Analisis Yuridis Terhadap Perselisihan Kewenangan Penyidik Polisi Republik Indonesia dengan Komisi Pemberantasan Korupsi Pada Tindak Pidana Korupsi Simulator Surat Izin Mengemudi
Polisi Republik Indonesia
Pengertian Polisi
Moylan mengemukakan pendapatnya mengenai arti serta pengertian kepolisian sebagai berikut (Molyan,1953:4):
”Istilah
polisi sepanjang sejarah ternyata mempunyai arti yang berbeda-beda
dalam arti yang diberikan pada semulanya. Juga istilah yang diberikan
oleh tiap-tiap negara terhadap pengertian “polisi” adalah berbeda oleh
karena masing-masing negara cenderung untuk memberikan istilah dalam
bahasanya sendiri. Misalnya istilah “contable” di Inggris mengandung arti tertentu bagi pengertian “polisi”, yaitu bahwa contable mengandung dua macam arti, pertama sebagai satuan untuk pangkat terendah di kalangan kepolisian (police contable) dan kedua berarti kantor polisi (office of constable)”.
Di samping itu istilah “police”
dalam Bahasa Inggris mengandung arti yang lain, seperti yang dinyatakan
oleh Charles Reith dalam bukunya “The Blind Eya of History” yang
mengatakan “Police in the English language came to mean any kind of planing for improving of ordering communal existence”.
Dari defenisi tersebut dapat diartikan bahwa Charles Reith mengatakan
bahwa polisi dituntut mengayomi masyarakat namun di satu sisi polisi
dapat melakukan tindakan hukum dari beratnya kejahatan(Anton Tabah,
2002:32).
Perkembangan
selanjutnya di Indonesia dikenal istilah “Hukum Kepolisian” adalah
istilah majemuk yang terdiri atas kata “Hukum” dan “Kepolisian”. Jadi
menurut arti tata bahasa istilah “Hukum Kepolisian” adalah hukum yang
mengatur segala sesuatu yang bertalian dengan polisi. Dalam Pasal 1 Bab I
Ketentuan Umum Poin 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia bahwa ”Kepolisian adalah segala
hal–ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan”.
Sedangkan
menurut Pasal 5 ayat (1) pada undang-undang yang sama, Kepolisian
Negara Republik Indonesia dikatakan alat negara yang berperan dalam
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta
memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat
dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negara.
Tugas dan Kewenangan Kepolisian Republik Indonesia
Kepolisian
Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta
memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat
dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.Sesuai dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 mengenai Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
Perkembangan
kemajuan masyarakat yang cukup pesat, seiring dengan merebaknya
fenomena supremasi hukum, hak asasi manusia, globalisasi, demokratisasi,
desentralisasi, transparansi, dan akuntabilitas, telah melahirkan
berbagai paradigma baru dalam melihat tujuan, tugas, fungsi, wewenang
dan tanggung jawab Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya
menyebabkan pula tumbuhnya berbagai tuntutan dan harapan masyarakat
terhadap pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
makin meningkat dan lebih berorientasi kepada masyarakat yang
dilayaninya.
Sesuai
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Perubahan Kedua, Ketetapan MPR RI No.VI/MPR/2000 dan Ketetapan MPR RI
No.VII/MPR/2000, keamanan dalam negeri dirumuskan sebagai format tujuan
Kepolisian Negara Republik Indonesia dan secara konsisten dinyatakan
dalam perincian tugas pokok yaitu memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, menegakkan hukum, serta melindungi, mengayomi, dan melayani
masyarakat.Namun, dalam penyelenggaraan fungsi kepolisian, Kepolisian
Negara Republik Indonesia secara fungsional dibantu oleh kepolisian
khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan
swakarsa melalui pengembangan asas subsidiaritas dan asas partisipasi.
Sebagai
salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang pemeliharaan keamanan
dan ketertiban masyarakat, penegakkan hukum, perlindungan, dan pelayanan
kepada masyarakat, tugas dan kewenangan Kepolisian Republik
Indonesiameliputi:
Tugas Kepolisian Republik Indonesia meliputi:
a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. menegakkan hukum; dan
c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Kewenangan Kepolisian Republik Indonesia Meliputi:
a) Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patrol terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan.
b) Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan.
c) Turut serta dalam pembinaan hukum nasional
d) Membina
masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum
masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan
perundang-undangan.
e) Menerima laporan dan/atau pengaduan.
f) Membantu menyelesaikan perselisihan waga masyarakat yang dapat menggangu ketertiban umum.
g) Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian.
h) Mencari keterangan dan barang bukti.
i) Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat.
j) Menyelenggarakan pusat informasi criminal nasional.
k) Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian.
Komisi Pemberantasan Korupsi
Tindak
pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam
masyarakat.Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik
dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara
maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin
sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan
masyarakat.
Meningkatnya
tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak
saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan
berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas
dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan
hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana
korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan
telah menjadi suatu kejahatan luar biasa.Begitu pun dalam upaya
pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi
dituntut cara-cara yang luar biasa.
Penegakan
hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara
konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu
diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan
suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta
bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana
korupsi, yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif,
efektif, profesional serta berkesinambungan.
Dalam
rangka mewujudkan supremasi hukum, Pemerintah Indonesia telah
meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak
pidana korupsi. Berbagai kebijakan tersebut tertuang dalam berbagai
peraturan perundang-undangan, antara lain dalam Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme; Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, serta
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, badan khusus tersebut yang
selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi, memiliki kewenangan :
Melakukan
koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan,
dan penuntutan, sedangkan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata
kerja dan pertanggung jawaban, tugas dan wewenang serta keanggotaannya
diatur dengan Undang-undang.
Pada
saat ini pemberantasan tindak pidana korupsi sudah dilaksanakan oleh
berbagai institusi seperti kejaksaan dan kepolisian dan badan-badan lain
yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, oleh karena
itu pengaturan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dilakukan secara
berhati-hati agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dengan
berbagai instansi tersebut.
Kewenangan
Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyelidikan, penyidikan,
dan penuntutan tindak pidana korupsi meliputi tindak pidana korupsi yang
:
1. melibatkan
aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada
kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat
penegak hukum atau penyelenggara negara;
2. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
3. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Dengan
pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2003 tentang
Pemeberantasan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi:
1) Dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan memperlakukan institusi yang telah ada sebagai “counterpartner” yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif;
2) Tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan;
3) Berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi (trigger mechanism);
4) Berfungsi
untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah ada, dan
dalam keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan.
Selain
itu, dalam usaha pemberdayaan Komisi Pemberantasan Korupsi telah
didukung oleh ketentuan-ketentuan yang bersifat strategis antara lain:
1. Ketentuan
dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang memuat perluasan
alat bukti yang sah serta ketentuan tentang asas pembuktian terbalik;
2. Ketentuan
tentang wewenng Komisi Pemberantasan Korupsi yang dapat melakukan tugas
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap penyelenggara negara,
tanpa ada hambatan prosedur karena statusnya selaku pejabat negara;
3. Ketentuan
tentang pertanggungjawaban Komisi Pemberantasan Korupsi kepada publik
dan menyampaikan laporan secara terbuka kepada Presiden Republik
Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan
Pemeriksa Keuangan;
4. Ketentuan
mengenai pemberatan ancaman pidana pokok terhadap Anggota Komisi atau
pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang melakukan korupsi; dan
5. Ketentuan mengenai pemberhentian tanpa syarat kepada Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi yang melakukan tindak pidana korupsi.
Dalam
proses pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi, tidak kalah pentingnya
adalah sumber daya manusia yang akan memimpin dan mengelola Komisi
Pemberantasan Korupsi. Undang-Undang ini memberikan dasar hukum yang
kuat sehingga sumber daya manusia tersebut dapat konsisten dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
ini.
Komisi
Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga negara yang bersifat independen
yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan
manapun. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri dari 5 (lima)
orang yang merangkap sebagai Anggota yang semuanya adalah pejabat
negara. Pimpinan tersebut terdiri atas unsur pemerintah dan unsur
masyarakat sehingga sistem pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat
terhadap kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi
tetap melekat pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Berdasarkan
ketentuan ini maka persyaratan untuk diangkat menjadi anggota Komisi
Pemberantasan Korupsi, selain dilakukan secara transparan dan melibatkan
keikutsertaan masyarakat, juga harus memenuhi persyaratan administratif
dan harus melalui uji kelayakan (fit and proper test) yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, yang kemudian dikukuhkan oleh Presiden Republik Indonesia.
Di
samping itu untuk menjamin perkuatan pelaksanaan tugas dan wewenangnya,
Komisi Pemberantasan Korupsi dapat mengangkat Tim Penasihat yang
berasal dari berbagai bidang kepakaran yang bertugas memberikan nasihat
atau pertimbangan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Sedang mengenai
aspek kelembagaan, ketentuan mengenai struktur organisasi Komisi
Pemberantasan Korupsi diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan
masyarakat luas tetap dapat ikut berpartisipasi dalam aktivitas dan
langkah-langkah yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, serta
pelaksanaan program kampanye publik dapat dilakukan secara sistematis
dan konsisten, sehingga kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dapat
diawasi oleh masyarakat luas.
Keabsahan Kesepakatan Bersama antara Kejaksaan, Kepolisian, Komisi Pemberantasan Korupsi tentang Optimalisasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Kesepakatan Bersama atau yang dalam hukum perdata dikenal dengan istilah ‘Perjanjian” merupakan suatu peristiwa
di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau atau lebih untuk
melaksanakan suatu hal yang dituangkan dalam suatu kontrak tertulis.
Kesepakatan bersama juga dikenal dengan istilah Memorandum of Understanding (MoU). Mou merupakan suatu bentuk perjanjian dari negara-negara dengan sistem hukum Common Law.
Dalam
hukum tata negara, Kesepakatan bersama untuk melaksanakan kewenangan
pemerintahan hanya dikenal dalam dunia praktik. Karena dalam tataran
teori tidak dikenal adanya istilah kesepakatan bersama. Jimly
Asshidiqqie mengemukakan ada tiga bentuk pengambilan keputusan organ negara yang dikenal dengan hukum negara, yakni (Jimly Assidiqqie, 2010:7-8):
1. Pengaturan menghasilkan peraturan (regels). Hasil kegiatan pengaturan itu sudah seharusnya tidak disebut dengan istilah lain kecuali “peraturan”.
2. Penetapan menghasilkan ketetapan atau keputusan (Beschikking). Hasil
kegiatan penetapan atau pengambilan keputusan administratif ini
sebaiknya hanya dimungkinkan untuk disebut “keputusan” atau “ketetapan”,
bukan dengan istilah lain, seperti misalnya kebiasaan dilingkungan
pengadilan yang menggunakan istilah “penetapan” untuk sebutan bagi
keputusan-keputusan administrasi di bidang yudisial. Istilah yang
dipakai sebaiknya, bukan penetapan tetapi “ketetapan” yang sepadan
dengan istilah “keputusan”. Sedangkan penetapan adalah bentuk “gerund” atau kata benda kegiatannya, bukan sebutan untuk hasilnya; dan
3. Penghakiman atau pengadilan menghasilkan putusan (vonnis). Istilah
ini sebenarnya tidak jelas bagaimana terbentuknya. Jika kata keputusan
dianggap benar secara gramatikal, maka seharusnya dapat dipadankan
dengan “tetapan” yang berasal dari kata “tetap” dan aturan yang berasal
dari kata “atur”. Namun, karena istilah ini sudah diterima umum dalam
praktik, telah menjadi konvensi bahwa keputusan yudisial hakim atas
perkara yagn diadili disebut putusan.
Demikian pula dengan pendapat M. Solly Lubis, yang mengemukakan bahwa peraturan negara (staatsregelings) atau keputusan dalam arti luas (besluiten) dapat dibagi ke dalam 3 (tiga) kelompok yakni :
1. Wettelijk regeling
(peraturan perundang-undangan) seperti UUD, undang-undang, peraturan
pemerintah pengganti undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan
presiden, peraturan daerah, peraturan desa, dan lain-lain.
2. Beleidregels (peraturan kebijakan), seperti instruksi, surat edaran, pengumuman dan lain-lain.
3. Beschikking (penetapan), seperti surat keputusan dan lain-lain.
Terlebih
dalam tata urutan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, istilah Mou bukanlah merupakan
bagian dari peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sehingga MoU pada
dasarnya tidak memiliki kekuatan mengikat dan keberlakuannya sangat
bergantung pada para pihak yang bersepakat dalam sebuah MoU. Berdasarkan
hasil wawancara penulis dengan Rasamala Aritonang selaku Fungsional Biro Hukum KPK,
mengemukakan bahwa “MoU adalah kesepakatan bersama, dibentuk atas dasar
saling pengertian dan kesepahaman serta itikad baik dari masing-masing
pihak yang bersepakat. Jika Mou dilanggar maka sanksinya
lebih kepada sanksi “moral” dan menyebabkan kekurangharmonisan hubungan
2 lembaga yang ber MoU. Sebetulnya kalau para pihak “bermoral” maka MoU
akan sangat sulit untuk di ingkari. Tetapi seringkali ada klausul atau
butir-butir dalam MoU yang masih multi tafsir, sehingga memberikan
kesempatan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam MoU tersebut untuk
membuat tafsirnya sendiri tentang butir dari MoU tersebut, sehingga
dengan tafsirnya tersebut, pihak itu tidak merasa melanggar MoU.’
Lebih lanjut Rasamala Aritonang Selaku Fungsional Biro Hukum KPK
mengemukakan bahwa MoU yang dibuat antara Kejaksaan, Polri dan KPK
Tidak melawan hukum, justru MoU tersebut merupakan terobosan untuk
mengisi kekosongan hukum (aturan), karena selama ini belum ada aturan
yang mengatur tentang penegak hukum manakah yang harus atau berwenang
melakukan penanganan perkara tidak pidana korupsi. Padahal ada 3 (tiga)
institusi yang berwenang untuk melakukan penanganan tindak pidana
korupsi.
Menanggapi pendapat di atas, penulis membenarkan jika Rasamala Aritonang
berpendapat bahwa dalam Mou antara Kejaksaan, Kepolisian dan Polri
masih terdapat banyak ketentuan yang multi tafsir. Sehingga tidak
akhirnya MoU yang dibuat untuk mewujudkan “kesepakatan bersama” tidak
dapat dilakukan. Karena keberadaan MoU ini bukanlah merupakan suatu
aturan hukum baku dalam tata urutan peraturan perundang-undangan yang
dikenal di Indonesia, maka penulis akan melakukan analisis keabsahan Mou
ini dengan menggunakan syarat sahnya suatu perjanjian.
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan penulis, dapat disimpulkan bahwa:
1. Substansi Pasal 8 Kesepakatan Bersama antara Kejaksaan,
Kepolisian, Komisi Pemberantasan Korupsi tentang Optimalisasi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan kesepakatan yang dibentuk
dalam rangka mewujudkan sinergitas para pihak yang berwenang dalam penanganan tindak pidana korupsi.
2. Kesepakatan Bersama antara Kejaksaan,
Kepolisian, Komisi Pemberantasan Korupsi tentang Optimalisasi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengandung ketentuan yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, khususnya pada klausula
Pasal 8 MoU yang mengatur tentang hubungan kerja dan tenggang waktu
pelaporan bertentangan dengan ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, serta Pasal 9 MOU yang
berkaitan dengan kewenangan supervisi, yang substansinya melemahkan
kedudukan KPK selaku lembaga independen dalam penganganan pemberantasan
tindak pidana korupsi
sehingga menurut penulis pada klausula pasal 8 MoU itu batal demi hukum
karena bertentangan dengan undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK
dan dan dipertegas juga dengan adanya perintah Presiden kepada Polri
untuk menyerahkan kasus simulator sim kepada KPK dan Polri harus
mengikuti peraturan perundang-undangan dalam hal ini undang-undang No.
30 Tahun 2002 tentang KPK pada pasal 50 ayat 3 dan 4.
3. Penyelesaian konflik
kewenangan menyidik antara penyidik KPK dengan Penyidik POLRI dalam
kasus simulator SIM diselesaikan secara politis, yakni berdasarkan
perintah Presiden Republik Indonesia kepada Kepala Kepolisian Republik
Indonesia, untuk sepenuhnya menyerahkan kasus Simulator SIM yang
melibatkan pejabat tinggi kepolisian agar ditangani oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi.
B. Saran
Adapun beberapa rekomendasi penulis terkait dengan penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:
1. Kesepakatan
Bersama antara Kejaksaan, Polri dan KPK tentang Optimalisasi Penanganan
Tindak Pidana Korupsi sangat melemahkan KPK selaku Lembaga Independen
dalam penanganan tindak pidana korupsi, oleh karena itu sebaiknya
kesepakatan bersama pada pasal 8 MoU perlu di tinjau ulang keberadaannya.
2. Dalam
melakukan perubahan kesepakatan bersama, sangat perlu kiranya para
pihak memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang berlaku khususnya
yang berkaitan dengan pengananan tindak pidana korupsi guna menghindari
terjadinya kesepakatan yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan.
Sebagai
lembaga yang berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi
yang telah ada dalam hal penanganan tindak pidana korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi diharapkan mampu melakukan koordinasi yang baik dengan Kepolisian Republik Indonesia untuk menghindari terjadinya tumpang tindih kewenangan dalam hal penanganan tindak pidana korupsi. Selain itu, perlu
pula diadakan perubahan pengaturan untuk memberikan kejelasan tugas
pokok dan fungsi masing-masing lembaga, terutama dalam hal
pengambilalihan kewenangan yang dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam hal penanganan tindak pidana korupsi. (http://hukum.kompasiana.com)
Comments
Post a Comment