Mengenal Tiga Pandangan Mengenai Hukuman Mati
Artikel ini dimaksudkan untuk memberikan pencerahan mengenai berbagai pandangan tersebut serta acuan tekstualnya secara ringkas. Saya berharap, artikel ini dapat membuka wawasan kita untuk lebih serius mempertimbangkan posisi mana yang hendak atau yang sudah kita asumsikan dalam kaitan dengan hukuman mati.
Trakat-trakat internasional
Pandangan-pandangan mengenai hukuman mati didasarkan atas sejumlah trakat internasional (international treaties), termasuk juga atas berbagai teks-teks keagamaan. Meski begitu, di sini saya hanya akan fokus pada beberapa trakat internasional yang penting serta yang diacu secara luas.
Pertama, artikel 3 dari Universal Declaration of Human Rights (UDHR) memuat pernyataan fundamental ini: “Everyone has the right to life, liberty and security of person.” Menurut Eleanor Roosevelt dan Rene Casin, dua tokoh penting yang terlibat dalam penyusunan draft UDHR, deklarasi mengenai hak untuk hidup tidak mengenal perkecualian. Deklarasi ini memuat harapan bahwa di masa depan, hukuman mati akan dihapuskan.
Kedua, harapan dari para perumus UDHR di atas, kemudian tereksplisit dalam artikel 6, no. 1 dari ICCPR berbunyi demikian: “Every human being has the inherent right to life. The death penalty shall not be imposed on any person.” Ada dua catatan penting untuk bagian ini:
- Kalimat kedua (The death penalty shall not be imposed on any person) tidak terdapat dalam draft awal UDHR. Sementara itu, kalimat yang pertama (Every human being has the inherent right to life) segera mendapat persetujuan total para perumus draft awal UDHR.
- Frasa “inherent right” (hak paling mendasar) tidak berarti bahwa hak itu diberikan oleh society bagi individu-individu, tetapi bahwa society diharuskan untuk melindung hak hidup individu-individul.
In countries which have not abolished the death penalty, sentence of death may be imposed only for the most serious crimes….Ketiga, di kemudian hari naskah Second Optional Protocol to ICCPR aiming at the Abolition of the Death Penalty (15 Desember 1989) merupakan salah satu trakat internasional yang secara tegas melarang hukuman mati dan tidak lagi membuka permisi sama sekali untuk penerapannya sebagaimana yang terdapat dalam ICCPR di atas. Asumsi paling mendasar dari naskah ini adalah bahwa penghapusan hukuman mati akan meningkatkan penghargaan terhadap hak hidup individu-individu yang dilindungi oleh UDHR. Beberapa naskah dengan intonasi yang sama, antara lain:
- Protocol No. 6 European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedom (1985).
- The Rome Statute of International Criminal Court (17 Juli 1998).
Secara faktual, mayoritas negara di dunia memang sudah menetapkan untuk tidak lagi menerapkan hukuman mati untuk kasus kejahatan apa pun. Dan menurut hukum internasional, negara-negara yang sudah meniadakan hukuman mati sama sekali tidak diperkenankan lagi untuk menerapkannya kembali di kemudian hari.
Tiga Pandangan
Hingga kini, terdapat tiga pandangan mengenai boleh atau tidaknya hukuman mati diterapkan, yaitu: abolisionisme, eksepsionalisme, dan restriktivisme. Dua istilah yang terakhir ini (eksepsionalisme dan restriktivisme) adalah istilah yang saya “ciptakan” sendiri atas pembacaan akan berbagai sumber terakit. Sedangkan istilah abolisionisme adalah istilah yang sudah digunakan secara luas.
Pertama, abolisionisme yaitu pandangan bahwa hukuman mati bertentangan dengan hak paling mendasar dari setiap individu yakni hak untuk hidup. Menurut pandangan ini, hukuman mati sama dengan tindakan inhuman (bengis, keji), degrading (penistaan), dan killing (pembunuhan). Seperti yang sudah diurai di atas, ini adalah pandangan yang mayoritas di anut oleh negara-negara di dunia.
Kedua, eksepsionalisme yaitu pandangan bahwa hukuman mati sah untuk dilakukan bahkan tidak ada kaitannya sama sekali dengan isu HAM. Menurut pandangan ini, hukuman mati adalah sebuah kekecualian yang tidak terkait langsung dengan HAM. Misalnya dalam Working Group on Penalties di Roma (16 Juli 1998), Lawrence Maharaj (The Attorney General of Trinidad and Tobago) menyatakan, “We want to make it quite clear that we do not consider the death penalty to be a human rights issue.“
Dan ketiga, restriktivisme, sama seperti eksepsionalisme percaya bahwa hukuman mati adalah sebuah kekecualian, namun tidak menganggapnya terpisah sama sekali dari masalah HAM. Menurut pandangan ini, hukuman mati hanya sah untuk the most serious crimes.
Sebagai catatan, teks-teks keagamaan (Kitab Suci) diacu secara bersamaan oleh ketiga pandangan di atas tentunya dengan kerangka tafsir yang berbeda. Di sini, asumsi mengenai pandangan mana yang dianut sangat menentukan cara tafsir terhadap teks-teks keagamaan yang relevan dengan hukuman mati.
*********
Saya merencanakan untuk menulis artikel lanjutan mengenai tujuan hukuman mati diberlakukan. Artikel lanjutan itu nantinya penting juga karena polemik mengenai sah atau tidak sah-nya hukuman mati berkait erat juga dengan polemik mengenai tujuan (objectives) pelaksanaan hukuman mati.
Meski demikian, setelah membaca artikel
ini, saya percaya Anda sudah bisa langsung mengenali pandangan mana yang
diasumsikan oleh para Kompasianers yang menulis mengenai boleh atau tidak boleh-nya
hukuman mati. Khususnya dalam kaitan dengan eksekusi mati terhadap para
terpidana mati kasus narkoba yang sedang marak dibicarakan akhir-akhir
ini.
Salam Kompasiana.
(nararya/http://hukum.kompasiana.com)
Referensi:
- William A. Schabas, The Abolition of the Death Penalty in International Law(3rd ed.; Cambridge: Cambridge University Press, 2002).
- William A. Schabas, The Death Penalty as Cruel Treatment and Torture(Boston: Northeastern University Press, 1996).
- R. Hood, The Death Penalty: A World-wide Perspective 8 (2d edit. 1996).
- Karen S. Miller, Wrongful Capital Convictions and the Legitimacy of the Death Penalty (Criminal Justice Recent Scholarship; New York: LFB Scholarly Publishing, 2006).
Comments
Post a Comment