Membangun Pabrik Sambil Berproduksi

Perjalanan INKA
Periode 1982-1991

“Perlu dorongan yang kuat dari direksi ketika itu. Orang dari Balai Yasa itu, dulu seenaknya. Bukan main perjuangannya. Saya berharap INKA tetap eksis, berkelanjutan. Terus berlanjut sejarah itu. Kalau INKA jaya, anak turun saya juga ikut bangga. Sebaliknya, kalau makin mundur maka kami malu.”
Anwari, eks-karyawan Balai Yasa PJKA Madiun yang bergabung ke INKA


MADIUN, 1981. Tonggak penting ditancapkan Pemerintah di Kota Brem itu. Sebuah pondasi yuridis-administratif, 18 Mei 1981, ditorehkan di hadapan Notaris Imas Fatimah dalam sebuah akta. Resmi sudah pendirian Perseroan (Persero) PT Industri Kereta Api (INKA).
Berbekal selembar bukti legalitas perusahaan yang sah, Direktur Pengkajian Industri BPPT Rahardi Ramelan (yang ditunjuk mengkoordinasikan pendirian pabrik kereta api) membentuk tim kerja yang bertugas menyiapkan kebutuhan administrasi pendirian pabrik kereta api. Rahardi mengajak dua orang BPPT, Haryono Subyantoro dan Indro Saksono, untuk mematangkan pendirian pabrik.
Lantaran dirasa tenaga yang ada belum cukup, Rahardi kembali memanggil orang baru BPPT, yaitu Purwanto, buat memperkuat dan mendukung kinerja Haryono dan Indro. Ketiga orang itulah yang lantas menyusun business plan “Sepuluh Tahun Persero Industri Kereta Api”. “Business plan hanya 18 lembar. Itu naskah yang jadi dasar penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 1981 tentang pendirian INKA. Kami buat planning 10 tahun. Pelaksanaannya meleset 10 persen, jadi 11 tahun.  Simpel. Tebal-tebal buat apa kalau nggak applicable,” ujar Indro Saksono yang kini telah pensiun dari INKA.
Agaknya, pekerjaan membukan “lahan” kereta api di Bumi Madiun demikian berat. Tak cukup melibatkan tiga orang BPPT, Rahardi kembali mengajak lagi dua orang BPPT, masing-masing Sjahedi Junardiono dan Harsan Badawi. Kedua orang ini menerima tugas menyiapkan serah terima operasional dan pelaksanaan produksi di bengkel eks Balai Yasa PJKA Madiun. Sjahedi dan Harsan menjadi pilihan yang tepat karena keduanya berlatar-belakang pendidikan perkereta-apian. Keduanya pun bekerja keras agar INKA segera beroperasi dan berproduksi.  
Setelah semua beres, lalu pada 29 Agustus 1981, dilakukan penyerahan pengoperasian Balai Yasa Madiun dari PJKA ke INKA. Disaksikan oleh Menteri Perhubungan (saat itu) Rusmin Nurjadin. Dengan penyerahan itu, INKA mulai beroperasi di bawah pembinaan Departemen Perhubungan. Dan tanggal 29 Agustus itulah yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Ulang Tahun INKA.
***
UNTUK menjalankan roda operasional INKA, melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan, pada April 1981, Sutijanto –sebelumnya menjabat Kepala Pusat Perencanaan Balai Besar PJKA Bandung—diangkat menjadi Direktur Utama, Haryono Subyantoro sebagai Direktur Teknologi, Indrajaya (dari unsur Departemen Perindustrian) sebagai Direktur Administrasi dan Umum, dan Ahmad Durijat (mantan Kepala Balai Yasa Madiun) menjadi Direktur Produksi.
Di bawah kepemimpinan Sutijanto, para “mafia ITB” –julukan yang diberikan Menteri Perhubungan Rusmin Nurjadin waktu itu—digiring membangun dasar transformasi teknologi dari sebuah bengkel perawatan lokomotif Balai Yasa PJK Madiun menjadi pabrik kereta api (INKA). Sutijanto berhasil menjembatani para praktisi ahli teknik kereta api seperti Ahmad Durijat dengan para insinyur muda yang dinamis. Sutijanto pun berani melantik beberapa  anak muda dengan usia sekitar 30 tahun menjaba Kepala Departemen (Manajer) setingkat di bawah Direksi.
“Bayi” INKA seperti mendapat asupan gizi buat tumbuh-kembang. Di waktu hampir bersamaan, awal 1980-an, beberapa negara asing memberikan pinjaman lunak (soft loan) kepada Indonesia. Misalkan pemerintah Jepang, melalui lembaga OECF (Overseas Economic Coorpoeration Fund) memberikan soft loan berupa kredit ekspor senilai US$525juta untuk pengadaan kebutuhan sarana perkereta-apian Indonesia. Dan juga INKA ditetapkan sebagai “ujung tombak” industri perkereta-apian nasional yang mengusung konsep strategi transformasi industri dan teknologi yang digagas oleh B.J. Habibie.
Kucuran pinjaman lunak dari Jepang itu langsung direspon Pemerintah dan INKA. Pinjaman lunak itu lalu dikaitkan dengan alih teknologi. Berkat kompetensi dan reputasinya, proses alih teknologi dipercayakan kepada Nippon Sharyo (untuk urusan produksi) dan Sumitomo Corporation sebagai trader-nya.
Mengapa INKA begitu berani merespon pinjaman lunak Jepang itu? Sebagai perusahaan yang baru berdiri, seberapa besar kekuatan sumber daya manusia yang dimilikinya? Jangan-jangan baru merekrut tenaga-tenaga baru yang belum terampil. Terlebih lagi mereka yang berada di level menengah masih termasuk muda usia dan pengalaman. Ternyata optimisme INKA cukup beraalasan. Perusahaan yang merupakan metamorfose bengkel pewaratan ini langsung merekrut sekitar 800 orang eks-karyawan Balai Yasa PJKA Madiun. “Ketika itu ada 800 orang pegawai Balai Yasa Madiun yang hampir dirumahkan karena sudah tidak ada job. Mau ditempatkan ke tempat lain pun sudah penuh. Kepada mereka lalu diajukan pilihan, pensiun atau masuk ke INKA. Mereka kemudian memilih masuk INKA,” ujar Anwari, eks-karyawan Balai Yasa PJKA Madiun yang ikut mengawaki awal perjalanan INKA.  
Di tengah keterbatasan kompetensi orang-orang INKA, Direktur Utama INKA Sutijanto cukup tanggap. Dia langsung meletakkan dasar alih teknologi dan pembangunan pabrik perkeretapian ansional di Madiun itu. Proses alih teknologi ketika itu dilakukan dengan mengirimkan orang-orang INKA untuk mengikuti training ke Jepang pada masa alih teknologi gerbong barang dan kereta penumpang. Bersamaan dengan alih teknologi, serta semangat untuk mewujudkan industri kereta api yang andal, rehabilitasi dan pembangunan, berbagai fasilitas produksi diadakan. Tidak sedikit investasi yang ditanamkan untuk keperluan itu. Pengembangan mulai dilaksanakan pada 1982 hingga 1983. Peralatan dan perlengkapan produksi ditambah.
Selanjutnya, pada tahun 1983, Pemerintah membentuk Dewan Pembina Industri Strategis (DPIS). Melalui Keppres Nomor 59, bersama tujuh industri strategis yang lain, INKA berada di bawah koordinasi DPIS.
Jelas, pendirian INKA dimaksudkan sebagai wadah alih teknologi, pengembangan potensi nasional dan pemupukan nilai tambah (value added) dalam industri perkereta-apian. Menyadari semakin berperannya sistem angkutan kereta api di masa depan, INKA juga didorong untuk mampu menjawab tantangan kebutuhan jasa angkutan kereta api. Sebab itu, 1984-1988, INKA meningkatkan program pengembangan fasilitas produksi.
Selama periode itu, telah dilaksanakan rehabilitasi bangunan lama seluas 2.852 meter persegi dan bangunan produksi baru seluas 30.690 meter persegi, dengan bangunan pendukung seluas 7.485 meter persegi. Prasarana produksi pun ditambah dengan pembuatan jalan baru seluas 14.300 meter persegi, track sepanjang 3.000 meter, dan jembatan tambangan 175 meter persegi. Pabrik meluas menjadi 225.000 meter persegi atau 22,5 hektar, dengan area bangunan mencapai 9,36 hektar. Mesin produksi yang dimiliki sebanyak 658 unit dengan mesin pendukung (mesin las) 288 unit. Kapasitas produksinya mencapai 300 unit gerbong barang, 60 unit kereta penumpang, 60 kereta penumpang midlife overhaul, 10 set KRD dan 5 set KRL, 200 bogi (komponen utama penggerak kereta api), konstruksi las dan 3.200 ton aneka produk manufaktur per tahun.
Secara konseptual, INKA diarahkan sebagai wahana transformasi industri dan teknologi kereta api. INKA menyadari benar tanggung jawab dan peranan itu. Sebab itu, strategi yang diterapkan adalah melalui upaya pendidikan dan latihan secara terus-menerus. INKA pun meyakini bahwa teknologi hanya dapat dialihkan, diterapkan dan dikembangkan lebih lanjut bilamana teknologi itu sendiri digunakan untuk memecahkan persoalan-persoalan kongkret. Penerapan strategi transformasi industri di INKA diwujudkan dalam upaya pencapaian visi, misi dan tujuan yang telah diformulasikan dan dilaksanakan secara baik. Dalam hal perangkat lunak, segi organisasi terus ditingkatkan sehingga semakin mampu mendukung pelaksanaan rencana produksi. Latihan dan pendidikan di bidang teknik ataupun manajemen terus dikembangkan.
Direktur Utama INKA Sutijanto telah menerapkan konsep corporate strategy. Selain mengirim engineer ke Jepang untuk belajar teknologi perkereta-apian, beberapa anak muda juga dikirim untuk belajar tentang corporate plan bersama pimpinan muda PJKA (Perusahaan Jawatan Kereta Api) termasuk Anwar Supriyadi dan Eddie Haryoto (dua sosok yang di kemudian hari memimpin PJKA/KAI). Rencana jangka panjang juga dibuat dengan berbagai rencana produk mulai dari gerbong barang, kereta penumpang, kereta rel diesel (KRD) sampai kereta rel listrik (KRL).
Melalui strategi tadi, pentahapan alih teknologi digariskan. Secara keseluruhan, startegi itulah yang merupakan sasaran jangka panjang INKA. Mampu dan mandiri sebagai perusahaan berbasis industri kereta api. Program transformasi industri dan teknologi yang dijalankan INKA meliputi tiga tahapan.
Pertama, tahap lisensi teknologi (dan co-manufacturing). Teknologi yang ada digunakan untuk proses nilai tambah. Pada tahap ini dikembangkan pula kemampuan pemahaman desain dan proses produksi. Caranya dengan meningkatkan kemampuan perangkat lunak dan nilai tambah domestik dengan Pola Produksi Progresif (Progressive Manufacturing Plan, PMP). Tahapan produksi tersebut dilalui dari kondisi pengenalan CBU (complete built up/training/commissioning), Assembling (SKD, Semi Complete Knockdown), Part Manufacturing (CKD, Complete Knockdown) dan FM (Full Manufacturing) atau Complete Manufacturing (CM).
Kedua, integrasi teknologi (co-design dan co-manufacturing). Memanfaatkan teknologi yang telah ada dan mengintegrasikannya untuk menghasilkan desain dan produk baru. Dalam tahap ini dikembangkan kemampuan rancang bangun dan integrasi.
Dan ketiga, pengembangan teknologi (joint product development). Mulai tahap ini teknologi yang dikuasai dikembangkan untuk menciptakan teknologi baru dalam rangkan desain dan produksi produk-produk masa depan.
Untuk mencapai program transformasi, INKA menyusun dalam tahapan periode 10 tahun dengan membuat model kurva-S (S-curve) pengembangan produk dan industri. Pada dekade 1982-1991, INKA melaksanakan program lisensi dan co-manufacturing.  
***
INKA menerapkan Pola Produksi Progresif atau PMP. Mula-mula (1981-1983), INKA menangani perakitan gerbong barang dari kondisi SKD, lalu melangkah ke CKD, kemudian bergerak ke CM. Hasilnya, prosentase perolehan nilai tambah domestik semakin meningkat, dan melalui tahapan itu semakin berkembang kemampuan dalam memahami desain, teknik dan cara produksi yang lebih maju. Kualitas produk yang dihasilkan juga mampu memenuhi memenuhi persyaratan pemberi lisensi. Harga akhir produk pun ternyata relatif lebih murah dibanding harga gerbong CBU.
Melangkah ke tahun berikutnya (1984-1988), kemampuan INKA terus meningkat. Selain memproduksi gerbong barang, kapasitas yang tersedia digunakan untuk membuat kereta penumpang, rehabilitas (retrofit) kereta penumpang, memproduksi KRD, KRL dan konstruksi las untuk pembuatan bogi.
Salah satu pekerjaan yang dilakukan INKA adalah memodifikasi kereta api dan material perkereta-apian. Dalam kegiatan ini, INKA berhasil menangani pekerjaan besar, yakni merehabilitasi sejumlah kereta penumpang yang umurnya telah mencapai lebih dari 15 tahun. Kereta penumpang setengah umur itu dibongkar, kemudian diremajakan, mulai dari konstruksi badan kereta sampai perlengkapan dan interiornya. Dengan cara itu, sebuah kereta dapat dikembalikan menjadi layak dioperasika lagi. Jumlah kereta penumpang yang diprogramkan untuk diremajakan sebanyak 60 unit tiap tahun.
Belajar sembari berkarya memang terus dilakukan oleh segenap orang INKA. Misalkan tahun 1984 mulai membuat kereta penumpang. Pada tahap awal, yang dihasilkan adalah kereta kelas dua, kelas tiga dan kereta makan dengan teknologi bahan baja. Untuk memasuki tahap berikutnya, orang-orang INKA meningkatkan kemampuan dalam bidang perangkat lunak dan memperdalam metode teknik manufaktur. Tenaga-tenaga teknik dikirim untuk magang di luar negeri, antara lain belajar teknik manufaktur gerbong barang dan kereta penumpang di Jepang (Nippon Sharyo), belajar teknik-produksi KRL di Belgia (Bruges Nivels) dan Belanda (Holec).
Dengan prinsip membangun sambil berproduksi, rehabilitasi bengkel menjadi sebuah pabrik (industri) dengan fasilitas produksi yang lebih lengkap, terus pula dilakukan selama dekade pertama perjalanan INKA. INKA berhasil membangun pabrik terpadu yang berangkat dari sebuah bengkel eks Balai Yasa PJKA Madiun. Bahkan, dengan pengembangan berbagai fasilitas fisik, INKA telah menjelma menjadi kekuatan industri yang berdaya-mampu tinggi. INKA telah melengkapi diri dengan prasarana-prasarana produksi utama. Meliputi: 1. Gudang terbuka. Tempat ini digunakan untuk menyimpan bahan baku pembuatan kereta api (baja lembaran, baja profil, dan baja batangan); 2. Gudang tertutup, berfungsi buat menyimpan sebagian peralatan dan komponen yang habis terpakai; 3. Bangsal pengerjaan logam. Merupakan tempat berbagai bahan diproses, dipotong, dibentuk dan dirakit untuk dijadikan komponen awal kereta api. Di sini bisa dijumpai berbagai perangkat produksi (band sawing machine, numerical control turret punch machine, bending machine dan shearing machine).
Kemudian, 4. Bangsal perakitan komponen. Dari bangsal pengerjaan logam, komponen-komponen yang sudah jadi selanjutnya dikirim ke bagian perakitan komponen. Di situ, komponen ditata menjadi bagian-bagian badan kereta seperti atap, dinding, rangka dasar dan sebagainya; 5. Bangsa perakitan badan kereta. Pada fasilitas ini berbagai bagian dan komponen dipadukan, dirakit dan dibentuk menjadi badan kereta penumpang atau gerbong barang yang utuh; 6. Bangsal bilas logam. Tempat ini digunakan untuk menghilangkan karat pada seluruh badan kereta atau gerbong buat persiapan pengecatan dasar; 7. Bangsal pengecatan dasar. Tempat pengecatan dasar seluruh bangunan gerbong atau kereta serta komponen-komponen dan suku cadang.
Berikutnya, 8. Bangsal pengecatan dan pemasangan perlengkapan. Tempat pengecatan lebih lanjut, pengecatan menyeluruh atas badan kereta atau gerbong. Bagian ini merupakan tempat melengkapi badan kereta dengan berbagai instalasi seperti pipa-pipa, kabel-kabel, lampu-lampu penerangan, alat pengatur udara dan sebagainya; 9. Bangsal perlengkapan akhir; 10. Bangsal perakitan bogi dan permesinan; 11. Fasilitas pengujian, untuk penimbangan beban gandar; 12. Bangsal Pemeriksaan Akhir. Tempat pemeriksaan dan pengujian akhir atas setiap bagian dari gerbong atau kereta, termasuk berbagai instalasinya, peralatan, perlengkapan, interior dan sebagainya; 13. Emplasemen, tempat gerbong dan kereta penumpang yang telah siap dioperasikan menunggu pengiriman.
Program pemakaian komponen lokal giat ditingkatkan. Bagian-bagian badan kereta seperti rangka dasar, dinding samping, dinding ujung serta atap, sudah dapat diproduksi sendiri. Empat tahun di masa awal produksi, INKA telah merintis pembuatan bogi (komponen utama penggerak kereta), bagian yang memberi nilai tambah tinggi dalam suatu bangunan kereta. Sementara itu, komponen-komponen lain seperti kursi, bahan aluminium ekstrusi, cat, perangkat listrik, dan bahan dari karet, sudah pula menggunakan produksi dalam negeri.
Suku cadang dan bagian-bagian kereta api diusahakan semakin banyak yang dihasilkan di dalam negeri. Sejak mula kegiatan produksinya, INKA memang terus mengembangkan hubungan keterkaitan dengan industri-industri komponen dalam negeri, seperti produsen baja tuang dan tempa, aluminium ekstrusi, perlengkapan interior dan lainnya. Bogi dan coupler yang digunakan dalam gerbong pupuk dan gerbong batubara di Sumatera Barat, adalah produk dalam negeri. Perangkat pengereman dan beberapa bahan baku plat telah pula memakai hasil produksi dalam negeri, seperti dari PT Krakatau Steel dan PT Pindad.
Dalam rangka penganeka-ragaman produk, INKA terus mengembangkan potensinya ke arah kemampuan memproduksi berbagai jenis produk lain. Semuanya dibarengi dengan dengan berbagai upaya keras untuk terus meningkatkan kualitas barang dan jasa yang dihasilkan. Untuk mengejar sasaran mutu produksi, upaya meningkatkan teknologi proses dan manajemen produksi terus dilakukan. Termasuk di dalamnya di dalamnya metode kerja berdasarkan gambar disain, gambar kerja, daftar bahan dan komponen, sampai prosedur produksi, pemeriksaan dan pengujian.

***
LANGKAH transformasi industri dan alih teknologi telah dijalankan secara apik oleh INKA di dekade pertama perjalanannya. Tercatat, sejak tahun 1981, melalui lisensi dari Nippon Sharyo, INKA mampu memproduksi 400 gerbong barang dalam bentuk SKD dan CKD. Kemudian, pada 1984, INKA mampu membuat 126 kereta penumpang secara PMP, dengan komposisi: 20 buah (SKD), 89 buah (CKD), 16 buah (CM) dan satu buah sample car untuk keperluan training.
Selanjutnya, 1985, INKA mampu merakit 4 set (16 kereta, 1 set = 4 kereta) KRL Stainless Steel berstandar internasional buat memenuhi kebutuhan transportasi komuter di wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) dari kondisi semula yang SKD.
Secara mandiri, INKA telah mampu melaksanakan PMP dalam bentuk CM sebanyak 50 gerbong batubara di Sumatera Barat dan gerbong tangki pengangkutan minyak sawit di Sumatera Utara. Juga mampu merakit gerbong tertutup untuk PT Pupuk Sriwijaya dan gerbong barang PT Tambang Batubara Bukit Asam, Sumatera Selatan.
INKA berusaha menggandeng pihak lain untuk ikut andil dalam memproduksi kereta dan gerbong. Lewat konsorsium INKA-Bharata-Pindad, terlaksana pembuatan 150 unit gerbong datar container untuk ekspor ke Malaysia (1990) yang penyerahannya dilakukan tahun 1991. Juga melalui konsorsium INKA-LEN-Pindad dan alih teknologi dengan BN-Holec (Belgia-Belanda), 1989-1993, berhasil membuat 7 set KRL sebagai alih teknologi KRL BN-Holec yang terdiri dari 3 set CBU, 3 set SKD, dan 1 set CKD. Proyek tersebut kemudian dilanjutkan dengan pembuatan KRL generasi baru VVVF Inverter untuk proyek kereta api Jabodetabek sebanyak 25 set KRL. INKA bertindak sebagai integrator, LEN sebagai pembuat sistem kontrol listrik dan Pindad merakit motor.   
Mengacu pada piramida industri, di dekade pertama, INKA telah mampu menjadi integrator bagi industri yang lain. Padahal, dalam perencanaan, posisi itu baru mampu digapai pada periode 10 tahun kedua. Sebab itu, penuh kepercayaan diri, INKA berani memperkenalkan mereknya (brand) pada pagelaran PPI (Pameran Produk Indonesia) 1995 di Jakarta.
***
SELAMA dekade pertama perjalanannya, INKA mengemban tugas Pemerintah sebagai agent of development (wahana alih teknologi dan industri). Dapat dikatakan INKA relatif mampu melakukan proses transformasi hingga tahap kedua dan ketiga. Kinerja bisnisnya tergantung Pemerintah selaku regulator dan PJKA-Perumka (operator) selaku “pasar tunggal” produk kereta api di dalam negeri. Karena itu, wajar saja bila orang INKA masih belum banyak membenahi manajemen dan inovasi bisnisnya, terutama dalam hal marketing (pemasaran).
Sebagai agent of development, fungsi dan peran utama INKA adalah menjalankan “tugas” dari Pemerintah, yakni menguasai dan mengembangkan teknologi serta memproduksi kereta api untuk kebutuhan PJKA-Perumka. Fungsi dan perannya tidak lebih dari itu. Dan, yang pasti, belum ada “perintah” agar insan INKA tampil menjadi para ahli di bidang marketing. Produk derivasi dan diversifikasi yang dikembangkan memang sudah ada, tapi masih relatif sedikit. Produk utama yang dijual INKA tidak lain, ya kereta api.
Sebab itu, memasuki tahun 1987, tatkala pesanan kereta dari PJKA menurun, perjalanan INKA nyaris “terhenti”. Loading INKA pada 1988 tidak lebih dari 20-25% dari kapasitas terpasang. Jadi, idle capacity-nya mencapai 75-80%. Pesanan begitu sepi. Menginjak awal 1987, pesanan sepi. “Pada waktu saya masuk INKA, saya bisa pulang setengah hari (jam 14.00) karena order lagi sepi,” ujar Gunesti Wahyu, salah seorang generasi kedua INKA. Meski sesungguhnya bukanlah tipe orang INKA untuk duduk-duduk merenungi nasib.
Memasuki 1988, Pemerintah berupaya mengganti pucuk pimpinan INKA. Konon Sutijanto menolak ditawari jabatan sebagai Kaperjanka (Direktur Utama PJKA). Dia lebih memilih pensiun setelah sepanjang 1981-1987 berjibaku membangun pabrik dan mengarahkan orang-orang INKA ke mana harus melangkah.
Februari 1988, INKA memperoleh pemimpin baru Istantoro. Sosok yang punya semangat berapi-api penuh integritas. Dia “menaklukkan” orang-orang INKA dengan cara menegakkan disiplin. Mulai dari menggabungkan ruang makan direksi, manajer dengan karyawan, sampai dengan senam kesegaran jasmani (SKJ) saban Jumat pagi. Bahkan, Pak Is sampai merasa perlu menunggu di gerbang pintu pabrik untuk mengabsen karyawan yang tidak tepat waktu. Tidak hanya mengabsen karyawan, manajer juga diantre untuk menghadap tiap pagi jam 07.00 pas.
Dalam menjalankan program, Pak Is senantiasa mengacu pada PDCA (Plan, Do, Check dan Action). Di sinilah Pak Is hadir dengan konsep manajemen modern. Produk dan pasar merupakan dua unsur penting yang tidak boleh dipisahkan. Dengan keyakinan bahwa kompetensi INKA sudah cukup mumpuni dalam menghasilkan produk-produk yang bermutu dengan harga kompetitif, Pak Is mengobarkan semangat dan kepercayaan diri yang tinggi pada setiap orang INKA akan pentingnya pemasaran. Dengan kepemimpinan penuh integritas, Pak Is menerapkan prinsip PDCA secara tegas. Dia hendak memastikan bahwa software dan metode kerja INKA harus berjalan sistemik.
Dengan semangat kerja yang tinggi dan penuh disiplin, orang-orang INKA tetap bekerja penuh tanggung jawab. Mereka menyelesaikan pesanan 30 unit gerbong batubara (lewat dana pinjaman dari Jepang), 30 unit lori motor, dan 50 unit komponen forklif relatif cepat dari jadwal penyelesaian. Kondisi sepi pesanan ini berlanjut sampai 1989-1990, di mana PJKA terus melakukan konsolidasi internal, yang berujung pada penggantian badan hukum PJKA menjadi Perumka (Perusahaan Umum Kereta Api). Lantaran kondisi keuangan yang terus memburuk, selama 1989-1991, PJKA-Perumka hanya memberi order kepada INKA berupa retrofit 20 unit kereta penumpang kelas ekonomi dan pembuatan bogi.
Kendati pesanan tidak seberapa, orang-orang INKA tidak asal-asalan mengerjakan retrofit kereta penumpang dan bogi. Mereka berimajinasi membuat disain kereta berdasarkan ilmu “mencuri-curi” generasi pertama di Jepang serta beberapa literatur yang kala itu sangat terbatas. Untuk membuat disain, mereka hanya menggunakan sarana dan prasarana seadanya. Mereka menggunakan pensil dan pulpen seadanya kemudian dituangkan pada selembar kertas gambar seadanya pula. Belum computerized seperti sekarang. Hasilnya cukup membanggakan. Order retrofit 20 unit kereta penumpang dari PJKA-Perumka tuntas sesuai jadwal dan memberi rasa puas pada pemesan. Namun, lantaran order yang relatif kecil, sepanjang tahun 1987-1988 itu kinerja keuangan INKA tetap “megap-megap”.
Kebijakan Pemerintah yang bias juga menjadi penyebab utama lainnya pada krisis INKA. Di satu sisi Pemerintah tengah menggalakkan alih teknologi kereta api melalui pendirian INKA, namun pada sisi yang lain Pemerintah justru gemar mengimpor kereta api dalam bentuk CBU. Misalkan Pemerintah masih saja mengimpor kereta api dari luar negeri, yang kemudian dioperasikan oleh PJKA-Perumka. “Kebijakan” impor kereta api jelas berdampak negatif terhadap industri kereta api dalam negeri, kalau tak boleh dikatakan “merusak” proses alih teknologi yang tengah giat-giatnya dilakukan bangsa Indonesia, melalui kehadiran INKA. Padahal, INKA yang notabene perusahaan milik negara, saat itu dinilai telah mampu membuat kereta api eksekutif secara utuh, baik disain maupun teknologinya.
Menyadari akan kondisi yang terus memburuk, selaku Menristek dan Kepala BPPT yang turut membidani BUMNIS (termasuk INKA), B.J. Habibie menyarankan INKA supaya melakukan sejumlah langkah penyelamatan,  antara lain dengan mengembangkan produk diversifikasi non-kereta api. Harapannya, bilamana memungkinkan, persentase kontribusi produk diversifikasi itu kelak justru mampu melebihi produk utama (kereta api).
INKA merespon masa sulit tadi dengan kerja dan karya. Salah satunya, setelah terjadi pergantian pimpinan INKA dari Sutijanto kepada Istantoro (1988), Direktur Teknologi ditiadakan. Pak Is meyakini benar kompetensi orang-orang INKA dalam produksi dan teknologi perkereta-apian. Dia mendorong dan memperkuat pemasaran. Untuk itu dibentuk Direktur Pemasaran. INKA pun fokus membuat sejumlah produk non-kereta api. Dan Direktur Pemasaran mengemban tugas memasarkan produk-produk non-kereta api agar INKA survive. Sejumlah produk diversifikasi lalu diciptakan dan cukup bisa diterima pasar. Salah satu contoh, seluruh tunnel (terowongan, passenger boarding bridge) Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng, adalah produk INKA (kerjasama dengan PT Bukaka Teknik Utama). Termasuk garbarata yang digunakan oleh sejumlah maskapai penerbangan. INKA memproduksi pula komponen filter udara PLTU Gresik. Dengan peralatan yang dimiliki, INKA juga berhasil membuat trailer, container, dan girder crane. Di masa sulit itu, insan INKA sungguh bekerja keras dan cerdas.
Repotnya, produk diversifikasi itu baru saja disemai. Bergulir hanya sebatas job order sehingga belum mampu “menyembuhkan” INKA dari “pendarahan” keuangan. Memasuki tahun 1989, keuangan INKA makin melorot. Lantaran kondisinya yang tetap “sakit parah”, sempat berhembus isu bahwa INKA akan dilikuidasi.
Mendengar kondisi INKA tengah berada di ujung kebangkrutan, Presiden (waktu itu) Soeharto langsung “turun tangan”. Melalui Keppres Nomor 44 Tahun 1989, INKA digabung dengan 9 BUMNIS yang lain (IPTN, PAL, Pindad, Dahana, Krakatau Steel, Barata, Boma Bisma, INTI dan LEN). Pembinaan, pengelolaan dan pengawasannya berada di bawah BPIS. Dengan dimasukkannya INKA ke dalam pembinaan BPIS, menunjukkan bahwa Pemerintah memang konsisten dengan tujuan awal pendirian INKA.
Terlihat ada kepedulian yang tinggi dari kepemimpinan nasional dan petinggi negeri ini terhadap nasib INKA. Berkat “campur tangan” Pemerintah, pada 1990 INKA mulai menerima order besar-besaran. Antara lain, dengan menggunakan dana pinjaman dari Pemerintah Kanada, Perumka memesan 264 unit gerbong batubara. Perumka juga memberi pekerjaan retrofit 16 kereta penumpang dan pembuatan 6 unit bogi. Selain itu, INKA menerima pula pesanan berupa 300 unit geetainer, 50 kontainer dan 40-an aerobridge. Tahun berikutnya (1991), Perumka memberi order INKA untuk retrofit 4 kereta penumpang.
Komitmen dan kerja dilakukan guna menyelamatkan INKA dari kebangkrutan selama 1988-1991. Bahwa, saat itu, Wakil Presiden Sudharmono sampai merasa perlu hadir ke pabrik INKA di Madiun (1991). Sebuah kunjungan yang melegakan hati orang-orang INKA, sebab di situ Sudharmono menegaskan bahwa Pemerintah siap “mengawal” INKA untuk kembali bangkit. Dan, tidak sekadar omong kosong, karena Pemerintah menyiapkan bantuan sebesar Rp20 milyar selama 10 tahun ke depan bagi INKA guna memenuhi kebutuhan sarana kereta api di Indonesia. Selain itu, melalui inisiatif Pemerintah, UU Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkereta-apian di Indonesia pun diundangkan. Pendek kata, Pemerintah mendukung dan mendorong penuh bahwa setiap pengadaan kereta api harus dikerjakan di dalam negeri.
Melalui “tangan dingin” Sudharmono, INKA dan Perumka merapatkan barisan, saling berjabat tangan erat-erat dan bekerja sama lebih akrab lagi. Bahwa Perumka siap menggunakan produk-produk kereta api buatan INKA. Berkat kerjasama yang tambah akrab itu, menginjak 1992, INKA sudah mampu meraih laba seiring dengan kondisi keuangan Perumka yang juga membaik. Sejak saat itu, pesanan dari Perumka terus mengalir.
INKA sendiri tidak hanya berkutat di dalam negeri. Melalui rintisan Deklarasi Bangkok (1983) guna meningkatkan kerjasama perkereta-apian di regional ASEAN, INKA cukup aktif memanfaatkan forum yang media yang ada di sini. Tahun 1985, deklarasi itu ditindak-lanjuti dengan Konferensi ASEAN Railway General Manager (ARGM). Hasilnya, mereka bersepakat dan bertekad menjadikan dekade 1985-1994 sebagai era transportasi dan komunikasi, di mana perkereta-apian diberi bobot terbesar untuk dikembangkan di antara moda-moda transportasi yang lain. Mereka juga bertukar pengalaman (experience exchange) tentang kemajuan perkereta-apian masing-masing negara.
Oleh INKA, pertemuan rutin tiga tahunan itu dimanfaatkan untuk menjajaki ekspor produknya. Tidak sia-sia, upaya itu pun berbuah. Pada 1991, INKA berhasil mengekspor 150 gerbong kontainer ke Malaysia. Inilah pengalaman ekspor yang pertama ke negeri jiran itu. Dan melalui inovasi tiada henti, di kemudian hari INKA mampu berbagai produknya di kawasan ASEAN. (*)

Boks 1:
Membangun Pabrik Sambil Berkarya

BIASANYA, sebuah industri itu dimulai dengan membangun atau mendirikan pabrik, berikut kelengkapan peralatan produksinya. Baru kemudian melaksanakan proses produksi untuk menghasilkan sebuah produk. Namun, tidak demikian logika-nalar itu bagi orang-orang INKA. Sebab, bagi INKA, kedua faktor itu (bangun pabrik dan bikin produk) dilakukan secara berbarengan. Membangun pabrik sambil berkarya. Membangun pabrik sembari berproduksi. Luar biasa. Tentu, tanpa modal semangat dan kemauan yang tinggi dari segenap orang INKA, jelas dua pekerjaan sekaligus itu sulit dilakukan secara bersamaan.
Tatkala memulai operasional, modal INKA tidak lebih dari sebuah bengkel pemeliharaan lokomotif uap yang dikenal dengan sebutan Balai Yasa PJKA (Perusahaan Jawatan Kereta Api) Madiun. Sebuah kompleks bengkel yang dibangun pada masa Kolonial Hindia Belanda, lebih dari satu abad silam. Bekal pengetahuan yang dipunyai pun baru sebatas pengalaman merakit beberapa gerbong barang, membuat sebuah prototipe kereta penumpang, dan perawatan lokomotif uap. Tapi, sebagai anak bangsa yang tak ingin melihat negerinya ketinggalan zaman, orang-orang INKA menggelorakan semangat dan spirit kerja yang tinggi untuk membangun industri kereta api.
INKA berdiri pada saat kinerja operasional PJKA terus menurun pada dekade 1970-an dan awal 1980-an. Sarana kereta api (lokomotif, kereta dan gerbong) yang dimiliki oleh PJKA terus berkurang. Mengapa? Minimal terdapat dua penyebab. Pertama, lantaran penghapusan lokomotif uap. Lokomotif uap, yang notabene menjadi roda operasional kereta api PJKA selama bertahun-tahun, bahkan sejak masa Kolonial Belanda, mulai diganti dengan lokomotif diesel. Kedua, ketergantungan pada impor. Sebelum INKA berdiri (1981), pengadaan sarana-prasarana perkereta-apian di Indonesia bergantung kepada impor. Gerbong dan kereta didatangkan secara utuh (CBU) dari luar negeri. Pun demikian dalam penyediaan suku cadang.
Impor dan dieselisasi menjadi jalan keluar guna mengatasi penurunan sarana kereta api di Tanah Air. Persoalannya, pada awal 1980-an, PJKA tengah merugi dan Pemerintah tak cukup uang untuk melakukan impor. Akibatnya, PJKA tidak mampu mengimbangi pertumbuhan angkutan sebagai dampak pertumbuhan ekonomi yang pesat pada awal 1980-an.   
Di tengah krisis yang menimpa PJKA, kemudian Pemerintah berupaya mengurangi ketergantungan impor sarana perkereta-apian guna menghemat devisa. Sebuah kesempatan berproduksi terbuka lebar. Dalam arti, sangat terbuka kesempatan mengubah status INKA dari sebuah bengkel perawatan lokomotif menjadi industri kereta api dengan berbagai turunannya. Salah satu peluang penting di awal operasional INKA itu adalah pembuatan gerbong terbuka curah putar KKBW hasil kerjasama dengan Trenton Corp (Kanada).
INKA diarahkan menjadi industri kereta api yang mumpuni. Sosok industri kereta api yang diharapkan mampu menjawab tantangan zaman. Fungsi dan perannya harus menjadi salah satu tulang punggung perekonomian nasional. Untuk mencapai sasaran itu, tujuan INKA pun digariskan, yaitu melakukan kegiatan produksi dan jasa teknik yang berkaitan dengan perkereta-apian nasional, mulai dari melaksanakan produksi, perawatan, perdagangan hingga jasa konsultasi dan rekayasa.
INKA merupakan industri penghasil barang modal dan teknologi bernilai tinggi. Sifat bisnisnya adalah mengglobal dengan modal besar. Persaingan bisnisnya terbuka bagi manufaktur luar negeri, berdaya saing tinggi dan bertaraf internasional. Guna melihat dan menghadapi, visi INKA adalah “Menjadi perusahaan manufaktur sarana kereta api dan transportasi kelas dunia yang unggul di Indonesia”. Untuk mewujudkan visi itu, serta dengan mengupayakan jalannya roda perusahaan yang selalu sehat, terus berkembang dan mampu mengatasi segala situasi usaha yang bagaimanapun, INKA mengemban misi “Menciptakan keunggulan kompetitif dalam bisnis dan teknologi sarana perkereta-apian dan transportasi untuk menguasai pasar domestik dan memenangkan bisnis di pasar regional ASEAN serta negara berkembang”.
Pendirian INKA juga dimaksudkan sebagai wadah alih teknologi, pengembangan potensi nasional dan pemupukan nilai tambah (added value) dalam industri perkereta-apian. Selain itu, menyadari semakin berperannya sistem angkutan kereta api di masa depan, INKA didorong untuk mampu menjawab tantangan kebutuhan jasa angkutan kereta api. Dengan jumlah penduduk Republik Indonesia sekitar 250 juta jiwa, daratan yang begitu luas, serta masa depan perekonomian yang prospektif, sektor transportasi membutuhkan pengembangan secara besar-besaran. Termasuk transportasi kereta api yang menjadi prioritas pengembangan.
Dalam kerangka membangun pabrik sambil berkarya, secara operasional INKA diarahkan pada kegiatan: 1. Menyelenggarakan kegiatan pembuatan kereta api dan material perkereta-apian; 2. Menyelenggarakan kegiatan perawatan besar (overhaul) perkereta-apian; 3. Menyelenggarakan perdagangan lokal, impor ataupun ekspor barang dan jasa yang berhubungan dengan perkereta-apian. Mulai dari bahan baku, suku cadang, komponen, jasa perawatan besar perakitan kereta api sampai berbagai material perkereta-apian; 4. Menyelenggarakan jasa konsultasi dan rekayasa (engineering) bidang perkereta-apian, termasuk modifikasi kereta api serta material perkereta-apian; 5. Menjadi wadah bagi upaya pengalihan dan pengembangan teknologi dalam rangka mendorong serta mempercepat pengembangan industri dalam negeri; 6. Mengembangkan perusahaan agar mampu menjadi suatu unit usaha yang kuat dan tumbuh secara sehat. Menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kemampuan dan mutu tenaga kerja; 7. Berusaha mengurangi ketergantungan kepada luar negeri dan mengurangi impor dalam rangka menghemat devisa negara. (*)

Boks 2:
Berlatih di Jepang, Berguru ke Belgia dan Belanda

DIDIRIKAN dan dibangunnya INKA, antara lain, lantaran spirit dan semangat tinggi  segenap orang Balai Yasa PJKA Madiun. Semangat tinggi guna merealisasikan rencana besar alih teknologi dan industri perkereta-apian nasional yang diamanahkan oleh negara. Karena semangat tinggi itu pula, Menristek dan Kepala BPPT (saat itu) B.J. Habibie menganggap potensi Balai Yasa PJKA Madiun yang terbilang relatif rendah (tapi spirit dan motivasi tinggi) masih dapat diasah melalui “program alih teknologi” sehingga kemampuan mereka ter-upgrade menjadi manufacturing technology.
Orang-orang Balai Yasa memang punya kemampuan. Salah satunya yang cukup populer di masanya, di bawah komando Kepala Balai Yasa Madiun yang kemudian diangkat menjadi Direktur Produksi INKA yang pertama, Ahmad Durijat, mereka berhasil membuat protipe kereta penumpang “Si Belo Kuda Troya”. Dengan bekal itulah, Pemerintah merasa yakin bahwa segenap orang Balai Yasa Madiun siap dan mampu melakukan transformasi industri dan teknologi serta mendharma-baktikan dedikasi, komitmen dan integritasnya kepada negara. Pemerintah yakin bahwa Madiun memang tempat yang cocok sebagai “Pusat Unggulan” (center of exellence) industri manufaktur perkereta-apian.
Bagai gayung bersambut. Semangat dan keinginan yang tinggi dari segenap orang Balai Yasa Madiun guna meningkatkan kemampuan “bongkar-pasang” kereta api dengan teknologi modern memperoleh jalannya. Pinjaman lunak (soft loan) dalam bentuk kredit ekspor dari pemerintah Jepang (OECF) dikemas dalam satu paket dengan alih teknologi kereta api. Nippon Sharyo, raksasa industri manufaktur di Jepang, ditunjuk sebagai tempat “menimba ilmu” alih teknologi, dan Sumitomo Corporation menjadi trader-nya. Singkat kisah, berangkatlah beberapa orang generasi pertama INKA untuk belajar dan mengikuti training ihwal seluk beluk pabrik industri kereta api berteknologi modern di Negeri Matahari Terbit, Jepang.
Tak terlukiskan bagaimana perasaan dan pikiran mereka saat melihat teknologi kereta api yang sudah demikian canggih di Negeri Sakura. Tak terbayangkan pula bagaimana isi hati mereka, yang selama ini hanya tahu kota Madiun yang sepi dan tenang, kemudian harus berada di Jepang yang supersibuk penuh ingar-bingar itu. Yang pasti, mereka pulang dari Jepang dengan oleh-oleh guyonan dan lelucon. “Di sana kalau ngelas itu begini, teknologinya begini. Di sana sudah ada rancangan dan sistematikanya. Semua dikerjakan dengan komputer. Tidak seperti di sini (Madiun) yang masih menggunakan imajinasi,” tutur Purwanto, salah seorang generasi awal operasional INKA yang turut pergi ke Jepang, kepada temannya di Madiun waktu itu.
Kerja keras harus dilakukan oleh generasi pertama INKA selama berada di Jepang. Belajar sambil berkarya, begitu ungkapan yang tepat. Di Negeri Sakura itu, mereka harus belajar mengelas, instalasi mesin, listrik dan merakit gerbong-kereta. Mereka harus pula mempersiapkan berbagai komponen di sana karena setelah selesai training semuanya harus diangkut ke Madiun. Sementara itu, di Madiun, mereka harus menyiapkan workshop sebagai tempat merakit dan membuat gerbong dan kereta yang dikirim dari Jepang. Bukan apa-apa, pola proses produksinya tidak lagi berbentuk utuh (complete built up, CBU) tapi dalam bentuk semi-terurai (SKD), terurai penuh (CKD), dan kemudian complete manufacturing (CM). Membangun sambil berproduksi.     
Tidak hanya sebatas belajar proses produksi, Direktur Utama INKA yang pertama, Sutijanto, juga menugaskan Roos Diatmoko (generasi pertama INKA yang ikut ke Jepang) untuk mempelajari disain kereta penumpang kendati tidak masuk materi paket alih teknologi. Belajar produksi sembari belajar disain. Sebab itu, di sela-sela waktu luang, Roos menyempatkan “curi-curi” ilmu disain di pabrik Nippon Sharyo. Senyampang ada medianya. Demikianlah kerja keras generasi pertama INKA.  
Orang-orang INKA merasa tidak cukup puas cuma berguru kepada satu pendekat samurai perkereta-apian. Berkat pupuk dana kredit ekspor, selagi sekitar 10 orang INKA berlatih di Jepang, beberapa orang lainnya dikirim ke Rumania, Kanada dan Korea Selatan. Tujuannya: berguru teknologi pembuatan gerbong barang. Sepulang orang-orang tadi dari mancanegara, INKA tampak mulai expert memproduksi gerbong barang dengan segala variannya. Tercatat tahun 1982-1983, INKA mampu membuat 150 gerbong batubara “bergaya” Jepang. Tahun 1982-1984 tercatat memproduksi 250 gerbong tangki, tahun 1984 menghasilkan 175 gerbong barang dua gandar bak terbuka TTW dan YYW, serta 196 gerbong semen.  
Memasuki 1986, gelombang generasi kedua, yang terdiri dari para insinyur muda dengan semangat membara, hadir di INKA. Untuk mengasah kemampuan disain –terutama disain KRL—mereka harus berangkat ke Belgia dan Belanda. Mereka belajar teknologi pembuatan KRL pada pabrikan kereta Bruges Nivels (Belgia) dan Holec (Belanda). Sekali lagi, sungguh tak terlukiskan bagaimana perasaan dan pikiran mereka saat melihat teknologi KRL yang ada di Eropa.
“Sulit untuk diceritakan. Antara semangat yang tinggi, keinginan yang besar untuk menguasai disain kereta yang lebih modern bercampur dengan perasaan kangen yang begitu mendalam pada keluarga dan kerabat di kampung,” ujar Gunesti Wahyu, alumnus ITS (Surabaya), yang turut dalam rombongan insinyur muda INKA guna menimba ilmu ke Belgia dan Belanda waktu itu.
Alih teknologi KRL dari BN-Holec mampu dilalui secara cukup baik oleh segenap orang INKA. Tahun 1997, INKA pun berkesempatan merakit KRL Hitachi dengan bodi stainless steel dan teknologi VVF Inverter. Secara paralel, kemampuan mendisain KRL dari Eropa dan co-manufacturing KRL dari Jepang, serta pengalaman disain dan manufaktur sebelumnya, dijadikan modal untuk kreasi dan inovasi dalam perjalanan INKA berikutnya. Antara lain modal pembuatan kereta penumpang kelas eksekutif, KRL-I (KRL-Indonesia), KRDE (Kereta Rel Diesel Elektrik), monorel dan rail bus dengan kualitas produk dan teknologi tinggi.  
Begitulah semangat dan kerja keras orang-orang INKA dalam mengemban tugas besar (alih teknologi perkereta-apian) dari negara. Perjuangan mereka tidak kenal lelah, tak kenal putus asa, dan nyaris tak kenal waktu dan tempat. Perjuangan yang layak diberi rasa hormat dan apresiasi tinggi. (*)


Comments

Popular posts from this blog

Seri-Taspen: SEJARAH, JATI DIRI DAN PROBLEMATIKA

Kekerasan di Perkotaan

Masyarakat dan Judi (1)