Nikmatnya Jadi Pembunuh di Negeri Ini
Oleh Anshari Taslim*
Kasus pembunuhan masih menjadi berita yang sering terdengar di negeri ini. Bahkan modus operandinya telah mengalami improvisasi, mulai dari mutilasi, menggantung dengan tali dimasukkan ke koper lalu dibuang ke kali, sampai membubuhi racun pada nasi. Tak jarang pula pembunuhan itu disertai perampokan dan terkadang ditutup dengan pemerkosaan. Sudah begitu banyak pembunuhan terjadi di negeri ini dengan berbagai sebab, sehingga bisa dikatakan setiap hari ada saja nyawa melayang karena penganiayaan biadab.
Berbagai faktor jadi pemicunya. Ada yang dibunuh oleh pembunuh bayaran, ada yang dirampok oleh mantan pembantu, ada yang disiram minyak panas oleh majikan, dan ada pula kasus “cinta ditolak, pisau bertindak”. Bahkan ada yang nyawanya melayang hanya karena senggolan di dalam gang. Muaranya satu, bahwa pembunuhan sangat gampang dilakukan dan banyak orang merasa pembunuhan adalah jalan paling aman menuntaskan sakit hati.
Di negeri yang menggunakan hukum manusia seperti Indonesia ini, hukum terasa sangat tidak berpihak kepada korban atau keluarganya. Mereka harus menanggung kesedihan karena ditinggal mati sanak saudara, yang bisa jadi adalah tulang punggung ekonomi keluarga. Sementara pelaku sudah aman tak bisa diganggu oleh siapapun, terutama keluarga korban yang mungkin ingin membalas dendam seraya menunggu ketok palu hakim.
Dalam KUHP sebenarnya termaktub bahwa pelaku pembunuhan bisa dikenai hukuman mati. Tapi sistem hukuman yang berlaku dalam undang-undang yang dipakai di Indonesia ini menyatakan bahwa hukuman yang disebut dalam teks UU adalah hukuman maksimal. Artinya, seorang hakim bisa saja menjatuhkan hukuman yang lebih ringan berdasarkan berbagai pertimbangan. Akibatnya, tak jarang kasus pembunuhan disertai perampokan atau pemerkosaan hanya dijatuhi hukuman penjara. Ada yang seumur hidup, 20 tahun, 15 tahun, 10 tahun, 5 tahun, bahkan ada pula yang selesai dengan selesainya masa penahanan.
Beberapa tahun lalu media massa sempat heboh dengan kasus pembunuhan yang dilakukan oleh seorang anak mantan pejabat era Mbah Harto. Pelaku tega melobangi kepala seorang bartender dengan pelor ketika dimintai pembayaran. Anehnya di tingkat kasasi dia hanya dijatuhi hukuman empat tahun penjara dan salah satu pertimbangan hakim adalah karena yang bersangkutan adalah public figure. Mengherankan bukan? Ternyata ada pertimbangan meringankan bagi seseorang yang berstatus selebriti.
Setelah menjalani hukuman penjara, narapidana juga akan mendapatkan remisi setidaknya dua kali, yaitu pada setiap tanggal 17 Agustus dan salah satu hari besar keagamaan narapidana bersangkutan. Misalnya jika dia orang Islam maka dia akan mendapat remisi pada hari raya Idul Fitri. Akhirnya, masa hukuman akan semakin pendek, karena tak jarang remisi itu berjumlah cukup banyak misalnya saja 6 bulan pemotongan masa hukuman. Tak heran kalau Tommy Suharto yang divonis 10 tahun penjara bisa bebas – kalau tidak salah – hanya dalam waktu lima tahun sejak dia dimasukkan ke dalam kerangkeng. Sementara keluarga korban hanya bisa pasrah dan bersabar, karena memang tak ada pilihan lain. Tak ada ganti rugi materi dan non materi yang bisa mereka dapatkan dari hukuman atas diri pelaku pembunuhan keluarga mereka.
Bila kita hitung secara ekonomi hukuman penjara sebenarnya tidak memberikan efek jera, malah merugikan keuangan negara. Hitunglah berapa biaya akomodasi untuk setiap narapidana yang harus ditanggung oleh negara. Katakan saja misalnya biaya makan seorang pembunuh plus pemerkosa atau perampok ini adalah Rp.7500 perhari, berarti untuk hukuman selama lima tahun saja negara harus mengeluarkan uang sebesar 7500 x 365 x 5 = Rp.13.687.500. Itu belum termasuk biaya pemondokan di penjara yang tentu saja memerlukan berbagai fasilitas seperti listrik, air, perawatan dan lain-lain. Bagaimana kalau pembunuh yang dipenjara itu ada puluhan ribu orang? Silakan tambahkan empat digit nol di belakangnya yang akan mencapai angka ratusan milyar. Dengan demikian bisa jadi seorang ayah dari wanita korban pembunuhan dan pemerkosaan memberi makan gratis untuk si pelaku kejahatan. Ketika ia membayar pajak, secara tak langsung dana pajaknya membiayai tanggungan negara, termasuk masalah memberi makan narapidana ini. Sungguh beruntung para pembunuh di negeri ini.
Tapi inilah realita. Maka setiap orang yang merasa beriman di negeri ini wajib memberi andil demi terciptanya hukum dan undang-undang yang benar sesuai dengan petunjuk ilahi yang tertuang dalam kitab suci. Paling tidak, kita semua harusnya sudah merasakan ketidakadilan hukum buatan manusia dan mendesak untuk diberlakukannya hukum buatan Tuhan. Sebab, Tuhanlah yang menciptakan manusia, sehingga Dia pula yang maha tahu mana yang baik dan mana yang buruk untuk manusia itu sendiri.
Andai yang berlaku hukum Islam maka yang paling diperhatikan dalam kasus ini adalah keluarga korban. Hukuman bagi pembunuh diserahkan kepada keluarga korban, bukan hakim. Mereka boleh memilih antara melakukan qishash, menuntut diyat (ganti rugi materi) maksimal seharga seratus ekor unta (sekitar satu milyar rupiah) untuk satu nyawa atau memaafkan begitu saja. Cukup adil bukan? Bukan, justru itulah keadilan satu-satunya dan tak ada yang adil selain itu!!
Ini baik untuk keluarga korban, pelaku dan negara, karena tidak perlu mengeluarkan biaya besar untuk memberi makan seorang penjahat. Secara psikologis dipastikan hukum ini akan membawa efek jera, karena eksekusi pelaku pembunuhan di depan umum membuat orang lain berpikir seribu kali bila ingin membunuh tanpa alasan yang benar. Maha benar Allah yang telah berfirman, ”Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 179).
Sangat ironis ketika pada acara keagamaan terutama Maulid dan Isra` Mi’raj para pembesar negeri ini selalu berpidato, ”Marilah kita mengikuti teladan Rasulullah SAW”, sementara ada teladan utama yang mereka tinggalkan yaitu teladan dalam penerapan hukum. Di akhir acara biasanya ada kyai yang berdoa, ”Ya Allah berikanlah kami bimbingan untuk memimpin bangsa ini…bla…bla… dst.” Nah, bimbingan apa lagi yang diminta? Bukankah bimbingan Allah itu sudah tertuang semua dalam Al-Qur`an dan Sunnah? Persoalannya, adakah kemauan para pemimpin negeri ini menerapkan bimbingan Allah? Bimbingan dari Allah, yang salah satunya adalah penerapan hukum pidana dan perdata Islam?!
Ketika Allah memberikan bimbingannya, kita malah membuangnya dan lebih memilih pedoman hukum buatan Belanda. Seakan-akan para pemimpin negeri ini mengatakan, ”Maaf ya Allah, bimbingan-Mu berupa penerapan hukum kami tolak, karena kami punya hukum yang lebih baik, yaitu buatan Belanda yang sesuai dengan kehidupan kami yang berbhineka tunggal Ika. Silakan bawa bimbingan hukum ini kepada tempat agama ini berasal saja, yaitu kepada orang-orang Wahhabi di Arab Saudi sana, mungkin mereka mau menerima.” Astaghfirullah!!! Wa laa hawla walaa Quwwata illaa billaah!!
Menerapkan syariat di negeri ini memang tak semudah membalik telapak tangan. Tulisan ini hanyalah upaya sederhana mengajak setiap orang yang mengaku beriman untuk berpikir, betapa pentingnya penerapan hukum Allah di negeri tercinta ini, tanpa memaki-maki atau mengeluarkan kata-kata yang malah membuat orang makin takut dengan dakwah Islam. Paling tidak kita semua mulai menyadari pada tingkat kesadaran yang tinggi, lalu menyampaikannya kepada mereka yang belum sadar. Bila semakin banyak orang yang sadar, kita bisa membangkitkan gerakan sosial untuk mengawal pelaksanaan hukum Allah ini. Secara pelan tapi pasti, insya Allah.
*Pengajar Pesantren Bina Insan Kamil Pramuka Sari II
(http://sabiliku.com)
Comments
Post a Comment