tentang asas pembuktian terbalik;
2. Ketentuan tentang wewenng Komisi Pemberantasan Korupsi yang dapat melakukan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap penyelenggara negara, tanpa ada hambatan prosedur karena statusnya selaku pejabat negara;
3. Ketentuan tentang pertanggungjawaban Komisi Pemberantasan Korupsi kepada publik dan menyampaikan laporan secara terbuka kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan;
4. Ketentuan mengenai pemberatan ancaman pidana pokok terhadap Anggota Komisi atau pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang melakukan korupsi; dan
5. Ketentuan mengenai pemberhentian tanpa syarat kepada Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi yang melakukan tindak pidana korupsi.
Dalam proses pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi, tidak kalah pentingnya adalah sumber daya manusia yang akan memimpin dan mengelola Komisi Pemberantasan Korupsi. Undang-Undang ini memberikan dasar hukum yang kuat sehingga sumber daya manusia tersebut dapat konsisten dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.
Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga negara yang bersifat independen yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri dari 5 (lima) orang yang merangkap sebagai Anggota yang semuanya adalah pejabat negara. Pimpinan tersebut terdiri atas unsur pemerintah dan unsur masyarakat sehingga sistem pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi tetap melekat pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Berdasarkan ketentuan ini maka persyaratan untuk diangkat menjadi anggota Komisi Pemberantasan Korupsi, selain dilakukan secara transparan dan melibatkan keikutsertaan masyarakat, juga harus memenuhi persyaratan administratif dan harus melalui uji kelayakan (fit and proper test) yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, yang kemudian dikukuhkan oleh Presiden Republik Indonesia.
Di samping itu untuk menjamin perkuatan pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi dapat mengangkat Tim Penasihat yang berasal dari berbagai bidang kepakaran yang bertugas memberikan nasihat atau pertimbangan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Sedang mengenai aspek kelembagaan, ketentuan mengenai struktur organisasi Komisi Pemberantasan Korupsi diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan masyarakat luas tetap dapat ikut berpartisipasi dalam aktivitas dan langkah-langkah yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, serta pelaksanaan program kampanye publik dapat dilakukan secara sistematis dan konsisten, sehingga kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dapat diawasi oleh masyarakat luas.
Keabsahan Kesepakatan Bersama antara Kejaksaan, Kepolisian, Komisi Pemberantasan Korupsi tentang Optimalisasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Kesepakatan Bersama atau yang dalam hukum perdata dikenal dengan istilah ‘Perjanjian” merupakan suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau atau lebih untuk melaksanakan suatu hal yang dituangkan dalam suatu kontrak tertulis. Kesepakatan bersama juga dikenal dengan istilah Memorandum of Understanding (MoU). Mou merupakan suatu bentuk perjanjian dari negara-negara dengan sistem hukum Common Law.
Dalam hukum tata negara, Kesepakatan bersama untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan hanya dikenal dalam dunia praktik. Karena dalam tataran teori tidak dikenal adanya istilah kesepakatan bersama. Jimly Asshidiqqie mengemukakan ada tiga bentuk pengambilan keputusan organ negara yang dikenal dengan hukum negara, yakni (Jimly Assidiqqie, 2010:7-8):
1. Pengaturan menghasilkan peraturan (regels). Hasil kegiatan pengaturan itu sudah seharusnya tidak disebut dengan istilah lain kecuali “peraturan”.
2. Penetapan menghasilkan ketetapan atau keputusan (Beschikking). Hasil kegiatan penetapan atau pengambilan keputusan administratif ini sebaiknya hanya dimungkinkan untuk disebut “keputusan” atau “ketetapan”, bukan dengan istilah lain, seperti misalnya kebiasaan dilingkungan pengadilan yang menggunakan istilah “penetapan” untuk sebutan bagi keputusan-keputusan administrasi di bidang yudisial. Istilah yang dipakai sebaiknya, bukan penetapan tetapi “ketetapan” yang sepadan dengan istilah “keputusan”. Sedangkan penetapan adalah bentuk “gerund” atau kata benda kegiatannya, bukan sebutan untuk hasilnya; dan
3. Penghakiman atau pengadilan menghasilkan putusan (vonnis). Istilah ini sebenarnya tidak jelas bagaimana terbentuknya. Jika kata keputusan dianggap benar secara gramatikal, maka seharusnya dapat dipadankan dengan “tetapan” yang berasal dari kata “tetap” dan aturan yang berasal dari kata “atur”. Namun, karena istilah ini sudah diterima umum dalam praktik, telah menjadi konvensi bahwa keputusan yudisial hakim atas perkara yagn diadili disebut putusan.
Demikian pula dengan pendapat M. Solly Lubis, yang mengemukakan bahwa peraturan negara (staatsregelings) atau keputusan dalam arti luas (besluiten) dapat dibagi ke dalam 3 (tiga) kelompok yakni :
1. Wettelijk regeling (peraturan perundang-undangan) seperti UUD, undang-undang, peraturan pemerintah pengganti undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan daerah, peraturan desa, dan lain-lain.
2. Beleidregels (peraturan kebijakan), seperti instruksi, surat edaran, pengumuman dan lain-lain.
3. Beschikking (penetapan), seperti surat keputusan dan lain-lain.
Terlebih dalam tata urutan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, istilah Mou bukanlah merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sehingga MoU pada dasarnya tidak memiliki kekuatan mengikat dan keberlakuannya sangat bergantung pada para pihak yang bersepakat dalam sebuah MoU. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Rasamala Aritonang selaku Fungsional Biro Hukum KPK, mengemukakan bahwa “MoU adalah kesepakatan bersama, dibentuk atas dasar saling pengertian dan kesepahaman serta itikad baik dari masing-masing pihak yang bersepakat. Jika Mou dilanggar maka sanksinya lebih kepada sanksi “moral” dan menyebabkan kekurangharmonisan hubungan 2 lembaga yang ber MoU. Sebetulnya kalau para pihak “bermoral” maka MoU akan sangat sulit untuk di ingkari. Tetapi seringkali ada klausul atau butir-butir dalam MoU yang masih multi tafsir, sehingga memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam MoU tersebut untuk membuat tafsirnya sendiri tentang butir dari MoU tersebut, sehingga dengan tafsirnya tersebut, pihak itu tidak merasa melanggar MoU.’
Lebih lanjut Rasamala Aritonang Selaku Fungsional Biro Hukum KPK mengemukakan bahwa MoU yang dibuat antara Kejaksaan, Polri dan KPK Tidak melawan hukum, justru MoU tersebut merupakan terobosan untuk mengisi kekosongan hukum (aturan), karena selama ini belum ada aturan yang mengatur tentang penegak hukum manakah yang harus atau berwenang melakukan penanganan perkara tidak pidana korupsi. Padahal ada 3 (tiga) institusi yang berwenang untuk melakukan penanganan tindak pidana korupsi.
Menanggapi pendapat di atas, penulis membenarkan jika Rasamala Aritonang berpendapat bahwa dalam Mou antara Kejaksaan, Kepolisian dan Polri masih terdapat banyak ketentuan yang multi tafsir. Sehingga tidak akhirnya MoU yang dibuat untuk mewujudkan “kesepakatan bersama” tidak dapat dilakukan. Karena keberadaan MoU ini bukanlah merupakan suatu aturan hukum baku dalam tata urutan peraturan perundang-undangan yang dikenal di Indonesia, maka penulis akan melakukan analisis keabsahan Mou ini dengan menggunakan syarat sahnya suatu perjanjian.
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan penulis, dapat disimpulkan bahwa:
1. Substansi Pasal 8 Kesepakatan Bersama antara Kejaksaan, Kepolisian, Komisi Pemberantasan Korupsi tentang Optimalisasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan kesepakatan yang dibentuk dalam rangka mewujudkan sinergitas para pihak yang berwenang dalam penanganan tindak pidana korupsi.
2. Kesepakatan Bersama antara Kejaksaan, Kepolisian, Komisi Pemberantasan Korupsi tentang Optimalisasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengandung ketentuan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, khususnya pada klausula Pasal 8 MoU yang mengatur tentang hubungan kerja dan tenggang waktu pelaporan bertentangan dengan ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, serta Pasal 9 MOU yang berkaitan dengan kewenangan supervisi, yang substansinya melemahkan kedudukan KPK selaku lembaga independen dalam penganganan pemberantasan tindak pidana korupsi sehingga menurut penulis pada klausula pasal 8 MoU itu batal demi hukum karena bertentangan dengan undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK dan dan dipertegas juga dengan adanya perintah Presiden kepada Polri untuk menyerahkan kasus simulator sim kepada KPK dan Polri harus mengikuti peraturan perundang-undangan dalam hal ini undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK pada pasal 50 ayat 3 dan 4.
3. Penyelesaian konflik kewenangan menyidik antara penyidik KPK dengan Penyidik POLRI dalam kasus simulator SIM diselesaikan secara politis, yakni berdasarkan perintah Presiden Republik Indonesia kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia, untuk sepenuhnya menyerahkan kasus Simulator SIM yang melibatkan pejabat tinggi kepolisian agar ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
B. Saran
Adapun beberapa rekomendasi penulis terkait dengan penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:
1. Kesepakatan Bersama antara Kejaksaan, Polri dan KPK tentang Optimalisasi Penanganan Tindak Pidana Korupsi sangat melemahkan KPK selaku Lembaga Independen dalam penanganan tindak pidana korupsi, oleh karena itu sebaiknya kesepakatan bersama pada pasal 8 MoU perlu di tinjau ulang keberadaannya.
2. Dalam melakukan perubahan kesepakatan bersama, sangat perlu kiranya para pihak memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang berlaku khususnya yang berkaitan dengan pengananan tindak pidana korupsi guna menghindari terjadinya kesepakatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Sebagai lembaga yang berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah ada dalam hal penanganan tindak pidana korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi diharapkan mampu melakukan koordinasi yang baik dengan Kepolisian Republik Indonesia untuk menghindari terjadinya tumpang tindih kewenangan dalam hal penanganan tindak pidana korupsi. Selain itu, perlu pula diadakan perubahan pengaturan untuk memberikan kejelasan tugas pokok dan fungsi masing-masing lembaga, terutama dalam hal pengambilalihan kewenangan yang dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam hal penanganan tindak pidana korupsi. (http://hukum.kompasiana.com)

Comments

Popular posts from this blog

Seri-Taspen: SEJARAH, JATI DIRI DAN PROBLEMATIKA

Kekerasan di Perkotaan

Masyarakat dan Judi (1)